Perutku kenyang setelah menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Gatan. Ternyata, dia bisa memasak. Kukira, nasi goreng buatannya akan terlalu asin atau malah hambar.Gatan sibuk membereskan perlengkapan makan, aku tersenyum-senyum menontoni ombak kecil yang terus-terusan mendatangi bibir pantai. Saat mendongak, kerlip dari bintang-bintang yang bertaburan menyambut.Berkemah di tepian pantai memang sesuatu.Meski ada rasa kesal karena harus membiarkan Gatan ikut, aku berusaha enggak mengacaukan liburan ini. Kemping di pinggir pantai adalah keinginanku sejak dulu.Dulu, beberapa kali aku merencanakan melakukan hal ini dengan teman SMA. Namun, selalu ketahuan Ibu. Alhasil, karena Inara enggak boleh diajak, aku juga dilarang bersenang-senang.Ketika lulus SMA, aku sibuk kuliah, lalu setelahnya sibuk mencari uang. Enggak punya waktu untuk bersenang-senang dan jalan-jalan. Pun, Ibu masih melarang aku melakukan hal-hal yang kusukai karena enggak mau Inara cemburu.Jadinya, baru bisa dilakuk
Belum juga pertanyaan soal dari mana Gatan tahu alamat tempat budidaya ikan terjawab, sekarang aku harus penasaran tentang dari mana Ibu tahu rumahku. Mengapa bisa wanita itu muncul di depan rumah sepagi ini, dengan wajah merah padam?"Ibu?"Gatan baru berkata begitu, aku sudah melihat Ibu berjalan cepat menghampiri. Aku tahu marabahaya sedang mendekat, jadi aku ambil ancang-ancang untuk lari. Namun, usahaku gagal.Ibu berhasil menjangkau kepala dan menarik sejumput rambutku. Ditariknya kuat, sampai aku terjatuh ke belakang, bokong menyentuh tanah, lalu nyeri mulai menyebar."Tega sekali kamu berselingkuh dengan suami adikmu, hah! Dasar perempuan liar!"Ibu memberikan pukulan seperti orang kerasukan. Tenaganya kuat sekali. Kepala, wajah, bahu, punggung, semua bagian tubuhku kena pukul. Beruntung aku masih sanggup memeluk perut dan melindungi area itu dari tepukan telapak tangan Ibu yang kencang."Lelah Ibu menasihati kamu, Anesya
Gatan yang baru masuk langsung berdecak dengan tatapan tajam ke arah dada. Aku ikut menatap ke sana, lalu sadar kalau kancing piyama terbuka dan dadaku kelihatan. Ini pasti karena tergesa-gesa bertukar baju dan ingin cepat-cepat tidur.Setelah merapikan pakaian, gantian aku yang berdecak. Memasang wajah kesal atas kehadirannya ini. Kenapa pria itu harus datang lagi? Apa dia kurang puas melihatku harus sampai berakhir di rumah sakit karena digebuki Ibu?Dua hari lalu, aku demam sehabis dipukuli Ibu dan kehujanan. Gatan membawaku ke rumah sakit, dokter menyarankan untuk dirawat dua hari. Aku sudah senang karena sejak kemari Gatan enggak menampakkan batang hidung, eh, sore ini dia timbul."Jangan kira aku suka lihat kamu." Gatan duduk di samping ranjang yang aku baringi sembari beberapa kali berdeham. "Aku datang untuk lihat dan tahu keadaan anak aku."Aku mencibir enggak peduli. "Besok pagi aku pulang. Habis itu, tolong, jangan datang lagi."
