Mendengar teriakan dari Jona membuat mata Bella langsung membelalak. Dia pun juga hampir jatuh tersungkur dibuatnya. Lalu ia memukul kursi bagian belakang kemudi yang Jona tempati.“Kamu kenapa sih ngerem mendadak gitu? Apa kamu mau membunuhku?!” geram Bella.“Sorry Bel, sorry. Aku nggak sadar ada gerobak lewat di depan aku,” ucap Jona dengan ekspresi wajah takut.Mita tak kalah kaget. Ia yang tak berdaya hanya bisa menangis. Bella kemudian menoleh ke arah ibunya dan berusaha menenangkan.“Astaga, Ibu. Nggak apa-apa kan, Bu?” tanya bella dengan ekspresi wajah cemas.“Ibu tenang, ya, Bu ya,” lanjut Bella.Mita menjawabnya dengan anggukan. Jona ikut menoleh. Perasaannya semakin bersalah pada wanita setengah baya tersebut. Terlebih Mita juga sudah sangat baik padanya.“Ibu, sungguh Jona minta maaf, Ibu. Jona tak sengaja melakukannya. Ibu percaya kan kalau Jona tidak akan membahayakan keselamatan Ibu?” tanya Jona dengan nada cemas.Mita menggelengkan kepalanya. Lalu mengayunkan tangannya.
Jona terkejut. Ia tersadar dari lamunannya. Lalu menoleh ke arah Dila. “Nggak, nggak. Aku nggak kenapa-kenapa,” jawab Jona. Ia masih asyik memerhatikan Bella.Makanan yang dipesan oleh Bella belum jadi. Masih ada 1 antrian lagi. Akan tetapi dengan konyolnya Jona malah mengajak Bella untuk pergi meninggalkan tempat penjual bubur itu.“Udahlah. Nggak usah beli bubur. Kita cari makanan lain aja,” ucap Jona.Bella menghentikan sejenak aktivitasnya. Lalu menatap ke arah Jona. Ia memiringkan kepalanya menatap Jona, tak mengerti mengapa tiba-tiba Jona bersikap demikian.“Apa maksudmu. Kita tinggal nunggu satu antrian lagi lho. Nggak sabaran banget jadi orang,” omel Bella.“Udah, ayo!” paksa Jona sambil menarik pergelangan tangan Bella.“Eh, eh. Kok ditarik-tarik segala sih?” protes Bella.Bella yang merasa tak enak hati kepada Dila kemudian tertawa canggung. Lalu berpamitan pergi. “Dila. Maaf ya. Aku pergi duluan. Nggak tau nih kenapa Jona jadi aneh gini.”Dila hanya bisa memaksakan senyumny
Jona dengan sigap pasang badan menutupi badan Bella. Dan akhirnya dia yang terkena cipratan air yang berasal dari genangan di jalan. Bella membelakakan matanya atas aksi yang Jona lakukan untuknya. Sementara Jona memejamkan matanya.Suasana sempat hening sesaat. Sampai suara Ibu yang menjual sarapan membuyarkan lamunan mereka. “Gimana sih itu mobil?! Hati-hati dong, ngenain orang nih!” omelnya. Akan tetapi pemilik mobilnya mana dengar. Karena sudah terlanjur melaju dan tak memedulikan kekacauan yang dibuatnya.“Astaga Jona. Baju kamu kotor dan basah,” ucap Bella sambil memegangi lengan dan punggung Jona yang basah secara bergantian.Jona menghindar. Karena tak ingin Bella ikut kotor dan basah. “Udah, udah. Jangan pegang nanti kamu ikutan kotor. Aku nggak apa-apa kok.” Jona berbohong.“Nggak apa-apa gimana. Baju kamu basah kayak gini,” sahut Bella dengan nada cemas.“Kita kan mau pulang. Jadi nggak masalah nanti sekalian mandi,” kilah Jona.“Okey,” sahut Bella berusaha mengikuti kemaua
“Aku juga nggak tau dari siapa. Nomornya nggak tertera di kontak ku,” jawab Bella.Jona hanya manggut-manggut mengerti. Sementara Bella yang hampir menggeser tombol hijau pada layar, memutuskan untuk menundanya. “Lagian kenapa kamu tiba-tiba jadi penasaran gitu sih sama urusanku?” tanya Bella yang baru menyadari rasa penasarannya.“Ya. Aku cuma penasaran aja. Kenapa emangnya nggak boleh?” Jona bertanya balik.Bella diam. Bukan karena tidak tahu jawabannya. Akan tetapi karena ingin mengangkat telepon.“Halo. Selamat pagi. Dengan siapa saya bicara?” tanya Bella saat sambungan teleponnya sudah terhubung.Seperti biasanya, ternyata yang menghubungi Bella adalah calon klien dari Laura. Orang tersebut ingin menawarkan kerjasama dengan Laura.“Perkenalkan saya dari Stasiun Televisi A. Saya ingin menawarkan kerjasama. Apakah Anda bisa ke tempat kami pagi ini?” jawab seseorang dari pihak stasiun televisi.“Maaf, perlu saya informasikan sebelumnya bahwa saat ini artis kami, yaitu Bu Laura sedan
