Aku sedang menikmati mujair goreng yang dimasak Buk Tami, saat tiba-tiba saja Inara terdengar merintih. Perempuan itu sedikit membungkuk, lalu memegangi dada kiri.
Kujeda gerakan mengunyah. Sudah akan menghampiri dia, tetapi Ibu dan suami perempuan itu lebih dulu melakukannya. Jadi, aku lanjut menggerakkan rahang, menghaluskan makanan di mulut.Inara pasti kambuh lagi. Entah di mana Ibu membawanya berobat, sepertinya selama ini ia dirawat dokter gadungan. Bertahun-tahun sudah menjalani perawatan, minum obat ini dan itu, sudah dua kali operasi, tetapi jantungnya masih saja bermasalah.Inara sudah begitu dari lahir. Sejak kecil, dia sering pingsan. Kelelahan sedikit, pingsan. Terkejut sedikit, pingsan. Bahkan untuk sekadar ikut upacara di sekolah saja dia itu enggak sanggup.Ibu sudah membawanya ke beberapa dokter. Kata mereka kelainan jantung yang Inara punya sulit disembuhkan. Paling bisa dibantu obat dan beberapa kali operasi. Namun, setelah semua itu dilakukan, kondisi anak kedua ibuku itu enggak membaik."Kita ke dokter, saja, ya?"Aku melihat Gatan memegangi Inara dengan wajah cemas. Lelaki itu menggenggam tangan istrinya erat-erat.Inara menggeleng. "Aku cuma perlu istirahat sebentar, Mas."Aku berdecak pelan. Ibu dan Gatan langsung melotot. Aku salah lagi sepertinya."Kamu ini memang tidak punya hati! Bisa-bisanya kamu tetap makan saat adikmu sakit, Anesya?"Aku menaikkan alis pada Ibu. Tetap makan bagaimana? Apakah Ibu enggak lihat sendok sudah kutaruh? Apa harus makanan yang telanjur dikunyah dibuang?"Pergi ke rumah sakit, deh," kataku pada Inara. "Bertahan di sini waktu kamu sakit gini, cuma bikin aku jadi orang yang selalu disalahkan.""Siapa yang tidak akan menyalahkan kamu, Anes? Semua orang panik, kamu bisa makan dengan tenang?! Akui saja kalau kamu memang tidak punya otak dan hati. Tidak heran tak ada yang mau menerima kamu!"Ibu memapah Inara untuk dibawa ke kamar. Aku hanya bisa tersenyum miring pada wanita itu."Ibu juga, akui saja."Ibu berhenti berjalan. Wanita itu menoleh dengan wajah merah padam."Ibu memang dari awal enggak pernah suka aku. Karena itu, semua-semua disalahkan ke aku. Aku cuma suruh Inara ke rumah sakit tadi. Tapi, apa? Ibu malah ngatain aku enggak punya otak sama hati. Apa kalian berdua belum cukup untuk bantu dia, sampai-sampai aku juga harus ikut?"Mataku menatap lurus pada Ibu. Aku enggak takut."Ini bukan waktu yang tepat, An--""Diam kau!" bentakku pada Gatan. Kutoleh dia dengan sorot penuh kebencian. "Jangan ikut campur," sambungku dengan rahang mengetat."Apa karena Inara sakit, aku jadi enggak boleh makan?" lanjutku pada Ibu. "Makan dengan tenang?" Tawaku terdengar hambar. "Apa kalau anak kesayangan Ibu sakit, aku harus sampai membuang makanan yang udah sempat kukunyah? Terdengar enggak waras."Aku bangkit dari kursi. Sengaja mendorong bekas dudukan itu kuat-kuat, sampai jatuh sekalian. Biar orang-orang itu tahu kalau aku juga marah.Siapa yang bisa tetap dingin kepala saat dikatai enggak punya otak, padahal enggak melakukan apa-apa? Apa jantung Inara yang kumat itu salahku?"Ibu pasti capek menghadapi aku, 'kan? Jadi, daripada bikin Ibu sakit darah tinggi dan bikin malu keluarga, biarkan aku pergi dari rumah ini. Besok aku pergi."Usai mengatakan itu, aku pergi dari ruang makan. Lelah rasanya harus terus-terusan mengalah di rumah ini. Aku juga harus mengingatkan Ibu bahwa tinggal di sini bukan keinginanku. Ibu yang menyuruh. Aku punya tempat tinggal sendiri. Sebulan sebelum digugat cerai, aku sudah pindah ke kos-kos-an. Ibu yang meminta aku tinggal di sini.Jika keadaannya seperti ini terus, agaknya keputusan setuju harus diganti. Aku enggak tahan. Jantung Inara yang rusak, aku yang dikatai enggak punya otak. Aneh. Keluarga ini aneh.