Untuk Anakku yang paling cantik sedunia, Anesya.Membaca selarik pembukaan surat yang ditinggalkan Ibu kemarin, aku langsung tahu jika surat ini pasti dari Rudi, ayahku. Belum apa air mata sudah jatuh bercucuran.Anesya anaknya Rudianto. Anakku. Saat kamu baca surat dari Ayah ini, pasti keadaanmu tidak sedang baik dan Ayah tidak lagi bersamamu. Pertama, Ayah minta untuk tidak terlalu banyak menangis. Anes tidak cantik kalau banyak menangis. Ayah lebih suka kalau Anes tersenyum.Ayah hanya berharap Ibumu mau membagi ceritanya dengan cara baik."Baik apanya?" sungutku seraya mengusut air mata. "Ibu bilang aku pelac*r kemarin, Ayah. Dia bilang harusnya aku dib*nuh aja pas masih dalam kandungan."Kamu memang bukan darah daging Ayah.Dadaku sesak, berdenyut nyeri, seolah baru saja ada batu besar yang ditaruh di sana. Jadi, benar aku bukan anak Ayah?Kamu sudah bersama Ibumu saat Ayah bertemu kalian. Waktu itu, sore-sore pula
Rahisa yang sudah sadar dari koma membawa pengaruh baik untuk hidupku. Sekarang, apa-apa aku punya orang yang bisa ditanyai. Kalau aku lupa, ada yang mengingatkan. Dan kalau aku salah, ada Rahisa yang akan mentertawakan.Seperti sekarang. Perempuan yang sudah boleh pulang dari rumah sakit itu sedang terbahak-bahak sesudah melihat dan membaca wishlist yang kubuat. Dia mengataiku maniak, setelah membaca salah satu dari lima hal yang masih bisa kulakukan, meski lagi hamil."Siapa, sih, yang kasih inspirasi ke kamu, Anes? Punya keinginan kok, ya muluk tenan?"Rahisa menaruh buku catatanku ke atas kasur. Tawanya masih sesekali terdengar, saat dia mendekat padaku yang duduk bersandar ke kepala tempat tidur."Dibayanganmu, siapa yang akan lakuin wish nomor lima itu ke kamu?" Mata Rahisa memicing, aku kesal melihat sorot mengolok di sana.Aku membuang wajah. "Mana aku tahu!""Halah!" Dia mendengkus. "Aku bisa baca isi kepalamu tahu. Past
"Aku rasa kamu enggak perlu pindah lagi, deh."Pada Rahisa yang bicara aku memberi tatapan putus asa. Saat ini kami ada di ruang tamu rumahku. Rahisa datang satu jam lalu. Perempuan itu sudah membantu membereskan pekerjaan rumah dan memasak sejak tadi.Niat untuk pindah itu terpikirkan kemarin malam. Setelah puas menangis karena mengingat Ayah, aku mengira harus pindah lagi.Ibu sudah tahu tempat ini. Gatan juga. Bukan enggak mungkin Inara juga akan segera datang. Bisa bahaya kalau sampai Inara tahu aku hamil. Dia pasti mendesak untuk diberitahu siapa ayah bayiku.Lain denganku yang berpendapat pindah adalah jalan baik, Rahisa malah menentang."Sampai kapan kamu mau menghindar? Selama Ibu sama Gatan menyimpan ini, Inara pasti enggak akan tahu soal kehamilan kamu."Wajahku tertekuk sewaktu berbalas tatap dengan Rahisa. "Seenggaknya, kalau aku pindah, mereka enggak akan datang. Aku capek diganggu. Aku rasa butuh tenang dan fokus sama si Bayi sampai dia lahir."Bagaimana kalau Ibu memaks
Rahisa masuk ke kamar saat aku baru saja hendak menutup mata. Perempuan itu memberi senyum teduh, kemudian duduk di tepian ranjang. Memeriksa suhu tubuh dengan menaruh telapak tangan di dahi, lalu menanyakan apa ada yang sakit, lalu menawarkan makanan.Dia sudah begitu sejak tiga hari lalu. Sejak aku memutuskan untuk enggak pergi dari ranjang, kecuali untuk ke kamar kecil. Rasanya aku masih enggak punya selera untuk melakukan apa pun. Semua terlihat berantakan, gelap dan suram.Bahkan, meski sangat ingin ke rumah Ayah, aku enggak berani melakukannya."Dia datang lagi," kata Rahisa pelan dan hati-hati.Mataku memicing. "Kan aku udah bilang. Enggak mau ketemu dia. Suruh dia pulang."Gatan kemari kemarin sore. Aku minta tolong Rahisa untuk mengusir lelaki itu. Aku enggak mau ketemu dia lagi. Sudah cukup urusan kami. Kalau dia memang mau bertanggungjawab soal anaknya, bisa kirim uang lewat transfer."Dia kelihatan melas banget, Nes."Aku menggeleng enggak peduli. Itu pasti hanya akal-akal
