"Aayara Agni, kemari." Aayara yang baru berdiri dari kursi, berniat ke pantry untuk beristirahat bersama Yusuf, Jenny dan juga staff lainnya sontak mengurungkan buatan. "Kalian duluan saja." Aayara berucap pada Jenny dan Yusuf, lalu Aayara menemui karyawan senior tadi. Sampainya di kubikel perempuan itu, Aayara hanya dibolehkan berdiri. Sedangkan si perempuan bernama Melinda tersebut duduk di kursinya dengan bossy. "Ada apa yah, Kak?" tanya Aayara, menatap perempuan tersebut dengan air muka bercampur aduk. Dia mengenal perempuan ini. Wanita yang baik wajah maupun sikapnya sama-sama judes. Perempuan ini pekerja keras dan punya sifat yang menyebalkan bagi Aayara--dia terlalu serius dan tak ada kelonggaran dalam hidupnya. Misal perempuan ini memberikan tugas pada Aayara dan teamnya, dan diberikan waktu empat jam untuk menyelesaikan tugas tersebut. Pekerjaan itu harus langsung dikerjakan, saat telah dia menyuruhnya. Semisal selesai sebelum empat jam, harusnya Aayara atau siapapun it
"Max." Suara lembut namun terkesan lirih menyapa. Aayara sontak memalingkan wajah, menyembunyikan muka di ceruk leher Maxim. "Turunkan aku, Pak. Plissss," bisik Aayara kemudian pada Maxim, lirih dan penuh kepanikan. Tanpa Aayara sadari yang dia lakukan tersebut berbahaya untuk dirinya. Nafasnya menghembus di leher Maxim, memberikan kesan hangat di kulit leher Maxim--tanpa sadar membangkitkan hasrat dari pria dewasa tersebut. Apalagi ketika Aayara berbicara, beberapa kali bibirnya tanpa sengaja bersentuhan dengan leher Maxim--seolah menggoda dan merayu Maxim. Sial! "Kita kenal?" Maxim berhenti melangkah, menoleh datar ke arah Jenner dengan tatapan dingin dan tajam. Dia masih menggendong Aayara, tanpa peduli pada raut muka Jenner yang pucat dan penuh ketidak sukaan. "Cik." Jenner berdecak kesal. "Aku kesini untuk menemuimu, Max." Jenner mengabaikan perkataan Maxim, memilih mengatakan niatannya datang ke sini, "tapi … siapa perempuan yang kau gendong, Max?"Aesya? Tidak mungkin. Pe
Aayara melarikan diri dari hotel tersebut saat Maxim pamit sebentar untuk mengangkat telpon. Jantung Aayara sampai sekarang masih berdebar kencang, wajahnya pucat dan masing menegang. Dia merinding dan meremang takut, hampir saja Maxim meng-unboxingnya tadi. Untung ada yang menelpon pria itu, dan siapapun si penelpon itu Aayara sangat berterimakasih. Tapi Aayara dan Maxim sudah pernah bukan? Lagipula Maxim suaminya, apa salahnya jika Maxim melakukannya lagi dengan Aayara. Yah, seharusnya tidak masalah dan fine-fine saja. Tapi jangan lupa jika pria itu merenggut paksa keperawanan Aayara. Sedikitnya itu memberikan trauma pada Aayara, dia parnoan dan juga takut. Bayang-bayang kejadian itu masih belum bisa Aayara singkirkan dari kepalanya. Untung Aayara gadis yang kuat dan tangguh. Jadi dia masih bisa bertahan dari rasa traumanya, dia bisa melawannya dengan hidup bersama orang yang merenggut kesuciannya. Sebenarnya itu berat, tetapi Aayara bisa bertahan sampai di titik ini. "Astaga,
"Aku melihatmu di depan lift dengan Pak Maxim. Kamu Sugar Baby-nya Pak Maxim?" Aayara menatap cengang dan horor ke arah Melinda, mulutnya membentuk huruf 'o dengan wajah yang terpampang konyol. "Su--sugar sugar apa, Kak?""Sugar Baby." Melinda melipat tangan di dada, menatap tak bersahabat ke arah Aayara dan juga menatap tak suka, "kulihat Pak Maxim menyentuh kepalamu. Semua orang tahu jika Pak Maxim tidak dekat dengan perempuan manapun kecuali keluarganya. Kamu bukan keluarga Pak Maxim.""Nah, itu tahu. Pak Maxim tidak dekat dengan perempuan manapun kecuali keluarganya." Aayara tersenyum manis, berkacak pinggang dengan berakhir menyengir. "Kamu keluarga Pak Maxim?!" Aayara menggelengkan kepala. "Tidak. Kan aku bilang, Kak, Pak Maxim tidak dekat dengan perempuan manapun kecuali keluarganya. Ya kali tipe orang seperti itu main-main sugar baby-an." "Cik." Melinda berdecak kesal, mengibas tangan pertanda mengusir Aayara dari sana. Aayara lagi-lagi menyengir dan beranjak pecat dari s
