Sebenarnya, dulu itu aku punya ksatria. Pahlawan yang akan selalu membela, tiap kali Ibu marah-marah, cubit-cubit atau pukul-pukul. Nama pahlawanku itu Rudianto. Ayahku.
Sayang, seperti kata orang-orang. Orang baik itu perginya cepat. Ayahku juga pergi cepat sekali. Waktu aku berusia 17 tahun, Ayah berpulang karena penyakit yang sama seperti yang Inara derita. Sakit jantung.Sejak Ayah sudah enggak ada, aku enggak punya seseorang yang akan membawaku pergi jalan-jalan setiap habis dimarahi Ibu. Enggak ada lagi yang diam-diam masuk ke kamarku, terus kasih pelukan berlama-lama sambil bercerita soal hal seru, setelah siangnya aku dibentak Ibu habis-habisan.Sekarang aku sendirian. Harus sendirian merasai sakit hati habis disuruh mati sama suaminya Inara. Ayah enggak di sini untuk mendengar semua keluhanku.Beruntung si Gatan itu. Kalau saja Ayah masih ada, aku yakin dia sudah digantung hidup-hidup. Berani sekali bilang punya niat melenyapkanku? Memang dia siapa berhak atas nyawa seseorang?Mengingat Ayah, aku jadi rindu. Sejak semalam kutahan, pagi ini aku mau pergi menemuinya. Aku tahu, cerita padanya bisa di mana saja. Dari atas sana, dia pasti bisa melihat aku. Namun, rasanya tetap berbeda karena raganya enggak lagi bisa aku lihat.Orangnya enggak bisa dilihat, minimal bisa memegang nisannya. Meski itu sama sekali enggak akan bisa membayar rindu yang kupunya seluruhnya.Turun ke ruang tamu, aku melihat Ibu dan Inara di sana. Ibu bertanya aku mau ke mana. Meski kali ini aku enggak mengenakan gaun seksi, melainkan kemeja kuning cantik, tetapi sorot mata wanita itu tetap tajam seperti semalam."Mau beli keripik pisang. Kenapa? Ibu juga bakal larang aku jajan?"Ibu hanya menggeleng pelan, lalu kembali sibuk dengan buku-buku catatannya di meja. Aku juga enggak berlama-lama di sana. Langsung aku berlari keluar dan berangkat ke rumah Ayah.***Aku di tempat Ayah dari pagi sampai sore. Pertama menanyai kabar Ayah, lalu bercerita soal perceraianku dengan Arman, kemudian diam. Kurasa karena terlalu lama bungkam dan melamun, aku kerasukan sampai menangis tiba-tiba. Habis menangis, aku kembali bicara pada Ayah.Aku mengadukan pipiku yang sakit karena ditampar Ibu kemarin."Ayah apa enggak bisa datangi Ibu? Bilangin, aku bikin blush on itu lumayan lama, karena enggak pandai. Kok Ibu enak aja hapus pakai tamparannya?"Kalimatku enggak dijawab Ayah. Cuma suara angin tipis yang terdengar berembus. Anginnya pelan, tapi daun -daun dari pohon di dekat pusara Ayah sampai berjatuhan. Apa sekarang lagi musim gugur?Kembali aku memandangi nisan Ayah. Mengusapinya beberapa kali, air mataku tumpah lagi. Kerasukan lagi agaknya."Ayah ... kata Ibu dia malu sama aku. Memang aku ngapain, Ayah? Ayah tahu, 'kan, kalau aku juga enggak mau jadi janda dua kali. Ayah tahu, 'kan apa yang terjadi?"Kepalaku mengangguk. Kuseka mata dan pipi yang kembali basah. "Ayah pasti tahu. Ayah selalu lihat aku dari atas sana, 'kan? Aku enggak salah, 'kan, Ayah? Cerai sampai dua kali enggak sepenuhnya salahku, 'kan?"Kali ini bukan cuma angin yang datang. Hujan mulai turun. Aku tersenyum ke arah nisan Ayah."Ayah marah apa ikut nangis sama aku? Tadi angin, sekarang hujan? Ayah enggak suka aku datang?"Aku hanya bercanda. Sepanjang yang aku tahu, almarhum Rudianto ini enggak pernah marah padaku. Mana mungkin dia kesal karena seharian mendengar ocehanku, 'kan? Ayah enggak begitu?Ayah bahkan pernah mengajakku minggat dari rumah