"Bisamu cuma buat ulah."
Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata.Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini."Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat?"Pindah ke kamar. Di sini dingin."Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya."An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar."Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi."Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik.Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu dulu, baru tidur."AC-nya nggak akan aku matiin."Selanjutnya aku mendengar suara. Ternyata Gatan setan itu belum pergi. Pura-pura enggak mendengar, aku lanjut memejam. Namun, mataku langsung terbuka lebar ketika merasakan sesuatu menimpa bibirku.Gatan setan! Berani sekali dia melakukan ini padaku, di rumahnya sendiri? Kutampar dia segera."An ... **ng!" Aku memelankan suara di ujung makian. Kalau saja Inara enggak ada di sini. Sudah aku robek-robek bibirnya itu."Makanya, jangan bikin ulah terus." Dia berdiri dengan satu tangan di saku. Memasang tampang layaknya orang enggak bersalah."An**ng kau," makiku lagi."Diam kamu." Dia malah membalas. "Pindah ke kamar tamu atau aku akan tetap di sini."Oh, mengancam? Pikirnya aku takut?"Kalau aku enggak mau, kenapa?" Kulempar selimut menjauh. Kalau dia mau perang, aku siap."Siapkan jawaban untuk Inara besok pagi. Dia pasti bingung kenapa kita berdua ada di ruang tamu."Orang gila ini! Kenapa harus aku yang repot mengurusi rumahtangganya? Inara bertanya, aku tinggal jawab enggak tahu. Kalau dia curiga dan interogasi suaminya, bukan urusanku. Kalau Inara sampai sakit karena kepikiran ini, mampus situ.Itu semua bukan urusanku.Dengan dagu terangkat, aku memungut selimut dan bantal. Kusempatkan menginjak kaki lelaki setan itu sekuat tenaga, sebelum melangkah ke kamar tamu. Kalau saja aku lebih sinting dari dia, sudah pasti aku enggak akan melakukan ini.***"Serius dia ngelakuin itu?" Rahisa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melebar, seolah apa yang aku ceritakan adalah sesuatu yang di luar nalar.Memang, sih. Apa yang Gatan lakukan kemarin sangat di luar nalar. Yang di kamar kos dan di rumahnya.Karena enggak mau kepikiran sendirian, aku membaginya dengan Rahisa. Enggak mungkin ceritakan pada Ibu, nanti yang ada aku dijambak dan dituduh mau balas dendam pada Inara."Kamu yakin dia benci kamu, Anes?" Rahisa memicing sekarang.Aku mengangguk. "Sejak kejadian itu, dia natap aku kayak sampah. Satu jam sebelum dia nikah sama Inara, dia datangi aku, terus bilang kalau aku ini perempuan gila, perempuan sinting dan perempuan paling jahat di dunia. Titisan iblis katanya."Rahisa mengangguk. Kukira dia bisa memahami dari dua sisi, sebab dia kan netral."Mungkin, waktu itu dia marah banget. Wajar, sih. Kalian baik-baik aja sebelum kamu kedapatan di hotel sama cowok. Wajar dia ngomong gitu. Tapi, itu enggak memastikan kalau dia benci yang bener-bener benci sama kamu."Aku sepaham dengan itu. Wajar memang jika Gatan sangat marah ketika menangkap basahku di kamar hotel dengan seorang laki-laki. Padahal, kami sudah punya rencana ingin menikah waktu itu. Gatan pasti patah hati, karena saat itu ia punya perasaan padaku."Setelah menikah dia juga masih kek gitu, Rahi. Dia enggak mau nengok aku bahkan.""Tapi kalian bercinta kemarin. Dan dia nyium kamu di rumahnya, padahal itu berisiko besar ketahuan istrinya."Rahisa yang mengulang fakta itu membuat kepalaku pusing. Aku melempar tubuh ke sofa. Bingung."Bukannya cowok bisa kawin dengan perempuan mana aja? Kebetulan, kan, kemarin aku mancing dia dengan telanjang depan dia." Ingin rasanya aku menggorok leher sendiri kalau ingat itu. Aku pasti akan masuk neraka