***"Kak, jangan pergi dari sini." Inara mengejar langkahku yang sudah mencapai pintu.Aku berbalik, lalu menyipit pada dia. Dia malah menangis. Sepertinya kepergianku akan diiringi drama pagi ini.Ibu datang dari arah dapur. Wanita itu memberi tatapan benci padaku, lalu memegangi putrinya yang masih tampak enggak sehat itu."Masuk ke kamarmu, Anes. Mau jadi apa kamu tidak tinggal dengan Ibu? Makin liar kamu nanti."Aku menepis tangan Inara yang memegangi lengan. Pandanganku sama sekali enggak berpindah ke Ibu."Aku mau pergi, Inara. Jangan bikin drama. Kamu memangnya cukup sehat untuk drama nangis-nangis begini?""Anes!" Ibu memperingatkan."Maaf, Kak. Maaf kalau Inara selalu bikin Kakak susah. Inara nggak maksud begitu. Jangan pergi. Kakak sendirian di sana. Siapa yang bakal nemenin Kakak?" Inara kelihatan susah payah menarik napasnya. Aku curiga sebentar lagi dia akan tumbang.Lalu, aku lagi yang disalahkan? Bisa enggak anak satu ini berhenti membuatku terlihat jahat?"Kalau kamu sadar udah salah, enggak usah larang aku pergi." Aku memutar tumit, kemudian berjalan cepat keluar dari rumah itu.Pergi dari sana adalah yang terbaik. Dulu, waktu Ayah masih ada, mungkin aku masih punya alasan untuk tinggal. Beliau akan membelaku dari perlakukan kejam ibu kandung rasa ibu tiri. Namun, sekarang Ayah sudah enggak ada. Jadi, tinggal terpisah dari Inara dan Ibu adalah yang paling baik.***Kembali ke kos-an, aku langsung didatangi tetangga sebelah. Namanya Rahisa. Dia lebih dulu tinggal di kos-kosan ini."Aku kira kamu enggak akan balik lagi." Dia memberi pelukan yang berhasil membuat bibirku tersenyum.Aku menepuk-nepuk punggungnya. Kami duduk di lantai usai berpelukan, dia langsung membongkar tas belanja berisi camilan yang kemarin aku beli. Melihatnya menatap senang camilan yang kubaw, rasanya enak sekali."Ngomong-ngomong kenapa kamu balik kemari?" tanyanya antusias."Apa lagi memangnya? Mana betah aku hidup seatap sama Ibu."Pada Rahisa, walau kami baru dekat sebulan, aku sudah menceritakan semuanya. Soal nasib pernikahanku yang gagal dua kali, juga tentang keluargaku. Aku masih ingat, dia ini menangis ketika pertama kali mendengar kisahku.Benar kata orang. Hanya yang pernah mengalami sakit yang bisa mengerti cerita sedih. Rahisa ini buktinya. Dia bisa mengerti aku dengan baik. Dia bahkan sempat melarang aku kembali ke rumah Ibu kemarin itu. Namun, dasarnya aku suka menyusahkan diri sendiri. Aku menentang sarannya dan datang ke sana.Rahisa mengangguk-angguk. "Terus, sekarang kamu mau apa?""Kek biasa. Ngurusin kerjaan, kumpulin uang, buat pindah ke Mars."Perempuan dengan mata coklat itu menyipit. Air mukanya jadi sedih. "Aku ditinggal lagi?"Tawaku lepas mendengar itu. "Loh, kamu, 'kan udah ada Pak Naja?"Rahisa memukul lenganku. "Kalau bisa enggak usah ke mana-mana. Di sini aja. Kalau pun enggak tinggal di kosan sini, pokoknya masih tempat yang aku bisa datangi. Lagian, kamu ke Mars mau