Pak Sardi subuh-subuh sudah menelepon. Pria berumur itu meminta dengan sangat agar aku datang ke tempat budidaya dan mengontrol proses panen mujair seperti biasa. Tadinya, aku menolak.Dengan alasan kondisi tubuh yang masih kurang bugar, pun suasana hati yang belum juga membaik, aku menolak datang dan berkata Pak Sardi bisa mengatur semuanya sesuka hati. Namun, lelaki itu tetap membujuk."Kami di sini tahunya cuma rawat ikan, sama nganter, Mbak. Yang tahu lebih banyak itu Mbak Anes."Begitu kata beliau ketika akhirnya aku tiba di tempat budidaya pukul sembilan pagi."Apa, sih, Pak?" gerutuku sambil berjalan malas ke saung. "Kan alamat rumah makan sama pedagangnya sudah saya kasih ke Bapak. Tinggal antar ke sana."Pak Sardi menggeleng dengan senyum sungkan. "Tetap ada yang kurang kalau si Bos ndak ada."Aku memajukan bibir sembari duduk. Padahal, kalau ditilik lagi, yang paling banyak kerja itu ya mereka-mereka. Aku cuma tukang perintah dan tukang mencatat pesanan pelanggan."Hengki ma
Gatan itu penipu. Katanya lembur, banyak pekerjaan, tidur di kantor. Mana ada! Lelaki itu menginap di hotel. Aku sudah ke kantornya tadi. Enggak tahan menunggu terus, aku berniat menjemput, menyeretnya pulang. Namun, karena enggak menemukan dia di kantor, aku menelepon. Dia pun memberi alamat hotel, dan di sinilah aku sekarang. Pria itu agaknya sudah tidur. Saat membukakan pintu tadi, rambutnya berantakan, pun mukanya bengkak. Dasar kurang ajar. Selepas dipersilakan masuk, aku langsung memukul dadanya. "Kamu bisa tidur enak-enak, sementara aku dan Damar kecarian?!" Lelaki itu menggaruk kepala. Dia terduduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk. "Kamu kira ngurus rumah dan Damar itu enggak susah, hah? Kamu sendiri yang bilang mau bantuin. Tapi, apa? Kamu nipu! Bilangnya mau kerja, malah tidur di hotel! Enggak sekalian kamu bawa perempuan kemari?!" Dia melirik dengan sorot dongkol di mata. "Rencananya besok," sahut pria itu enteng. Mendengar itu, aku langsung memukul kepalan
Gatan benar-benar ingin mengakhiri pernikahan kami. Seminggu lebih pria itu enggak pulang. Aku sampai-sampai harus meminta Rahisa datang untuk menemani aku dan Damar di rumah. Sedari Rahisa datang, aku langsung menangis dan menceritakan apa yang terjadi. Perasaanku campur aduk. Aku marah, kesal karena Gatan terlalu menganggap serius perkataanku kemarin sampai-sampai merajuk dan enggak pulang. Belum lagi, sejak kemarin sore Damar demam. Anak itu terus memanggil-manggil ayahnya. Sepertinya dia juga rindu dengan lelaki itu. Dasar pria kurang ajar! Setelah membuat kami terbiasa dengan kehadirannya, sekarang malah tiba-tiba pergi. "Aku harus apa, Rahi?" tanyaku pada Rahisa yang sejak tadi menggendong Damar. "Apa lagi? Ya minta dia balik." Damar di gendongan Rahisa mulai merengek lagi. Papak, katanya seraya menangis. Rahisa menengokku dengan ekspresi kecut. "Jemput sana. Anakku kasihan nangis begini." Air mataku tumpah lagi. "Kalau dia anakmu, kamulah yang jemput bapaknya!" Rahisa
