“Aw!” suara Noah membuat sepupunya terbangun.
Ricky dan Ben semalaman berjaga di rumah sakit menungguinya.
“Noah, kamu sudah siuman?” tangan Ben terasa kaku karena semalaman tidur di posisi duduk dan kepalanya disangga oleh tangannya di atas ranjang.
“Aku… kepalaku masih pusing dan perutku sakit…” keluhnya.
“Setidaknya kamu sudah siuman. Aku akan memberi kabar Kakek dan yang lain. Biar Ben yang menunggumu di sini…”
Ricky pergi keluar IGD dan tinggallah dia berdua dengan Ben saja.
“Apa kamu mengingat kejadian semalam?” tanya Ben penasaran.
Penyesalan terlambat saat dia tahu saudara sepupunya sudah ambrug dan tak sadarkan diri. Orang di sekitarnya pura-pura tak tahu menahu saat ditanyai.
“Aku tak ingat apapun.” Dia tak sepenuhnya berkata jujur.
Ada bagian yang dia samar-samar ingat, yaitu ketika bertemu Aliesha. Meski dia tahu itu
“Tidak perlu basa-basi, mau apa datang ke sini?” Aliesha sengaja memasang wajah garang, karena baginya orang ini bukan keluarganya lagi. Namanya telah dicoret dari benaknya. “Aliesha… kenapa kamu jadi kasar begini?” Soraya dengan tak tahu malu mengelus tangan anak tirinya. “Cepat katakan saja apa urusanmu! Aku sibuk.” Lanjutnya dengan mata memandang ke arah lain. Intinya dia muak dengan keberadaan ibu tirinya itu dan tak ingin melihat wajahnya. “Tak bolehkah aku menjenguk ayahmu? Mau bagaimanapun, dia adalah suamiku.” Serunya dengan nada sombong dan penuh percaya diri. Meski sudah meninggalkan ayahnya, sepintas tak ada yang berubah dari penampilannya. Masih saja glamor dan mewah. Hanya saja, sekarang Soraya berdandan dengan pakaian serba berani dan menampilkan aura yang lebih muda. Aliesha yakin pasti ibu tirinya sudah mendapatkan mangsa baru untuk dijadikan ATM hidup. “Suami? Masih ingat punya suami??”
“Maksud Bu perawat, Non Aliesha sedang hamil?” Lastri bertanya sekali lagi. Apa jangan-jangan dia salah dengar atau salah tafsir tadi! Perawat itu mengangguk dan tersenyum, “Iya, saya ucapkan selamat. Pasien sudah siuman sekarang. Tapi jangan terlalu banyak diajak bicara.” “Baik, Bu. Terima kasih banyak…” “Kalau sudah siuman, nanti beri tahu pada pasien. Nah, selanjutnya kitab isa cek lebih lanjut mengenai kondisi bayinya lewat USG.” Lastri lemah lunglai. Dia bingung bagaimana menjelaskan ini nanti pada Aliesha maupun ayahnya. Bayangan tentang Noah dan Aliesha muncul. Keduanya sudah resmi berpisah dan jelas tidak mungkin dia menghubungi Noah atas kabar ini. Imajinasinya tentang majikannya menjalin hubungan dengan Ben kandas sudah. Mana mau seorang lelaki single setampan dan sekaya Ben berhubungan dengan wanita hamil tanpa suami seperti Aliesha?? Berbagai pikiran buruk itu memenuhi benak Lastri yang hanya seorang pembantu. Dia tak punya kuasa. “Bibi…” panggil Aliesha lemah. “
Lastri nampak kesulitan membawa barang belanjaannya. Aliesha berpesan untuk dibelikan buah-buahan dan susu. Jadi dia harus belanja lebih banyak. “Perlu saya bantu, Bi Lastri?” Seperti sedang bertemu hantu, Lastri hampir saja melompat saat melihat sosok itu dari belakang. “No-Noah?” Ucapnya gagap dan tak percaya pada matanya sendiri. Di luar dugaan, dia bertemu lelaki tampan itu di supermarket. “Ya. Ini aku.” Seolah tak merasa bersalah sama sekali dan tak pernah terjadi apa-apa, Noah menyapanya dan dalam keadaan baik-baik saja. Lastri secara otomatis teringat pada janin yang kini telah tumbuh di rahim majikannya. Yang sampai saat ini Lastri belum juga mengatakan hal itu pada Aliesha. Sudah dua minggu sejak insiden di rumah sakit, tapi masih saja ia bungkam. Dia ingin marah dan memprotes kepergian Noah, tapi apa daya… dirinya hanya seorang pembantu. “Ke mana saja kamu?” tanya Bi Lastri. Mes