naik apa?""Naik odong-odong," sahutku."Gilak!" balasnya. "Jangan ke mana-mana. Tempatmu di sini. Di Bumi." Perempuan itu menatapku penuh arti.Tersentuh hatiku mendengar ucapannya. Sudah kubilang, perempuan satu ini bisa mengerti isi hati tanpa harus aku jelaskan panjang lebar. Padahal, aku hanya pernah cerita sekali padanya soal ingin pergi ke Mars. Namun, dia bisa mengerti dengan baik."Eh, karena kamu udah pulang, aku mau beli ikan, dong?" Rahisa mengeluarkan uangnya dari saku belakang, menghitungnya."Untuk apa? Untuk Pak Naja?"Rahisa melotot, tetapi menggigit bibirnya. "Jangan bawa-bawa bosku, Anesya.""Kenapa? Ih, malu-malu bukan gayamu, Rahisa," ejekku ketika pipinya bersemu merah.Rahisa tertawa. "Sama kamu harus malu-malu. Di depan Pak Naja baru boleh ng*ngk*ng kayak orang enggak punya malu."Aku terbahak. Gila perempuan satu ini. Belum ada satu jam aku bertemu dia, tetapi sudah bisa membuatku tertawa dan tersenyum."Ayok, ah! Aku mau beli ikan. Setengah kilo, kasih bonus, ya?"Tadinya, aku ingin mengurung diri di kamar ini. Meratapi nasib yang malang, atau menangis lagi. Namun, karena harus menuruti permintaan Rahisa, niat itu harus dikesampingkan.Alih-alih menangis, aku malah jalan ke sana kemari dengan dia usai mengurusi pesanan ikannya. Rahisa mentraktir jajan es campur, lalu membelikan satu potong ayam goreng tepung."Aku lagi ngirit, jadi kubelikan satu saja. Oke? Dilarang protes!"Keinginanku untuk menangis entah pergi ke mana. Bersama Rahisa sampai sore, yang kulakukan hanya berceloteh, jalan sana, jalan sini, lalu tertawa macam orang enggak ada beban.Menangisnya lain kali saja.Warning! 18+ *** Aku tiba di kos pukul tujuh malam. Beberapa minggu cuma mengontrol pekerjaan lewat ponsel, ternyata banyak hal yang perlu dilakukan. Aku pergi pukul sepuluh pagi tadi, dan baru selesai sekarang. Suasana hati agak muram saat aku ingat kalau malam ini Rahisa enggak tidur di kosnya. Rahisa akan menginap di rumah Pak Naja, karena laki-laki itu sakit. Sepertinya, habis mandi nanti, aku langsung tidur saja. Langkahku yang menuju kamar memelan saat melihat ada orang yang duduk di kursi teras. Kukira salah lihat, sempat sangsi kalau itu Gatan, suaminya Inara. Namun, setelah menginjak teras, ternyata benar lelaki itu Gatan. Malas meladeni dia, pun enggak tahu apa urusannya ada di sini, aku membuka kamar. Siapa tahu dia nyasar, ya, 'kan? Nanti, kalau aku tanya, dia malah bilang aku ge-er. Namun, ketika akan menutup pintu, Gatan malah mencegah. Pria itu mendorong kuat, sampai pintu kamar terbuka lebar. Dia menekuk wajah ke arahku, makin terlihat jelek dia. "Inara tanya
"Ini udah jadwalnya bersihin kolam, ya, Pak?" tanyaku pada Pak Sardi di sebelah. Pria lebih setengah abad itu mengiyakan. "Rencana besok, Mbak," jawabnya sembari menyebar pakan ikan ke kolam. Aku mengangguk, sambil memandangi para mujair yang mulai berkerubung di tempat pakan dijatuhkan. Aku menghitung dalam hati. Ini sudah bulan kelima setelah penyebaran bibit, artinya sudah bisa panen. Kembali aku menanyai Pak Sardi untuk lebih memastikan. Bagaimana juga beliau yang lebih sering mengurusi kolam-kolam mujair ini. Jadi, pasti lebih mengerti. Sejak berhenti menjadi teller salah satu bank, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha. Budidaya ikan mujair yang kupilih. Dan setelah mengalami beberapa kali rugi, beberapa tahun belakangan usaha ini cukup menjanjikan. Aku bisa membiayai diriku dari usaha ini. Karena itu, meski enggak tinggal bersama Ibu sekali pun habis bercerai, aku enggak akan kesulitan bertahan hidup. "Apa mau sore ini saja panen, Mbak?" Pada Pak Sardi aku menggeleng. "
