Tiga Bulan Kemudian Aku meringis ketika mencoba untuk duduk, setelah membuat posisi tubuh berbaring miring. Hasilnya masih sama dengan dua hari lalu, luka bekas operasi di perut rasanya seperti terkoyak. Menyerah, aku meminta perawat untuk mengambil Damar dari box bayi dan dibawakan ke sini.Anakku sudah lahir dua hari lalu, lewat operasi, karena persalinan normal bukan pilihan tepat saat tekanan darahku tinggi.Dia laki-laki. Tampan sekali, sesuai perkiraan. Semua bagian di wajahnya meniru bapaknya. Kuberi dia nama Damar. Singkat, enak didengar dan ternyata artinya bagus. "Mulai dibiasakan untuk bangkit dari ranjang sendiri, ya, Buk." Perawat itu menaruh Damar di samping aku yang berbaring.Sudah waktunya Damar minum. Dia sudah merengek-rengek kecil sejak tadi. Daripada harus menunggu lama hingga aku bisa duduk, lebih baik dia yang dibawa ke ranjang.Pada perawat yang bicara tadi, aku mengangguk saja. Sejak kemarin, dia memang terus-terusan mengingatkan untuk sesegera mungkin bisa
Ibu benar-benar enggak sudi membiarkanku hidup tenang. Kurasa, beliau memang menyimpan dendam padaku karena suaminya lebih sayang padaku. Pun, dendam itu bertambah jadi berkali-kali lipat, karena apa yang sudah terjadi pada Inara.Dari Gatan aku mendengar sesuatu yang mengerikan. Katanya, Ibu akan mengambil anakku. Damar akan dirawat oleh Ibuku, nenek yang dulu sama sekali enggak menginginkannya ada.Meski sudah kucoba menahan diri, berpikir waras dengan semua sisa akal sehat yang ada, tetap saja kemarahan merebak di dada. Enggak bisa menyalurkannya dengan teriak-teriak, air mataku tumpah.Aku menatap Gatan tajam, seolah apa yang ia katakan tadi bukan dari Ibu, melainkan juga niat buruk dia."Bukannya kalian enggak suka sama kami?"Gatan membisu."Aku udah berusaha pergi sejauh mungkin dari kalian, biar kalian enggak malu atau susah. Terus, kenapa sekarang anak aku mau diambil?"Menjauhkan punggung dari sandaran sofa, Gatan menumpu kedua tangan masing-masing di paha."Kamu lebih tahu
Adanya suster Amira benar-benar membantu. Dia pandai dalam segala hal seperti, mengingatkan untuk memberi minum Damar, mengajari, membantu memandikan Damar dan menjagai Damar kalau aku ketiduran. Seminggu dia di sini, aku benar-benar suka.Bahkan, dia mau membantu melakukan hal-hal yang bukan ranahnya. Misalnya seperti sekarang. Sejak pagi Damar rewel. Enggak mau diletakkan di kasur atau box bayi. Alhasil, aku harus menggendongnya seharian, dan Amira berbaik hati membuatkan teh untuk aku minum.Sebenarnya enggak keberatan dimintai gendong terus, tetapi punggung kadang enggak bisa diajak kompromi. Pegal juga berlama-lama berdiri atau duduk."Kenapa, sih, Damar agak rewel hari ini?" Aku bertanya sembari menyusui bayi itu. Kuusap-usap pipi dan kepalanya pelan.Anak itu enggak menjawab, tetapi matanya enggak berpindah dariku. Kami bertatapan lumayan lama, kemudian aku tersenyum lebar. Aku menunduk untuk bisa mengecupi wajahnya."Mimik yang banyak, biar Damar cepat besar. Nanti, kalau ud
Sebenarnya, aku enggan diajak ke sini. Menurutku, kalau pun harus segera memberitahu Ibu soal rencana pernikahan kami, bisa dilakukan lewat kirim pesan atau telepon. Namun, Gatan bersikeras agar kami datang ke rumah Ibu.Awalnya sudah enggak setuju, ketika menginjak lantai teras perasaanku jadi makin enggak enak. Aku teringat kejadian empat bulan lalu. Saat rumah ini ramai oleh pelayat dan sebuah bendera kecil warna merah terpasang di salah satu tiangnya.Dada terasa kebas saat mengingat bagaimana Ibu menuduh aku sebagai penyebab Inara meninggal. Langkahku berhenti di ambang pintu masuk. Beberapa kali aku menggeleng dan menarik napas untuk mencari ketenangan.Entah sejak kapan, datang ke sini seperti datang ke tempat pengadilan. Aku takut semua kesalahanku dibeberkan ulang di sini, kemudian aku diberi hukuman."Kenapa?"Pertanyaan dan suara Gatan membawaku ke masa sekarang. Aku menggeleng pelan padanya. Kutelan ludah hati-hati, kemudian mantap melanjutkan langkah.Kami dipersilakan du