Lastri terdiam lagi. Baginya ini adalah pertanyaan tanpa jawaban. Siapa yang tahu mana yang benar dan mana yang salah. “Non, istighfar…” itu saja yang diucapkannya pada Aliesha. “Bibi tahu sendiri kan ya, siapa ayahnya. Setelah aku menanggung penderitaan, kenapa Tuhan masih menambahkannya lagi dengan menitipkan anak ini padaku?” Lastri memeluk Aliesha kuat-kuat. Dia tahu sebagai wanita, tentu perasaan majikannya sedang hancur berkeping. “Apapun yang terjadi, Non Aliesha harus berpikiran positif. Kasihan janinnya.” Menurut perhitungan Lastri, bisa jadi janin itu sudah berusia hampir empat bulan. Sudah bernyawa. Aliesha menyesal mengapa baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika dia tahu lebih awal, dirinya bisa melakukan antisipasi atau sesuatu. “Aku harus bagaimana, Bi? Kehidupan kita nyaris jauh berbeda dengan yang dulu. Semua kita harus berusaha keras dan bekerja dari nol…” keluhnya. Merawat a
Tidak mudah untuk melakukan apa yang disarankan Lastri. Bicara pada Noah? Lalu membiarkannya menertawakan Aliesha karena ini terjadi akibat kecerobohannya! Tentu itu tak akan pernah terjadi. Aliesha paham betul bagaimana sejatinya watak mantan suami berondongnya itu. Noah masih berusia dua puluh enam tahun. Yang jelas, di usianya sekarang, dia belum mau terikat apalagi bertanggung jawab. “Kupikir itu tidak perlu, Bi.” Aliesha mengungkapkan pendapatnya. Ini adalah hidupnya, bukan orang lain. “Tapi, Non. Anak ini adalah anak Noah juga. Dia juga harus tahu itu. Membesarkan seorang anak tidak semudah tutorial di internet, Non.” Papar Lastri mengingatkan. Dia sudah pengalaman bagaimana beratnya menjadi orang tua membesarkan anak sendirian. “Bi, Noah sudah terang-terangan bilang kalau menikahiku hanya karena harta. Lalu dia sendiri dengan mulutnya itu bilang kalau tidak ada gunanya lagi menikahiku! Karena aku bukan siapa-siap
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Noah membalas Celine dengan serangan ganasnya. Dia adalah lelaki yang sudah pernah menikah. Selama berpisah dari Aliesha, tak pernah sekalipun dia menyentuh lawan jenis. Termasuk Celine. Dia melumat bibir Celine layaknya singa yang berbulan-bulan berpuasa. “Awww…” Celine mengerang dengan penuh kepura-puraan. Sejatinya dia hanya ingin sebuah perhatian dan sensasi. Itu saja. “Noah, pelan. Pelan…” Tak seperti Eros yang setiap kali menyentuhnya seperti seonggok pohon pisang, Noah lebih aktif dan menantang. PLAK! Noah seperti ditampar. Kenapa di saat seperti ini dia teringat wajah lugu Aliesha? Haruskah dia berhenti sekarang? “Celine, maafkan aku!” dia beranjak melepaskan tubuh Celine dari cengkeramannya. “Aku minta maaf. Aku tidak bisa!” Nafasnya terengah-engah. “Noah, ada apa?” Celine masih tidak terima. Bagaimana mungkin ada orang yang menolak godaannya?