"Bisamu cuma buat ulah." Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata. Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini. "Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat? "Pindah ke kamar. Di sini dingin." Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya. "An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar. "Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi. "Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik. Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu
Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat. Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan. Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson. "Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--" "Rumah sakit!" potongku pada Gatan. Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung. "Rumah sakit. Cepat!" Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi. "Kamu mau apa ke rumah sakit?" Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas. "T
Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau
Malam sudah datang, tetapi aku masih duduk di lantai dekat kasur. Berjam-jam memikirkan keadaan nahas ini, tetapi enggak kunjung mendapat solusi. Yang ada, perasaanku makin kacau. Sebelum ini, aku yakin sekali akan bisa hidup bebas. Sudah enggak punya suami, sudah pindah dari rumah Ibu. Sudah menunaikan keinginan Inara juga. Harusnya, sekarang aku siap untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang belum sempat dilakukan. Aku bahkan sudah membuat daftarnya kemarin. Kutulis wishlist itu di kertas origami kuning, lalu kusimpan di buku catatan kecil yang sering dibawa. Begitu serius aku untuk mewujudkan hidup yang bebas dan bahagia. Namun, lihatlah yang aku dapatkan. Dulu, aku enggak bisa melakukan apa yang kumau karena Inara. Ibu akan marah jika aku pergi jalan-jalan ke toko buku dengan teman-teman sepulang sekolah. Katanya, Inara akan sedih sebab enggak bisa ikut dan harus pulang sendiri. Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak. Perkara
Mengambil keputusan untuk mempertahankan janin ini, aku sudah mengkalkulasi banyak hal. Pertama, calon bayi itu enggak salah apa-apa, dia hadir karena ulahku dan dia berhak hidup. Kedua, meski nanti akan berat, tetapi sepertinya aku bisa berusaha untuk mengurus seorang anak, sendirian. Aku punya penghasilan untuk menghidupi dia nanti. Masalah kami akan jadi bahan gunjingan orang, aku bisa mengarang cerita agar anak ini nantinya aman dan tahu kalau ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Soal yang lain, akan kucoba pelajari sesegera mungkin. Ketiga, kenapa akhirnya aku putuskan untuk memelihara calon anak ini adalah karena siapa tahu nanti dia mirip ayahnya. Kapan lagi punya versi mini dari Gatan yang bisa diatur-atur sesuka hati? Belum lagi, anak ini nanti akan sepenuhnya milikku. Enggak seperti ayahnya yang harus dibagi-bagi. Dan keempat, ini untuk Rahisa. Seperti kata Pak Naja, Rahisa pasti akan senang kalau nanti punya keponakan. Langkah pertama untuk menjaga anak ini, hari ini ak
