"Kita akan melakukan malam pertama," bisik Rafael dengan nada berat, meniup daun telinga Serena secara erotis.
"Lepaskan aku!" Serena memberontak, menyikut perut Rafael lalu berniat kabur dari atas ranjang.Rafael dengan cepat menarik kaki Serena, membuat perempuan itu berakhir tengkurap di atas ranjang. Rafael menyeringai puas, membalik tubuh Serena agar menghadapnya dengan langsung membuka kebaya pernikahan Serena dengan santai."Kenapa? Kau takut sakit, Darling?" kekeh Rafael, mencondongkan tubuhnya ke arah Serena dengan satu tangannya yang menahan kedua tangan Serena untuk tak memberontak dan satu lagi membelai pinggiran wajah Serena secara sensual. "Seharusnya ini tak akan sakit, Baby Girl. Kita sudah pernah melakukannya sebelum ini," bisik Rafael, mendekatkan wajahnya ke wajah Serena -- mencium bibir perempuan itu dengan lembut."Rafael, kau menjijikkan!" pekik Serena marah dan kesal, setelah Rafael melepas pangutan bibir mereka. "Setelah kau tidur dengan Jenner, kau menikahiku. Dan sekarang … hiks … kau ingin menyentuhku?! Aku tidak Sudi!" Serena memekik pada akhir kalimat, terus memberontak dan menangis.Jika bukan karena memikirkan Papanya, Serena tak akan mau menikah dengan Rafael. Pria ini bastard!Di hari dia akan menikah, bisa-bisanya dia tidur dengan perempuan lain?! Dan Jenner sialan itu-- dia mengirim fotonya yang tidur dengan Rafael pada Serena."Syuut!" Rafael menyentak, mengisyarkan agar Serena diam. "Berhenti mengatakan Bullshit dan puaskan aku sebagai suamimu!""Aku tida mau, Rafael. Kau bajingan! Hiks … kau bastard! Harusnya aku kabur dan lari dari pernikahan ini. Kau sialan!" marah Serena, memekik kuat dan benar-benar naik darah karena kelakuan keji Rafael.Tanpa merasa bersalah dan merasa berdosa, Rafael terus menyentuhnya. Bahkan pria ini tak menjelaskan apapun mengenai foto itu, dia tidak merasa bersalah!!"Yes, Baby Girl. Bastard adalah nama tengahku." Rafael berucap serak, menyeringai iblis sembari melancarkan aksi-aksinya -- tanpa peduli isakan dan air mata Serena.Shit! Bagaimana dia bisa berhenti sedangkan tubuh Serena sangat menggodanya dan sangat seksi. Lagipula ini malam pertama mereka. Yah, walau ini yang kedua."Rafael … aku benar-benar tidak mau! Hiks … jangan!" Serena kembali panik dan histeris. Rafael berhasil melucuti semuanya dan pria itu akan melakukannya.Ini menjijikkan! Serena tidak mau! Persetan jika dia menjadi istri durhaka! Memangnya siapa yang ikhlas tubuhnya dijama oleh suami Bastard yang baru saja tidur dengan perempuan lain?"Kau pikir aku peduli, heh?! Terus menangis, Darling. Aku suka suara manismu." Rafael kembali menyunggingkan evil smirk-nya, memperhatikan wajah sembab dan ketakutan Serena -- yang membuatnya semakin terangsang dan tergoda.Serena sangat seksi! And she belongs to Rafael."A--Ah … Sakit! El … sakit!""Jika kau patuh, ini tidak akan sakit."***"Kau ingin mandi, Serena?" tanya Rafael ketika melihat istrinya tersebut telah bangun.Ah, senangnya! Sekarang Serena benar-benar menjadi istrinya dan semua orang tahu jika Serena adalah miliknya.Serena langsung membuang muka. "Bukan urusanmu!" ketusnya dengan duduk secara perlahan.Demi Tuhan! Ini lebih sakit dari yang pertama kali. Tubuhnya serasa remuk, intinya masih perih dan pahanya terasa berat dan kebas. Jika Rafael bilang ini yang kedua dan tak sakit, tapi kenapa Serena merasa ini lebih sakit dari yang pertama?!"Aku bisa membantumu ke kamar mandi." Rafael mengulurkan tangan ke kepala Serena, mengacak pucuk kepala istrinya tersebut secara lembut."Aku tidak butuh bantuanmu! Aku bukan