jalur ekspres karena itu.Rahisa mengangguk. "Tapi, dia meluk kamu sampai pagi, Anes. Bahkan, waktu dia mau pergi, dia sempat cium kening kamu lagi."Pagi sewaktu insiden di kamar kos, aku memang pura-pura masih tidur saat tahu kalau Gatan sudah bangun. Pria itu memang sempat mengecup keningku, sebelum pergi. Namun, apakah itu bukan sepaket dengan kelakukan abmoralnya sebelumnya?"Dan kemarin, dia cium kamu biar mau pindah tidur ke kamar. Kayaknya, dia enggak sebenci itu sama kamu, deh. Kok aku merasa dia kayak masih ada perasaan sayang, ya?"Rahisa dan teorinya berhasil membuatku mulas."Ngaco kamu!" bantahku vokal.Perempuan itu malah menggeleng, kemudian ikut berbaring di belakangku. Kami memang memutuskan untuk tidur bersama malam ini, di kamarku."Aku cemas, Anes," katanya pelan. "Kalau benar dugaanku, cinta segitiga kalian ini bakal rumit. Sainganmu adikmu sendiri."Aku menatap dinding dengan sorot nanar. "Enggak mungkin, Rahi. Kamu mikirnya terlalu muluk."Enggak pernah merebut barang Inara saja, Ibu sudah sebenci ini padaku. Konon aku nekat membuat konflik dengan Inara. Habis aku dicincang hidup-hidup."Kamu siap jadi madunya adikmu, enggak?""Gilak!"Dia tertawa. Berikutnya, aku merasa tepukan lembut di lengan."Aku cuma berharap, kamu enggak akan ambil pilihan sulit. Cinta itu memang bukan hal yang salah. Tapi, menyakiti orang lain karena memperjuangkan cintamu, rasanya terlalu egois. Apalagi, ini adikmu sendiri. Aku cuma enggak mau kamu makin merasa bersalah.""Kalau aku, di otakku sekarang bahkan terpikirkan kalau ini bisa kamu manfaatin untuk balas dendam ke Inara. Sejak kecil, dia selalu lebih disayang Ibumu. Kamu pasti punya rasa iri. Tapi, untungnya kamu bukan aku. Kamu sayang adikmu. Jadi, please, jangan ambil tindakan apa pun yang bakal kamu sesali nanti."Aku berdeham malas, tetapi mengingat nasihat itu baik-baik. Dia benar. Sekalipun teorinya yang mengatakan kalau Gatan sudah enggak benci dan mungkin masih punya perasaan padaku, itu enggak lantas jadi lampu hijau untuk aku kembali pada lelaki itu. Ada Inara sekarang. Dan Rahisa benar, aku enggak mungkin menyakiti Inara hanya demi Gatan.Balas dendam? Bohong kalau aku enggak terpikirkan itu. Bukan pada Inara, tetapi pada Ibu. Kalau Inara sedih, bukankah Ibu akan lebih sedih. Namun, apa yang berubah kalau aku mengambil opsi itu? Ibu malah akan makin benci padaku dan hidupku akan banyak masalah."Tapi, kamu malang sekali, ya, Anes?"Aku menengok dengan satu alis menukik padanya. "Apanya?""Capek-capek lakuin ini dan itu biar dia pergi, eh, akhirnya dia balik lagi ke kamu. Namamu harus diganti. Nes di depan namamu bawa nasib buruk kayaknya. Ngenes terus jadinya.""Diam kau!" Aku menyalak macam anjing gila. Terlampau benar candaannya tadi.Kira-kira, sampai kapan aku akan selalu merasai kesusahan begini? Apa mengganti nama benar bisa mengubah nasib?"Cara ganti nama gimana, Rahi?"Rahisa tergelak, kemudian menggebuk tubuhku dengan bantal."Pakai biaya, enggak?" sambungku lagi, tetapi perempuan itu enggak menjawab dan malah pura-pura ngorok.Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat. Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan. Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson. "Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--" "Rumah sakit!" potongku pada Gatan. Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung. "Rumah sakit. Cepat!" Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi. "Kamu mau apa ke rumah sakit?" Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas. "T
Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau
Malam sudah datang, tetapi aku masih duduk di lantai dekat kasur. Berjam-jam memikirkan keadaan nahas ini, tetapi enggak kunjung mendapat solusi. Yang ada, perasaanku makin kacau. Sebelum ini, aku yakin sekali akan bisa hidup bebas. Sudah enggak punya suami, sudah pindah dari rumah Ibu. Sudah menunaikan keinginan Inara juga. Harusnya, sekarang aku siap untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang belum sempat dilakukan. Aku bahkan sudah membuat daftarnya kemarin. Kutulis wishlist itu di kertas origami kuning, lalu kusimpan di buku catatan kecil yang sering dibawa. Begitu serius aku untuk mewujudkan hidup yang bebas dan bahagia. Namun, lihatlah yang aku dapatkan. Dulu, aku enggak bisa melakukan apa yang kumau karena Inara. Ibu akan marah jika aku pergi jalan-jalan ke toko buku dengan teman-teman sepulang sekolah. Katanya, Inara akan sedih sebab enggak bisa ikut dan harus pulang sendiri. Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak. Perkara
Mengambil keputusan untuk mempertahankan janin ini, aku sudah mengkalkulasi banyak hal. Pertama, calon bayi itu enggak salah apa-apa, dia hadir karena ulahku dan dia berhak hidup. Kedua, meski nanti akan berat, tetapi sepertinya aku bisa berusaha untuk mengurus seorang anak, sendirian. Aku punya penghasilan untuk menghidupi dia nanti. Masalah kami akan jadi bahan gunjingan orang, aku bisa mengarang cerita agar anak ini nantinya aman dan tahu kalau ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Soal yang lain, akan kucoba pelajari sesegera mungkin. Ketiga, kenapa akhirnya aku putuskan untuk memelihara calon anak ini adalah karena siapa tahu nanti dia mirip ayahnya. Kapan lagi punya versi mini dari Gatan yang bisa diatur-atur sesuka hati? Belum lagi, anak ini nanti akan sepenuhnya milikku. Enggak seperti ayahnya yang harus dibagi-bagi. Dan keempat, ini untuk Rahisa. Seperti kata Pak Naja, Rahisa pasti akan senang kalau nanti punya keponakan. Langkah pertama untuk menjaga anak ini, hari ini ak
"Lagi hamil, ya?" Pertanyaan Ibu pemilik warung yang aku datangi, kujawab dengan anggukkan pelan, enggak bersemangat. Pagi ini, kondisiku agak kurang baik. Sejak kemarin aku enggak selera makan apa pun dan lemas. Pagi ini, aku ke warung untuk membeli beberapa bahan makanan. Siapa tahu dengan memasak menu lain, selera makan jadi sedikit membaik. Aku membeli mi putih dan satu bungkus bakso. "Biasanya Ibu hamil memang begitu. Sering lemas. Suaminya di mana?" Beberapa minggu tinggal di sini, ini pertama kalinya ada yang menanyai soal suamiku. Seperti rencana awal, aku menjawab kalau ayahnya calon anakku ini sudah meninggal. "Dia supir, Buk. Kecelakaan dan meninggal di tempat." Aku menunduk untuk menahan senyum. Semoga enggak ada malaikat yang mencatat ucapan tadi. Ibu pemilik warung itu tampak simpati. Beliau mengangguk dengan wajah iba. Usai menghitung belanjaanku, dia berkata, "Yang sabar. Kamu pasti sudah dianggap mampu mengurus anak itu sendirian, karenanya suamimu dipanggil dul
Harusnya bisa untung besar bulan ini, karena pelanggan yang memesan ikan bertambah, aku harus kecewa dan segera merencanakan pembatalan pesanan. Hari ini aku menerima laporan kalau banyak ikan yang mati. Padahal, kata Pak Sardi, pakan, vitamin dan jadwal membersihkan kolam sudah seperti biasa. Pak Sardi bilang, kalau enggak ada ikan yang mati lagi, mungkin yang bisa dipanen enggak sampai setengah dari bibit yang disebar. Sedih sekali rasanya. Namun, apa mau dikata? Mungkin sudah nasib. "Sudah sore. Mbak mau pulang sekarang?" Pertanyaan Pak Sardi kujawab dengan anggukkan lesu. Tadi pagi aku datang dengan taksi. Jadi, sekarang pun harus pesan taksi dulu. Belum juga taksiku datang, seorang pekerja menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik. "Mbak, ada yang cariin. Orangnya pingsan." Aku diajak untuk ke depan. Umpatanku enggak bisa ditahan saat melihat ada mobil Gatan terparkir di dekat pintu masuk tempat budidaya ikan. Kuperiksa ke dalam, info pekerja itu ter
