"Zia, semua barang-barang kamu udah dimasukin ke dalam tas?" tanya Zora pada adiknya seraya memeriksa tas ransel yang entah sudah berapa kali Zora periksa."Iya udah, Kak. Lagian 'kan Kakak yang beresin tas aku dari tadi," jawab Zia, memandang sang kakak dari atas brankar sambil geleng-geleng.Zora meringis. Apa yang diucapkan adik perempuannya itu benar adanya. Sejak tadi ia sibuk beres-beres perlengkapan Zia karena hari ini adalah hari kepulangan Zia ke rumah. Sebenarnya besok pagi jadwal Zia keluar rumah sakit. Namun, Zia terus-terusan merengek meminta pulangnya dipercepat lantaran takut perintilan Boygroup kesayangan yang dipesannya waktu itu keburu sampai di rumah sebelum ia pulang. Jadi, setelah berkonsultasi dengan dokter yang merawat Zia serta bagaimana pengarahan Discharge Planning* (Kesiapan Pulang Pasien) berjalan sesuai petunjuk mereka, maka keinginan Zia untuk pulang lebih awal dari ketentuan pun dikabulkan. Lagipula tes-tes kesehatan yang dilakukan Zia juga menunjukan h
"Ada apa? Kita mau ke mana?" tanya Nevano heran.Zora tak menjawab. Ia terus menarik Nevano menyusuri lorong. Gadis itu tidak ingin Nevano sampai bertemu dengan Levi. Rasanya sudah cukup melihat kedua kakak beradik itu selalu bertengkar tiap kali bertatap muka. Jadi jelas membawa Nevano menjauh adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.Zora mengajak Nevano berbelok ke arah kanan. Kemudian, gadis itu membuka salah satu pintu yang ternyata membawa mereka ke tangga darurat rumah sakit."Kenapa kita ke sini?" tanya Nevano yang tentu saja masih kebingungan. Dipandanginya gadis itu dengan alis bertautan.Yang ditanya cuma berdiri mematung seraya memasang raut tegang. Saat ini posisi keduanya saling berhadap-hadapan, sementara tangan Zora masih saja memegangi lengan Nevano erat. Tiba-tiba senyum smirk Nevano mencuat. "Kamu sengaja ke sini mau ajak aku mojok? Masih pagi loh, Sayang."Kalimat itu segera menyadarkan Zora. Gadis itu buru-buru melepas lengan Nevano yang masih ia pegang,
Setelah selesai mengantar Zia pulang ke rumah. Zora bersiap-siap untuk pergi ke kantor lantaran waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat.Gadis itu bergegas keluar kamar begitu telah rapi mengenakan setelan kemeja serta rok span hitam pendek yang sedikit di atas lutut. Ada belahan juga di sisi samping yang sebenarnya membuat Zora agak risih.Rok ini adalah rok lama yang dulu pernah Zora pakai sewaktu menjadi SPG untuk sebuah produk kosmetik. Ia tak menyangka rok ini masih muat, meski agak sempit di bagian pinggul. Zora terpaksa harus memakainya lantaran pakaian kerjanya sedang berada di laundry dan ia belum sempat pergi mengambil."Zia, Kakak pergi kerja dulu, ya?" pamit Zora kepada Zia yang saat ini tengah berada di dalam kamar.Walau sudah dinyatakan pulih dan diperbolehkan pulang, Zia masih harus banyak istirahat sampai beberapa waktu ke depan. Luka bekas operasinya pun belum sepenuhnya kering."Iya, Kak," sahut Zia, menoleh sejenak dari kegiatannya menulis sesuatu di buku.Zor
Sepanjang perjalanan Zora dan Nevano tak saling berbicara. Zora lebih memilih untuk membuang pandang ke jendela daripada menatap pemuda yang duduk di sampingnya itu.Ketika di pertengahan jalan, tiba-tiba Nevano membawa mobilnya berbelok ke sebuah Departemen Store. Lalu memarkirnya di basement. Ia melepas seatbelt dan kembali menatap Zora yang cuma bergeming sejak tadi."Itu dompet kamu." Sekonyong-konyong, Nevano melemparkan sesuatu ke atas pangkuan Zora.Zora tersentak dan menoleh. Dipandanginya sebuah dompet berwarna merah burgundy di atas pangkuan dengan alis bertautan. "Kenapa bisa ada sama kamu?""Nanti aja ngebahasnya." Nevano menyahut dingin. "Aku udah isi kartu kredit dan uang tunai ke dalam dompet kamu. Pake uang itu untuk beli pakaian yang bagus. Beli rok dan celana panjang sebanyak mungkin supaya kamu nggak perlu lagi pamer-pamer aurat di depan laki-laki lain."Semula, Zora hanya tertegun mendengar penuturan itu. Ia lantas buru-buru memeriksa dompet. Benar saja. Banyak se
