Rafael pernah dimarahi oleh Daddynya karena ingin pindah rumah. Namun kali ini dia akan membawa Ayah mertuanya dalam masalah ini karena dia yakin Thomas akan berpihak padanya.
"Kau boleh pindah tetapi jangan bawa Serena dari rumah!" geram Gabriel sembari menatap Rafael dengan marah. Dia batal ke Paris hanya karena masalah ini.Gabriel sangat takut Rafael membawa kabur Serena. Sebenarnya itu fine-fine saja, toh Serena adalah istri dari putranya ini. Namun, Gabriel takut jika Rafael tak bisa menjaga Serena dengan baik. Rafael lebih bastard darinya dan Gabriel mengkhawatirkan itu."Daddy, ayolah. Aku dan Serena hanya ingin hidup mandiri, tanpa pengawasan kalian." Rafael berucap lelah. "Rasanya aku hanya menikahi nama Serena saja. Untuk sepenuhnya menjadi suaminya aku tidak bisa. Itu karena kalian!" desis Rafael setengah marah dan frustasi."Kau ini brengsek!" Gabriel berucap sarkas."See? Bahkan Daddy tidak percaya padaku. Jadi kenapa Daddy dan Papa mengotot menjodohkan ku dengan Serena jika kami tidak boleh punya hidup sendiri?""Kau mau kubunuh, hah?!" Gabriel menggeram marah, maniknya menggelap dan menyorot tajam ke arah Rafael. Dia tidak main-main mengenai keluarganya! Serena bukan hanya menantunya, tetapi dia juga putri dari sahabat Gabriel."Tenang, Geb." Thomas menahan tubuh Gabriel yang bersiap-siap akan menghajar putranya sendiri. "Tenangkan dirimu," tambahnya setelah berhasil mendudukkan Gabriel kembali ke sopa."Tuan Gabriel, kurasa El benar. Dia dan Serena berhak punya kehidupan sendiri tanpa campur tangan kita." Setelah melihat tuannya lebih tenang, Thomas mengutarakan pendapatnya sendiri."Kau-- sialan!" Gabriel mengumpat karena kesal. Thomas terhasut omongan Rafael. "Pindah rumah hanya akal-akalannya saja supaya dia bisa semena-mena pada Serena. Apa kau membiarkan putrimu sendiri menderita karena ulah brengseknya?!" Gabriel menggeram rendah dengan menatap tajam ke arah Thomas."Jangan terhasut oleh anak setan it --" Gabriel langsung menghentikan ucapannya. Dia memegang kening lalu mengusap wajah dengan frustasi dan tertekan. Shit! Dia salah bicara. "Maksudku dengan anak nakal ini," ralat Gabriel sembari melirik sinis ke arah Rafael yang diam-diam tersenyum tipis dan gelik. Cih. Jika dia anak setan berati Daddynya …? Daddynya setan itu!!Thomas juga diam-diam terkekeh pelan. Namun ketika Gabriel menatapnya, dia langsung memasang wajah serius dan datar."Maksudku kita sebagai orang tua mereka … hanya bisa menasehati dan mengarahkan. Kita jangan terlalu jauh dengan mencampuri urusan rumah tangga mereka, Tuan. Itu sama saja kita tidak percaya pada mereka.""Aku memang tidak percaya padanya." Gabriel bergumam pelan, menatap Rafael masih sinis dan penuh dendam kusumat."Biar El dan Serena hidup bersama, Tuan. Dengan begitu mereka bisa belajar memahami kehidupan dan bisa menyelesaikan masalah masing-masing. Jika kita terus ikut campur, sampai tua pun merasa tidak akan bisa saling memahami hati pasangan masing-masing."Gabriel berdecak kesal. "Cik."Sedangkan Rafael sudah terlihat senang dan bahagia di tempat duduknya. Ini tanda-tanda kemenangan untuknya!"Kulihat mereka sedikit ada masalah. Serena seperti kurang suka berdekatan dengan Rafael, dan sebaliknya Rafael