seharian, sampai dia enggak pergi ke kantor. Waktu itu Ibu marah padaku karena meninggalkan Inara di sekolah dan pulang duluan. Aku dapat banyak cubitan di paha, hampir dijambak juga kalau saja bapak Rudianto ini enggak membawaku kabur.Kami beneran kabur. Naik motor berdua, pergi dari rumah, tetapi enggak bawa baju. Kami pergi ke warung makan dulu. Ayah suruh aku makan, bahkan disuapi karena kubilang enggak selera.Setelah makan, dia mengajakku beli mainan. Saat sore datang, kami menunggu di depan sebuah pasar malam."Ibumu cuma marah. Dia ndak benci ke kamu." Begitu kata Ayah dengan suaranya yang selalu bernada menenangkan.Aku yang duduk di jok motor hanya mengangguk pada Ayah yang duduk di sebelah. Kami sama-sama menatap ke pintu lapangan tempat pasar malam."Kamu pasti merasa Ibumu benci kamu."Air mataku tumpah waktu itu. Aku mengangguk, sesenggukan lalu berkata. "Ibu sayangnya cuma sama Inara. Inara anak kesayangannya Ibu, a--""Kamu anak kesayangan Ayah."Ayah memelukku waktu itu. Merangkul erat dari samping, sambil mengusapi wajahku yang basah."Kamu mau tahu satu rahasia?"Aku mengangguk antusias waktu itu. Senyumku perlahan terbit, meski hujan dari mata terus jatuh. Aku enggak bisa enggak tersenyum, tiap kali Ayah melakukan hal sama.Tiap kali laki-laki itu memberi senyum padaku, aku merasa seperti anak paling disayang. Matanya akan berbinar, senyumnya lebar sekali. Dia akan selalu menatapku seolah aku ini sesuatu yang paling bagus di dunia. Dan aku sangat menyukainya."Dibanding Ibumu, Ayah itu sebenarnya lebih sayang ke kamu. Ibumu itu cuma nomor dua di hati Ayah."Lalu aku tertawa. Tertawa sambil terisak parah. Aku memeluk dia kuat-kuat, sambil berdoa supaya selalu bersama dia sampai mati.Eh, doaku enggak dikabulkan. Bapakku berpulang, sebelum aku mati. Jadilah hidupku enggak karu-karuan. Aku enggak punya orang yang menyayangiku lagi.Makanya, aku yakin angin dan hujan yang datang ini bukan bentuk dari kekesalan Ayah. Namun, hanya alarm untuk menyuruhku pulang karena langit sudah gelap. Aku enggak mungkin membantah Ayah, karenanya langsung pamit pulang.Keluar dari area pemakaman, hujan makin deras. Aku berteduh di pohon dekat pintu masuk dan sudah akan memesan ojek online. Namun, sebuah mobil tahu-tahu berhenti di depanku.Kukira itu hanya orang lewat. Jadi, aku abaikan. Namun, orang di mobil itu malah menekan klakson berulang-ulang. Berikutnya, kaca mobil diturunkan. Aku melihat Gatan di belakang kemudi.Cukup terkejut kenapa dia bisa ada di sini. Namun, aku memilih tak bicara apa-apa atau terus-terusan meliriknya. lima belas menit berlalu, ojekku datang.Kami sudah akan berangkat, saat Gatan tahu-tahu muncul dan mengadang laju motor. Pria itu menarikku hingga turun dari jok, lalu menyuruh si supir pergi usai dia beri uang."Loh?!" seruku takjub ketika ojek yang harusnya mengantar aku pulang, malah pergi begitu saja.Gatan melirik tajam sebentar, sebelum dia menyeret, lalu memaksaku masuk ke mobilnya. Harusnya, sih, masih bisa kabur sewaktu dia memutari mobil dan menuju kursi kemudi. Namun, aku sudah kedinginan. Jadi, terpaksa ikut menumpang dengan dia.Mobil Gatan melaju sedang. Jalanan agak macet. Pun durasi berhenti di lampu merah jadi lebih lama karena kendaraan lumayan padat. Sepanjang itu, aku sama sekali enggak menoleh pada si supir. Enggak bicara juga, karena bingung apa yang masih bisa kami bicarakan.Namun, aku penasaran soal sesuatu. Kenapa Gatan bisa ada di dekat pemakaman itu? Enggak sengaja lewat? Enggak mungkin, kantornya jauh dari sana. Apa dia habis mengunjungi seseorang di makam itu? Enggak mungkin juga, ibunya kan enggak dikubur di sana. Mantan pacarnya yang meninggal itu juga bukan orang sini.Penasaran benar, aku putuskan untuk menanyai Inara. Istrinya Gatan itu pasti tahu ke mana saja suaminya. Aku mengirim pesan kalau aku bertemu Gatan di jalan.Enggak berapa lama kemudian, pesan balasan datang.