Dentingan lembut piano adalah hal pertama yang menyambut kedatangan Nevano ke dalam restoran bintang 5 bergaya Prancis di bilangan pusat kota Jakarta tersebut. Pemuda itu berjalan tegap mengikuti sang manager restoran yang sedang memandunya menuju meja yang telah dipesan oleh papanya.Sepanjang perjalanan kemari, Nevano menebak-nebak apa yang sedang papanya rencanakan. Tidak mungkin ini cuma sekedar makan malam biasa. Mengingat ia sampai dijemput oleh Pak Hendris agar tidak bisa lagi menghindar. Padahal, Nevano sudah berjanji ingin menemui Zora malam ini dan terpaksa harus tertunda.Pemuda itu tertegun ketika telah sampai di salah satu meja yang terletak agak privat dari meja lain kala melihat sosok Lexa sudah duduk manis di salah satu kursi."Lexa?" gumam Nevano serta-merta. Ia mengelilingkan pandang. Tak ada papanya. Tak ada Adi Nugraha. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua.Apa-apaan ini?Lexa mengangkat wajah dan menatap Nevano datar. Ia menyunggingkan senyum tipis sebagai bent
"Tuan, Nevano! Tuan Muda!" panggil Pak Hendris ketika Nevano berjalan cepat menuju mobil sedannya yang terparkir di pelataran parkir dengan wajah kelam menahan emosi."Tuan!" panggil pria itu lagi lantaran Nevano tak menggubris. "Tu—""Mana kunci mobil?" Nevano tiba-tiba berbalik seraya mendelikkan mata. Satu tangannya menengadah di hadapan pria yang merupakan sekretaris pribadi papanya itu."Tuan Muda mau ke mana? Bukannya acara makan malamnya belum selesai?""Gue mau ketemu papa. Minta kunci mobilnya.""Tapi, Tuan—""Minta kunci mobilnya!" bentak Nevano habis kesabaran. Dicengkeramnya kerah kemeja Pak Hendris dengan kasar.Pria itu spontan mengerjap kaget, lalu dengan gugup merogoh saku celana panjangnya dan memberikan kunci mobil yang Nevano minta.Nevano dengan sigap mengambil benda itu dari tangan Pak Hendris seraya melepas cengkramannya. Sebelum masuk ke dalam mobil, pemuda itu kembali bertanya, "Di mana papa sekarang? Apa dia ada di rumah?""Ya, Tuan. Papa Tuan saat ini sedang
Zora mengedarkan pandang seraya membawa nampan berisi makan siangnya ke sepenjuru kafetaria kantor yang sudah dipadati hampir seluruh karyawan."Kak Zora, sini!"Panggilan itu menarik atensi Zora. Gadis itu serta merta menoleh dan mendapati sosok wanita berambut cokelat panjang bergelombang tengah melambai penuh semangat ke arahnya, Vania.Zora pun bergegas membawa nampan berisi makan siangnya menuju meja panjang dekat jendela, di mana rekan-rekan satu divisinya sudah duduk di sana."Sini, sini, Kak! Duduk di sebelahku!" kata Vania lagi seraya menepuk-nepuk kursi di sampingnya yang kosong. Zora tersenyum, lalu mendudukkan diri di sebelah wanita berambut cokelat panjang bergelombang itu."Kirain Kak Zora nggak bakal makan siang di sini."Zora mengernyitkan dahi. "Kenapa gitu?""Ya, barangkali lo makannya bareng Pak Bos, bukan sama kita," celetuk Resi yang berhasil mengundang beberapa kikikan geli.Zora menghela napas, lantas menyahut kalem, "Nggak kok. Aku makannya di sini.""Sumpah y
