"Nah, itu … yang baru datang-- yang laki-laki namanya Kak Haiden, anaknya Paman Kenzie dan yang perempuan adiknya Kak Haiden. Namanya Ziea."Setelah memperkenalkan bagian laki-laki, Serena lanjut memperkenalkan bagian yang perempuan. Juga sepupu memencar di taman. Yah, Azam! Tetapi punya geng masing-masing. ***"Cieee … ada Ziea." Prince menyeru riang, sedikit jahil dan juga menggoda. Semua menoleh ke arah perempuan cantik dengan lesung pipi di kanan tersebut--membuat Ziea malu-malu dan bersembunyi dibelakang tubuh Kakaknya. Ya Tuhan! Ziea sangat malu sampai ke ubun-ubun. Mana ada crush-nya di sini lagi. Dan laki-laki yang dia sukai itu menoleh ke arahnya, yah walau hanya persekian detik. Tapi itu cukup untuk membuat jantungnya hampir pindah ke jantung. "Aku sengaja mengajak. Istrinya Maxim kulihat tidak ada teman yang seumuran dengannya di sini. Yah, siapa tahu Ziea dan Aayara bisa berteman," jelas Haiden yang mendapat anggukan kecil dari yang lainnya. "Ziea, mau Kakak antar be
"Kenapa aku harus sikat gigi?" tanya Aayara, mendelik sembari menatap keheranan ke arah Maxim. Matanya juga melirik sedikit julid ke arah pria dewasa bertubuh sispek ini. "Karena kau harus menciumku sampai pagi." Maxim bersedekap di dada, menatap Aayara dengan datar. Aayara memasang air muka konyol, wajahnya pias dan juga kaget. Bibirnya terbuka dan menganga dengan mata membola karena terkejut serta syok mendengar perkataan Maxim. Apa? Mencium pria ini sampai pagi? Ya-yang benar saja?"Cepat." Suara dingin Maxim kembali mengalun. Itu berhasil menyentak Aayara dari lamunannya dan buru-buru turun dari ranjang. Rachel berjalan ke pintu kamar. Yah bukannya ke kamar mandi, perempuan itu malah keluar kamar. Maxim yang melihatnya menaikkan sebelah alis, namun detik berikutnya dia sedikit membelalak.Oh shit! Tupai itu ingin kabur. Dengan buru-buru Maxim juga keluar dari kamar, menyusul Tupai-nya yang sudah kabur lebih dulu. ***"Wahhh … dapur mereka saja luas begini," gumam Aayara, men
"Tidak ada." Aayara tersenyum manis. "Haaaaaaaah …," ucapnya kemudian, menghembuskan nafasnya ke arah Maxim. Setalah itu dia menyengir lebar, memasang air muka riang dan tanpa dosa sama sekali. Maxim bersedekap, memasang wajah datar dan dingin. Namun tatapannya semakin tajam dan mengerikan. Bahkan aura intimidasi telah memenuhi ruangan ini, menyelimuti tubuh Aayara~mencekiknya juga. "Aku menyuruhmu menyikat gigi." Suara Maxim lebih dingin dari yang sebelumnya. Aayara mengerjab beberapa kali, menundukkan kepala tetapi melirik takut-takut ke arah Maxim dengan pipi yang menggembung. Pria ini menyeramkan sekali! Apalagi dia sangat tinggi, dan badannya besar. 'Ah, iya. Aku dan dia baru nikah kan? Gimana kalau dia minta ena-ena denganku malam ini? Me--meskipun dia sudah merasakannya waktu itu tapi yang dirampas kan pasti beda dengan yang dapat dengan suka rela. Ah … aku nggak mau, Njir! Badannya besar, bisa gepeng aku. Lagian … pokoknya aku nggak mau!' Aayara tiba-tiba dengan cepat mera
"Hah." Rafael menghela nafas, baru masuk dalam kamarnya dan mendapati istrinya yang sedang bermain dengan kucing berbulu orange dan bernama Oren tersebut. Lagi-lagi Rafael harus merasakan diduakan karena keberadaan kucing tersebut. "Kucing itu jantan," ucap Rafael, mengangkat kucing tersebut dari pangkuan Serena. Kemudian dengan kejam, menjatuhkannya ke lantai. Tetapi tenang saja! Itu kucing dan dia baik-baik saja, saat Rafael lempar ke bawah, si Oren dengan kerennya mendatar dengan berdiri kokoh di lantai. "Cik, apa masalahnya? Genre sebuah permasalahan bagimu, El?" kesal Serena, berniat mengambil kucingnya yang membaringkan tubuhnya di atas marmer. Kasihan! Bagaimana jika kucingnya ini masuk angin?"Ya, tentu saja. Menurutmu bagaimana?" Rafael berkata dengan dingin, menghalangi Serena untuk mengambil kucing tersebut. Kucing ini benar-benar saingannya! "dan … El El El! Berapa kali sudah kukatakan padamu, panggil aku Mas'. Aku suamimu, bukan teman tongkronganmu.""Cik, oke, Mas R