[Kakak udah seharian di makam Ayah. Aku khawatir, jadi aku minta tolong Mas Gatan jemput pas dia pulang kantor.]Mataku membola. Inara tahu aku di rumah Ayah? Kenapa bisa? Aku pamitnya beli keripik pisang padahal.[Kamu tahu aku ke rumah Ayah?]Aku mengirim balasan pada Inara. Tulisan mengetik tertulis di bawah profilnya.[Warna kuning itu kesukaan Ayah. Kamu selalu pakai baju kuning tiap kali ke sana.]"Oh," gumamku paham.Jago juga Inara ini mengamati sekitar. Aku heran dia bisa hapal kalau aku memang selalu mengenakan setelan kuning tiap kali ke makam.Mengamati ke luar jendela lagi, aku melihat toko oleh-oleh tempat aku biasa membeli jajanan. Segera kuminta Gatan berhenti."Makasih. Aku turun sini aja."Tanganku yang melepas seat belt malah dia pegang. "Kamu mau bikin ulah apa lagi?"Aku menggeleng dengan wajah jujur. Kutunjuk toko di seberang jalan. "Mau jajan. Sejak kapan jajan masuk tindakan dilarang?"Kutepis tangannya, kemudian turun. Aku berlari kecil untuk menyebrang karena hujan masih turun, meski tidak sederas tadi. Masuk ke dalam toko, aku semringah memilih jajanan yang akan dibawa pulang.Namun, rasa senangku karena sudah ke rumah Ayah dan beli banyak jajanan menguap begitu saja, ketika keluar dari toko. Tepat di depan toko itu, mobil Gatan terparkir. Setelah aku muncul, klaksonnya berbunyi, lalu kaca pintunya diturunkan.Wajah Gatan yang menyebalkan terlihat. Lengkap dengan dahi ditekuk dan alis mengait. Namun, apa yang ia suarakan kemudian mampu membuatku mematung dengan laju jantung menggila."Cepat masuk, kamu nggak kuat sama dingin."Jadi ... dia masih ingat beberapa hal soal aku?Aku sedang menikmati mujair goreng yang dimasak Buk Tami, saat tiba-tiba saja Inara terdengar merintih. Perempuan itu sedikit membungkuk, lalu memegangi dada kiri. Kujeda gerakan mengunyah. Sudah akan menghampiri dia, tetapi Ibu dan suami perempuan itu lebih dulu melakukannya. Jadi, aku lanjut menggerakkan rahang, menghaluskan makanan di mulut. Inara pasti kambuh lagi. Entah di mana Ibu membawanya berobat, sepertinya selama ini ia dirawat dokter gadungan. Bertahun-tahun sudah menjalani perawatan, minum obat ini dan itu, sudah dua kali operasi, tetapi jantungnya masih saja bermasalah. Inara sudah begitu dari lahir. Sejak kecil, dia sering pingsan. Kelelahan sedikit, pingsan. Terkejut sedikit, pingsan. Bahkan untuk sekadar ikut upacara di sekolah saja dia itu enggak sanggup. Ibu sudah membawanya ke beberapa dokter. Kata mereka kelainan jantung yang Inara punya sulit disembuhkan. Paling bisa dibantu obat dan beberapa kali operasi. Namun, setelah semua itu dilakukan, kondisi anak kedu