Zora nyaris tersedak membaca pesan yang Nevano kirimkan. Akhirnya setelah beberapa jam menghilang, pemuda itu mengiriminya pesan juga. Ada kelegaan yang menjalari hati Zora.Tanpa membuang-buang waktu, gadis itu pun dengan cepat membalas pesan tersebut.Zora:Aku masih di kantor. Lagi makan siang.Kamu di mana?Tak ada lagi balasan.Zora mengembuskan napas. Memandangi ponselnya dengan jantung berdebar tak beraturan. Ia baru saja akan mengetik pesan baru ketika tiba-tiba saja satu chat dari Nevano kembali masuk.Nevano:Aku baru sampe di parkiran. Kamu masih makan?Zora:Nggak kok, ini udah selesai.Nevano:Kita ketemu sekarang ya. Aku ke tempat kamu atau kamu ke sini?Zora:Kita ketemu di lobi aja.Zora buru-buru menyimpan kembali ponsel ke dalam saku dan membereskan peralatan makannya. Ia tak ingin sampai membuang-buang waktu."Mau ke mana, Ra?" Resi spontan bertanya kala melihat Zora tergesa-gesa berdiri dan meninggalkan meja."Aku mau balik duluan. Udah kenyang," sahut Zora, lalu s
"Bagaimana kalau kita mencoba mengenalkan new product kita dengan mengusung tema healthy, smarty and friendly?" usul Zora saat Tim Perencanaan, Tim Marketing dan Tim Produksi meeting bersama untuk ke sekian kali di Rabu pagi hari itu.Meeting kali ini dilakukan untuk membahas pengembangan desain serta penyempurnaan uji coba new product yang sebentar lagi akan dirilis ke pasaran."Healthy, smarty and friendly?" ulang Tami, salah satu staff Divisi Marketing, yang duduk tak jauh dari Zora. Ia terlihat menimbang-nimbang usul tersebut.Zora menatap ke arah wanita berambut hitam legam itu dan mengangguk. "Iya, karena dari product concept yang sudah kita kembangkan, tema ini yang paling cocok. Terutama untuk mie sagu.""Bisa dijelaskan lebih rinci?" pinta staff yang lain."Oke." Zora bangkit dari duduknya, sementara rekan-rekannya di Tim Perencanaan menatap gadis itu takjub. Ya, selama meeting berlangsung, mereka tak menyangka Zora begitu antusias memberikan banyak ide ajaib yang amat sangat
RING DING DONG!RING DING DONG!Suara dering alarm dari jam weker digital di atas nakas terdengar beberapa kali berdering. Pemuda di balik selimut itu perlahan-lahan mengulurkan tangan ke atas nakas untuk mematikannya. Namun, karena tak berhati-hati ia malah menjatuhkan benda berbentuk segi empat itu hingga menimbulkan bunyi jatuh cukup keras.Levi mengerang kasar. Matanya yang masih terpejam, seketika terbuka. Disibak selimut yang masih membalut tubuhnya dan menegakkan badan. Rasa pusing tiba-tiba saja mendera dan pemuda itu tersentak kala menyadari bahwa ada jejak air mata yang membasahi kedua pipinya.Hell? Rupanya tanpa sadar, Levi sejak tadi menangis dalam tidurnya.Apa-apaan ini? pikir pemuda itu, heran sekaligus aneh. Kenapa ia bisa menangis seperti ini?Dengan napas yang terembus kasar, Levi pun mencoba mengingat-ingat. Dan pemuda itu langsung terhenyak kala menyadari apa yang menyebabkan dirinya menangis dalam tidur. Ternyata itu karena ia memimpikan Zora.Ya Tuhan! Apa sih y
Sepi.Tak ada apapun selain angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering serta tapak sepatu beradu aspal hitam yang dipenuhi jejak hujan semalam. Matahari baru sejengkal menampakkan sinarnya di ujung cakrawala dan keheningan itu masih terasa sama seperti hari-hari sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang rasanya janggal.Sesuatu yang menjadi alasan remaja laki-laki itu berdiri diam dengan alis bertautan. Menatap penasaran pada sosok gadis di balik pintu gerbang. "Zora?" Vokal itu datang dengan sedikit tertahan. Ada keterkejutan di ujung nadanya."Ada apa? Kenapa nggak kasih tahu mau kemari sepagi ini?"Gadis yang dipanggil Zora itu tak menjawab. Ia berdiri dengan kepala tertunduk serta kedua bahu bergetar, seolah-olah sedang menahan sesuatu yang mengguncang. Jejemarinya mengepal, mencengkram ujung seragam lusuh yang masih dikenakan, sementara rambut hitam panjangnya yang tergerai, tampak lembab dan kusut di beberapa bagian."Kenapa kamu masih pake seragam? Kamu nggak pulang ke rumah?
