Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu.
"Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya."Jangan bohong! Jangan pikir karena aku jauh, jadi kamu bisa bohongi aku! Aku di sini nyari duit buat kamu sama anak-anak, tapi bisa-bisanya kamu berbuat seperti itu!" hardik Agus."Mas, dengerin aku dulu. Aku nggak selingkuh! Sumpah demi Tuhan, aku nggak selingkuh, Mas! Ini anak kamu!" Romlah berusaha memberi penjelasan."Aku nggak percaya!""Dari mana Mas denger berita aku hamil? Dari Mbak Yuli?" cecar Romlah."Kamu nggak perlu tahu.""Ok, aku anggep Mas dapat cerita dari Mbak Yuli. Mas tahu, kan, dari dulu Mbak Yuli nggak suka sama kita? Mbak Yuli nggak suka sama aku! Harusnya Mas lebih ngerti gimana watak Mbak Yuli!""Lalu apa hubungannya sama kehamilanmu? Kamu mau jelek-jelekin Mbak Yuli?" tuduh Agus."Mbak Yuli fitnah aku, Mas!" Air mata Romlah membanjir."Stop, Rom! Aku nggak percaya sama kamu! Jangan membuat cerita palsu untuk menutupi kesalahanmu!" pekik Agus."Ya udah kalo kamu lebih percaya sama omongan Mbak Yuli. Sepuluh tahun kita nikah, apa kamu pernah belain aku di depan keluarga kamu? Nggak pernah ‘kan! Kamu lebih percaya keluarga kamu dari pada istrimu!" Emosi Romlah kini memuncak.Tak ingin pertengkaran semakin menjadi, Romlah menutup sambungan teleponnya. Dilempar benda pipih itu ke sembarang tempat.Ia bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Ya, menurutnya dalang di balik semua ini adalah Yuli.Digedor dengan keras pintu rumah Yuli. Rasa hormatnya kini telah hilang entah kemana. Tak dihiraukan lagi apa kata orang."Siapa, sih, bertamu ke rumah orang nggak sopan banget!" gerutu Yuli yang baru keluar dari dalam rumahnya."Keluar, Mbak!" teriak Romlah dari luar diiringi gedoran pintu yang semakin lama semakin menusuk telinga."Ada apa, sih?" tanya Yuli begitu pintu dibuka."Mbak Yuli yang ngadu ke Mas Agus tentang kehamilan ku, kan!" tegas Romlah. Jarinya menunjukan tepat di wajah Yuli."Iya, ada yang salah?" ketus Yuli. Kedua tangannya dilipat di depan dada."Kenapa, Mbak bilang kalau aku selingkuh?" teriak Romlah hingga mengundang perhatian tetangga sekitar.Beberapa orang bahkan telah mengerubungi Romlah dan Yuli."Loh, kalau kamu nggak selingkuh nggak mungkin kamu hamil, sedangkan Agus udah beberapa bulan nggak pulang!" kelakar Yuli.Mendengar perkataan Yuli, tangan Romlah reflek menamparnya. Meninggalkan bekas merah dan rasa panas yang menjalar ke pipi kakak iparnya itu. Emosinya tak dapat lagi dibendung."Dijaga mulutnya, Mbak!" jerit Romlah.Tak terima mendapatkan tamparan, Yuli pun menjambak rambut Romlah. Untung saja banyak tetangga yang datang dan melerai aksi perkelahian Romlah dan Yuli.Yuli ditarik oleh suaminya agar masuk kedalam rumah, sedangkan Romlah dihalau oleh warga sekitar dan dibawa menuju rumahnya."Awas kamu, Mbak!" teriak Romlah sebelum akhirnya ia berada di dalam rumahnya.Ditenggak habis segelas air putih yang diambilkan oleh tetangganya. Pikiran Romlah kacau. Bahkan ia tak mempedulikan Riska yang sendari tadi menangis.Tak ada yang berani bertanya penyebab pertengakaran Romlah dan Yuli. Mereka hanya sesekali saling berbisik. Seorang Ibu berinisiatif membawa keluar Riska, agar Ibunya dapat lebih cepat menenangkan diri.Tangis Romlah tak juga berhenti. Keputus-asaan menghampiri dirinya. Kini tak ada lagi alasan ia mempertahankan rumah tangganya. Setelah sekian lama bertahan diantara ipar dan mertua yang tak menyukainya, akhirnya kini ia nyaris menyerah. Suami yang ia bangga-banggakan ternyata kini tak lagi membelanya dikala Yuli menejelek-jelekan dirinya.Setelah dirasa cukup tenang, beberapa tetangga mulai pulang kerumahnya masing-masing. Ibu Ida--tokoh yang disegani warga- menawari Romlah untuk menginap di rumahnya, tetapi Romlah menolaknya."Ibu pulang dulu ya, Neng. Kalau dirasa ada yang ingin dibicarakan sama Ibu, datang aja ke