perempuan lemah!" ketus Serena, dia menepis kasar tangan Rafael dari kepalanya lalu melilitkan selimut ke tubuhnya -- membungkus tubuh polosnya dengan selimut dan berniat beranjak dari sana."Auuu …." Serena meringis pelan, padahal dia hanya berdiri dan kenapa se sakit ini."Baiklah, kurasa kau memang tidak butuh bantuanku." Rafael berucap datar, langsung bangkit dari ranjang dan berniat lebih dulu ke kamar mandi."Rafael." Serena menyeru cepat, menoleh ke arah Rafael dengan wajah malu bercampur tak enak."Katakan." Rafael berhenti melangkah, bersedekap sembari menatap datar pada Serena."Kakiku sakit, aku-- aku …-""Cik." Rafael berdecak pelan, menghampiri Serena dan langsung menggendong perempuan itu -- membawanya ke kamar mandi. "Keras kepala dan gengsi!" komentar Rafael setelah memasukkan Serena ke dalam bath up.Serena dan Rafael berjalan bersama, ke ruang makan yang ada di villa keluarga Azam -- jauh dari perkotaan dan berada di perkebunan milik keluarga Azam. Setelah pesta pernikahan Serena dan Rafael, tadi malam mereka semua langsung ke mari. Entah ini pengalihan masalah, tapi berkumpul di villa ini adalah ide Rafael. Dia yang menyarankan keluarga Azam dan keluarga Lucard berkumpul di villa-- dengan embel-embel merayakan kebahagiaan bersama karena telah berhasil mewujudkan impian mendiang Kakek mereka. Yah, Rafael se licik dan cerdik itu! Semua orang bisa ia manipulasi. "Oh, Serena." Serena seketika menampilkan senyuman manis saat Mama mertuanya-- Satiya Adini Azam-- menyapanya. Mommy dari suaminya tersebut menghampirinya dan langsung membawanya untuk duduk di sebuah kursi meja makan -- ruang makan villa tersebut. "Kamu ingin sarapan dengan apa, Sayang?" "Ah, tidak perlu repot, Tante. Aku bisa ambil sendiri," ucap Serena dengan cepat karena tak enak pada Sati. "Mommy dong, Sayang.
Setalah berlibur di villa, Rafael dan keluarganya kembali ke rumah masing-masing. Ada yang berbeda dan terasa baru tentunya, kini keluarga Azam bertambah satu. Serena akan tinggal dengan mereka -- akan satu rumah dan satu kamar tentunya dengan Rafael. "Istirahatlah. Kalian pasti lelah." Satiya berucap lembut, menatap hangat pada menantunya yang wajahnya terlihat sembab. Walau rumah orang tuanya cukup dekat dari sini, namun tetap saja Serena akan merasa sangat sedih karena dia tidak tinggal dengan orang tuanya lagi. Sekarang Serena tinggal dengan keluarga suaminya. "Iya, Tan …- Mommy." Serena berucap kikuk. Melihat Rafael menyalim orang tuanya, Serena juga melakukan hal yang sama. Kebiasaan Rafael dan ketiga adiknya, ketika akan tidur mereka akan pamit dan menyalim orang tua mereka. Tradisi di rumah ini sudah turun temurun sejak jaman Gabriel, Alfa, King dan Xena dulu. 'Nih anak ada sisi terangnya juga. Kirain gelap melulu.' batin Serena ketika memperhatikan Rafael yang bahkan men
"Selamat pagi, Mommy," sapa Serena kikuk dan gugup, memasuki ruang bersama seorang pria yang berjalan lambat di belakangnya. "Pagi, Nak. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" tanya Sati balik, mendapat anggukan pelan dari Serena. "Serena, kenapa kau tidak menyapaku juga? Apa aku transparan?" Gabriel yang juga di sana, menaikkan sebelah alis -- menatap anak sahabatnya yang kini menjadi menantunya dengan sebelah alis yang terangkat. Aneh bocah satu ini! Bisa-bisanya dia terlihat kikuk seperti ujian skripsi saat berhadapan dengan Gabriel begini. Padahal biasanya Serena tak pernah canggung dan selalu enjoy. "Selamat pagi, Paman," sapa Serena dengan malu-malu dan setengah gugup. Demi Tuhan! Dulu dia biasa saja bertemu dengan pamannya ini. Namun entah kenapa sekarang rasanya berbeda, rasanya seolah dia bertemu dengan petinggi negara. Gugup dan berdebar!"Istriku kau panggil mommy dan aku kau panggil paman. Aku ini terlihat seperti suami keduanya, humm?" protes Gabriel tak terima. "O--oh. Selam