“Aku harus turun ke bawah.” Aliesha bergegas memakai baju dalaman dan sebuah terusan midi dress di luarnya. “Biar aku bantu.” Ben menggunakan tangan kanannya untuk menarik resleting baju yang dikenakan Aliesha. “Thanks.” Keduanya turun secara bersamaan. Dengan penuh perhatian, Ben memegangi Aliesha yang menuruni tangganya. “Bagaimana Alex?” “Itulah, Bu Aliesha. Ada klien atas nama Anne yang tadinya order desain butik. Awalnya semua baik-baik saja. Kami sudah kirim semua gambar dokumennya dan pembayaran sudah dilakukan. Sekarang, dia complain kalau gambar layout tidak sesuai lalu desain ukurannya salah. Dia marah-marah minta ganti rugi.” Aliesha mengecek kembali pekerjaan anak buahnya. “Seingatku dia dulu harus selesai bulan ini karena mau soft launching butik barunya.” Dilihatnya lembaran demi lembaran print out pekerjaan sebagai back up data perusahaan. “Bukannya dulu kita langsung mengukur ke sana ya, Bu?” seru Alex. “Ini proyek pertama yang saya kerjakan di saat bekerja di
Pernyataan Ben di saat dirinya diterpa masalah, tak membuat hidupnya mudah. Di sisi lain, Aliesha harus menjaga diri dan janin yang dikandungnya. “Ben, aku sudah berulang kali mengatakan kalau aku bukan gadis. Harus berapa kali lagi aku katakan padamu?” Lirih Aliesha yang masih terjaga meski waktu sudah sangat larut. Di malam yang semakin pekat, pembicaraan mereka terasa dari hati ke hati. “Aku tidak butuh status virgin atau tidak, Aliesha. Aku hanya butuh seorang wanita yang sempurna seperti dirimu.” Terangnya dengan ekspresi menyangatkan. “Bagiku sama saja kalau kamu virgin atau tidak. Yang jelas, kamu masuk di kriteria wanita idamanku. Memang aku tak seberuntung lelaki yang mendapatkan mahkotamu!” tambahnya lagi. Kenapa pernyataan yang tulus ini membuat Aliesha semakin bersedih? Dirinya juga merasakan hal yang sama. Secara usia, Ben memang lebih matang dari pada Noah. Usianya hanya terpaut setahun lebih muda darinya. Pemikiran Ben juga sangat dewasa. Dia kenal betul siapa Be
Beberapa tahun kemudian..."Aku sungguh bangga kepadamu!" Kakek menepuk pundak cucu kebanggaannya yang telah berhasil membuat perusahaannya menjadi semakin besar dan sukses hingga ke kancah internasional."Terima kasih, Kakek. Ini semua tak lepas dari bantuan Kakek serta Ricky juga." Ucap Noah sambil menepuk bahu sepupunya.Keduanya memang diberikan mandat untuk memegang perusahaan milik McLaren yang tak main-main asetnya kini."Sama-sama..." Ricky nampak tersenyum dan rupanya di sebelahnya sudah ada seorang wanita cantik bertubuh seksi yang menggamit lengannya."Apalagi sejak ada Cassandra, kamu semakin bersemangat bekerja, Ricky. Tidak sia-sia perjuanganku menjodohkanmu dengan dia..." Kakeknya tertawa."Kakek, terima kasih sudah memperkenalkan saya pada Ricky. Dia adalah lelaki terbaik dan sempurna yang pernah saya ketahui..." Cassandra mengucapkannya dengan tulus.Sedangkan Noah masiih nampak diam tak bereaksi saat orang di sekelilingnya menikmati perbicangan. Sudah hampir tiga tah
Masih dengan mulut yang terkunci rapat, Tuan Martin tak bisa merespon."Apa katamu?" Itu saja kalimat yang bisa dia katakan saat tahu Noah meminta maaf padanya.Dosanya terlalu banyak, dia harus memastikan Noah meminta maaf dalam hal apa dulu ini."Iya, saya minta maaf telah menuduh Om Martin sebagai penyebab Ben celaka dalam kematiannya itu. Saya mewakili keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya..." Kata Noah sambil menundukkan kepala.Tuan Martin mengamati pemuda itu. Tak ada unsur yang dibuat-buat apa lagi pura-pura. Dia terlihat sangat serius dan tidak main-main.Ini di luar ekspektasinya, jelas tak mungkin seorang searogan dan sesombong Noah mau merendahkan diri untuk meminta maaf."Aku sudah tak bisa percaya apapun yang keluar dari mulutmu, McLaren!" Bentak Tuan Martin.Anehnya, Noah tak bereaksi frontal meski Tuan Martin sudah memancing amarahnya dan bahkan menghina perilakunya saat meminta maaf begitu."Apa yang harus aku lakukan sehingga Om Martin mempercayaiku?" Noah namp