"Aku alergi air, Pak Maxim."Maxim menaikkan sebelah alis, menyeringai tipis dan tetap kembali membuka kemeja yang membungkus tubuh Aayara. "Apa lagi alergimu, Nona Manis?" ucap Maxim rendah dan serak, terkesan berat di pendengaran dan juga seksi. Namun itu tidak berlaku bagi Aayara yang lebih merinding horor saat mendengar suara ini. Bulu kuduknya berdiri dan rasanya darahnya mengalir lebih cepat dari yang sebelumnya. Aayara menoleh ke sana kemari dengan air muka menegang dan tatapan gelisah. Pria dewasa sangat berbahaya! Aayara tidak suka dan jika bisa dia lenyap dari situasi ini."A--aku bisa mandi sendiri. Pak Maxim bisa keluar dari sini," ucap Aayara kemudian, melirik gugup bercampur malu ke arah Maxim. Pertama, jantungnya entah kenapa bereaksi berlebihan dengan berdebar kencang ketika Maxim memanggilnya Nona Manis. Kedua, tatapan pria ini tidak sehat untuk hatinya. Tatapannya sayup, kontras dan tertuju ke satu opsi saja–tepat ke manik Aayara. Itu membuat Aayara gugup, canggun
'Tidak! Leppas!' Sayangnya teriakan itu hanya terucap dalam benak Aayara. Kenyataannya, dia tidak berani untuk menghentikan Maxim. Demi Tuhan! Pria ini seperti tahu cara untuk membunuh mental seseorang, tahu mengendalikannya juga. ***Aayara keluar dari kamarnya, setelah kejadian di kamar mandi tadi Aayara bersumpah tak akan berani mengacungkan jari tengah lagi. Sial! Dia apes dua kali dalam sehari ini. Tadi dia habis makan malam dengan keluarga ini. Mereka semua marah, terutama Mama mertuanya dan Tante Sati-nya. Ouh tidak kelupaan dengan Serena. Tapi sayangnya Aurora sudah pulang. Seperti biasa, yang terlihat tak suka padanya adalah Aesya. Sedangkan Papa mertuanya, paman suaminya, dan Rafael serta Reigha, pada dasarnya mereka memang pendiam. Zayyan? Entah kenapa anak kecil beranjak remaja itu malah paling baik. Tadi dia bahkan mengajak Aayara untuk bermain Konsol game bersama, mengajak memancing Aayara juga di kolam ikan mereka yang ada di belakang mansion dan masih banyak lagi.
"Tadi malam Mas Rafael ngapain kamu, Aayara?" tanya Serena, berjalan ke ruang makan bersama Aayara. Kebetulan mereka bertemu di lorong depan, jadi sekalian saja. Sebelum Aayara menjawab pertanyaan Serena tersebut, Rafael lebih dulu muncul di sana. Pria itu langsung memeluk Serena dari belakang lalu dengan cepat mengecup bibirnya. "Sweetheart, kau meninggalkanku," ucap Rafael, masih dengan memeluk Serena secara gemas. Semakin ke sini istrinya semakin berisi, pipinya terlihat tembem dan tubuhnya juga lebih padat. Perut Serena juga sudah mulai membuncit, itu membuat pinggang Serena jadi melebar–tidak ramping lagi. Namun, Serena entah kenapa di mata Rafael terlihat lebih cantik dan lebih menggoda. "Mas Rafael!" Serena berdecis pelan, "cik, ada Aayara. Jangan begini," lanjutnya sembari melepas pelukan suaminya dengan susah payah. Rafael menoleh ke arah anak kecil yang tak jauh dari sebelahnya, di mana Aayara sudah menundukkan kepala dan berusaha menghindari pandangannya dari Rafael.
Seperti biasa, Aayara harus menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa magang di perusahaan keluarga suaminya. Dia tengah mengerjakan sebuah laporan dan lagi-lagi dia berurusan dengan Melinda. "Awas saja jika sampai jam makan siang laporan yang saya suruh kalian kerjakan belum selesai." Melinda mengancam dan memperingati, menatap tajam ke arah tiga mahasiswa magang di perusahaan ini, "terutama kamu, Aayara. Kamu yang paling nggak bisa diam di sini. Awas jika pekerjaanmu tak selesai, aku bisa mengadukanmu ke atasan.""Baik, Kak." Aayara menganggukkan kepala dengan patuh dan tak melawan sama sekali. Dia cari aman tentunya. Yah, daripada dia harus mendapat nilai buruk atau menciptakan keributan di sini. Melinda beranjak dari sana, berdecis sinis juga sebelum pergi. "Dia nggak tahu aja jika Pak Maxim itu suami kamu, Aayara." Jenny mencebik, mulai grusak-grusuk dan mengerjakan laporan yang Melinda suruh. "Hais. Biarkan saja lah tuh Mak lampir bertidak. Aku juga malas berurusan dengannya, c