Ini bukan pertama kali aku melihat Inara harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang oksigen dan jarum infus tertancap di tangan. Sejak kecil dia memang sering keluar-masuk rumah sakit. Namun, kali ini untuk pertama kalinya aku enggak bisa menahan tangis melihat itu.Dulu, aku kerap merasa disalahkan Ibu karena sakit yang Inara derita. Bertahun-tahun aku menyangkal itu, tetapi malam ini aku mengaku kalau akulah yang membuat anak bungsu ibuku itu jatuh sakit seperti sekarang.Aku masuk bersama Gatan. Berusaha enggak menatap wajah Inara, aku mendengar perempuan itu terisak ketika aku duduk di samping ranjangnya.Kepalaku tertunduk, lidah ini kelu. Di depanku, di sisi kanan Inara, Gatan juga belum bersuara. Sementara Inara yang terbaring di tengah kami masih tersedu-sedu.Semenit di sana rasanya seperti seribu tahun di kurung ruang pengap. Aku kesusahan bernapas. Ingin sekali lari, tetapi rasa bersalah menahan kakiku untuk tetap tinggal. Setidaknya, hanya ini yang bisa kub
Baru tiba di rumah, aku langsung merebahkan tubuh ke sofa. Bersandar, aku menghela napas beberapa kali. Di luar cuaca enggak begitu terik, tetapi tetap saja aku lelah setelah beberapa jam menghabiskan waktu di mal bersama Rahisa.Demi merayakan tempat tinggal baru, karena akhirnya aku pindah lagi, sekalian memenuhi wishlist yang keempat, aku dan Rahisa pergi belanja seharian ini.Foya-foya dengan uang orang lain adalah keinginanku yang tercantum di daftar. Dan Rahisa membantu mewujudkan itu. Rahi meminta salah satu kartu Pak Naja dan dengan enteng kekasihnya yang kaya raya itu memberikan.Jadilah kami berkeliling mal hari ini. Aku membeli semua hal yang kuinginkan, meski belum tentu membutuhkannya nanti. Kami pulang dengan banyak tas belanjaan, tetapi bukannya senang, aku malah merasa biasa saja. Entah kenapa perasaan senang saat membayangkan akan bisa melakukan ini hilang enggak bersisa."Kok, bisa, ya, kamu enggak senang?" Pertanyaan itu aku dengar habis meneguk air yang Rahi ambilk
Langkahku ragu bergerak masuk ke ruangan itu. Semua kelengkapan yang terpasang di tubuh menambah kesan menakutkan. Aku tahu tutup kepala dan baju ini demi menjaga ruangan tempat Inara dirawat agar selalu bersih. Namun, tetap saja malah menambah rasa takut.Selain alat-alat medis, aku menemukan Gatan di ruangan itu. Si lelaki terduduk sembari memegangi tangan istrinya. Dia sama sekali enggak melirik aku.Inara ternyata enggak tidur. Dia menoleh ketika aku duduk. Segaris senyum terbit di wajahnya yang pucat.Dia hanya menatapi selama beberapa menit, kemudian mulai bicara. Suaranya sedikit teredam karena ada masker oksigen yang terpasang."Maaf karena dulu aku egois. Aku hanya mementingkan diriku dan lupa sama perasaan Kakak."Inara tampak kesulitan menarik napas. Aku ingin menyuruhnya untuk diam saja, tetapi urung karena melihat dia sungguh berusaha."Menikahlah dengan Gatan setelah aku enggak ada nanti."Mataku langsung berair. Aku menggeleng penuh permohonan padanya."Aku enggak mau k
Tiga Bulan Kemudian Aku meringis ketika mencoba untuk duduk, setelah membuat posisi tubuh berbaring miring. Hasilnya masih sama dengan dua hari lalu, luka bekas operasi di perut rasanya seperti terkoyak. Menyerah, aku meminta perawat untuk mengambil Damar dari box bayi dan dibawakan ke sini.Anakku sudah lahir dua hari lalu, lewat operasi, karena persalinan normal bukan pilihan tepat saat tekanan darahku tinggi.Dia laki-laki. Tampan sekali, sesuai perkiraan. Semua bagian di wajahnya meniru bapaknya. Kuberi dia nama Damar. Singkat, enak didengar dan ternyata artinya bagus. "Mulai dibiasakan untuk bangkit dari ranjang sendiri, ya, Buk." Perawat itu menaruh Damar di samping aku yang berbaring.Sudah waktunya Damar minum. Dia sudah merengek-rengek kecil sejak tadi. Daripada harus menunggu lama hingga aku bisa duduk, lebih baik dia yang dibawa ke ranjang.Pada perawat yang bicara tadi, aku mengangguk saja. Sejak kemarin, dia memang terus-terusan mengingatkan untuk sesegera mungkin bisa