Noah mendengarkan apa yang dijelaskan oleh pihak kepolisian dengan seksama. Rasanya seperti tak percaya saja dengan apa yang mereka jelaskan.Betapa dia selama ini telah merasa bersalah karena meminjam mobil sepupunya itu sementara mobilnya dikenakan oleh Ben."Tidak ada hal yang mencurigakan selain memang proses perbaikan yang belum selesai." Kata polisi itu mengulangi penjelasannya."Lalu, apa sepupu saya tahu soal mobil yang belum selesai itu?" Noah masih penasaran. "Kata pihak bengkel mobil yang menjalankan pembenahan terhadap mobil itu, korban sudah diberi tahu soal pekerjaan yang belum selesai tapi tetap saja katanya ingin dipakai secepatnya dan dia tak bisa menunggu lebih lama lagi." Jawab polisi itu.Tuan Martin dan Noah saling berpandangan karena merasa saling tuduh satu sama lain. Mertua Ben itu masih mengira kalau Noah sengaja menjebak Ben dengan membiarkan mobil yang masih setengah selesai dikerjakan itu agar dikemudikan oleh menantunya.Padahal jelas-jelas hal itu memba
"Noah, apa yang terjadi?" Aliesha bertanya sambil merangkul sosok di depannya itu.Tangannya gemetar karena membayangkan hal yang tak diinginkan."Cepat jaga Nona Aliesha!" Noah mendengar suara beberapa orang yang berlarian di lantai dua namun dia belum berani membuka pintu."Nona Aliesha, ini kami. Jangan keluar dulu karena di luar masih berbahaya." Rupanya itu adalah pengawal ayahnya."Apa yang terjadi?" Noah bertanya dari balik pintu namun masih menjaga jarak agar tak langsung berada di depan pintu. Khawatir kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."Orang yang dulu disuruh menembak mobilmu, Noah, dia membalas akan menembak Tuan Martin. Tapi beruntunglah tembakan itu meleset dan dia sudah ditembak di tempat oleh pengawal lain..." Jelasnya."Saat kami berdua naik ke atas tadi, dia memang akan melarikan diri ke sini, jadi kami berinisiatif untuk mengamankan Nona Aliesha..." Jawab yang lain."Baik, terima kasih. Kami baik-baik saja. Tolong jaga kami selagi... kami masih di dalam
"Kesalah pahaman bagaimana?" Noah mulai terlihat menegang. Dia tak yakin akan siap dengan apa yang akan dia dengar nanti."Saat itu seingatku memang Tuan Martin sudah mengincarmu..." Bi Lastri masih menunggu reaksi Noah.Jika dia rasa nanti Noah akan bereaksi hiper, maka Bi Lastri akan berhenti bercerita."Mengincar?" Noah bertanya namun terlihat kalau dia masih ingin mendengarkan cerita selanjutnya."Setidaknya itu yang bisa aku ceritakan padamu sekarang..." Bi Lastri masih belum mau menceritakan lebih lanjut.Sepertinya memang ada hal yang masih dia tutup-tutupi. Dia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya."Kumohon ceritakan saja sekarang, Bi. Aku tidak yakin apakah setelah ini kita memiliki waktu atau tidak untuk bertemu." Noah sengaaj menakuti Bi Lastri agar dia memang membuka semua yang ia tahu saat ini juga."Apa maksudmu? Apa setelah ini kamu mau pergi dari sini?" Bi Lastri tentu terkejut."Iya..."Langit yang tadi gelap kini sudah berubah lebih mencekam karena badai yang dira