"Lagi hamil, ya?" Pertanyaan Ibu pemilik warung yang aku datangi, kujawab dengan anggukkan pelan, enggak bersemangat. Pagi ini, kondisiku agak kurang baik. Sejak kemarin aku enggak selera makan apa pun dan lemas. Pagi ini, aku ke warung untuk membeli beberapa bahan makanan. Siapa tahu dengan memasak menu lain, selera makan jadi sedikit membaik. Aku membeli mi putih dan satu bungkus bakso. "Biasanya Ibu hamil memang begitu. Sering lemas. Suaminya di mana?" Beberapa minggu tinggal di sini, ini pertama kalinya ada yang menanyai soal suamiku. Seperti rencana awal, aku menjawab kalau ayahnya calon anakku ini sudah meninggal. "Dia supir, Buk. Kecelakaan dan meninggal di tempat." Aku menunduk untuk menahan senyum. Semoga enggak ada malaikat yang mencatat ucapan tadi. Ibu pemilik warung itu tampak simpati. Beliau mengangguk dengan wajah iba. Usai menghitung belanjaanku, dia berkata, "Yang sabar. Kamu pasti sudah dianggap mampu mengurus anak itu sendirian, karenanya suamimu dipanggil dul
Gatan itu penipu. Katanya lembur, banyak pekerjaan, tidur di kantor. Mana ada! Lelaki itu menginap di hotel. Aku sudah ke kantornya tadi. Enggak tahan menunggu terus, aku berniat menjemput, menyeretnya pulang. Namun, karena enggak menemukan dia di kantor, aku menelepon. Dia pun memberi alamat hotel, dan di sinilah aku sekarang. Pria itu agaknya sudah tidur. Saat membukakan pintu tadi, rambutnya berantakan, pun mukanya bengkak. Dasar kurang ajar. Selepas dipersilakan masuk, aku langsung memukul dadanya. "Kamu bisa tidur enak-enak, sementara aku dan Damar kecarian?!" Lelaki itu menggaruk kepala. Dia terduduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk. "Kamu kira ngurus rumah dan Damar itu enggak susah, hah? Kamu sendiri yang bilang mau bantuin. Tapi, apa? Kamu nipu! Bilangnya mau kerja, malah tidur di hotel! Enggak sekalian kamu bawa perempuan kemari?!" Dia melirik dengan sorot dongkol di mata. "Rencananya besok," sahut pria itu enteng. Mendengar itu, aku langsung memukul kepalan
Gatan benar-benar ingin mengakhiri pernikahan kami. Seminggu lebih pria itu enggak pulang. Aku sampai-sampai harus meminta Rahisa datang untuk menemani aku dan Damar di rumah. Sedari Rahisa datang, aku langsung menangis dan menceritakan apa yang terjadi. Perasaanku campur aduk. Aku marah, kesal karena Gatan terlalu menganggap serius perkataanku kemarin sampai-sampai merajuk dan enggak pulang. Belum lagi, sejak kemarin sore Damar demam. Anak itu terus memanggil-manggil ayahnya. Sepertinya dia juga rindu dengan lelaki itu. Dasar pria kurang ajar! Setelah membuat kami terbiasa dengan kehadirannya, sekarang malah tiba-tiba pergi. "Aku harus apa, Rahi?" tanyaku pada Rahisa yang sejak tadi menggendong Damar. "Apa lagi? Ya minta dia balik." Damar di gendongan Rahisa mulai merengek lagi. Papak, katanya seraya menangis. Rahisa menengokku dengan ekspresi kecut. "Jemput sana. Anakku kasihan nangis begini." Air mataku tumpah lagi. "Kalau dia anakmu, kamulah yang jemput bapaknya!" Rahisa
