'Tidak! Leppas!' Sayangnya teriakan itu hanya terucap dalam benak Aayara. Kenyataannya, dia tidak berani untuk menghentikan Maxim. Demi Tuhan! Pria ini seperti tahu cara untuk membunuh mental seseorang, tahu mengendalikannya juga. ***Aayara keluar dari kamarnya, setelah kejadian di kamar mandi tadi Aayara bersumpah tak akan berani mengacungkan jari tengah lagi. Sial! Dia apes dua kali dalam sehari ini. Tadi dia habis makan malam dengan keluarga ini. Mereka semua marah, terutama Mama mertuanya dan Tante Sati-nya. Ouh tidak kelupaan dengan Serena. Tapi sayangnya Aurora sudah pulang. Seperti biasa, yang terlihat tak suka padanya adalah Aesya. Sedangkan Papa mertuanya, paman suaminya, dan Rafael serta Reigha, pada dasarnya mereka memang pendiam. Zayyan? Entah kenapa anak kecil beranjak remaja itu malah paling baik. Tadi dia bahkan mengajak Aayara untuk bermain Konsol game bersama, mengajak memancing Aayara juga di kolam ikan mereka yang ada di belakang mansion dan masih banyak lagi.
"Tadi malam Mas Rafael ngapain kamu, Aayara?" tanya Serena, berjalan ke ruang makan bersama Aayara. Kebetulan mereka bertemu di lorong depan, jadi sekalian saja. Sebelum Aayara menjawab pertanyaan Serena tersebut, Rafael lebih dulu muncul di sana. Pria itu langsung memeluk Serena dari belakang lalu dengan cepat mengecup bibirnya. "Sweetheart, kau meninggalkanku," ucap Rafael, masih dengan memeluk Serena secara gemas. Semakin ke sini istrinya semakin berisi, pipinya terlihat tembem dan tubuhnya juga lebih padat. Perut Serena juga sudah mulai membuncit, itu membuat pinggang Serena jadi melebar–tidak ramping lagi. Namun, Serena entah kenapa di mata Rafael terlihat lebih cantik dan lebih menggoda. "Mas Rafael!" Serena berdecis pelan, "cik, ada Aayara. Jangan begini," lanjutnya sembari melepas pelukan suaminya dengan susah payah. Rafael menoleh ke arah anak kecil yang tak jauh dari sebelahnya, di mana Aayara sudah menundukkan kepala dan berusaha menghindari pandangannya dari Rafael.
Seperti biasa, Aayara harus menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa magang di perusahaan keluarga suaminya. Dia tengah mengerjakan sebuah laporan dan lagi-lagi dia berurusan dengan Melinda. "Awas saja jika sampai jam makan siang laporan yang saya suruh kalian kerjakan belum selesai." Melinda mengancam dan memperingati, menatap tajam ke arah tiga mahasiswa magang di perusahaan ini, "terutama kamu, Aayara. Kamu yang paling nggak bisa diam di sini. Awas jika pekerjaanmu tak selesai, aku bisa mengadukanmu ke atasan.""Baik, Kak." Aayara menganggukkan kepala dengan patuh dan tak melawan sama sekali. Dia cari aman tentunya. Yah, daripada dia harus mendapat nilai buruk atau menciptakan keributan di sini. Melinda beranjak dari sana, berdecis sinis juga sebelum pergi. "Dia nggak tahu aja jika Pak Maxim itu suami kamu, Aayara." Jenny mencebik, mulai grusak-grusuk dan mengerjakan laporan yang Melinda suruh. "Hais. Biarkan saja lah tuh Mak lampir bertidak. Aku juga malas berurusan dengannya, c
Aayara saat ini sedang dikejar oleh beberapa orang dan seorang satpam karena dikira pencuri benaran. Karena dia termasuk pelari yang gesit dan cepat, Aayara berhasil lebih unggul dari orang-orang yang mengejarnya. "Minggir," ucap Aayara panik dan cepat ketika melewati keramaian. Brak'Ketika akan membelok ke sebuah gang, Aayara tak sengaja kesandung oleh sesuatu. Dia terjatuh cukup mengenaskan, lutut dan sikunya terluka dan mengeluarkan darah. Itu benar-benar sakit serta perih. "Hoi …!" Suara teriakan para orang yang mengejarnya terdengar lantang. Aayara menoleh sejenak, kakinya sangat sakit untuk digerakkan tetapi tak mungkin dia membiarkan dirinya untuk tertangkap oleh mereka. Demi Tuhan! Aayara tak benar-benar mencuri. Dia hanya ingin mengambil kalung Serena saja dari dalam tas ini. Buru-buru Aayara merogok tas tersebut, berusaha mencari kalung Serena–dengan masih duduk di aspal, menuju arah gang sepi tersebut. Dia berusaha tetap tenang walau orang-orang itu berlari dan menuju