Ibu benar-benar enggak sudi membiarkanku hidup tenang. Kurasa, beliau memang menyimpan dendam padaku karena suaminya lebih sayang padaku. Pun, dendam itu bertambah jadi berkali-kali lipat, karena apa yang sudah terjadi pada Inara.Dari Gatan aku mendengar sesuatu yang mengerikan. Katanya, Ibu akan mengambil anakku. Damar akan dirawat oleh Ibuku, nenek yang dulu sama sekali enggak menginginkannya ada.Meski sudah kucoba menahan diri, berpikir waras dengan semua sisa akal sehat yang ada, tetap saja kemarahan merebak di dada. Enggak bisa menyalurkannya dengan teriak-teriak, air mataku tumpah.Aku menatap Gatan tajam, seolah apa yang ia katakan tadi bukan dari Ibu, melainkan juga niat buruk dia."Bukannya kalian enggak suka sama kami?"Gatan membisu."Aku udah berusaha pergi sejauh mungkin dari kalian, biar kalian enggak malu atau susah. Terus, kenapa sekarang anak aku mau diambil?"Menjauhkan punggung dari sandaran sofa, Gatan menumpu kedua tangan masing-masing di paha."Kamu lebih tahu
Adanya suster Amira benar-benar membantu. Dia pandai dalam segala hal seperti, mengingatkan untuk memberi minum Damar, mengajari, membantu memandikan Damar dan menjagai Damar kalau aku ketiduran. Seminggu dia di sini, aku benar-benar suka.Bahkan, dia mau membantu melakukan hal-hal yang bukan ranahnya. Misalnya seperti sekarang. Sejak pagi Damar rewel. Enggak mau diletakkan di kasur atau box bayi. Alhasil, aku harus menggendongnya seharian, dan Amira berbaik hati membuatkan teh untuk aku minum.Sebenarnya enggak keberatan dimintai gendong terus, tetapi punggung kadang enggak bisa diajak kompromi. Pegal juga berlama-lama berdiri atau duduk."Kenapa, sih, Damar agak rewel hari ini?" Aku bertanya sembari menyusui bayi itu. Kuusap-usap pipi dan kepalanya pelan.Anak itu enggak menjawab, tetapi matanya enggak berpindah dariku. Kami bertatapan lumayan lama, kemudian aku tersenyum lebar. Aku menunduk untuk bisa mengecupi wajahnya."Mimik yang banyak, biar Damar cepat besar. Nanti, kalau ud
Sebenarnya, aku enggan diajak ke sini. Menurutku, kalau pun harus segera memberitahu Ibu soal rencana pernikahan kami, bisa dilakukan lewat kirim pesan atau telepon. Namun, Gatan bersikeras agar kami datang ke rumah Ibu.Awalnya sudah enggak setuju, ketika menginjak lantai teras perasaanku jadi makin enggak enak. Aku teringat kejadian empat bulan lalu. Saat rumah ini ramai oleh pelayat dan sebuah bendera kecil warna merah terpasang di salah satu tiangnya.Dada terasa kebas saat mengingat bagaimana Ibu menuduh aku sebagai penyebab Inara meninggal. Langkahku berhenti di ambang pintu masuk. Beberapa kali aku menggeleng dan menarik napas untuk mencari ketenangan.Entah sejak kapan, datang ke sini seperti datang ke tempat pengadilan. Aku takut semua kesalahanku dibeberkan ulang di sini, kemudian aku diberi hukuman."Kenapa?"Pertanyaan dan suara Gatan membawaku ke masa sekarang. Aku menggeleng pelan padanya. Kutelan ludah hati-hati, kemudian mantap melanjutkan langkah.Kami dipersilakan du
Aku sedang memangku Damar seraya mengajak dia mengobrol, saat Rahisa datang. Perempuan itu muncul bersama Naja, menyapa dengan suara riang, lalu tiba-tiba menangis sambil memelukku."Aku rindu. Kalau bukan demi melancarkan rencana Gatan, aku enggak akan nunggu sampai selama ini."Aku enggak paham yang dia ceritakan. Lebih-lebih setelah Rahisa mengambil alih Damar dari pangkuanku, kemudian heboh sendiri."Astaga, Nak. Kenapa makin manis banget kamu ini? Damar enggak lupa Mama, 'kan?" Satu tangannya menaruh tangan Damar di pipi. "Mama. Aku Mamanya kamu, teman Ibunya kamu."Damar cuma senyum. Aku senang anak itu enggak menangis karena tingkah heboh Rahisa. Rahisa ini entah mau melakukan apa. Sebentar ia sentuhkan tangan kecil Damar ke pipi. Setelahnya, ia ciumi si bayi. Habis itu, pura-pura mau memakan jari Damar."Mama makan tanganmu, ya? Iya? Ih, senyum." Rahisa melirik ke sini dengan mata besar dan berbinar. "Anakmu pinter banget, Nes. Udah bisa senyum! Ih, giginya belum ada.""Waktu