Aku sedang memangku Damar seraya mengajak dia mengobrol, saat Rahisa datang. Perempuan itu muncul bersama Naja, menyapa dengan suara riang, lalu tiba-tiba menangis sambil memelukku."Aku rindu. Kalau bukan demi melancarkan rencana Gatan, aku enggak akan nunggu sampai selama ini."Aku enggak paham yang dia ceritakan. Lebih-lebih setelah Rahisa mengambil alih Damar dari pangkuanku, kemudian heboh sendiri."Astaga, Nak. Kenapa makin manis banget kamu ini? Damar enggak lupa Mama, 'kan?" Satu tangannya menaruh tangan Damar di pipi. "Mama. Aku Mamanya kamu, teman Ibunya kamu."Damar cuma senyum. Aku senang anak itu enggak menangis karena tingkah heboh Rahisa. Rahisa ini entah mau melakukan apa. Sebentar ia sentuhkan tangan kecil Damar ke pipi. Setelahnya, ia ciumi si bayi. Habis itu, pura-pura mau memakan jari Damar."Mama makan tanganmu, ya? Iya? Ih, senyum." Rahisa melirik ke sini dengan mata besar dan berbinar. "Anakmu pinter banget, Nes. Udah bisa senyum! Ih, giginya belum ada.""Waktu
"Anes, Damar makan jarinya sendiri!"Pada Gatan yang memberitahu dengan wajah terkejut, aku cuma bisa menghela napas. Kutaruh handuk di keranjang kotor, kemudian berjalan ke ranjang. Aku duduk di tepian, menatap ke arah Damar yang melempar kedipan lugu seraya menghisap ibu jari."Anak bayi ngisep ibu jari itu biasa," terangku sembari tersenyum pada Damar.Bayi itu balas tersenyum, kemudian menengok pada ayahnya yang kembali berusaha memasangkan popok.Sore ini Gatan singgah sepulang bekerja. Padahal, aku sudah beritahu kalau anaknya baik-baik saja. Pun, sudah berbaik hati mengirimi pesan gambar. Namun, dasarnya lelaki itu keras kepala, dia tetap datang."Nes, kenapa dia lihatin bajuku terus, ya?"Gatan menoleh dengan ekspresi cemas. Pria itu membaui ketiaknya, mengusapi bagian depan kaus hijaunya, kemudian menatap padaku lagi."Anes?"Aku berdecak. "Itu karena warna kausnya cerah. Bayi memang gitu, tertarik sama warna yang cerah-cerah," jelasku lagi sembari menyisir rambut yang seteng
Memang, kesadaran diri itu adalah sesuatu yang penting. Tahu diri itu harus. Kalau enggak, maka akan jadi seperti aku. Dari awal, aku sudah menanamkan pada diri. Walaupun menikah dengan Gatan, laki-laki yang pernah kucinta, pun masih tetap menjadi yang paling berarti sampai sekarang, aku tak boleh terlampau bahagia. Sebab sejatinya pernikahan ini bukan untuk menyenangkan aku, melainkan demi mempertahankan Damar agar tidak diambil Ibu. Namun, lihatlah apa yang kini aku rasakan. Bisa-bisanya aku sedih, menangis tersedu-sedu, terisak parah cuma karena membayangkan apa yang terjadi sejak pagi, hingga sore tadi. Aku tidak tahu diri. Sejak awal sok menentang pernikahan, tetapi nyatanya aku merasa sedih sebab tak bisa mengundang banyak orang di pernikahan ini. Acara tadi pagi cuma dihadiri sepupunya Gatan, Rahisa, Pak Naja dan Ibu. Sudah tak mengundang banyak orang, sebagai acara resepsi kami hanya makan bersama. Makan sederhana di rumah baru yang kata Gatan akan jadi tempat tinggal kami
Semenjak melahirkan, aku memang sudah jarang datang ke kolam ikan. Semua pekerjaan aku limpahkan ke Pak Sardi. Meski sering mengeluh enggak sanggup terus-terusan mengurusi semua sendiri, Pak Sardi sangat bertanggungjawab. Namun, tetap saja rasanya sedih karena enggak bisa mengurusi usaha kecilku itu secara langsung. Bagaimana juga aku bisa kembali mengurusi kolam ikan secara langsung? Pagi-pagi, aku sudah harus bangun untuk membuat sarapan. Mencuci piring dan kain. Menyapu dan mengepel. Memandikan Damar, menemaninya bermain, membawanya jalan-jalan ke luar di pagi atau sore hari. Kemudian begitu lagi di malam hari. Bukan aku banyak mengeluh. Namun, kadang bosan membuat sulit untuk melapangkan sabar. Akhirnya, aku beberapa kali menangis seperti kemarin dini hari, hanya karena enggak mampu membuat Damar yang terbangun kembali tidur. Pagi ini pun, aku membuat kesalahan. Aku bangun pukul tujuh. Harusnya di jam segini aku sudah mandi dan membangunkan Damar. Sambil bersungut-sungut, aku