rumah," pamit Bu Ida.Kini tinggallah Romlah dan anak-anaknya. Dipandangi wajah Angga dan Riska bergantian. Rasa sesak terasa, ketika mengingat lagi pengorbanan yang ia lakukan untuk rumah tangganya.Tangan Romlah terasa perih karena terkena kuku Yuli. Namun, rasa perih itu tak sebanding dengan perih hati Romlah. Ia benar-benar merasa sendiri menanggung beban ini.Pagi hari setelah Angga berangkat ke sekolah, Romlah memutuskan untuk mendatangi rumah Ibu Ida. Sepanjang malam memikirkan hubungannya dengan Agus, juga soal fitnah yang disebabkan oleh Yuli, membuat dadanya sesak. Ia bingung harus bercerita kepada siapa, lalu teringat olehnya tawaran Ibu Ida semalam."Assalamualaikum," ucap Romlah sembari mengetuk pintu."Waalaikumsalam. Eh, Neng Romlah, masuk, yuk," ajak Bu Ida.Mereka masuk ke dalam, lalu duduk di sebuah sofa empuk yang berwarna hitam. Tak lama, seorang wanita paruh baya datang membawakan minuman.Selain disegani, Ibu Ida termasuk salah satu orang terkaya di desa ini. Suaminya mempunyai beberapa mini market yang tersebar di beberapa daerah. Anak Bu Ida hanya ada satu, dan tengah menempuh pendidikan di pondok pesantren yang terletak di pusat kota.Setelah berbasa-basi, Romlah pun menceritakan semua permasalahan yang akhir-akhir ini menimpanya. Mulai dari kehamilan yang tak terduga, tentang fitnah Yuli, juga tentang suaminya yang lebih percaya kepada keluarganya."Sabar, Neng. Ini hanya ujian untuk rumah tangga kalian,” tutur Ibu Ida setelah Romlah selesai bercerita."Tapi, aku udah nggak kuat, Bu. Rasanya aku pengen pisah aja sama, Mas Agus," keluh Romlah, ia menahan air matanya yang sedari tadi ingin menetes."Dipikirin lagi, Neng. Anak-anakmu masih kecil. Mereka masih butuh sosok ayah. Sekarang kamu masih emosi, coba nanti dipikirin lagi, ya. Saran Ibu, lebih baik dibicarakan dulu baik-baik dengan Agus. Jika setelah dijelasin, Agusnya tetep memihak kepada keluarganya, baru boleh kamu ambil keputusan," saran Bu Ida. Gaya bicara Ibu Ida yang hangat membuat Romlah teringat ibunya yang berada jauh di seberang.Walaupun belum mendapat solusi atas permasalahannya, Romlah sudah cukup merasa lega. Ia sangat bersyukur karena masih ada orang yang peduli dengan dirinya.Sedikit banyak, Romlah menyerap apa yang disarankan oleh Bu Ida tadi. Menjelaskan sekali lagi pada suami yang jauh di sana bahwa tak ada pengkhianatan di antara mereka. Namun, jika Agus tetap tak mempercayai dirinya, apa boleh buat? Maka keputusan besar akan diambil oleh Romlah walau itu hal yang berat untuknya, dan untuk keluarga kecilnya.Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
Bagi sebagian orang, mereka akan merasa antusias ketika hendak pulang kampung. Namun, hal itu tidak terjadi pada Agus. Anak kedua dari ibu Siti itu justru merasa bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan istrinya nanti.Rasa tidak tenangnya terlihat sekali ketika Agus beberapa kali merubah posisi duduknya. Bahkan, sepanjang jalan ia tak dapat memejamkan matanya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar enam belas jam, akhirnya ia tiba di tempat pemberhentian bis terdekat dari desanya. Walaupun ia masih harus memesan ojek untuk sampai ke tempat tinggalnya.Tepat pukul 05.00, Agus menginjakkan kaki di desa tempatnya dilahirkan. Di depan pintu kini lelaki itu berdiri. Ingin sekali rasanya segera masuk ke dalam rumah sederhana yang telah ia bangun bersama istrinya delapan tahun lalu. Di dalam rumah ini juga, perjalanan keluarga kecilnya dimulai."Bapak!" Seorang bocah berumur delapan tahun yang baru saja bangun tidur menghampiri Agus. Entah berapa lama ia termenung