Warning! 18+ *** Aku tiba di kos pukul tujuh malam. Beberapa minggu cuma mengontrol pekerjaan lewat ponsel, ternyata banyak hal yang perlu dilakukan. Aku pergi pukul sepuluh pagi tadi, dan baru selesai sekarang. Suasana hati agak muram saat aku ingat kalau malam ini Rahisa enggak tidur di kosnya. Rahisa akan menginap di rumah Pak Naja, karena laki-laki itu sakit. Sepertinya, habis mandi nanti, aku langsung tidur saja. Langkahku yang menuju kamar memelan saat melihat ada orang yang duduk di kursi teras. Kukira salah lihat, sempat sangsi kalau itu Gatan, suaminya Inara. Namun, setelah menginjak teras, ternyata benar lelaki itu Gatan. Malas meladeni dia, pun enggak tahu apa urusannya ada di sini, aku membuka kamar. Siapa tahu dia nyasar, ya, 'kan? Nanti, kalau aku tanya, dia malah bilang aku ge-er. Namun, ketika akan menutup pintu, Gatan malah mencegah. Pria itu mendorong kuat, sampai pintu kamar terbuka lebar. Dia menekuk wajah ke arahku, makin terlihat jelek dia. "Inara tanya
"Ini udah jadwalnya bersihin kolam, ya, Pak?" tanyaku pada Pak Sardi di sebelah. Pria lebih setengah abad itu mengiyakan. "Rencana besok, Mbak," jawabnya sembari menyebar pakan ikan ke kolam. Aku mengangguk, sambil memandangi para mujair yang mulai berkerubung di tempat pakan dijatuhkan. Aku menghitung dalam hati. Ini sudah bulan kelima setelah penyebaran bibit, artinya sudah bisa panen. Kembali aku menanyai Pak Sardi untuk lebih memastikan. Bagaimana juga beliau yang lebih sering mengurusi kolam-kolam mujair ini. Jadi, pasti lebih mengerti. Sejak berhenti menjadi teller salah satu bank, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha. Budidaya ikan mujair yang kupilih. Dan setelah mengalami beberapa kali rugi, beberapa tahun belakangan usaha ini cukup menjanjikan. Aku bisa membiayai diriku dari usaha ini. Karena itu, meski enggak tinggal bersama Ibu sekali pun habis bercerai, aku enggak akan kesulitan bertahan hidup. "Apa mau sore ini saja panen, Mbak?" Pada Pak Sardi aku menggeleng. "
"Bisamu cuma buat ulah." Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata. Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini. "Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat? "Pindah ke kamar. Di sini dingin." Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya. "An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar. "Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi. "Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik. Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu
Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat. Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan. Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson. "Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--" "Rumah sakit!" potongku pada Gatan. Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung. "Rumah sakit. Cepat!" Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi. "Kamu mau apa ke rumah sakit?" Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas. "T
Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau
Malam sudah datang, tetapi aku masih duduk di lantai dekat kasur. Berjam-jam memikirkan keadaan nahas ini, tetapi enggak kunjung mendapat solusi. Yang ada, perasaanku makin kacau. Sebelum ini, aku yakin sekali akan bisa hidup bebas. Sudah enggak punya suami, sudah pindah dari rumah Ibu. Sudah menunaikan keinginan Inara juga. Harusnya, sekarang aku siap untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang belum sempat dilakukan. Aku bahkan sudah membuat daftarnya kemarin. Kutulis wishlist itu di kertas origami kuning, lalu kusimpan di buku catatan kecil yang sering dibawa. Begitu serius aku untuk mewujudkan hidup yang bebas dan bahagia. Namun, lihatlah yang aku dapatkan. Dulu, aku enggak bisa melakukan apa yang kumau karena Inara. Ibu akan marah jika aku pergi jalan-jalan ke toko buku dengan teman-teman sepulang sekolah. Katanya, Inara akan sedih sebab enggak bisa ikut dan harus pulang sendiri. Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak. Perkara
