Imran turun dari mobil dan berjalan pelan menuju pintu, tapi ia heran karena pintu rumah dalam keadaan terbuka. Irman tetap berdiri di depan pintu, menunggu si empunya rumah keluar. Entah Nisa sengaja membuka pintu, atau jangan-jangan ....Brak ... terdengar suara benda jatuh dari dalam. Imran yang berdiri di luar terkejut. Panik, lelaki itu pun masuk dan mendapati ruang tengah kosong, tapi kamar yang pernah ditempati Nisa dalam keadaan terbuka. Pun dengan ruangan kerjanya yang bersebelahan dengan kamar itu pun terbuka. Seingat Imran, ruangan itu terakhir ditinggal dalam keadaan tertutup. Nisa pun bukan tipe istri pelupa, ia akan memastikan rumahnya dalam keadaan rapi sebelum melakukan hal lain.Saat tengah merias wajah, Nisa mendengar suara gaduh dari kamar bawah. Terkejut bukan main, firasat buruk mengatakan jika ada orang asing yang masuk ke dalam rumahnya. Dengan langkah pelan, Nisa ke luar kamar.Imran berjalan mengendap-endap saat hendak melangkah ke pintu. Di dalam kamar, terde
Imran menangis tergugu di depan ruang operasi. Tubuhnya merosot dan terduduk di lantai. Dokter dan beberapa perawat sudah berada di sana guna memberikan pertolongan.Sudah setengah jam berlalu, tapi dokter yang menangani Nisa belum keluar dan memberikan kabar bagus. Imran berharap ini semua hanya mimpi dan bukan Nisa yang berada di dalam kamar operasi itu.Imran memeluk lutut, menyembunyikan tangisnya di sana. Ia bahkan tidak peduli pada sekitarnya yang melihatnya dengan tatapan iba. Lelaki itu bahkan terlihat sangat berantakan dengan mimik wajah yang begitu cengeng, karena sejak masuknya Nisa ke dalam ruang operasi, Imran tidak berhenti menangis.Bayangan saat Nisa melindunginya dari serangan pencuri itu masih teringat jelas dalam memorinya. Pisau dapur itu ditancapkan ke arah Nisa dan seketika tubuh Nisa pun ambruk pada pelukannya. Hal yang masih bisa dianggap sebuah keberuntungan adalah bahwa pencuri itu langsung diamankan oleh dua satpam yang dikirimi chat oleh Imran dan tiba tepa
Imran menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Dengan terbata-bata dan tangis yang kembali pecah Imran pun menceritakan kronologi kejadian itu pada orang tuanya. Bu Surya menangis tersedu-sedu saat mendengar jika Nisa sudah merelakan nyawanya demi putranya yang bodoh ini. Pak Surya memeluk sang istri berusaha menenangkan.“Wanita mulia seperti Nisa masih sanggup kamu sakiti, Imran! Benar- nggak punya hati kamu!” hardik Bu Surya penuh amarah. Sedari awal memang ia tidak menyetujui sikap egois Imran.“Imran tau, Ma.” Wajah Imran tertunduk dengan air mata yang masih menetes.“Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nisa. Mama nggak akan maafin kamu!” Telunjuk Bu Surya berada tepat di depan wajah Imran.“Wes, toh, Bu. Ini rumah sakit. Tenang sedikit.”“Tenang opo toh, Pak.” Bu Surya pun memarahi sang suami. Di saat keadaan mulai memanas, pintu ruang operasi terbuka. Seorang perawat mengenakan atribut serba hijau pun muncul di sana.“Keluarga pasien!” serunya“Saya suster!” seru