Noah berjalan keluar dari kamar Aliesha.Pikirannya masih kalut dan berkabut. Antara diri dan nafsunya saling bertarung. Tak seharusnya di saat-saat berkabung begini dia mencari-cari kesempatan untuk mendekati adik iparnya itu."Noah, kamu belum tidur rupanya..." Bi Lastri tampak kaget ketika keluar dari kamar Tuan Martin dan bertemu dengan Noah yang juga baru saja keluar dari kamar Aliesha."Aku? Aku tidak mungkin tidur jam segini. Lagipula Aliesha sudah tertidur jadi aku pikir lebih baik aku keluar dan... sebenarnya aku ingin bicara denganmu!" Kata Noah.Bi Lastri langsung meletakkan telunjuknya di antara dua bibirnya."Sebaiknya jangan di sini. Ayo, kita turun ke bawah saja!"Bi Lastri mengajaknya untuk segera mencari tempat yang lebih privat untuk bicara. Noah tentu saja menurut dan mengikutinya.Setelah mereka sampai di pavilion bawah, Bi Lastri memastikan tidak ada orang yang mengikuti mereka.Lalu dia membuka dan masuk ke dalamnya."Aku sebenarnya ingin mengatakan sesuatu!" Bi
Setelah mendengar permintaan Aliesha untuk membiarkan Noah menemaninya di rumahnya, tentu saja Tuan Martin semakin meradang.Matanya melotot dan menunjuk-nunjuk anak perempuannya itu."Apa maumu? Kamu sudah memasukkan kembali racun dan duri ke dalam rumahku!" Tuan Martin tidak terima.Baginya kalau boleh memilih, hanya Benedict saja yang ia anggap sebagai menantu. Meski dia juga sama-sama berasal dari keluarga musuh bebuyutannya."Aku tidak salah dalam meminta, Ayah. Aku ingin Noah tinggal bersamaku di sini." Aliesha menyeret kopernya dan dibawanya masuk ke dalam dengan susah payah."Noah, kenapa kamu diam saja? Ikuti aku!" Noah hampir tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Baru beberapa detik yang lalu Aliesha seolah menjadi singa yang kepalaran dan hampir mati dengan tak punya tenaga melawan.Kini, tiba-tiba mantan istrinya itu sudah menjelma seperti singa wanita yang pemberani dan siap melawan apapun yang menghadangnya.Noah melihat sekilas wajah Ayah Aliesha yang mas
Aliesha mengaitkan kedua lengannya dan melipatnya di depan dada.Ada rasa berat saat dirinya meninggalkan rumah ini sekarang. Dulu, dia bersikeras ingin segera pergi dari sini dan meneruskan hidupnya di rumah yang berhasil ia bangun dengan mimpinya sambil membesarkan usaha yang dia rintis.Kini, entah sejak kapan rasa memiliki itu mulai muncul.Rasanya berat saat Ben sudah tak ada lagi. Apakah dia masih bisa menyebut sebuah bangunan itu sebagai sebuah rumah? Rasanya tidak saat Ben tak ada lagi di dalamnya.Dan tempat terakhir yang Aliesha rasakan sebagai rumah adalah rumah Kakek, yang dirinya akhrinya terusir juga untuk pergi.Memang tak ada yang abadi di dunia ini.Aliesha tahu itu."Apa kamu baik-baik saja?" Suara Noah yang lagi-lagi membuatnya kembali menjejakkan angannya ke bumi.Wanita berbaju hoodie yang ukurannya oversize itu hanya mengangguk dan sorot matanya kosong.Saat ini, Noah juga sama-sama hancur tapi satu hal yang dia pegang yaitu kalimat Ben yang menitipkan Aliesha se
"Aku tidak mau tahu, suruh perempuan itu pergi dari ini!" Suara kakek menggelegar sehari setelah Ben dimakamkan.Tangannya sampai gemetaran saat mengucapkan hal itu pada pengawal dan beberapa orang pembantunya."Tapi, Tuan..." Itu kalimat yang ingin disampaikan oleh pembantu, tapi tetap saja dia tak berani berkata apa-apa karena majikannya lah yang menggaji setiap bulan.Untuk sementara dia harus berdiam diri dan tidak menyanggah apapun yang diperintahkan oleh sang majikan."Cepat kemasi barang-barangnya dan aku tidak mau melihatnya keluyuran di sini lagi!" Kakek semakin membabi buta dan marah sejadi-jadinya."Ba-baik Tuan, kami akan membawanya pergi dari sini.""Jangan sampai ada satu barangnya yang tertinggal. Aku tidak mau di rumahku bau keringat dan jejaknya tersisa di sini. Cepat lakukan!" Kakek bertitah dan kemudian masuk kembali ke ruang kerjanya untuk menyendiri.Baginya kehilangan Ben seperti kehilangan nyawanya sendiri. Seumur hidupnya, cucu yang satu ini teramat menurut dan