"Kenapa, sih, harus sampai mutusin hubungan begitu?" Gatan menyuarakan protesnya usai kami makan dan duduk di ruang tamu. Saat makan tadi, aku mengutarakan keinginan. Aku enggak mau Ibu datang atau Gatan mengajak kami bertandang ke rumah Ibu sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini aku lakukan untuk melindungi anakku. Melihat bagaimana Ibu tega menyalahkan Damar seperti siang kemarin, tekadku untuk menjauhkan kami dari Ibu makin besar. Aku enggak mau mengambil risiko Damar akan mengalami apa yang pernah aku rasakan. "Mutusin hubungan gimana?" bantahku dengan nada suara sewot. "Aku cuma bilang, untuk sementara, Ibu enggak boleh datang dan aku menolak diajak berkunjung." "Tapi kan Ibu itu satu-satunya orang tua kita, Anes." Gatan masih berusaha membujuk. Mendengar itu, aku menghela napas. Kutatap dia putus asa. Aku yakin, dia masih bisa bicara begini karena enggak pernah merasakan apa yang aku alami. "Kamu tahu?" mulaiku. "Kemarin siang, Ibu datang cuma untuk menyalahkan
Aku pulang habis membeli sayur di pedagang keliling dengan wajah ditekuk. Enggak langsung ke dapur, aku menghempas bokong di sofa ruang tamu. Gatan dan Damar sedang bermain di sana. "Kenapa, Nes?" Pria yang duduk di karpet itu mungkin sadar kalau sejak tadi aku berusaha mengatur napas. "Memang, ya. Kita itu enggak bisa jujur-jujur benget sama orang lain!" ucapku berapi -api. "Bukannya untung, malah buntung. Tahu gini, mending aku nipu aja sekalian!" Aku menumpahkan rasa kesal. Gatan menajamkan mata sesaat. Pria itu menengok Damar yang kembali asyik dengan mainan usai melirik padaku sebentar. Aku berdeham, menyesal sudah menaikkan nada suara. Habis, bagaimana? Aku kesal!"Memang ada apa?" Aku menoleh pada Gatan yang tengah mengangsurkan mobil-mobilan pada Damar. "Kamu tahu tetangga sebelah?" "Sebelah mana? Kiri? Kanan? Apa kanan kiri?" Dia malah merespon dengan candaan, aku mencubit lengannya. Pria itu hanya meringis. Tetap menjaga agar keadaan nyaman untuk si bayi yang sibuk me
Semenjak melahirkan, aku memang sudah jarang datang ke kolam ikan. Semua pekerjaan aku limpahkan ke Pak Sardi. Meski sering mengeluh enggak sanggup terus-terusan mengurusi semua sendiri, Pak Sardi sangat bertanggungjawab. Namun, tetap saja rasanya sedih karena enggak bisa mengurusi usaha kecilku itu secara langsung. Bagaimana juga aku bisa kembali mengurusi kolam ikan secara langsung? Pagi-pagi, aku sudah harus bangun untuk membuat sarapan. Mencuci piring dan kain. Menyapu dan mengepel. Memandikan Damar, menemaninya bermain, membawanya jalan-jalan ke luar di pagi atau sore hari. Kemudian begitu lagi di malam hari. Bukan aku banyak mengeluh. Namun, kadang bosan membuat sulit untuk melapangkan sabar. Akhirnya, aku beberapa kali menangis seperti kemarin dini hari, hanya karena enggak mampu membuat Damar yang terbangun kembali tidur. Pagi ini pun, aku membuat kesalahan. Aku bangun pukul tujuh. Harusnya di jam segini aku sudah mandi dan membangunkan Damar. Sambil bersungut-sungut, aku
Memang, kesadaran diri itu adalah sesuatu yang penting. Tahu diri itu harus. Kalau enggak, maka akan jadi seperti aku. Dari awal, aku sudah menanamkan pada diri. Walaupun menikah dengan Gatan, laki-laki yang pernah kucinta, pun masih tetap menjadi yang paling berarti sampai sekarang, aku tak boleh terlampau bahagia. Sebab sejatinya pernikahan ini bukan untuk menyenangkan aku, melainkan demi mempertahankan Damar agar tidak diambil Ibu. Namun, lihatlah apa yang kini aku rasakan. Bisa-bisanya aku sedih, menangis tersedu-sedu, terisak parah cuma karena membayangkan apa yang terjadi sejak pagi, hingga sore tadi. Aku tidak tahu diri. Sejak awal sok menentang pernikahan, tetapi nyatanya aku merasa sedih sebab tak bisa mengundang banyak orang di pernikahan ini. Acara tadi pagi cuma dihadiri sepupunya Gatan, Rahisa, Pak Naja dan Ibu. Sudah tak mengundang banyak orang, sebagai acara resepsi kami hanya makan bersama. Makan sederhana di rumah baru yang kata Gatan akan jadi tempat tinggal kami