"Harusnya aku tadi menemui Pak Maxim dulu baru ke sini," ucap Aayara sembari berjalan masuk ke dalam mansion–masih dalam keadaan lutut berdarah dan sikut yang terluka parah. Kemeja putihnya juga penuh dengan debu jalanan, akan tetapi Aayara tak peduli dengan semua ini. Dia harus mengembalikan kalung Serena. Perempuan itu tengah hamil dan Aayara takut sesuatu terjadi pada Serena. Kakaknya juga dengan hamil, jadi Aayara bisa mengerti bagaimana kondisi perempuan ketika hamil karena dia memperhatikan Kakaknya. Ibu hamil sangat sensitif, over thinking, mudah baper dan cemas, dan mudah kepikiran juga. Mungkin jika Serena sudah menyadari kalungnya hilang wanita itu pasti akan cemas secara berlebihan. "Tapi nggak apa-apa lah. Paling diomelin doang," gumam Aayara sembari berjalan pelan-pelan ke dalam mansion. Lututnya sangat perih saat suhu dingin terasa menyerang kulitnya. "Aayara?" Keena menatap kaget ke arah menantunya tersebut. Matanya membelalak dan syok melihat penampilan Aayara, di
"Mommy, kenapa menampar Eca?" Deg deg deg Jantung Serena rasanya akan copot saat mendengar suara bariton suaminya yang mengalun tepat dari belakang tubuhnya. "Serena, kalungmu sudah ketemu?" tanya Rafael kemudian, menoleh ke arah tangan istrinya yang telah menggenggam kalung hilang tersebut. Serena menoleh ke arah Rafael kemudian mengangguk kaku dan takut. Di sisi lain, Rafael menatap Mommynya lalu menatap adik perempuannya. "Mom?" ucapnya lembut dan rendah, namun terkesan menuntut. "Dia berani melukai hati adiknya sendiri," marah Sati, menatap gusar pada Aesya. "Dia bukan adikku! Dia pencuri kalung Kak Serena, Mom, Dad, Abang El. Dia mengaku sendiri jika dia melakukan itu!" Aesya memekik tak terima, masih memegang bekas tamparan Mamanya dengan air muka sendu. Aesya benar-benar tak percaya jika Mommynya akan memukulnya hanya karena perempuan itu. "Aku tidak pernah mengajarimu bersikap arrogant seperti ini, Aesya." Sati berucap marah, intonasinya tegas tatapannya dingin ke arah
"Kenapa lututmu bisa terluka?" tanya Maxim, setelah membersihkan dan mengobati luka di lutut dan juga sikut istrinya. Dia lalu menatap penampilan Aayara dari atas hingga bawah, memperhatikan kemeja putih Aayara yang berdebu dan kotor. "Kau habis dari mana?" Aayara menggelengkan kepala, memilih menatap jalan dengan raut muka muram dan sedih. "Umm … begini saja, tolong antar aku ke kontrakan Jenny, Pak. Laporan harian ku tertinggal dan …-"Brak'Ucapan Aayara seketika berhenti, Maxim dengan kuat dan marah memukul setir mobil–membuat Aayara sontak tergelonjak kaget dan menegakkan punggungnya, menoleh pelan ke arah Maxim dengan air muka pucat dan takut. Maxim marah padanya! "Jangan bercanda denangku!" bentak Maxim, menatap Aayara dengan air muka marah yang kentara. Aayara semakin takut di kursinya, meringsut ke pintu dan menatap gugup ke arah Maxim. "Katakan! Kenapa kakimu?!" dingin Maxim selanjutnya, menatap tajam dan penuh peringatan ke arah Aayara. "A--aku terjatuh," cicit Aayara
Karena tak enak mengatakannya lewat chat, Aayara dan Kakaknya memutuskan untuk berbicara lewat sambungan telpon. Di mana Kakaknya mengatakan jika Hendra, adiknya Dimas, tertangkap oleh pihak berwajib karena ketahuan kecanduan narkoba. Bukan hanya itu, sebelum tertangkap Hendra sempat membakar rumah Kakaknya karena marah Aayara menikah dengan orang lain. Yah, sejak lama Aayara tahu jika Hendra sudah menyukainya. Tatapan pria itu sangat aneh pada Aayara, karena itu Aayara memilih untuk tinggal di kontrakan dengan Jenny dari pada di rumah Kakaknya. Dia sangat terganggu dengan tatapan Hendra padanya. Dan sekarang puncak masalahnya, Hendra tahu dia menikah–pria itu marah dan membakar rumah Kakaknya sendiri. Akibat dari perbuatan Hendra tersebut, Arfita dan Dimas harus mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk mengganti rugi pada tetangga mereka yang rumahnya juga ikut terbakar. Belum lagi masalah kasus narkoba-nya–Dimas dan Arfita hampir kehabisan uang karena masalah ini! Satu lagi, He