terlalu menempel pada Serena.""Cik, baiklah." Gabriel berucap setengah kesal. "Mereka boleh tinggal bersama. Hanya satu tahun saja dan sampai Serena hamil. Setelah itu mereka pulang.""Apa-apaan Daddy?!" Rafael melogo horor."Anggap saja satu tahun kalian belajar saling mengenal. Yah … walau sejak kecil kalian sudah saling mengenal." Gabriel berucap malas. "Kau tidak boleh meninggalkan Mansion, Abang El. Sangat tidak boleh!" dingin Gabriel dengan nada rendah, tanpa menoleh ke arah Rafael dan hanya menatap sebuah berkas di depannya."Dad …-""Sudah, El." Thomas merelai. "Syukuri saja, Nak. Daripada tidak sama sekali. Lagipula Papa rasa satu tahun itu sudah lebih baik daripada hanya satu bulan."Rafael menampilkan air muka dongkol. "Jika besok Serena tiba-tiba hamil, bagaimana?" tekan Rafael.Daddynya bilang maksimal satu tahun dan jika Serena hamil, mereka balik lagi ke mansion. Cih, itu syarat apa?! Menyebalkan!"Kepalamu akan ku penggal." Gabriel berucap dingin dan berdesis, menatap Rafael dengan mata elang yang siap mencabik-cabik."Apalagi salahku sekarang!" dengkus Rafael, benar-benar dongkol dan jengkel kepada Daddy. Kenapa malah sekarang kepalanya yang dipenggal?!"Salahmu apa? Menantuku tiba-tiba besok hamil, sedangkan kalian saja menikah baru tiga hari. Itu tidak masuk diakal, kecuali …-" Suara Gabriel sangat pelan dan rendah, namun terkesan dingin juga sangat mengerikan.Thomas sampai mengusap tengkuk karena merinding. Sedangkan Rafael sudah terbatuk-batuk sendiri dengan wajah pucat pias dan jantung yang sudah berdebar kencang sendiri.Ini namanya bunuh diri dengan cara efik -- jangan sampai dia mati dikandang musuh. Sialan! Dia salah bicara, dan jika sampai Daddynya curiga …--Minimal Rafael masuk rumah sakit bintang lima dan maksimal Serena menjanda. Paling mengerikannya ….'El, harusnya kau tidak mati agar bisa menyaksikan pernikahanku dengan Serena.' bayang-bayang Maxim mengusap batu nisan bertuliskan nama Rafael, seketika muncul dan memenuhi kepala Rafael.Rafael menggelengkan kepala dengan panik, dia langsung berdiri dan menatap campur aduk pada Daddynya. "Hanya perumpamaan, Dad. Dasar, Daddy sick!" Setelah menjadi anak paling berbakti dengan mengumpati Daddynya sendiri, Rafael buru-buru kabur dari sana.Masalahnya dia bukan kucing yang punya sembilan nyawa!"Anak kurang ajar. Beban keluarga!" maki Gabriel, melepas pantofel-nya lalu melemparnya ke arah Rafael -- membuat Rafael berlari terbirit-birit dari dari ruangan Daddynya yang ada di mansion. "Sangat persis denganmu, Geb," kekeh Thomas yang merasa geli melihat kelakuan Rafael dan Gabriel. Itu mengingatkan Thomas sewaktu dulu -- ketika Ayah dari tuannya ini masih hidup, dan Gabriel sering menjahili Daddynya.Hanya Gabriel yang berani pada Daddynya. Sama seperti sekarang! Hanya Rafael yang berani pada Gabriel.