"Kenapa, sih, harus sampai mutusin hubungan begitu?" Gatan menyuarakan protesnya usai kami makan dan duduk di ruang tamu. Saat makan tadi, aku mengutarakan keinginan. Aku enggak mau Ibu datang atau Gatan mengajak kami bertandang ke rumah Ibu sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini aku lakukan untuk melindungi anakku. Melihat bagaimana Ibu tega menyalahkan Damar seperti siang kemarin, tekadku untuk menjauhkan kami dari Ibu makin besar. Aku enggak mau mengambil risiko Damar akan mengalami apa yang pernah aku rasakan. "Mutusin hubungan gimana?" bantahku dengan nada suara sewot. "Aku cuma bilang, untuk sementara, Ibu enggak boleh datang dan aku menolak diajak berkunjung." "Tapi kan Ibu itu satu-satunya orang tua kita, Anes." Gatan masih berusaha membujuk. Mendengar itu, aku menghela napas. Kutatap dia putus asa. Aku yakin, dia masih bisa bicara begini karena enggak pernah merasakan apa yang aku alami. "Kamu tahu?" mulaiku. "Kemarin siang, Ibu datang cuma untuk menyalahkan
Aku pulang habis membeli sayur di pedagang keliling dengan wajah ditekuk. Enggak langsung ke dapur, aku menghempas bokong di sofa ruang tamu. Gatan dan Damar sedang bermain di sana. "Kenapa, Nes?" Pria yang duduk di karpet itu mungkin sadar kalau sejak tadi aku berusaha mengatur napas. "Memang, ya. Kita itu enggak bisa jujur-jujur benget sama orang lain!" ucapku berapi -api. "Bukannya untung, malah buntung. Tahu gini, mending aku nipu aja sekalian!" Aku menumpahkan rasa kesal. Gatan menajamkan mata sesaat. Pria itu menengok Damar yang kembali asyik dengan mainan usai melirik padaku sebentar. Aku berdeham, menyesal sudah menaikkan nada suara. Habis, bagaimana? Aku kesal!"Memang ada apa?" Aku menoleh pada Gatan yang tengah mengangsurkan mobil-mobilan pada Damar. "Kamu tahu tetangga sebelah?" "Sebelah mana? Kiri? Kanan? Apa kanan kiri?" Dia malah merespon dengan candaan, aku mencubit lengannya. Pria itu hanya meringis. Tetap menjaga agar keadaan nyaman untuk si bayi yang sibuk me
Semenjak melahirkan, aku memang sudah jarang datang ke kolam ikan. Semua pekerjaan aku limpahkan ke Pak Sardi. Meski sering mengeluh enggak sanggup terus-terusan mengurusi semua sendiri, Pak Sardi sangat bertanggungjawab. Namun, tetap saja rasanya sedih karena enggak bisa mengurusi usaha kecilku itu secara langsung. Bagaimana juga aku bisa kembali mengurusi kolam ikan secara langsung? Pagi-pagi, aku sudah harus bangun untuk membuat sarapan. Mencuci piring dan kain. Menyapu dan mengepel. Memandikan Damar, menemaninya bermain, membawanya jalan-jalan ke luar di pagi atau sore hari. Kemudian begitu lagi di malam hari. Bukan aku banyak mengeluh. Namun, kadang bosan membuat sulit untuk melapangkan sabar. Akhirnya, aku beberapa kali menangis seperti kemarin dini hari, hanya karena enggak mampu membuat Damar yang terbangun kembali tidur. Pagi ini pun, aku membuat kesalahan. Aku bangun pukul tujuh. Harusnya di jam segini aku sudah mandi dan membangunkan Damar. Sambil bersungut-sungut, aku
Memang, kesadaran diri itu adalah sesuatu yang penting. Tahu diri itu harus. Kalau enggak, maka akan jadi seperti aku. Dari awal, aku sudah menanamkan pada diri. Walaupun menikah dengan Gatan, laki-laki yang pernah kucinta, pun masih tetap menjadi yang paling berarti sampai sekarang, aku tak boleh terlampau bahagia. Sebab sejatinya pernikahan ini bukan untuk menyenangkan aku, melainkan demi mempertahankan Damar agar tidak diambil Ibu. Namun, lihatlah apa yang kini aku rasakan. Bisa-bisanya aku sedih, menangis tersedu-sedu, terisak parah cuma karena membayangkan apa yang terjadi sejak pagi, hingga sore tadi. Aku tidak tahu diri. Sejak awal sok menentang pernikahan, tetapi nyatanya aku merasa sedih sebab tak bisa mengundang banyak orang di pernikahan ini. Acara tadi pagi cuma dihadiri sepupunya Gatan, Rahisa, Pak Naja dan Ibu. Sudah tak mengundang banyak orang, sebagai acara resepsi kami hanya makan bersama. Makan sederhana di rumah baru yang kata Gatan akan jadi tempat tinggal kami