Kalau dijawab tidak tahu pasti membuat Bella menjadi curiga. Rendy juga yakin Bella akan menyuruh Rendy untuk mengangkatnya. Maka Rendy terpaksa berbohong.“Itu klien Ayah. Ayah belum sempat menyimpan nomornya tadi,” jawab Rendy.“Lalu kenapa nggak diangkat, Yah?” tanya Bella semakin penasaran.Sementara Jona hanya bisa diam dan memerhatikan. Lalu Rendy menatap ke arah menantunya tersebut. “Jona. Sebaiknya kamu segera berangkat ke perusahaan aja. Ayah takut kamu bakal kesiangan,” sarannya.Kata-kata ayah Bella memang ada benarnya. Jona mengangguk-angguk setuju. Kemudian berpamitan kepada Rendy. “Iya, Ayah. Kalau begitu Jona berangkat kerja dulu.”Rendy tersenyum. “Iya. Hati-hati di jalan. Dan semoga hari ini pekerjaanmu lancar,” ucapnya.“Iya, Ayah. Terima kasih banyak,” sahut Jona.Rendy mengangguk. “Sama-sama.” Kemudian Jona berangkat bekerja. Di depan ayahnya Bella. Jona berusaha bersikap sewajar mungkin layaknya suami-suami lain yang akan berangkat bekerja. Yaitu berpamitan kepada
Tanpa meminta izin dari Bella. Jona kemudian mengelus perut Bella. Tepat pada bagian yang menonjol. “Astaga! Apa yang kamu lakukan?!” seru Bella karena panik.Jona dengan cepat membungkam mulut Bella. “Jangan berisik. Nanti kalau Ibu tau gimana?” tanya Jona sambil menatap mata Bella.Seketika ruangan itu menjadi panas. Atau hanya Bella saja yang merasakan hal itu. Karena grogi dengan Jona yang berada hanya beberapa sentimeter di depannya.“Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku tak berniat menyentuhmu aku cuma mau nenangin anakmu aja,” ucap Jona.Mulut Bella kelu. Dia tak bisa berkata-kata. Hanya bisa diam. Dan ajaibnya anak di kandungan Bella kini menjadi lebih tenang. Janin Bella tak lagi menendang. Lalu Bella bisa menghela napas dengan lega.“Gimana?” tanya Jona.“Apanya?” Bella bertanya balik karena tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Jona.“Bayi kamu udah diam. Kamu masih ngrasain sakit nggak?” tanya Jona memperjelas pertanyaannya.Bella mengangguk perlahan. “Udah,” jawabn
“Jangan marah,” ucap Jona.Tanpa kata Bella menoleh dengan wajah yang masih menahan kesal.Jona membujuknya. “Aku mau kok,” lanjutnya.Bella melirik ke arah pergelangan tangannya. “Iya, tapi lepasin tanganku,” ucapnya.Jona kemudian melepaskannya. Dan meminta maaf. “Sorry.”Setelah itu Bella berjalan kembali ke ranjang. Jona pikir Bella juga akan ke dapur untuk makan. Ternyata tidak. Jona kemudian bertanya. “Kamu emangnya nggak ikut makan?” “Nggak. Aku udah kenyang,” jawab Bella.“Lho. Katanya tadi mau makan makananku. Yang bener yang mana?” tanya Jona tak mengerti.“Iya itu kalau kamu nolak tadi. Kan mubazir kalau nggak dimakan,” jawab Bella dengan jujur.“Ya udah ayo. Paling nggak kamu kan bisa temenin aku makan,” ajak Jona.“Harus banget?” tanya Jona.“Harus pakai banget,” jawab Jona. Ia bersiap menghampiri Bella dan hendak meraih tangannya. Namun dengan cepat Bella menyadarinya dan menarik tangannya.“Aku bilang jangan pegang-pegang,” protes Bella.Jona mendekatkan wajahnya pada
“Kamu kok terkesan malas berbicara dengan ayahmu sendiri,” sahut ayahnya Jona di ujung telepon.Jona selalu seperti itu. Nampak tidak antusias saat berbicara dengan ayahnya sendiri. Dendam yang ia simpan dari kecil belum bisa Jona musnahkan dari dalam hatinya.“Langsung saja. Kenapa Ayah menghubungi Jojo di pagi buta seperti ini?” tanya Jona yang tak ingin lagi berlama-lama mendengar suara ayahnya.“Apalagi. Ayah hanya menunggu kamu pulang,” jawab ayah Jona.“Iya. Akan Jojo usahakan nanti. Udah dulu ya, Yah. Jojo ngantuk mau tidur lagi,” pamit Jona. Ia terpaksa berbohong. Padahal sejak tadi ia belum tidur.Masih ada 2 setel baju lagi milik Bella. Dengan cepat Jona menyetrikanya. Karena dia tak terbiasa meninggalkan pekerjaan yang tidak tuntas. “Hah… akhirnya selesai juga,” gumam Jona merasa lega. Melihat kasurnya yang empuk Jona rasanya rindu tidur di sana. Akan tetapi sudah ada Bella yang berbaring di sana dengan nyenyaknya. Wanita itu bisa berpikir macam-macam jika dia nekat tidur