***"Kau pulang dengan siapa, Rena?" tanya Maxim yang kebetulan berjalan beriringan dengan Serena.Serena menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Kak Max." Serena menunduk sejenak, menghilangkan air muka murungnya karena Rafale meninggalkannya.Tadi dia melihat -- sekitar jam dua siang -- Rafael pergi dengan Jenner dan sampai sekarang Rafael tidak kembali ke kantor. Bahkan untuk pekerjaannya, pria itu alihkan pada Maxim.Sebenarnya … Serena dan Maxim sangat menyedihkan. Katakanlah orang yang mereka suka sedang berselingkuh terang-terangan di depan mata mereka sendiri."Rafael pasti akan menjemputmu." Maxim tersenyum tipis, sengaja untuk meyakinkan Serena yang terlihat murung. "Cih." Serena berdecis pelan. "Tanpa dia jemput, aku juga bisa pulang sendiri, Kak. Ya kali jaman sekarang perempuan masih bergantung dan sedikit-sedikit mengandalkan pasangan?! Aku bisa melakukan apapun tanpa dia. Lagian dia tidak cocok disebut pasangan. Dia bangke!" kesal Serena pada akhir kalimat. Dan sangking kesalnya, tanpa sadar dia meninju udara -- mengkhayalkan jika yang dia pukul itu adalah wajah bastard Rafael.Maxim terkekeh geli, lucu melihat tingkah Serena. "Tanpa sadar kau sedang menunjukkan sisi cemburumu, Serena. Lucu," ucapnya sembari mengacak pucuk kepala Serena."Haiis!" Serena menepis tangan Maxim dari atas kepalanya. "Siapa yang cemburu?! Aku hanya bilang jika aku tidak butuh dia. Rafael itu hanya suami pajangan doang di aku."Brumm'Ketika sudah di depan perusahaan, mobil mewah berwarna hitam terlihat melaju ke arah Serena dan Maxim."Itu-- suami pajanganmu sudah datang dengan kuda hitamnya, Rena," kekeh Maxim dengan nada bercanda.Betul sekali! Itu mobil Rafael dan pria itu berhenti tepat di depan Serena serta Maxim.Cak'Suara pintu mobil dibuka terdengar, tak lama seseorang keluar dari dalam mobil -- keluar dengan sandal kulit berwarna hitam mengkilat, lalu dengan pakaian santai serta celana …- untung celana panjang.Jika tidak …-- astaga! Serena rasanya ingin salto!'Ini tujuannya mau tebar pesona pasti. Emang bangke laki'ku ini. Pengen rasanya kujual online, AJG!' batin Serena yang sudah panas dingin melihat penampilan Rafael. 'Udah bolos kerja setengah hari, bisa-bisanya dia datang ke sini dengan pakaian santai.'Dongkol? Tentu saja Serena dongkol. Rafael pergi dengan Jenner, dalam artian bolos kerja dan datang-datang malah tebar pesona begini. Ya, emang sih kantor ini punya Rafael dan bosnya juga Rafael. Tapi rasanya tak etis kali jika Rafael korupsi waktu trus pas orang-orang pada pulang dengan wajah kucel karena kelelahan kerja, Rafael malah muncul dengan wajah fresh dan ketampanan yang paripurna."Serena …." Seperti biasa, Rafael akan menyebut nama Serena dengan nada serak dan penuh penghayatan, sembari menyeringai tampan dan dengan berjalan cool ke arah istrinya itu.Cup'deg'"Serena …." Seperti biasa, Rafael akan menyebut nama Serena dengan nada serak dan penuh penghayatan, sembari menyeringai tampan dan dengan berjalan cool ke arah istrinya.Cup'Tiba di depan Serena, Rafael langsung menangkup pipi Serena dan langsung mencium bibir perempuan tersebut dengan enteng dan tanpa merasa berdosa sama sekali. Melihat itu beberapa staff-nya yang berlalu lalang di sana untuk pulang, memekik tertahan serta heboh sendiri. Maxim lebih membuang muka dan mendengkus. Cih, mentang-mentang Rafael dan Serena sudah menikah, pria ini seenak jidat sok romantis."Rafael!" Serena menggeram rendah dan marah, menatap tajam dan memperingati pada Rafael yang seenak jidat menciumnya. "Humm? Kau ingin pulang secepatnya, Darling? Oke." Rafael meraih pergelangan Serena dan langsung menyeret paksa perempuan itu untuk masuk dalam mobil. "Rafael, kamu ini apaan sih?" geram Serena lagi-lagi ketika Rafael memaksanya masuk dalam mobil. Bug'Setelah berhasil memasukkan Serena dalam mobil