Fadhil menggandeng tangan sang ibu saat meninggalkan koridor rumah sakit. Sejak tiba di rumah sakit, sang ibu lebih terlihat pendiam dari biasanya. “Kamu kok bisa setenang itu, sih, Fadhil! Ibu nggak paham!” seru Bu Sri kesal saat benar-benar berada di luar gedung rumah sakit.Bu Sri paham bagaimana keadaan hati putra semata wayangnya itu. Fadhil sedang tidak baik-baik saja, terlebih sikap Imran dan orang tuanya. Bu Sri menganggap jika permintaan Imran waktu itu untuk meminta Fadhil menikahi Nisa adalah main-main saja.Kalimat Bu Surya tadi yang menyebut Nisa adalah menantunya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Hatinya ngilu jika nantinya Imran membatalkan menjodohkan Nisa dengan Fadhil. Padahal, Bu Sri pun berharap besar bisa menjadikan Nisa menantu di rumahnyaFadhil menyadari kekesalan sang ibu. Lelaki berkacamata itu hanya tersenyum simpul menimpali celoteh ibunya.“Lanjut marahnya nanti di rumah saja, ya, Bu,” ucap Fadhil datar sambil menyalakan mesin mobil.“Kamu, tuh. Selalu
Bu Surya terbangun saat ia mendengar suara Nisa. Tapi Nisa sudah kembali tertidur karena efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang.Mata Bu Surya menatap Imran yang duduk di sisi ranjang dan menatap Nisa dengan tatapan kosong. Lelaki itu terlihat sayu dan tidak bergairah. Jujur saja, sebagai seorang ibu, hatinya pun pilu melihat putra sulungnya terlihat seperti orang sakit. Bimbang. Itu yang dirasakan Bu Surya. Mau menasihati seperti apa pun, jika Imran sendiri enggan bertindak, Bu Surya bisa apa. Ia hanya bisa mendoakan semoga apa yang Allah takdirkan adalah yang terbaik untuk semuanya.Imran mengusap wajahnya kasar, ia bahkan tidak peduli pada sang mama yang melihatnya sedemikian rupa. Wajahnya tertuju lurus pada Nisa. Ia seolah takut kehilangan Nisa dan memang tidak ingin kehilangannya. Imran masih mencintai Nisa, bahkan kadar cinta itu tidak pernah berkurang sedikit pun. Terlebih setelah insiden Nisa menyelamatkan nyawanya, kadar cinta Imran semakin bertambah.Bu Surya kembali
Hati Imran berdenyut nyeri kala mendengar permintaan maaf itu. Imran justru bersyukur, karena adanya insiden itu mata dan hatinya terbuka dan Imran berinisiatif untuk membatalkan perjodohan Nisa dengan Fadhil.Imran diam dan dengan tetap memandangi Nisa. Lidahnya terasa kelu, pun bingung harus menjawab apa.“Mas kok diam? Mas Imran marah sama Nisa, ya?”Imran menggeleng. Ia merasakan matanya panas karena menahan air mata yang terasa ingin keluar.“Mas nggak marah sama Nisa.”“Alhamdulillah. Nisa takut Mas marah sama Nisa.”“Nggak, Nisa.”“Ngomong-ngomong, lelaki yang Mas pilihkan untuk Nisa, dia bagaimana? Apa dia marah karena kita nggak jadi bertemu semalam?”“Nisa nggak usah mikirin itu. Nisa harus fokus sembuh dulu aja.”“Iya, Mas. Tapi, Nisa hanya ingin membahagiakan Mas Imran. Bukankah menikahnya Nisa dengan lelaki lain bisa bikin Mas bahagia?”“Nisa ... Mas janji akan mengabulkan semua keinginan Nisa, sebagai bentuk rasa bersalah Mas selama ini.”“Mas ... Nisa nggak mau apa-apa.