"Serena …," geram Rafael sembari menatap layar komputernya. Dia sudah di ruangannya dan dia masih kepikiran dengan Serama tadi. Perempuan itu sepertinya memang tidak merasakan apa-apa padanya. Serena terlalu santai dan bahkan seperti mendukung Rafael dengan Jenner. Tok tok tok"Silahkan." Ceklek'Rafael menoleh ke arah pintu, langsung berdecak kesal karena bukan Serena yang datang. Shit! Dia sangat berharap jika Serena yang akan menemuinya di sini. Sialnya bukan Serena yang datang melainkan Jenner. "Rafael, aku ingin membicarakan sesuatu padamu." Perempuan itu langsung menarik kursi ke sebelah Rafael, kemudian dia duduk di sana sembari memeluk lengan Rafael. "Kamu sudah memberikan akses untukku agar bisa setiap hari datang ke kantormu. Selama orang tuamu tidak datang ke sini, kau bilang aku boleh kan ke sini?""Jadi?" Rafael menaikkan sebelah alis. "Itu kurang, Rafael. Aku ingin-- jika bisa dua puluh empat jam bersamamu." Dengan manja, Jenner menduselkan pipinya ke lengan Rafael.
Rafael pernah dimarahi oleh Daddynya karena ingin pindah rumah. Namun kali ini dia akan membawa Ayah mertuanya dalam masalah ini karena dia yakin Thomas akan berpihak padanya. "Kau boleh pindah tetapi jangan bawa Serena dari rumah!" geram Gabriel sembari menatap Rafael dengan marah. Dia batal ke Paris hanya karena masalah ini. Gabriel sangat takut Rafael membawa kabur Serena. Sebenarnya itu fine-fine saja, toh Serena adalah istri dari putranya ini. Namun, Gabriel takut jika Rafael tak bisa menjaga Serena dengan baik. Rafael lebih bastard darinya dan Gabriel mengkhawatirkan itu. "Daddy, ayolah. Aku dan Serena hanya ingin hidup mandiri, tanpa pengawasan kalian." Rafael berucap lelah. "Rasanya aku hanya menikahi nama Serena saja. Untuk sepenuhnya menjadi suaminya aku tidak bisa. Itu karena kalian!" desis Rafael setengah marah dan frustasi."Kau ini brengsek!" Gabriel berucap sarkas. "See? Bahkan Daddy tidak percaya padaku. Jadi kenapa Daddy dan Papa mengotot menjodohkan ku dengan Ser
"Serena …." Seperti biasa, Rafael akan menyebut nama Serena dengan nada serak dan penuh penghayatan, sembari menyeringai tampan dan dengan berjalan cool ke arah istrinya.Cup'Tiba di depan Serena, Rafael langsung menangkup pipi Serena dan langsung mencium bibir perempuan tersebut dengan enteng dan tanpa merasa berdosa sama sekali. Melihat itu beberapa staff-nya yang berlalu lalang di sana untuk pulang, memekik tertahan serta heboh sendiri. Maxim lebih membuang muka dan mendengkus. Cih, mentang-mentang Rafael dan Serena sudah menikah, pria ini seenak jidat sok romantis."Rafael!" Serena menggeram rendah dan marah, menatap tajam dan memperingati pada Rafael yang seenak jidat menciumnya. "Humm? Kau ingin pulang secepatnya, Darling? Oke." Rafael meraih pergelangan Serena dan langsung menyeret paksa perempuan itu untuk masuk dalam mobil. "Rafael, kamu ini apaan sih?" geram Serena lagi-lagi ketika Rafael memaksanya masuk dalam mobil. Bug'Setelah berhasil memasukkan Serena dalam mobil