"El, kamu jangan macam-macam denganku. Aku bisa mengadukanmu pada Mommy Sati dan Daddy Gabriel. Aku … aku bisa berteriak!" ancam Serena yang sudah sangat panik, meringsut ke dinding dengan perasaan was-was dan tubuh yang sudah membeku serta panas dingin. Bukan hanya dekat, tapi suami bastard-nya ini menghimpit tubuh kecilnya dengan dinding. Sialan! Serena jadi sulit bernafas. "Cih." Rafael berdecis gelik, berakhir terkekeh juga karena merasa lucu dengan air muka serta ancaman Serena. "Kau ingin mengadu apa, Darling? Mengadu jika kau mandi bersamaku?""Si--sinting!" Serena mendelik, semakin meringsut ke dinding -- merasa terancam dengan tubuh besar Rafael yang menghapitnya. "Sekarang kita buka pakaianmu, Darling. Kau akan aku mandikan." Rafael mengulurkan tangannya, menyungkurkan tangan Serena juga yang menyilang di depan dada perempuan itu. Setelah itu dengan sedikit memaksa, Rafael membuka kancing blus yang istrinya pakai. "Rafael, aku bisa mandi sendiri. Keluar dari sini!" cicit
"Suami nggak ada akhlak." Serena mengusap bawah hidungnya yang keluar darah, mimisan karena sebuah insiden yang sampai sekarang masih tak bisa Serena lupakan dari pikirannya. "Kampreto memang!" tambahnya, meraih tissue dan kembali me-lap hidungnya. Dia baru selesai memakai pakaian dan itu semua karena ulah Rafael yang sungguh luar biasa bastard plus tidak ada akhlak. Bisa-bisanya Rafael membuka handuknya di depan Serena, di mana posisinya saat itu Serena sedang berjongkok dan tepat ke …-"Darling, kau melihat handphone ku?" Serena sontak menoleh ke arah Rafael, wajah Serena ditekuk dan air mukanya begitu muram. Setelah pria itu tadi membuat Serena hampir tak bernyawa, Rafael dengan santai memakai pakaiannya. Gilanya dia juga memaksa untuk memakaikan baju Serena. Membantu sih, tetapi Serena bukan anak kecil yang memakai baju saja harus dibantu oleh Rafael. Dan -- itu sangat risih! Tubuhnya dipandangi oleh Rafael si raja mesum. Setelah itu, Rafael meninggalkannya di sini. Lalu balik
Sesuai pembahasan makan malam mereka semalam, Serena dan Rafael jadi pindah. Rumah baru mereka tentunya tak jauh dari mansion orang tua Rafael dan Serena."Kalian semua ku tugaskan untuk menjaga Serena." Gabriel berucap tegas, wajahnya datar namun tatapan matanya seperti elang siap mencabik maksa. "Tuan kalian adalah Serena, bukan Rafael. Jadi kalian hanya boleh patuh pada Serena dan bukan Rafael. Paham?!" ucapnya berubah dingin di akhir kalimat. "Paham, Tuan." Bodyguard bodyguard tersebut menganggukkan kepala, patuh dan tak berani membantah sang Tuan. Setelan mengatakan itu, Gabriel beranjak dari sana dan bergabung dengan yang lainnya. Untuk mengantar Serena ke rumah barunya, Sati dan Gabriel juga yang lainnya ikut serta. Sahabat Serena juga hadir, supaya Serena nyaman di rumah ini dan merasakan kesan yang baik di rumah ini. "Sepertinya kamu kesayangan Daddy-nya Bos, Rena. Uuu … lihatlah, kamu dikasih banyak bodyguard. Menjaga kamu," bisik Nanda -- salah satu sahabat Serena yang