"Jadi Nevano membuat ulah lagi di kantor?" Rafianto menatap sekretaris pribadinya yang sedang berdiri di hadapannya dengan pandangan tajam."Ya, Pak. Saya mendengar dari sekretaris Tuan Nevano kalau Tuan Muda mencium gadis bernama Zora itu di kantor kemarin. Sepertinya Tuan Muda sengaja melakukannya untuk membuat kehebohan," sahut Pak Hendris seraya menganggukkan kepala.Rafianto mengepalkan buku-buku jarinya dan mendengkus kasar. "Anak brengsek itu kenapa selalu saja bertindak ceroboh?""Apa yang harus kita lakukan, Pak?"Pertanyaan itu membuat perasaan Rafianto berkecamuk."Apa Anda yakin ingin tetap menjodohkan Tuan Nevano dengan putri Adi Nugraha itu? Saya rasa ini tidak akan berjalan lancar.""Saya harus melakukannya," tegas Rafianto. "Saya tidak bisa membiarkan apa yang sudah saya bangun dengan susah payah harus runtuh begitu saja. Lagipula ini semua demi kebaikan Nevano juga. Dia adalah ahli waris utama keluarga Abraham saat ini. Jadi mencarikannya pendamping yang tepat adalah s
"Oh ya, Pak Septian mana?" tanya Zora seraya mengedarkan pandang. Baru tersadar kalau pria tangan kanan Nevano itu sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya."Pak Septian udah pergi dari subuh tadi," jawab Nevano. Kali ini ia bergerak memecah beberapa butir telur dan mengocoknya di dalam wadah kecil untuk dijadikan omelet. "Ke mana?""Ke acara peringatan kematian bunda."Kalimat itu membuat Zora tersentak. "Kamu nggak pergi?"Nevano menoleh sekilas dan menggeleng. "Nggak.""Kenapa?""That's just waste of time." Pemuda itu tersenyum miris. "Aku lebih suka ziarah ke makam bunda secara langsung daripada ikut acara seperti itu."Jeda."Karena apapun yang mereka lakukan sekarang, nggak mengubah fakta kalau mereka dulunya juga ikut andil atas kematian bunda."Zora terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tetapi, ucapan itu juga turut membuat hati Zora merasa sedih."Nanti siang kita jadi ziarah ke makam bunda kamu, 'kan?" tanya Zora kemudian, menatap Nevano lekat.Yang ditatap refl
It's so sweet, knowing that you love me.Though we don't need to say it to each other, sweet...Knowing that I love you, and running my fingers through your hair.It's so sweet...(Sweet ~ Cigarettes After Sex)❣"Ayo, kita menikah, Zora."Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Zora sepanjang hari itu. Sepanjang Zora membuka mata dan terbangun dari tidurnya.Gadis itu bahkan sudah membersihkan diri dalam bathub selama nyaris satu jam. Memasang instrumental klasik kesukaan pada speaker phone. Menghidu lilin aromatherapy yang ia bakar dan diletakkan di atas lemari nakas. Melihat bagaimana sinar mentari pagi menyusup masuk melalui jendela dan membias di langit-langit membentuk pola kristal temaram.Namun, Zora masih saja belum bisa mengenyahkan kalimat itu dari pikirannya.Oke, satu hal yang rasanya aneh.Sepanjang Zora mengenal Nevano, pemuda itu memang tipikal pribadi yang spontanitas, impulsif dan sulit ditebak. Namun, tak pernah terbayangkan Nevano bisa mengatakan kalimat ing