"El, kamu jangan macam-macam denganku. Aku bisa mengadukanmu pada Mommy Sati dan Daddy Gabriel. Aku … aku bisa berteriak!" ancam Serena yang sudah sangat panik, meringsut ke dinding dengan perasaan was-was dan tubuh yang sudah membeku serta panas dingin. Bukan hanya dekat, tapi suami bastard-nya ini menghimpit tubuh kecilnya dengan dinding. Sialan! Serena jadi sulit bernafas. "Cih." Rafael berdecis gelik, berakhir terkekeh juga karena merasa lucu dengan air muka serta ancaman Serena. "Kau ingin mengadu apa, Darling? Mengadu jika kau mandi bersamaku?""Si--sinting!" Serena mendelik, semakin meringsut ke dinding -- merasa terancam dengan tubuh besar Rafael yang menghapitnya. "Sekarang kita buka pakaianmu, Darling. Kau akan aku mandikan." Rafael mengulurkan tangannya, menyungkurkan tangan Serena juga yang menyilang di depan dada perempuan itu. Setelah itu dengan sedikit memaksa, Rafael membuka kancing blus yang istrinya pakai. "Rafael, aku bisa mandi sendiri. Keluar dari sini!" cicit
"Suami nggak ada akhlak." Serena mengusap bawah hidungnya yang keluar darah, mimisan karena sebuah insiden yang sampai sekarang masih tak bisa Serena lupakan dari pikirannya. "Kampreto memang!" tambahnya, meraih tissue dan kembali me-lap hidungnya. Dia baru selesai memakai pakaian dan itu semua karena ulah Rafael yang sungguh luar biasa bastard plus tidak ada akhlak. Bisa-bisanya Rafael membuka handuknya di depan Serena, di mana posisinya saat itu Serena sedang berjongkok dan tepat ke …-"Darling, kau melihat handphone ku?" Serena sontak menoleh ke arah Rafael, wajah Serena ditekuk dan air mukanya begitu muram. Setelah pria itu tadi membuat Serena hampir tak bernyawa, Rafael dengan santai memakai pakaiannya. Gilanya dia juga memaksa untuk memakaikan baju Serena. Membantu sih, tetapi Serena bukan anak kecil yang memakai baju saja harus dibantu oleh Rafael. Dan -- itu sangat risih! Tubuhnya dipandangi oleh Rafael si raja mesum. Setelah itu, Rafael meninggalkannya di sini. Lalu balik
Setelah liburan ke Villa kemari, Reigha berangkat ke Paris. Sekarang pria itu tengah di bandara dan Ziea berusaha untuk menyusul. Haaaa, tidak ada yang memberi tahu Ziea jika Reigha ingin ke Paris, karena itu mereka satu pertemanan berlibur ke villa, sebagai tanda pisah dengan Reigha yang berencana akan menetap di Paris. "Setidaknya aku akan memberikan Kak Reigha surat ini, supaya dia selalu ingat denganku," ucap Ziea dengan berlari terburu-buru, ingin menyusul Reigha sebelum pria itu meninggalkannya. Tak ada yang tahu Ziea menyusul Reigha ke bandara karena Ziea pamit ke kampus. Dan bisa dikatakan Ziea nekat ke mari hanya untuk memberikan surat cintanya pada Reigha. "Itu dia, Kak Reigha masih di sini. Yes!!" Ziea memekik bahagia kala melihat Reigha masih di sana, tengah duduk dan sedang fokus pada handphone di genggamannya. Ziea sejenak merapikan penampilannya, mengambil cermin kecil dari tote bag yang dia kenakan lalu bercermin sembari tersenyum manis. Setelah merasa manis dan c
Setelah badai reda, langit kembali cerah dan penuh dengan bintang. Mereka memutuskan untuk berkumpul di luar, menyalakan api unggun, bakar-bakar bersama sembari bercanda. Sayangnya Ziea kurang menikmati, dia tidak cocok dengan suhu yang terlalu dingin dan lagipula dia sudah mengantuk. Walau ada api yang menyala, namun Ziea sudah mengantuk. 'Kalau tahu begini mending aku nginap di rumah Lea,' batin Ziea, sudah menyender lesu di lengan Kakaknya– awalnya menonton drama favoritnya di handphone. Namun, karena sahabatnya mengirim pesan padanya, Ziea seketika beralih bertukar pesan dengan sahabatnya tersebut. --Lea--[Cuk, kamu ngapain dengan Pak Burhan?]Ziea langsung membalas [Chat-mu ambigu, Lea sayang. Aku ngapain dengan Pak Burhan?]--Lea--[Tiga hari aku diterror terus. Dia minta nomor kamu. Kan aneh!! Pasalnya beliau dospemmu, masa nomormu tak ada di dia.]--Ziea--[Nomornya memang aku block. Soalnya aku dendam, Lea. Tapi jangan kasih tahu yah. Bilang saja HP aku hilang.]--Lea--[