Mengambil keputusan untuk mempertahankan janin ini, aku sudah mengkalkulasi banyak hal. Pertama, calon bayi itu enggak salah apa-apa, dia hadir karena ulahku dan dia berhak hidup. Kedua, meski nanti akan berat, tetapi sepertinya aku bisa berusaha untuk mengurus seorang anak, sendirian. Aku punya penghasilan untuk menghidupi dia nanti. Masalah kami akan jadi bahan gunjingan orang, aku bisa mengarang cerita agar anak ini nantinya aman dan tahu kalau ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Soal yang lain, akan kucoba pelajari sesegera mungkin. Ketiga, kenapa akhirnya aku putuskan untuk memelihara calon anak ini adalah karena siapa tahu nanti dia mirip ayahnya. Kapan lagi punya versi mini dari Gatan yang bisa diatur-atur sesuka hati? Belum lagi, anak ini nanti akan sepenuhnya milikku. Enggak seperti ayahnya yang harus dibagi-bagi. Dan keempat, ini untuk Rahisa. Seperti kata Pak Naja, Rahisa pasti akan senang kalau nanti punya keponakan. Langkah pertama untuk menjaga anak ini, hari ini ak
Gatan itu penipu. Katanya lembur, banyak pekerjaan, tidur di kantor. Mana ada! Lelaki itu menginap di hotel. Aku sudah ke kantornya tadi. Enggak tahan menunggu terus, aku berniat menjemput, menyeretnya pulang. Namun, karena enggak menemukan dia di kantor, aku menelepon. Dia pun memberi alamat hotel, dan di sinilah aku sekarang. Pria itu agaknya sudah tidur. Saat membukakan pintu tadi, rambutnya berantakan, pun mukanya bengkak. Dasar kurang ajar. Selepas dipersilakan masuk, aku langsung memukul dadanya. "Kamu bisa tidur enak-enak, sementara aku dan Damar kecarian?!" Lelaki itu menggaruk kepala. Dia terduduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk. "Kamu kira ngurus rumah dan Damar itu enggak susah, hah? Kamu sendiri yang bilang mau bantuin. Tapi, apa? Kamu nipu! Bilangnya mau kerja, malah tidur di hotel! Enggak sekalian kamu bawa perempuan kemari?!" Dia melirik dengan sorot dongkol di mata. "Rencananya besok," sahut pria itu enteng. Mendengar itu, aku langsung memukul kepalan
Gatan benar-benar ingin mengakhiri pernikahan kami. Seminggu lebih pria itu enggak pulang. Aku sampai-sampai harus meminta Rahisa datang untuk menemani aku dan Damar di rumah. Sedari Rahisa datang, aku langsung menangis dan menceritakan apa yang terjadi. Perasaanku campur aduk. Aku marah, kesal karena Gatan terlalu menganggap serius perkataanku kemarin sampai-sampai merajuk dan enggak pulang. Belum lagi, sejak kemarin sore Damar demam. Anak itu terus memanggil-manggil ayahnya. Sepertinya dia juga rindu dengan lelaki itu. Dasar pria kurang ajar! Setelah membuat kami terbiasa dengan kehadirannya, sekarang malah tiba-tiba pergi. "Aku harus apa, Rahi?" tanyaku pada Rahisa yang sejak tadi menggendong Damar. "Apa lagi? Ya minta dia balik." Damar di gendongan Rahisa mulai merengek lagi. Papak, katanya seraya menangis. Rahisa menengokku dengan ekspresi kecut. "Jemput sana. Anakku kasihan nangis begini." Air mataku tumpah lagi. "Kalau dia anakmu, kamulah yang jemput bapaknya!" Rahisa