"Itu sudah lama, Beib!" Nanda berujar panik ketika Serena berjalan ke arahnya dengan tangan yang sudah terkepal kuat. Dia semakin takut, sontak menutup mulutnya dengan tangan -- terlihat semakin panik dan menegang kaku saat merasakan adanya tatapan mematikan yang mengarah padanya. Deg deg deg "Ekhmm." Rafael berdehem dengan cukup kuat, menyita perhatian semua orang-- di mana semua orang langsung menoleh ke arahnya.Gluk' Nanda meneguk saliva dengan kasar sedangkan Serena terlihat mengerutkan kening ketika melihat Rafael berdiri dan berjalan ke arahnya. Setelah di meja teman-temannya, Rafael duduk di kursi kosong bekas Serena. Kemudian dengan santai dia menarik pergelangan tangan Serena, membuat perempuan itu jatuh ke atas pangkuannya -- dengan posisi duduk dan air muka kaku dan malu. "Nanda, kau memanggil Serena apa?" tanya Rafael dengan nada datar, memeluk pinggang Serena agar perempuan itu tidak kabur. Nanda menggelengkan kepala dengan panik, tersenyum kaku dengan air muka puca
Namun tiba-tiba …--"Abaaaaaaaang!!"Rafael langsung melepas pangutannya dengan Serena. Dia berdecak kesal dengan tampang muram dan masam. Cik, padahal baru saja dia mendapatkan kesenangannya! "Kita lanjut nanti." Rafael berucap datar, buru-buru keluar dari kamar karena mendengar suara adiknya yang berteriak dari lantai bawah. Sialan! Siapa yang berani membuat adiknya sampai menjerit begini?! Serena tersenyum senang. "Yes yes yes …." Serena berucap kesenangan, sembari meloncat pelan karena merasa bahagia karena Rafael batal memesumi-nya. Bahkan karena senang batal, Serena berjoget-joget. "Rezeki anak sholeh," ucapnya dengan senyum-senyum manis dan bahagia -- tak sadar jika Rafael masih di pintu dan menatap kelakuannya dengan wajah datar serta tatapan dingin. "Kau senang karena apa?" tanya Rafael datar dengan tiba-tiba, walau sebenarnya dia tahu apa penyebab Serena terlihat senang begini. "Aaa …." Serena tergelonjak kaget, menoleh cepat ke arah Rafael dengan tangan diletakkan di
Ceklek'Rafael membuka pintu kamar dan membawa masuk Serena secara paksa ke dalam kamar mereka. "Isss." Serena langsung mendelik ketika Rafael melepas bekapan di mulutnya. Dia juga reflek menjauhi Rafael dan bahkan berniat kabur dari kamar, sayangnya Rafael lebih dulu menarik pergelangannya dan menyeret Serena ke ranjang. "Rafael, kamu ini apaan sih?!" sensi Serena dengan berusaha melepaskan cekalan tangan Rafael. Bug'Rafael langsung menghempas tubuh Serena ke atas ranjang, membuat perempuan itu meringis dan juga menatap penuh kebencian ke arahnya. "Tidak ada tidur-tidur di kamar lain." Rafael berucap datar. "Kau hanya boleh tidur di sini dan denganku," tambahnya sembari melayangkan tatapan tajam dan membunuh ke arah Serena. "Jika aku tidak mau bagaimana?!" Serena mengambil posisi duduk, sedikit merapikan rambutnya lalu menatap Rafael kesal bercampur menantang. "Aku akan mengikatmu," desis Rafael, semakin menatap tajam ke arah Serena. Suaranya yang dingin dan berhembus pelan sa