Aayara menghela nafas, meletakkan tas dan juga beberapa dokumen yang disuruh untuk ia perbaiki di atas mejanya. "Perusahaan elit tapi anak magang tetap babu." Aayara mendengkus, memilih duduk di kursi sembari termenung. Meskipun tidak sarapan, tenang saja! Aayara sama sekali tak lapar. Lambungnya sudah terlatih melebihi latihan militer. Dia anak kos sejati! Lambung kritis dan kosong itu bahkan kadang lebih terasa nyaman dibandingkan perut kenyang. "Masih sepi," gumamnya lagi sembari menoleh ke sana kemari. Dia memang datang lumayan cepat, kebetulan dia bisa menemukan bus yang tiba awal--walau ongkosnya mahal. "Aayara." Aayara menoleh, menatap Jenny dan juga Yusuf yang datang bersama. Keduanya nampak senyum manis, melambaikan tangan dan rapi dengan almamater mereka. "Loh, kalian kenapa memakai almamater?" tanya Aayara. Pasalnya dia tidak membawa almet karena berpikir ini hari biasa, jadi mereka diberikan keringan boleh tak mengenakannya jika tak ada acara penting. Cukup hitam put
"Aayara Agni, kemari." Aayara yang baru berdiri dari kursi, berniat ke pantry untuk beristirahat bersama Yusuf, Jenny dan juga staff lainnya sontak mengurungkan buatan. "Kalian duluan saja." Aayara berucap pada Jenny dan Yusuf, lalu Aayara menemui karyawan senior tadi. Sampainya di kubikel perempuan itu, Aayara hanya dibolehkan berdiri. Sedangkan si perempuan bernama Melinda tersebut duduk di kursinya dengan bossy. "Ada apa yah, Kak?" tanya Aayara, menatap perempuan tersebut dengan air muka bercampur aduk. Dia mengenal perempuan ini. Wanita yang baik wajah maupun sikapnya sama-sama judes. Perempuan ini pekerja keras dan punya sifat yang menyebalkan bagi Aayara--dia terlalu serius dan tak ada kelonggaran dalam hidupnya. Misal perempuan ini memberikan tugas pada Aayara dan teamnya, dan diberikan waktu empat jam untuk menyelesaikan tugas tersebut. Pekerjaan itu harus langsung dikerjakan, saat telah dia menyuruhnya. Semisal selesai sebelum empat jam, harusnya Aayara atau siapapun it
"Max." Suara lembut namun terkesan lirih menyapa. Aayara sontak memalingkan wajah, menyembunyikan muka di ceruk leher Maxim. "Turunkan aku, Pak. Plissss," bisik Aayara kemudian pada Maxim, lirih dan penuh kepanikan. Tanpa Aayara sadari yang dia lakukan tersebut berbahaya untuk dirinya. Nafasnya menghembus di leher Maxim, memberikan kesan hangat di kulit leher Maxim--tanpa sadar membangkitkan hasrat dari pria dewasa tersebut. Apalagi ketika Aayara berbicara, beberapa kali bibirnya tanpa sengaja bersentuhan dengan leher Maxim--seolah menggoda dan merayu Maxim. Sial! "Kita kenal?" Maxim berhenti melangkah, menoleh datar ke arah Jenner dengan tatapan dingin dan tajam. Dia masih menggendong Aayara, tanpa peduli pada raut muka Jenner yang pucat dan penuh ketidak sukaan. "Cik." Jenner berdecak kesal. "Aku kesini untuk menemuimu, Max." Jenner mengabaikan perkataan Maxim, memilih mengatakan niatannya datang ke sini, "tapi … siapa perempuan yang kau gendong, Max?"Aesya? Tidak mungkin. Pe
Aayara melarikan diri dari hotel tersebut saat Maxim pamit sebentar untuk mengangkat telpon. Jantung Aayara sampai sekarang masih berdebar kencang, wajahnya pucat dan masing menegang. Dia merinding dan meremang takut, hampir saja Maxim meng-unboxingnya tadi. Untung ada yang menelpon pria itu, dan siapapun si penelpon itu Aayara sangat berterimakasih. Tapi Aayara dan Maxim sudah pernah bukan? Lagipula Maxim suaminya, apa salahnya jika Maxim melakukannya lagi dengan Aayara. Yah, seharusnya tidak masalah dan fine-fine saja. Tapi jangan lupa jika pria itu merenggut paksa keperawanan Aayara. Sedikitnya itu memberikan trauma pada Aayara, dia parnoan dan juga takut. Bayang-bayang kejadian itu masih belum bisa Aayara singkirkan dari kepalanya. Untung Aayara gadis yang kuat dan tangguh. Jadi dia masih bisa bertahan dari rasa traumanya, dia bisa melawannya dengan hidup bersama orang yang merenggut kesuciannya. Sebenarnya itu berat, tetapi Aayara bisa bertahan sampai di titik ini. "Astaga,