"Anes, Damar makan jarinya sendiri!"Pada Gatan yang memberitahu dengan wajah terkejut, aku cuma bisa menghela napas. Kutaruh handuk di keranjang kotor, kemudian berjalan ke ranjang. Aku duduk di tepian, menatap ke arah Damar yang melempar kedipan lugu seraya menghisap ibu jari."Anak bayi ngisep ibu jari itu biasa," terangku sembari tersenyum pada Damar.Bayi itu balas tersenyum, kemudian menengok pada ayahnya yang kembali berusaha memasangkan popok.Sore ini Gatan singgah sepulang bekerja. Padahal, aku sudah beritahu kalau anaknya baik-baik saja. Pun, sudah berbaik hati mengirimi pesan gambar. Namun, dasarnya lelaki itu keras kepala, dia tetap datang."Nes, kenapa dia lihatin bajuku terus, ya?"Gatan menoleh dengan ekspresi cemas. Pria itu membaui ketiaknya, mengusapi bagian depan kaus hijaunya, kemudian menatap padaku lagi."Anes?"Aku berdecak. "Itu karena warna kausnya cerah. Bayi memang gitu, tertarik sama warna yang cerah-cerah," jelasku lagi sembari menyisir rambut yang seteng
Aku sedang memangku Damar seraya mengajak dia mengobrol, saat Rahisa datang. Perempuan itu muncul bersama Naja, menyapa dengan suara riang, lalu tiba-tiba menangis sambil memelukku."Aku rindu. Kalau bukan demi melancarkan rencana Gatan, aku enggak akan nunggu sampai selama ini."Aku enggak paham yang dia ceritakan. Lebih-lebih setelah Rahisa mengambil alih Damar dari pangkuanku, kemudian heboh sendiri."Astaga, Nak. Kenapa makin manis banget kamu ini? Damar enggak lupa Mama, 'kan?" Satu tangannya menaruh tangan Damar di pipi. "Mama. Aku Mamanya kamu, teman Ibunya kamu."Damar cuma senyum. Aku senang anak itu enggak menangis karena tingkah heboh Rahisa. Rahisa ini entah mau melakukan apa. Sebentar ia sentuhkan tangan kecil Damar ke pipi. Setelahnya, ia ciumi si bayi. Habis itu, pura-pura mau memakan jari Damar."Mama makan tanganmu, ya? Iya? Ih, senyum." Rahisa melirik ke sini dengan mata besar dan berbinar. "Anakmu pinter banget, Nes. Udah bisa senyum! Ih, giginya belum ada.""Waktu
Sebenarnya, aku enggan diajak ke sini. Menurutku, kalau pun harus segera memberitahu Ibu soal rencana pernikahan kami, bisa dilakukan lewat kirim pesan atau telepon. Namun, Gatan bersikeras agar kami datang ke rumah Ibu.Awalnya sudah enggak setuju, ketika menginjak lantai teras perasaanku jadi makin enggak enak. Aku teringat kejadian empat bulan lalu. Saat rumah ini ramai oleh pelayat dan sebuah bendera kecil warna merah terpasang di salah satu tiangnya.Dada terasa kebas saat mengingat bagaimana Ibu menuduh aku sebagai penyebab Inara meninggal. Langkahku berhenti di ambang pintu masuk. Beberapa kali aku menggeleng dan menarik napas untuk mencari ketenangan.Entah sejak kapan, datang ke sini seperti datang ke tempat pengadilan. Aku takut semua kesalahanku dibeberkan ulang di sini, kemudian aku diberi hukuman."Kenapa?"Pertanyaan dan suara Gatan membawaku ke masa sekarang. Aku menggeleng pelan padanya. Kutelan ludah hati-hati, kemudian mantap melanjutkan langkah.Kami dipersilakan du