"Sudah berulang kali kukatakan padamu jika aku tidak menyukaimu, Max. Kau tetap ngotot dan bersikeras. Kau gila, Hah?!" Maxim menaikkan sebelah alis, senyuman tipis tiba-tiba hadir di bibirnya -- sayangnya Jenner tak melihat itu, sangking samar dan tipisnya senyuman Maxim. "Dan kau berharap Rafael akan membalas cintamu?" tanya Maxim dengan santai, menatap datar pada Jenner dan juga memperlihatkan air muka yang sangat lempeng. "Ya, Rafael …-"Ceklek'Sebelum Jenner menyelesaikan perkataannya pintu ruangan Rafael lebih dulu terbuka, memperlihatkan seorang perempuan cantik dengan tubuh profesional masuk dan berjalan ke arah mereka. Senyuman perempuan tersebut begitu manis dan lembut. Akan tetapi ketika dia menatap Jenner, wajahnya berubah tak bersahabat dan terkesan sinis juga. "Abang El, kenapa ada sampah ini di sini?!" ketus Aesya, menatap benci dan jijik ke arah Jenner. Sedangkan Jenner, dia reflek memeluk lengan Maxim dan memasang senyuman palsu ke arah Aesya. "Aku … aku kekasih
Setelah liburan ke Villa kemari, Reigha berangkat ke Paris. Sekarang pria itu tengah di bandara dan Ziea berusaha untuk menyusul. Haaaa, tidak ada yang memberi tahu Ziea jika Reigha ingin ke Paris, karena itu mereka satu pertemanan berlibur ke villa, sebagai tanda pisah dengan Reigha yang berencana akan menetap di Paris. "Setidaknya aku akan memberikan Kak Reigha surat ini, supaya dia selalu ingat denganku," ucap Ziea dengan berlari terburu-buru, ingin menyusul Reigha sebelum pria itu meninggalkannya. Tak ada yang tahu Ziea menyusul Reigha ke bandara karena Ziea pamit ke kampus. Dan bisa dikatakan Ziea nekat ke mari hanya untuk memberikan surat cintanya pada Reigha. "Itu dia, Kak Reigha masih di sini. Yes!!" Ziea memekik bahagia kala melihat Reigha masih di sana, tengah duduk dan sedang fokus pada handphone di genggamannya. Ziea sejenak merapikan penampilannya, mengambil cermin kecil dari tote bag yang dia kenakan lalu bercermin sembari tersenyum manis. Setelah merasa manis dan c
Setelah badai reda, langit kembali cerah dan penuh dengan bintang. Mereka memutuskan untuk berkumpul di luar, menyalakan api unggun, bakar-bakar bersama sembari bercanda. Sayangnya Ziea kurang menikmati, dia tidak cocok dengan suhu yang terlalu dingin dan lagipula dia sudah mengantuk. Walau ada api yang menyala, namun Ziea sudah mengantuk. 'Kalau tahu begini mending aku nginap di rumah Lea,' batin Ziea, sudah menyender lesu di lengan Kakaknya– awalnya menonton drama favoritnya di handphone. Namun, karena sahabatnya mengirim pesan padanya, Ziea seketika beralih bertukar pesan dengan sahabatnya tersebut. --Lea--[Cuk, kamu ngapain dengan Pak Burhan?]Ziea langsung membalas [Chat-mu ambigu, Lea sayang. Aku ngapain dengan Pak Burhan?]--Lea--[Tiga hari aku diterror terus. Dia minta nomor kamu. Kan aneh!! Pasalnya beliau dospemmu, masa nomormu tak ada di dia.]--Ziea--[Nomornya memang aku block. Soalnya aku dendam, Lea. Tapi jangan kasih tahu yah. Bilang saja HP aku hilang.]--Lea--[
"Rei, Ziea di mana?" tanya Haiden ketika melihat Reigha berjalan cepat dan terburu-buru. Untungnya ketika dia memanggil pria itu, Reigha masih menoleh ke arahnya. Namun, tanpa menjawab apapun Reigha langsung melangkah cepat-cepat dari sana, memberikan tanda tanya bagi Haiden dan yang lainnya. "Ada yang tahu dia kenapa?" tanya Haiden yang mendapat gelengan kepala dari pada sepupunya. "Aku tahu." Tiba-tiba saja Melodi muncul dari arah balkon, berjalan ke arah mereka dengan air muka yang terkesan kesal."Maksudmu kau tahu Reigha kenapa?" tanya Haiden, mendapat anggukan dari Melodi. "Ini salah adikmu. Ziea!" kesal Melodi, "sudah kukatakan untuk tak membawa Ziea ikut dengan kita, tapi kalian tetap membawanya. Lihat sekarang, Reigha marah karena ulah Ziea.""Apa maksudmu?!" Haiden menggeram marah, tak terima jika Melodi menyalahkan Ziea."Ya, sebenarnya Reigha sudah tak suka dengan rencana hangout ini saat kalian semua mengajak Ziea ikut. Kemarin sandal kesayangan Reigha– sandal pemberi