Seminggu penuh aku menganggap Gatan orang hilang akal. Aku mengabaikan kehadiran, pertanyaan atau ucapannya. Seminggu ini, seperti orang aneh, dia mengikutiku. Lelaki itu datang ke tempat kolam ikan. Mengikutiku sampai rumah. Pernah menunggu sampai pagi di luar rumah. Dan terus bertanya soal siapa ayah dari anak yang aku kandung. Selama tujuh hari menganggapnya enggak ada, sore ini aku lelah direcoki. Letih juga melihat wajahnya yang kadang memasang ekspresi galak, datar dan beberapa kali terlihat sedih. Setibanya di rumah, aku menanyai Gatan. "Maumu apa? Mau ini anak Naja atau bukan, masalahmu apa?" Tatapan Gatan meredup untuk sebentar. Untuk sesaat aku seperti melihat rasa bersalah di sana. Heran, penasaran kenapa dia seperti itu, tetapi aku pura-pura enggak lihat apa pun. "Mau ini a--" "Aku bapaknya, 'kan?" Tadinya aku yang ingin melabrak dia supaya enggak merecoki hidupku lagi, kalau perlu sampai marah-marah biar dia merasa tersudut, sekarang keadaan berbalik. "Itu anak ak
Harusnya hari ini aku menjenguk Rahi. Namun, ternyata acara penen ikan enggak bisa rampung lebih cepat, karena kami masih harus menyortir juga memilih pesanan pelanggan mana yang harus didahulukan, karena persediaan ikan terbatas.Semua pekerjaan baru bisa rampung pukul delapan malam. Aku baru akan memesan taksi, saat mendengar suara klakson enggak asing mendekat. Mataku menyipit ketika cahaya dari lampu sorot terarah ke muka.Aku sempat memejam sebentar, sebelum membuka mata dan menemukan Gatan baru turun dari mobil. Decakan langsung lolos dari mulutku."Kamu ngapain lagi?"Seharusnya aku enggak menyetujui tawarannya kemarin. Dalam pikiranku, dia sungguh mau membantu. Mungkin, dia iba atau merasa bersalah. Ternyata, lelaki itu menyimpan banyak muslihat.Kubilang, uang untuk membeli segala keperluan hamil ditransfer saja. Namun, lelaki itu mengantarnya secara langsung."Kalau aku transfer ke rekening kamu, bakal mencurigakan. Kamu mau ketahuan Inara?"Alasannya masuk akal. Namun, teta
Gatan itu penipu. Katanya lembur, banyak pekerjaan, tidur di kantor. Mana ada! Lelaki itu menginap di hotel. Aku sudah ke kantornya tadi. Enggak tahan menunggu terus, aku berniat menjemput, menyeretnya pulang. Namun, karena enggak menemukan dia di kantor, aku menelepon. Dia pun memberi alamat hotel, dan di sinilah aku sekarang. Pria itu agaknya sudah tidur. Saat membukakan pintu tadi, rambutnya berantakan, pun mukanya bengkak. Dasar kurang ajar. Selepas dipersilakan masuk, aku langsung memukul dadanya. "Kamu bisa tidur enak-enak, sementara aku dan Damar kecarian?!" Lelaki itu menggaruk kepala. Dia terduduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk. "Kamu kira ngurus rumah dan Damar itu enggak susah, hah? Kamu sendiri yang bilang mau bantuin. Tapi, apa? Kamu nipu! Bilangnya mau kerja, malah tidur di hotel! Enggak sekalian kamu bawa perempuan kemari?!" Dia melirik dengan sorot dongkol di mata. "Rencananya besok," sahut pria itu enteng. Mendengar itu, aku langsung memukul kepalan
Gatan benar-benar ingin mengakhiri pernikahan kami. Seminggu lebih pria itu enggak pulang. Aku sampai-sampai harus meminta Rahisa datang untuk menemani aku dan Damar di rumah. Sedari Rahisa datang, aku langsung menangis dan menceritakan apa yang terjadi. Perasaanku campur aduk. Aku marah, kesal karena Gatan terlalu menganggap serius perkataanku kemarin sampai-sampai merajuk dan enggak pulang. Belum lagi, sejak kemarin sore Damar demam. Anak itu terus memanggil-manggil ayahnya. Sepertinya dia juga rindu dengan lelaki itu. Dasar pria kurang ajar! Setelah membuat kami terbiasa dengan kehadirannya, sekarang malah tiba-tiba pergi. "Aku harus apa, Rahi?" tanyaku pada Rahisa yang sejak tadi menggendong Damar. "Apa lagi? Ya minta dia balik." Damar di gendongan Rahisa mulai merengek lagi. Papak, katanya seraya menangis. Rahisa menengokku dengan ekspresi kecut. "Jemput sana. Anakku kasihan nangis begini." Air mataku tumpah lagi. "Kalau dia anakmu, kamulah yang jemput bapaknya!" Rahisa