Kondisi Nisa perlahan semakin membaik. Bu Surya benar-benar menjaga Nisa penuh kasih sayang layaknya putri sendiri dan sangat dimanja.Imran tetap tinggal di apartemen miliknya, meski sesekali ia datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk sekadar menjenguk mereka, atau lebih tepatnya ingin mengobati rasa rindunya pada sang mantan istri. Lelaki itu kerap kali membawakan makanan kesukaan Nisa dan tentu diterima dengan senang hati. Dalam benak Nisa, perhatian seperti ini biasa untuknya. Karena selama ini pun Imran selalu baik dan perhatian padanya. Meski beberapa bulan belakangan ini sikap Imran dingin padanya, tapi Nisa tidak pernah ambil pusing. Di mata Nisa, Imran tetap sosok lelaki yang baik dan penyayang.Tidur di kamar milik Imran, membuat Nisa terkadang harus merasakan kenangan kembali momen manisnya bersama Imran saat mereka masih bersama dan tidur di kasur itu. Tapi bukan Nisa namanya jika tidak kuat. Nisa bertekad harus membahagiakan Imran, satu-satunya lelaki yang ada di d
Hari yang dinanti pun tiba. Pagi ini, Fadhil dan Bu Sri sudah bersiap-siap hendak berangkat ke rumah orang tua Imran. Lelaki berkacamata itu terlihat gugup dan Bu Sri hanya tertawa melihat tingkah putra semata wayangnya itu.“Bismillah, Nak,” ucap Bu Sri pada Fadhil. Lelaki itu pun berulang kali mengembuskan napasnya panjang sambil mulutnya terus mengucapkan kata basmalah. Tanpa membuang waktu, keduanya pun lantas berangkat menuju rumah Imran. Imran sudah berada di rumah sang mama sejak pukul enam pagi. Ah, entah untuk apa Imran pagi-pagi datang ke sana. Pasalnya Imran dilanda insomnia dan datang ke rumah sang mama dengan raut wajah sayu dan mata yang sembab. Bu Surya tentu paham apa yang dirasakan Imran, hanya saja ia tidak banyak bicara.Nisa masih berada di dalam kamar, ia akan keluar jika sang mama memanggilnya nanti. Wanita itu tampak ayu dengan balutan gamis merah muda, senada dengan kulit tubuhnya yang putih mulus.Pukul sepuluh pagi Fadhil dan Bu Sri tiba di kediaman Surya. D
“Fadhil, kok, kamu lain hari ini?” tanya Bu Sri saat menemani putra semata wayangnya itu makan siang. Bi Sumi, Nisa dan Syafira sedang pergi ke supermarket membeli es krim, karena Syafira rewel minta jajan. “Lain gimana, Bu? Fadhil masih ganteng ‘kan, meski mau punya anak dua?” tanya Fadhil sambil terkekeh. “Ish, kamu, nih!” Bu Sri urung melanjutkan perkataannya karena takut Fadhil akan kepikiran. Fadhil melanjutkan makannya, sementara Bu Sri terus memandangi putranya itu. Perasaan Bu Sri dipenuhi kekhawatiran yang membuatnya takut. Wajah Fadhil seolah membuat Bu Sri Dejavu. Bayangan masa lalu itu seolah kembali. Dulu ... sebelum atau Fadhil meninggal dunia, Bu Sri memiliki firasat seperti ini. Terlebih rona wajah Fadhil sama persis seperti mendiang suaminya dulu. Satu hari sebelum ayah Fadhil meninggal, rona wajahnya terlihat cerah, bersih dan seperti bercahaya. Tidak ada tanda-tanda sakit atau apa pun. Bahkan sangat sehat dan segar bugar. Masih teringat jelas saat Bu Sri