Karena paksaan Haiden, akhirnya Ziea ikut hangout dengan teman-teman Kakaknya ini yang tak lain adalah sepupunya. Mereka memilih berlibur ke sebuah villa yang ada diperkebunan keluarga Azam. Percayalah! Ziea merasa asing di sini, dia tak akrab dengan siapapun kecuali Kakaknya. Dan Kakaknya ini sedikit dan rada bangke! Untungnya, Handphone Ziea sudah Haiden kembalikan. Jadi Ziea bisa menghilangkan bosannya. 'Gara-gara Kak Rei menyuruhku menghapus postingan tadi malam, aku jadi takut berdekatan dengannya.' batin Ziea, duduk di balkon villa tersebut sembari menatap ke arah pemandangan yang disajikan di depannya. Tiba-tiba saja, Ziea menjadi kikuk dan gugup. Reigha datang ke balkon kemudian duduk di sisi lain– ujung ke ujung dengan Ziea. Mereka sama-sama duduk bersantai, menyender ke kursi malas dan menghadap ke depan, ke arah pemandangan indah yang penuh dengan pohon jeruk– kebetulan sedang musim panen, di mana jeruk tersebut sudah berwarna kuning ke orange-an. Jadi mempercantik ala
"Tidak ke kampus?" tanya Haiden ketika melihat adiknya lewat– mengenakan kaos berlengan pendek dan celana training panjang. Tak lupa jua, Ziea memakai topi dan sepatu berwarna putih. "Nggak, ini Minggu," jawab Ziea sembari memutar bola mata dengan jengah, melewati Kakaknya dengan begitu saja dan segera keluar dari rumah. "Kau mau kemana?" teriak Haiden, berjalan cepat untuk menghentikan adiknya. "Cik, Kak! Tolong yah! Aku mau depan doang, di taman komplek untuk lari-lari lagi," ucap Ziea, menahan kesal dan dongkol yang memenuhi hatinya. "Tidak boleh. Masuk!" ketus Haiden, melotot tajam ke arah adiknya dan memerintah agar Ziea masuk dalam rumah mereka. "Daddy dan Mommy sedang pergi, jadi kau harus patuh padaku.""Tapi aku mau olah raga, Kak!" Ziea memekik pelan, mencengkeram udara karena kesal tak dibolehkan pergi oleh Kakaknya. "Di taman belakang. Keliling sepuluh kali, itu juga olah raga.""Ze ingin ke taman. Awas!" jutek Ziea, menabrak tubuh Kakaknya dan langsung kabur dari san
"Aku tidak pacaran!" pekik Ziea, sudah berada dalam mobil Kakaknya dan tengah berdebat dengan sang Kakak.Hal yang paling memalukannya adalah ketika Haiden menjewer telinganya dan menariknya ke mobil– di mana di dalam mobil ada Reigha. Sekarang, Ziea semakin malu karena Haiden terus memarahinya dan menuduhnya berpacaran. "Jadi tadi siapa kalau bukan pacarmu? Kenapa kalian bisa berduaan di sana, hah?!" galak Haiden, duduk di sebelah Reigha yang tengah mengemudi. "Teman kampus," jawab Ziea dengan mencicit pelan. "Teman kampus tapi berdua. Malam-malam!""KAK …!" jerit Ziea dari belakang– dia duduk di belakang. "Aaaaaa …," pekiknya kemudian menangis, tak tahan karena Haiden terus memarahinya secara habis-habisan. Paling menyebalkannya adalah Haiden memarahinya di depan Reigha. "Menangis saja terus!" dengkus Haiden menoleh ke arah belakang, melayangkan tatapan marah dan tajam ke arah Ziea– isyarat agar Ziea berhenti menangis. Tetapi bukanya berhenti menangis, Ziea malah semakin menjad