"Kenapa, sih, harus sampai mutusin hubungan begitu?" Gatan menyuarakan protesnya usai kami makan dan duduk di ruang tamu. Saat makan tadi, aku mengutarakan keinginan. Aku enggak mau Ibu datang atau Gatan mengajak kami bertandang ke rumah Ibu sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini aku lakukan untuk melindungi anakku. Melihat bagaimana Ibu tega menyalahkan Damar seperti siang kemarin, tekadku untuk menjauhkan kami dari Ibu makin besar. Aku enggak mau mengambil risiko Damar akan mengalami apa yang pernah aku rasakan. "Mutusin hubungan gimana?" bantahku dengan nada suara sewot. "Aku cuma bilang, untuk sementara, Ibu enggak boleh datang dan aku menolak diajak berkunjung." "Tapi kan Ibu itu satu-satunya orang tua kita, Anes." Gatan masih berusaha membujuk. Mendengar itu, aku menghela napas. Kutatap dia putus asa. Aku yakin, dia masih bisa bicara begini karena enggak pernah merasakan apa yang aku alami. "Kamu tahu?" mulaiku. "Kemarin siang, Ibu datang cuma untuk menyalahkan
Aku pulang habis membeli sayur di pedagang keliling dengan wajah ditekuk. Enggak langsung ke dapur, aku menghempas bokong di sofa ruang tamu. Gatan dan Damar sedang bermain di sana. "Kenapa, Nes?" Pria yang duduk di karpet itu mungkin sadar kalau sejak tadi aku berusaha mengatur napas. "Memang, ya. Kita itu enggak bisa jujur-jujur benget sama orang lain!" ucapku berapi -api. "Bukannya untung, malah buntung. Tahu gini, mending aku nipu aja sekalian!" Aku menumpahkan rasa kesal. Gatan menajamkan mata sesaat. Pria itu menengok Damar yang kembali asyik dengan mainan usai melirik padaku sebentar. Aku berdeham, menyesal sudah menaikkan nada suara. Habis, bagaimana? Aku kesal!"Memang ada apa?" Aku menoleh pada Gatan yang tengah mengangsurkan mobil-mobilan pada Damar. "Kamu tahu tetangga sebelah?" "Sebelah mana? Kiri? Kanan? Apa kanan kiri?" Dia malah merespon dengan candaan, aku mencubit lengannya. Pria itu hanya meringis. Tetap menjaga agar keadaan nyaman untuk si bayi yang sibuk me
Semenjak melahirkan, aku memang sudah jarang datang ke kolam ikan. Semua pekerjaan aku limpahkan ke Pak Sardi. Meski sering mengeluh enggak sanggup terus-terusan mengurusi semua sendiri, Pak Sardi sangat bertanggungjawab. Namun, tetap saja rasanya sedih karena enggak bisa mengurusi usaha kecilku itu secara langsung. Bagaimana juga aku bisa kembali mengurusi kolam ikan secara langsung? Pagi-pagi, aku sudah harus bangun untuk membuat sarapan. Mencuci piring dan kain. Menyapu dan mengepel. Memandikan Damar, menemaninya bermain, membawanya jalan-jalan ke luar di pagi atau sore hari. Kemudian begitu lagi di malam hari. Bukan aku banyak mengeluh. Namun, kadang bosan membuat sulit untuk melapangkan sabar. Akhirnya, aku beberapa kali menangis seperti kemarin dini hari, hanya karena enggak mampu membuat Damar yang terbangun kembali tidur. Pagi ini pun, aku membuat kesalahan. Aku bangun pukul tujuh. Harusnya di jam segini aku sudah mandi dan membangunkan Damar. Sambil bersungut-sungut, aku
Memang, kesadaran diri itu adalah sesuatu yang penting. Tahu diri itu harus. Kalau enggak, maka akan jadi seperti aku. Dari awal, aku sudah menanamkan pada diri. Walaupun menikah dengan Gatan, laki-laki yang pernah kucinta, pun masih tetap menjadi yang paling berarti sampai sekarang, aku tak boleh terlampau bahagia. Sebab sejatinya pernikahan ini bukan untuk menyenangkan aku, melainkan demi mempertahankan Damar agar tidak diambil Ibu. Namun, lihatlah apa yang kini aku rasakan. Bisa-bisanya aku sedih, menangis tersedu-sedu, terisak parah cuma karena membayangkan apa yang terjadi sejak pagi, hingga sore tadi. Aku tidak tahu diri. Sejak awal sok menentang pernikahan, tetapi nyatanya aku merasa sedih sebab tak bisa mengundang banyak orang di pernikahan ini. Acara tadi pagi cuma dihadiri sepupunya Gatan, Rahisa, Pak Naja dan Ibu. Sudah tak mengundang banyak orang, sebagai acara resepsi kami hanya makan bersama. Makan sederhana di rumah baru yang kata Gatan akan jadi tempat tinggal kami