Kesedihan dan patah hati membuat Imran berubah menjadi sosok yang lebih kuat. Sikapnya terlihat jelas dengan ia lebih giat dalam bekerja. Tidak pernah sekali pun Imran menunjukkan gelagat sedih di hadapan orang tuanya atau pun orang lain. Karena Imran benar-benar sedang menerapkan ajaran dari Fadhil untuk bisa bersikap secukupnya.Keceriaan terpancar dari raut wajah Imran. Lelaki itu sudah membuang jauh-jauh rasa sedih dan iri terhadap kebahagiaan yang dimiliki Fadhil. Imran sudah ikhlas, lahir dan batin. Bu Surya pun bisa bernapas lega melihat putra sulungnya bisa mengambil hikmah dari perbuatannya itu.“Kalau Allah masih menyisakan jodoh untuk Imran. Pasti suatu saat nanti dipertemukan, kok, Ma. Mama nggak usah khawatir,” ucap Imran pada sang mama saat sore hari usai pulang dari kantor.“Mama cuma ....”“Mama nggak usah takut. Allah maha segalanya, serahkan pada-Nya,” ucap Imran bijak. Kali ini Bu Surya tidak lagi banyak membantah. Ia percaya pada putranya, bahwasanya Imran bisa mem
Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni
Imran masih duduk dengan di kursi restoran, tanpa ada niat untuk pergi atau mengurung diri seperti yang ia lakukan dulu jika menghadapi situasi ini. Lelaki itu justru mencoba menghabiskan makanannya yang masih tersisa, meski makanan itu terasa pahit di lidah. Teringat pesan sang mama agar tidak menyisakan makanan, karena banyak di luaran sana orang-orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.Lelaki itu tidak menangis lagi, bahkan Imran merasa air matanya sudah kering. Yang ingin Imran lakukan sekarang adalah menghabiskan makanan itu dan pergi untuk segera pulang ke rumahnya. Imran tidak lagi menempati apartemennya sejak ia tertangkap basah oleh Pak Surya di saat sedang mabuk.Saat Imran hendak menyendok suapan terakhir, seseorang menepuk bahunya. Imran menoleh. “Fadhil!” Fadhil tersenyum lalu duduk di hadapan Imran. Kening Fadhil berkerut saat melihat piring bekas makan seseorang.Imran yang menyadari keanehan di wajah Fadhil berucap. “Tadi saya makan sama Fitri.”“Dia ke mana?” tany
Seperti kisah sinetron yang akan menuju ending yang bahagia dan tidak ada lagi air mata. Kisah cinta Nisa, Imran dan Fadhil pun seperti itu. Imran turut bahagia dan terharu kala mendengar kabar tentang kehamilan Nisa, pun dengan orang tua Imran, mereka tentu bahagia pula.Bu Surya sering mengunjungi Nisa di rumahnya. Bersama Alifah ia datang. Bu Sri tentu tidak keberatan dengan hal itu. Justru dengan seringnya Bu Surya datang berkunjung, hubungannya dengan ibu dari Fadhil pun terlihat semakin akrab, bahkan keduanya semakin kompak.Nisa bersyukur karena dua wanita yang paling disayanginya kini terlihat bak teman, semoga saja mereka akan terus menjalin hubungan baik ini.Imran doble bahagia, karena sebentar lagi Fitri akan pulang dan niatnya untuk melamar dan meminang gadis itu akan segera ia wujudkan di hadapan Semuanya. Tentunya Fitri sudah mengetahui latar belakang Imran dan gadis itu dengan hati terbuka menerima. Imran tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan ini dan akan mencintai Fi
Dua tahun kemudian ....“Unda ....” Syafira merengek pada Nisa minta digendong, sedangkan wanita itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Fadhil di dapur. Syafira bangun tidur tanpa sepengetahuan Fadhil, lelaki itu entah ke mana. Biasanya, bocah mungil itu akan digendong Fadhil jika ikut bangun subuh seperti ini.Syafira ... kini bocah itu mulai bisa berjalan dan mengoceh. Ia bisa membedakan mana bundanya dan orang lain. Syafira semakin manja dan enggan digendong orang lain, bahkan jika pun terpaksa, harus diiming-imingi hal lain. Ajak jajan, misalnya.Nisa mematikan kompor dan melap tangannya, lalu menggendong Syafira.“Kok anak bunda udah bangun, sih. Ayah, mana, nih? Bunda lagi bikin sarapan, Syafira sama ayah dulu, ya,” ucap Nisa sambil berjalan ke kamarnya. Di sana, ia melihat Fadhil baru ke luar dari kamar mandi.“Syafira udah bangun, Nis?”“Iya ... gendong bentar, ya, Kak. Nisa lagi buat sarapan buat Kak Fadhil.”Tanpa menunggu jawaban Fadhil, Nisa menyerahkan Syafira pada le