"Kenapa, sih, harus sampai mutusin hubungan begitu?" Gatan menyuarakan protesnya usai kami makan dan duduk di ruang tamu. Saat makan tadi, aku mengutarakan keinginan. Aku enggak mau Ibu datang atau Gatan mengajak kami bertandang ke rumah Ibu sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini aku lakukan untuk melindungi anakku. Melihat bagaimana Ibu tega menyalahkan Damar seperti siang kemarin, tekadku untuk menjauhkan kami dari Ibu makin besar. Aku enggak mau mengambil risiko Damar akan mengalami apa yang pernah aku rasakan. "Mutusin hubungan gimana?" bantahku dengan nada suara sewot. "Aku cuma bilang, untuk sementara, Ibu enggak boleh datang dan aku menolak diajak berkunjung." "Tapi kan Ibu itu satu-satunya orang tua kita, Anes." Gatan masih berusaha membujuk. Mendengar itu, aku menghela napas. Kutatap dia putus asa. Aku yakin, dia masih bisa bicara begini karena enggak pernah merasakan apa yang aku alami. "Kamu tahu?" mulaiku. "Kemarin siang, Ibu datang cuma untuk menyalahkan
Aku pulang habis membeli sayur di pedagang keliling dengan wajah ditekuk. Enggak langsung ke dapur, aku menghempas bokong di sofa ruang tamu. Gatan dan Damar sedang bermain di sana. "Kenapa, Nes?" Pria yang duduk di karpet itu mungkin sadar kalau sejak tadi aku berusaha mengatur napas. "Memang, ya. Kita itu enggak bisa jujur-jujur benget sama orang lain!" ucapku berapi -api. "Bukannya untung, malah buntung. Tahu gini, mending aku nipu aja sekalian!" Aku menumpahkan rasa kesal. Gatan menajamkan mata sesaat. Pria itu menengok Damar yang kembali asyik dengan mainan usai melirik padaku sebentar. Aku berdeham, menyesal sudah menaikkan nada suara. Habis, bagaimana? Aku kesal!"Memang ada apa?" Aku menoleh pada Gatan yang tengah mengangsurkan mobil-mobilan pada Damar. "Kamu tahu tetangga sebelah?" "Sebelah mana? Kiri? Kanan? Apa kanan kiri?" Dia malah merespon dengan candaan, aku mencubit lengannya. Pria itu hanya meringis. Tetap menjaga agar keadaan nyaman untuk si bayi yang sibuk me
Semenjak melahirkan, aku memang sudah jarang datang ke kolam ikan. Semua pekerjaan aku limpahkan ke Pak Sardi. Meski sering mengeluh enggak sanggup terus-terusan mengurusi semua sendiri, Pak Sardi sangat bertanggungjawab. Namun, tetap saja rasanya sedih karena enggak bisa mengurusi usaha kecilku itu secara langsung. Bagaimana juga aku bisa kembali mengurusi kolam ikan secara langsung? Pagi-pagi, aku sudah harus bangun untuk membuat sarapan. Mencuci piring dan kain. Menyapu dan mengepel. Memandikan Damar, menemaninya bermain, membawanya jalan-jalan ke luar di pagi atau sore hari. Kemudian begitu lagi di malam hari. Bukan aku banyak mengeluh. Namun, kadang bosan membuat sulit untuk melapangkan sabar. Akhirnya, aku beberapa kali menangis seperti kemarin dini hari, hanya karena enggak mampu membuat Damar yang terbangun kembali tidur. Pagi ini pun, aku membuat kesalahan. Aku bangun pukul tujuh. Harusnya di jam segini aku sudah mandi dan membangunkan Damar. Sambil bersungut-sungut, aku