"Rei, Ziea di mana?" tanya Haiden ketika melihat Reigha berjalan cepat dan terburu-buru. Untungnya ketika dia memanggil pria itu, Reigha masih menoleh ke arahnya. Namun, tanpa menjawab apapun Reigha langsung melangkah cepat-cepat dari sana, memberikan tanda tanya bagi Haiden dan yang lainnya. "Ada yang tahu dia kenapa?" tanya Haiden yang mendapat gelengan kepala dari pada sepupunya. "Aku tahu." Tiba-tiba saja Melodi muncul dari arah balkon, berjalan ke arah mereka dengan air muka yang terkesan kesal."Maksudmu kau tahu Reigha kenapa?" tanya Haiden, mendapat anggukan dari Melodi. "Ini salah adikmu. Ziea!" kesal Melodi, "sudah kukatakan untuk tak membawa Ziea ikut dengan kita, tapi kalian tetap membawanya. Lihat sekarang, Reigha marah karena ulah Ziea.""Apa maksudmu?!" Haiden menggeram marah, tak terima jika Melodi menyalahkan Ziea."Ya, sebenarnya Reigha sudah tak suka dengan rencana hangout ini saat kalian semua mengajak Ziea ikut. Kemarin sandal kesayangan Reigha– sandal pemberi
Karena paksaan Haiden, akhirnya Ziea ikut hangout dengan teman-teman Kakaknya ini yang tak lain adalah sepupunya. Mereka memilih berlibur ke sebuah villa yang ada diperkebunan keluarga Azam. Percayalah! Ziea merasa asing di sini, dia tak akrab dengan siapapun kecuali Kakaknya. Dan Kakaknya ini sedikit dan rada bangke! Untungnya, Handphone Ziea sudah Haiden kembalikan. Jadi Ziea bisa menghilangkan bosannya. 'Gara-gara Kak Rei menyuruhku menghapus postingan tadi malam, aku jadi takut berdekatan dengannya.' batin Ziea, duduk di balkon villa tersebut sembari menatap ke arah pemandangan yang disajikan di depannya. Tiba-tiba saja, Ziea menjadi kikuk dan gugup. Reigha datang ke balkon kemudian duduk di sisi lain– ujung ke ujung dengan Ziea. Mereka sama-sama duduk bersantai, menyender ke kursi malas dan menghadap ke depan, ke arah pemandangan indah yang penuh dengan pohon jeruk– kebetulan sedang musim panen, di mana jeruk tersebut sudah berwarna kuning ke orange-an. Jadi mempercantik ala
"Tidak ke kampus?" tanya Haiden ketika melihat adiknya lewat– mengenakan kaos berlengan pendek dan celana training panjang. Tak lupa jua, Ziea memakai topi dan sepatu berwarna putih. "Nggak, ini Minggu," jawab Ziea sembari memutar bola mata dengan jengah, melewati Kakaknya dengan begitu saja dan segera keluar dari rumah. "Kau mau kemana?" teriak Haiden, berjalan cepat untuk menghentikan adiknya. "Cik, Kak! Tolong yah! Aku mau depan doang, di taman komplek untuk lari-lari lagi," ucap Ziea, menahan kesal dan dongkol yang memenuhi hatinya. "Tidak boleh. Masuk!" ketus Haiden, melotot tajam ke arah adiknya dan memerintah agar Ziea masuk dalam rumah mereka. "Daddy dan Mommy sedang pergi, jadi kau harus patuh padaku.""Tapi aku mau olah raga, Kak!" Ziea memekik pelan, mencengkeram udara karena kesal tak dibolehkan pergi oleh Kakaknya. "Di taman belakang. Keliling sepuluh kali, itu juga olah raga.""Ze ingin ke taman. Awas!" jutek Ziea, menabrak tubuh Kakaknya dan langsung kabur dari san