"Lo nyari Nevano?" Kedua tangan Zora yang berada di sisi tubuh, mengepal sesaat. Gadis itu kemudian mengangguk sebagai jawaban.Laki-laki dengan tato bergambar mawar hitam di pergelangan tangan itu menilai sejenak penampilan Zora yang mungkin terlalu mencolok. Ya, mengingat gadis itu masih mengenakan seragam di hari menjelang petang dan di tempat para anak muda bermain billiard, tentu hal ini cukup menarik perhatian.Namun, laki-laki itu akhirnya mengendikkan kepala ke arah belakang punggungnya. "Dia ada di lantai dua. Masuk aja. Di meja paling ujung sebelah kiri.""Terima kasih," ucap Zora seraya menganggukkan kepala dan berjalan cepat menaiki tangga yang berada tiga meter dari laki-laki bertato itu.Hal pertama yang menyambut Zora ketika kakinya menjejak di lantai dua adalah bau asap rokok di mana-mana, dentuman keras musik punk serta gelak tawa dan suara geretakan bola-bola dipukul di atas meja pool.Pandangan Zora mengedar. Mencari sosok Nevano di antara para pengunjung yang nyar
"Zora, sudah berapa kali rasanya nilai ulanganmu turun drastis. Sebentar lagi kita akan ujian akhir kenaikan kelas. Kalau nilaimu begini terus, bisa-bisa beasiswamu terancam," tegur Pak Agung pada Zora yang tengah duduk di hadapannya.Saat ini sekolah sudah berakhir dan Zora secara khusus dipanggil oleh guru wali kelas XI IPA 1 itu. Membahas nilai Zora yang menurun beberapa minggu belakangan."Ini adalah nilai ulangan matematikamu kemarin. Bapak benar-benar tidak menyangka kamu bisa mendapat nilai di bawah 60 pada ulangan kali ini."Zora memandangi lembar ulangan miliknya dengan nanar. Angka 58 tertulis besar-besar di sana, membuat gadis itu menelan ludah. Ya, bila mengingat lagi ke belakang, ini adalah pertama kalinya Zora bisa mendapat nilai seburuk ini dalam sejarahnya bersekolah. Paling rendah nilai yang ia dapatkan setiap ulangan adalah 80. Jadi, kejadian ini tentu membuat wali kelasnya itu merasa kaget. "Apa terjadi sesuatu? Apa kamu sedang ada masalah?" Pak Agung menatap Zora
Haloo, berhubung update-an kali ini super duper molor, disarankan untuk membaca part sebelumnya biar gak lupa.Dan juga tiga bab ke depan akan menampilkan adegan flashback yaa.Terimakasih ❤Sembilan tahun lalu ketika rasa cinta itu belum bermekaran."Anjing!""Bangsat!""Mati aja lo sekarang!"Serentetan makian dan sumpah serapah mengiringi hantaman, tendangan serta pukulan bertubi-tubi pada sosok laki-laki bertubuh agak ringkih di pojokan teras rumah.Laki-laki itu adalah Gustian, ayah Zora. Ia hanya bisa mengerang serta meringkuk tak berdaya setiap kali menerima pukulan keras yang dilakukan oleh lima orang pria berwajah sangar yang mengelilinginya."Berani-beraninya lo kabur dan sembunyi setelah nipu kami semua! Lo pikir kami ini goblok, hah!?" seru pria berperawakan paling kekar di antara yang lain. Sepertinya pria itu merupakan pemimpin gerombolan preman-preman tersebut dan yang sejak tadi paling sadis menghajar Gustian."Mampus lo, anjing!"Satu tendangan lagi mendarat ke perut