"Anes, Damar makan jarinya sendiri!"Pada Gatan yang memberitahu dengan wajah terkejut, aku cuma bisa menghela napas. Kutaruh handuk di keranjang kotor, kemudian berjalan ke ranjang. Aku duduk di tepian, menatap ke arah Damar yang melempar kedipan lugu seraya menghisap ibu jari."Anak bayi ngisep ibu jari itu biasa," terangku sembari tersenyum pada Damar.Bayi itu balas tersenyum, kemudian menengok pada ayahnya yang kembali berusaha memasangkan popok.Sore ini Gatan singgah sepulang bekerja. Padahal, aku sudah beritahu kalau anaknya baik-baik saja. Pun, sudah berbaik hati mengirimi pesan gambar. Namun, dasarnya lelaki itu keras kepala, dia tetap datang."Nes, kenapa dia lihatin bajuku terus, ya?"Gatan menoleh dengan ekspresi cemas. Pria itu membaui ketiaknya, mengusapi bagian depan kaus hijaunya, kemudian menatap padaku lagi."Anes?"Aku berdecak. "Itu karena warna kausnya cerah. Bayi memang gitu, tertarik sama warna yang cerah-cerah," jelasku lagi sembari menyisir rambut yang seteng
Aku sedang memangku Damar seraya mengajak dia mengobrol, saat Rahisa datang. Perempuan itu muncul bersama Naja, menyapa dengan suara riang, lalu tiba-tiba menangis sambil memelukku."Aku rindu. Kalau bukan demi melancarkan rencana Gatan, aku enggak akan nunggu sampai selama ini."Aku enggak paham yang dia ceritakan. Lebih-lebih setelah Rahisa mengambil alih Damar dari pangkuanku, kemudian heboh sendiri."Astaga, Nak. Kenapa makin manis banget kamu ini? Damar enggak lupa Mama, 'kan?" Satu tangannya menaruh tangan Damar di pipi. "Mama. Aku Mamanya kamu, teman Ibunya kamu."Damar cuma senyum. Aku senang anak itu enggak menangis karena tingkah heboh Rahisa. Rahisa ini entah mau melakukan apa. Sebentar ia sentuhkan tangan kecil Damar ke pipi. Setelahnya, ia ciumi si bayi. Habis itu, pura-pura mau memakan jari Damar."Mama makan tanganmu, ya? Iya? Ih, senyum." Rahisa melirik ke sini dengan mata besar dan berbinar. "Anakmu pinter banget, Nes. Udah bisa senyum! Ih, giginya belum ada.""Waktu
Sebenarnya, aku enggan diajak ke sini. Menurutku, kalau pun harus segera memberitahu Ibu soal rencana pernikahan kami, bisa dilakukan lewat kirim pesan atau telepon. Namun, Gatan bersikeras agar kami datang ke rumah Ibu.Awalnya sudah enggak setuju, ketika menginjak lantai teras perasaanku jadi makin enggak enak. Aku teringat kejadian empat bulan lalu. Saat rumah ini ramai oleh pelayat dan sebuah bendera kecil warna merah terpasang di salah satu tiangnya.Dada terasa kebas saat mengingat bagaimana Ibu menuduh aku sebagai penyebab Inara meninggal. Langkahku berhenti di ambang pintu masuk. Beberapa kali aku menggeleng dan menarik napas untuk mencari ketenangan.Entah sejak kapan, datang ke sini seperti datang ke tempat pengadilan. Aku takut semua kesalahanku dibeberkan ulang di sini, kemudian aku diberi hukuman."Kenapa?"Pertanyaan dan suara Gatan membawaku ke masa sekarang. Aku menggeleng pelan padanya. Kutelan ludah hati-hati, kemudian mantap melanjutkan langkah.Kami dipersilakan du