Agus bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Siti yang khawatir dan penasaran pun mengekor di belakang Agus. Ia tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan.Agus hanya butuh penjelasan perihal kebohongan kakak perempuannya itu. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi rumah Yuli. Namun, begitu begitu sampai, ternyata rumah Yuli tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibu dua anak itu.Agus berbalik dan kembali ke rumahnya. Ibunya masih berada di belakangnya. Terlihat Siti menghela napas lega. Entah apa yang di sembunyikan Siti dan Yuli. Ada banyak pertanyaan yang ingin Agus tanyakan kepada kakaknya."Ibu pulang aja dulu. Aku capek pengen istirahat!" ucap Agus ketika melihat ibunya mengikuti dirinya masuk ke dalam rumah."Ibu kangen sama kamu, Nak!" Siti cemberut. Ia tak terima karena merasa dirinya diusir oleh anaknya sendiri."Iya, Bu, aku ngerti. Nanti, kan, aku ke rumah Ibu." Agus merasa risih karena terus dibuntuti oleh ibunya.Siti pun jengkel, dan meninggalkan rum
Kesehatan Romlah perlahan mulai membaik. Semenjak suaminya pulang, ia benar-benar dapat beristirahat dengan tenang. Agus selalu memanjakan Romlah. Apapun yang diinginkan Romlah pasti akan dilakukan.Sore itu, Yuli sedang mencari Agus, entah ada perlu apa. Begitu masuk ke dalam rumah, ia melihat Angga tengah memainkan tab android barunya."Wah, baru itu tabnya Angga?" tanya Yuli yang langsung duduk di sebelah Angga."Iya, Bi. Baru di beliin bapak," jawab polos bocah delapan tahun itu."Bapakmu uangnya banyak ya, Ngga." Yuli meraih benda berbentuk kotak itu dan mengamatinya."Iya lah, Bi. Bapak, kan, baru pulang dari Jakarta, pasti uangnya banyak." Angga kembali memainkan tab yang baru saja dikembalikan oleh bibinya."Bilangin ibu sama bapak. Kalau punya duit, mendingan buat bayar utang! Bukan buat belanja terus!" Siti sengaja berbicara dengan keras agar didengar oleh Romlah."Emangnya ibu punya utang sama siapa, Bi?" Siswa kelas dua sekolah dasar itu penasaran."Ah udahlah! Kamu nggak
Tak terasa kehamilan Romlah kini telah memasuki perkiraan bulan kelahiran. Berat badan Romlah pun bertambah drastis, tetapi ia tak mempermasalahkan dengan itu. Wanita yang kini memakai daster batik berwarna hijau kombinasi putih itu selalu menikmati setiap proses kehamilannya.Setelah berbelanja aneka sayuran, Romlah segera bergegas ke dapur untuk memasak. Kebetulan Riska juga tengah tidur setelah ia suapi bubur instan yang telah dibelinya dari warung.Di saat ia sedang mengupas bahan sayuran yang akan dimasak, ia merasakan keram di perut bagian bawah. Rasa keram bercampur mulas datang bersamaan. Di saat itu pula Romlah merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuh bagian bawahnya.Romlah meraba daster pada bagian bokong, dan benar saja, kini dasternya dalam keadaan basah. Istri dari Agus ini sesekali mengatur napasnya. Ia berusaha tetap tenang dan tidak panik.Karena rasa keram dan mulasnya hanya datang kadang-kadang saja, ia masih bisa beraktivitas. Walaupun kadang harus berhenti sej
Tiga hari menjalani masa penyembuhan di rumah sakit telah Romlah lewati. Hari ini dokter telah mengijinkan ibu dan bayi perempuan yang diberi nama Naura itu untuk pulang ke rumahnya.Akan tetapi, ada yang berbeda dari Agus. Ia tampak lebih pendiam dari biasanya. Sebenarnya Romlah telah menyadari hal itu, tetapi ia tidak ingin berpikir buruk terhadap suaminya. Ia beranggapan mungkin suaminya kelelahan karena menjaga dia dan bayinya yang baru berumur tiga hari seorang diri.Pagi tadi, Agus telah meminta tetangganya yang mempunyai mobil untuk menjemputnya di rumah sakit. Namun, setelah Romlah tahu jika mobil yang digunakan hanyalah mobil pick up, Romlah pun menolak untuk pulang bersamanya dengan alasan bayinya tidak nyaman.Romlah akan pulang jika mobil yang dipakai untuk menjemputnya adalah mobil yang bagus, minimal memakai ac. Padahal maksud agus juga baik. Walaupun mobil pick up, masih muat jika hanya untuk membawa dirinya, Romlah dan bayinya untuk pulang ke rumah. Apalagi kini ia har
"Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s