"Aku tidak pacaran!" pekik Ziea, sudah berada dalam mobil Kakaknya dan tengah berdebat dengan sang Kakak.Hal yang paling memalukannya adalah ketika Haiden menjewer telinganya dan menariknya ke mobil– di mana di dalam mobil ada Reigha. Sekarang, Ziea semakin malu karena Haiden terus memarahinya dan menuduhnya berpacaran. "Jadi tadi siapa kalau bukan pacarmu? Kenapa kalian bisa berduaan di sana, hah?!" galak Haiden, duduk di sebelah Reigha yang tengah mengemudi. "Teman kampus," jawab Ziea dengan mencicit pelan. "Teman kampus tapi berdua. Malam-malam!""KAK …!" jerit Ziea dari belakang– dia duduk di belakang. "Aaaaaa …," pekiknya kemudian menangis, tak tahan karena Haiden terus memarahinya secara habis-habisan. Paling menyebalkannya adalah Haiden memarahinya di depan Reigha. "Menangis saja terus!" dengkus Haiden menoleh ke arah belakang, melayangkan tatapan marah dan tajam ke arah Ziea– isyarat agar Ziea berhenti menangis. Tetapi bukanya berhenti menangis, Ziea malah semakin menjad
"Yeii … makan!" Ziea memekik senang ketika makanan yang dia pesan telah datang. Haiden mendengkus pelan, menatap sinis bercampur kesal ke arah adiknya tersebut. Namun, percayalah dalam hati pria berusia dua puluh tujuh tahun tersebut menahan rasa gemasnya pada sang adik. Dengan bersemangat dan antusias, Ziea mulai menyantap makanannya. Sedangkan Haiden hanya meneguk kopi dingin yang dia pesan– sembari mengamati adiknya yang sedang lahap makan. DrrtttTiba-tiba saja handphone Haiden berbunyi, dia merogok saku lalu mengeluarkan handphonenya– mengangkat telpon yang ternyata dari Reigha. "Ada apa, Dude?" tanya Haiden ramah, masih memantau adiknya yang tengah asyik makan. 'Kau di mana?' "Di salah satu restoran favorit Ziea, tengah menemani bocah ini makan. Ada apa?" 'Sandalku hilang. Coba tanya apa Ziea menyembunyikannya.'"Cik." Haiden berdecak pelan, menoleh ke arah adiknya yang masih sibuk dengan dunia makanannya. "Oik, Bocah. Kau menyembunyikan sandal Rei?" "Enggak." Ziea mengge
"Niat tidak suka sama kembaran aku?! Kalau niat kenapa malah jalan dengan cowok lain?!"'Astaga! Agak lain yah.' batin Ziea merasa aneh karena yang marah malah Aesya. Sedangkan Reigha saja tak mau tahu pada Ziea. 'Selesaikan pendidikanmu dan raih cita-citamu lebih dulu. Barulah setelah itu kau boleh menjalin hubungan denganku.' Kalimat yang terlontar dari mulut Reigha. Namun, setelah kalimat penuh harapan itu Reigha lontarkan, pria itu sendiri malah terlihat seperti menjauh dan menghindari Ziea. Reigha seperti risih jika ada didekat Ziea. "Ouh, itu teman dekat aku, Kak. Orangnya baik dan sering traktir aku di kampus," jawab Ziea sembari senyum-senyum tak jelas. "Huh. Awas jika jatuh cinta sama teman kamu itu!" dengkus Aesya. Ziea mengangguk-angguk pelan, melirik sekilas ke arah pria yang ia taksir. Namun, pria itu malah asyik dengan Melodi. "Ziea, kau pasangan dengan Rei untuk game bulu tangkis yah," ucap Prince.Ziea sebenarnya ingin menolak, sebab dia tahu dia hanya akan membu
Ekstra part (Khusus Reigha)Di mansion keluarga Azam. Hampir dari mereka semua berkumpul– sama seperti sebelumnya, Serena yang tengah hamil mengidam ingin berkumpul dengan semua keluarga serta sahabatnya. "Kecambah, kudengar kau sudah berbaikan dengan ayahmu. Benar?" tanya Rafael pada Aayara– di mana kakak ipar rasa adiknya tersebut tengah malam puding bersama Zayyan. Sedangkan suami dari si Kecambah ini sedang diluar bersama yang lainnya. "Iya, Tiang!" jawab Aayara, antara dongkol dan terharu karena pria ini diam-diam peduli. "Ouh. Mulai berani, heh?!" Rafael mendekati Aayara dan berniat menjahili Kakak iparnya yang pendek itu. Namun hal tersebut terjadi, seseorang lebih dulu menjewer telinga Rafael. "Mas Rafael!" peringat seseorang itu, yang tak lain adalah pawangnya sendiri. "Hah, Darling. Anak itu mengataiku tiang," ucap Rafael, mengadu pada Serena yang menjewer telinganya. "Cik! Terus kecambah maksudnya apa?" Serena mendelik, memilih menarik suaminya dari sana dengan menje