"Yeii … makan!" Ziea memekik senang ketika makanan yang dia pesan telah datang. Haiden mendengkus pelan, menatap sinis bercampur kesal ke arah adiknya tersebut. Namun, percayalah dalam hati pria berusia dua puluh tujuh tahun tersebut menahan rasa gemasnya pada sang adik. Dengan bersemangat dan antusias, Ziea mulai menyantap makanannya. Sedangkan Haiden hanya meneguk kopi dingin yang dia pesan– sembari mengamati adiknya yang sedang lahap makan. DrrtttTiba-tiba saja handphone Haiden berbunyi, dia merogok saku lalu mengeluarkan handphonenya– mengangkat telpon yang ternyata dari Reigha. "Ada apa, Dude?" tanya Haiden ramah, masih memantau adiknya yang tengah asyik makan. 'Kau di mana?' "Di salah satu restoran favorit Ziea, tengah menemani bocah ini makan. Ada apa?" 'Sandalku hilang. Coba tanya apa Ziea menyembunyikannya.'"Cik." Haiden berdecak pelan, menoleh ke arah adiknya yang masih sibuk dengan dunia makanannya. "Oik, Bocah. Kau menyembunyikan sandal Rei?" "Enggak." Ziea mengge
"Niat tidak suka sama kembaran aku?! Kalau niat kenapa malah jalan dengan cowok lain?!"'Astaga! Agak lain yah.' batin Ziea merasa aneh karena yang marah malah Aesya. Sedangkan Reigha saja tak mau tahu pada Ziea. 'Selesaikan pendidikanmu dan raih cita-citamu lebih dulu. Barulah setelah itu kau boleh menjalin hubungan denganku.' Kalimat yang terlontar dari mulut Reigha. Namun, setelah kalimat penuh harapan itu Reigha lontarkan, pria itu sendiri malah terlihat seperti menjauh dan menghindari Ziea. Reigha seperti risih jika ada didekat Ziea. "Ouh, itu teman dekat aku, Kak. Orangnya baik dan sering traktir aku di kampus," jawab Ziea sembari senyum-senyum tak jelas. "Huh. Awas jika jatuh cinta sama teman kamu itu!" dengkus Aesya. Ziea mengangguk-angguk pelan, melirik sekilas ke arah pria yang ia taksir. Namun, pria itu malah asyik dengan Melodi. "Ziea, kau pasangan dengan Rei untuk game bulu tangkis yah," ucap Prince.Ziea sebenarnya ingin menolak, sebab dia tahu dia hanya akan membu
Ekstra part (Khusus Reigha)Di mansion keluarga Azam. Hampir dari mereka semua berkumpul– sama seperti sebelumnya, Serena yang tengah hamil mengidam ingin berkumpul dengan semua keluarga serta sahabatnya. "Kecambah, kudengar kau sudah berbaikan dengan ayahmu. Benar?" tanya Rafael pada Aayara– di mana kakak ipar rasa adiknya tersebut tengah malam puding bersama Zayyan. Sedangkan suami dari si Kecambah ini sedang diluar bersama yang lainnya. "Iya, Tiang!" jawab Aayara, antara dongkol dan terharu karena pria ini diam-diam peduli. "Ouh. Mulai berani, heh?!" Rafael mendekati Aayara dan berniat menjahili Kakak iparnya yang pendek itu. Namun hal tersebut terjadi, seseorang lebih dulu menjewer telinga Rafael. "Mas Rafael!" peringat seseorang itu, yang tak lain adalah pawangnya sendiri. "Hah, Darling. Anak itu mengataiku tiang," ucap Rafael, mengadu pada Serena yang menjewer telinganya. "Cik! Terus kecambah maksudnya apa?" Serena mendelik, memilih menarik suaminya dari sana dengan menje