Fadhil dan Nisa menjalani hari-harinya sebagai orang tua muda. Mereka banyak melakukan hal-hal yang biasa orang lain lakukan. Fadhil tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk bersama Syafira dan Nisa. Terlebih kini bocah mungil itu sedang gemas-gemasnya karena sudah mulai berceloteh meski usianya belum genap satu tahun.Seperti biasa, sore ini Fadhil pulang lebih awal. Saat kakinya melangkah masuk dan mengucapkan salam, Syafira dengan riangnya menyambut kedatangan sang ayah. Balita itu merangkak pelan mendekati Fadhil sambil tersenyum riang. Nisa di belakang Syafira menuntun.Nisa meraih tangan kanan Fadhil dan menciumnya lembut, Fadhil lalu meraih kepala Nisa dan mencium keningnya. Kepala Syafira mendongak menyaksikan adegan mesra orang tuanya itu sambil senyum dan memperhatikan.“Assalamualaikum anak ayah. Cantik banget hari ini,” ucap Fadhil sambil tangannya menggendong Syafira. Bocah itu tersenyum sambil tangannya mengusap wajah Fadhil dan mencoba membuka kacamatanya. Tapi Nisa k
Allah sudah menjamin kehidupan manusia di bumi. Tidak perlu khawatir akan kekurangan. Allah menyuruh kita untuk berusaha dan berdoa. Kedua hal itu tentunya harus dilakukan seimbang. Doa tanpa usaha, itu bohong. Sedangkan usaha tanpa doa, itu sombong. Begitulah pepatah yang ada.Kehadiran bayi di tengah-tengah kehidupan Fadhil dan Nisa membawa banyak perubahan. Fadhil yang semakin siaga menjaga Nisa dan memberikannya perhatian lebih agar tidak terkena syndrom baby blues. Bergantian menggendong bayinya jika terbangun malam hari dan Nisa bisa istirahat. Bu Sri terlihat antusias membantu Nisa merawat juga menjaga bayi mungil itu. Tidak seperti cerita menantu dan mertua yang sering terjadi, yang malah mertua yang membully menantu, atau mertua yang enggan membantu dan banyak lagi kisah negatif tentang itu semua. Sedangkan Bu Sri berbeda, ia justru membantu Nisa bahkan ia mengajari Nisa cara memandikan bayi dengan baik agar tidak menangis.Nisa merasa beruntung memiliki mertua selembut dan
Fadhil harus semakin hati-hati dalam melakukan sesuatu hal. Berbicara tentang apa pun Nisa sensitif. Terlebih jika hal yang dibicarakan ada kata wanita. Sudah bisa dipastikan jika sikapnya akan berubah, yang semula manis, ujungnya malahan menangis.Pernah suatu hari Nisa menyaksikan saat seorang tetangganya menyapa Fadhil yang sedang menyiram tanaman, serta merta Nisa langsung masuk ke dalam kamar dan langsung menangis. Fadhil dibuat keteteran dengan sikap istrinya. Bukan karena capek melihat tingkah Nisa yang seperti anak ABG yang memiliki over protective pada pasangannya, melainkan Fadhil khawatir pada bayi yang dikandungnya. Pun kesehatan Nisa bisa terganggu. Maka dari itu, demi menjaga suasana, Fadhil memilih untuk terus berada di rumah dan tidak melakukan aktivitas di luar.Kehamilan Nisa membuat banyak perubahan. Fadhil yang semakin sabar, juga Nisa yang sikap cemburunya bikin geleng-geleng kepala. Tapi Nisa dan Fadhil berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesal yang ada di hati