Memang, kesadaran diri itu adalah sesuatu yang penting. Tahu diri itu harus. Kalau enggak, maka akan jadi seperti aku. Dari awal, aku sudah menanamkan pada diri. Walaupun menikah dengan Gatan, laki-laki yang pernah kucinta, pun masih tetap menjadi yang paling berarti sampai sekarang, aku tak boleh terlampau bahagia. Sebab sejatinya pernikahan ini bukan untuk menyenangkan aku, melainkan demi mempertahankan Damar agar tidak diambil Ibu. Namun, lihatlah apa yang kini aku rasakan. Bisa-bisanya aku sedih, menangis tersedu-sedu, terisak parah cuma karena membayangkan apa yang terjadi sejak pagi, hingga sore tadi. Aku tidak tahu diri. Sejak awal sok menentang pernikahan, tetapi nyatanya aku merasa sedih sebab tak bisa mengundang banyak orang di pernikahan ini. Acara tadi pagi cuma dihadiri sepupunya Gatan, Rahisa, Pak Naja dan Ibu. Sudah tak mengundang banyak orang, sebagai acara resepsi kami hanya makan bersama. Makan sederhana di rumah baru yang kata Gatan akan jadi tempat tinggal kami
"Anes, Damar makan jarinya sendiri!"Pada Gatan yang memberitahu dengan wajah terkejut, aku cuma bisa menghela napas. Kutaruh handuk di keranjang kotor, kemudian berjalan ke ranjang. Aku duduk di tepian, menatap ke arah Damar yang melempar kedipan lugu seraya menghisap ibu jari."Anak bayi ngisep ibu jari itu biasa," terangku sembari tersenyum pada Damar.Bayi itu balas tersenyum, kemudian menengok pada ayahnya yang kembali berusaha memasangkan popok.Sore ini Gatan singgah sepulang bekerja. Padahal, aku sudah beritahu kalau anaknya baik-baik saja. Pun, sudah berbaik hati mengirimi pesan gambar. Namun, dasarnya lelaki itu keras kepala, dia tetap datang."Nes, kenapa dia lihatin bajuku terus, ya?"Gatan menoleh dengan ekspresi cemas. Pria itu membaui ketiaknya, mengusapi bagian depan kaus hijaunya, kemudian menatap padaku lagi."Anes?"Aku berdecak. "Itu karena warna kausnya cerah. Bayi memang gitu, tertarik sama warna yang cerah-cerah," jelasku lagi sembari menyisir rambut yang seteng
Aku sedang memangku Damar seraya mengajak dia mengobrol, saat Rahisa datang. Perempuan itu muncul bersama Naja, menyapa dengan suara riang, lalu tiba-tiba menangis sambil memelukku."Aku rindu. Kalau bukan demi melancarkan rencana Gatan, aku enggak akan nunggu sampai selama ini."Aku enggak paham yang dia ceritakan. Lebih-lebih setelah Rahisa mengambil alih Damar dari pangkuanku, kemudian heboh sendiri."Astaga, Nak. Kenapa makin manis banget kamu ini? Damar enggak lupa Mama, 'kan?" Satu tangannya menaruh tangan Damar di pipi. "Mama. Aku Mamanya kamu, teman Ibunya kamu."Damar cuma senyum. Aku senang anak itu enggak menangis karena tingkah heboh Rahisa. Rahisa ini entah mau melakukan apa. Sebentar ia sentuhkan tangan kecil Damar ke pipi. Setelahnya, ia ciumi si bayi. Habis itu, pura-pura mau memakan jari Damar."Mama makan tanganmu, ya? Iya? Ih, senyum." Rahisa melirik ke sini dengan mata besar dan berbinar. "Anakmu pinter banget, Nes. Udah bisa senyum! Ih, giginya belum ada.""Waktu
Sebenarnya, aku enggan diajak ke sini. Menurutku, kalau pun harus segera memberitahu Ibu soal rencana pernikahan kami, bisa dilakukan lewat kirim pesan atau telepon. Namun, Gatan bersikeras agar kami datang ke rumah Ibu.Awalnya sudah enggak setuju, ketika menginjak lantai teras perasaanku jadi makin enggak enak. Aku teringat kejadian empat bulan lalu. Saat rumah ini ramai oleh pelayat dan sebuah bendera kecil warna merah terpasang di salah satu tiangnya.Dada terasa kebas saat mengingat bagaimana Ibu menuduh aku sebagai penyebab Inara meninggal. Langkahku berhenti di ambang pintu masuk. Beberapa kali aku menggeleng dan menarik napas untuk mencari ketenangan.Entah sejak kapan, datang ke sini seperti datang ke tempat pengadilan. Aku takut semua kesalahanku dibeberkan ulang di sini, kemudian aku diberi hukuman."Kenapa?"Pertanyaan dan suara Gatan membawaku ke masa sekarang. Aku menggeleng pelan padanya. Kutelan ludah hati-hati, kemudian mantap melanjutkan langkah.Kami dipersilakan du