"Anes, Damar makan jarinya sendiri!"Pada Gatan yang memberitahu dengan wajah terkejut, aku cuma bisa menghela napas. Kutaruh handuk di keranjang kotor, kemudian berjalan ke ranjang. Aku duduk di tepian, menatap ke arah Damar yang melempar kedipan lugu seraya menghisap ibu jari."Anak bayi ngisep ibu jari itu biasa," terangku sembari tersenyum pada Damar.Bayi itu balas tersenyum, kemudian menengok pada ayahnya yang kembali berusaha memasangkan popok.Sore ini Gatan singgah sepulang bekerja. Padahal, aku sudah beritahu kalau anaknya baik-baik saja. Pun, sudah berbaik hati mengirimi pesan gambar. Namun, dasarnya lelaki itu keras kepala, dia tetap datang."Nes, kenapa dia lihatin bajuku terus, ya?"Gatan menoleh dengan ekspresi cemas. Pria itu membaui ketiaknya, mengusapi bagian depan kaus hijaunya, kemudian menatap padaku lagi."Anes?"Aku berdecak. "Itu karena warna kausnya cerah. Bayi memang gitu, tertarik sama warna yang cerah-cerah," jelasku lagi sembari menyisir rambut yang seteng
Aku sedang memangku Damar seraya mengajak dia mengobrol, saat Rahisa datang. Perempuan itu muncul bersama Naja, menyapa dengan suara riang, lalu tiba-tiba menangis sambil memelukku."Aku rindu. Kalau bukan demi melancarkan rencana Gatan, aku enggak akan nunggu sampai selama ini."Aku enggak paham yang dia ceritakan. Lebih-lebih setelah Rahisa mengambil alih Damar dari pangkuanku, kemudian heboh sendiri."Astaga, Nak. Kenapa makin manis banget kamu ini? Damar enggak lupa Mama, 'kan?" Satu tangannya menaruh tangan Damar di pipi. "Mama. Aku Mamanya kamu, teman Ibunya kamu."Damar cuma senyum. Aku senang anak itu enggak menangis karena tingkah heboh Rahisa. Rahisa ini entah mau melakukan apa. Sebentar ia sentuhkan tangan kecil Damar ke pipi. Setelahnya, ia ciumi si bayi. Habis itu, pura-pura mau memakan jari Damar."Mama makan tanganmu, ya? Iya? Ih, senyum." Rahisa melirik ke sini dengan mata besar dan berbinar. "Anakmu pinter banget, Nes. Udah bisa senyum! Ih, giginya belum ada.""Waktu
Sebenarnya, aku enggan diajak ke sini. Menurutku, kalau pun harus segera memberitahu Ibu soal rencana pernikahan kami, bisa dilakukan lewat kirim pesan atau telepon. Namun, Gatan bersikeras agar kami datang ke rumah Ibu.Awalnya sudah enggak setuju, ketika menginjak lantai teras perasaanku jadi makin enggak enak. Aku teringat kejadian empat bulan lalu. Saat rumah ini ramai oleh pelayat dan sebuah bendera kecil warna merah terpasang di salah satu tiangnya.Dada terasa kebas saat mengingat bagaimana Ibu menuduh aku sebagai penyebab Inara meninggal. Langkahku berhenti di ambang pintu masuk. Beberapa kali aku menggeleng dan menarik napas untuk mencari ketenangan.Entah sejak kapan, datang ke sini seperti datang ke tempat pengadilan. Aku takut semua kesalahanku dibeberkan ulang di sini, kemudian aku diberi hukuman."Kenapa?"Pertanyaan dan suara Gatan membawaku ke masa sekarang. Aku menggeleng pelan padanya. Kutelan ludah hati-hati, kemudian mantap melanjutkan langkah.Kami dipersilakan du