Life is like a piano.
The white keys represent happiness and the black show sadness.
But as you go through life's journey, remember that the black keys also create music.
- Anonymous -
❣
Siang itu gerimis membasahi hampir seluruh jalanan ibukota. Levi membawa mobil Mercedes Benz putihnya membelah jalanan yang basah dengan kecepatan sedang. Ekor matanya sesekali melirik jam digital di atas dasbor. Ia memiliki janji temu dengan Evelina hari ini di sebuah restoran. Mereka ingin makan siang bersama.
Sebenarnya janji temu ini adalah ide dari Kinanti yang merasa gemas melihat putranya tak juga kunjung gencar dalam usaha pendekatan. Padahal mereka sudah dijodohkan selama 2 tahun, tapi tetap saja Levi bersikap dingin dan kaku terhadap calon tunangannya itu, seolah-olah mereka baru berkenalan kemarin sore.
Semula Levi hendak menolak ide janji temu ini lantaran i
Dari balik pantulan cermin bulat yang terpajang di dinding, Zora memandangi wajahnya yang tampak pucat dan tak bersemangat. Hari ini adalah hari Senin. Hari di mana ia sedang membawa nasibnya di ujung tanduk. Bagaimana tidak? Keputusan Zora untuk resign benar-benar sudah tak bisa diganggu gugat.Nekat. Jelas itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keputusan Zora saat ini, mengingat ia belum memiliki pekerjaan lain setelah resign nanti. Sebagai tulang punggung keluarga, menjadi pengangguran adalah sesuatu yang buruk. Belum lagi, ia akan terkena pinalti atau denda karena berhenti di masa kontrak kerja.Namun, apa lagi yang bisa dilakukannya? Bagi Zora, bertahan di bawah bayang-bayang Nevano lebih mengerikan daripada harus membayar denda atau menjadi pengangguran. Setidaknya, ia ingin hidup tenang tanpa perlu menghadapi gangguan Nevano lagi.Bunyi ketukan di pintu kamar menyentakkan pikiran gadi
"Sudah sampai, Tuan." Suara lirih Pak Septian membuat Nevano yang sedang menatap layar ponsel, menoleh.Pemuda itu menyimpan kembali ponsel ke dalam saku jas, lalu bergegas turun dari dalam mobil sedan hitamnya setelah Pak Septian membukakan pintu. Ia berdiri tegak, memandangi gedung Asafood Company yang menjulang di hadapan sambil mendesah. Kantor masih tampak sepi hari ini. Di pelataran parkir hanya diisi oleh beberapa kendaraan beroda empat saja.Apakah ia berangkat terlalu pagi? Pemuda itu menatap arloji di pergelangan tangan. Hampir pukul setengah delapan. Ya, memang ini adalah rekor tercepat ia datang selama bekerja di sini.Entah mengapa, ada sesuatu yang memacu diri Nevano untuk bergegas lebih cepat dari biasanya. Padahal ia selalu malas bila teringat betapa padat jadwal yang harus dilaluinya di kantor. Mungkin saja ini berkaitan dengan jadwal rapat bersama para staf dan karyawan perencanaan tentang pembahasan ide
Ting! Suara lift yang berdenting sama sekali tak membuyarkan Zora dari lamunan. Pikiran gadis itu masih melayang ke tempat lain. Memikirkan surat pengunduran dirinya yang kini berada di tangan Nevano membuat perutnya mulas. Kenapa semua yang ia rencanakan selalu saja tidak berjalan mulus? Nevano pasti akan mencari cara agar ia tidak bisa melepaskan diri dari sini. Memikirkan hal itu membuat Zora semakin cemas. Tidak. Tidak. Gadis itu menggeleng kuat-kuat, mencoba menghalau segala pemikiran buruk di otaknya. Ia harus bisa resign dari perusahaan ini apapun yang terjadi. Zora terus bergeming dengan pandangan kosong. Ia tersentak ketika seseorang tak sengaja menginjak ujung sepatunya dan membuat gadis itu baru tersadar bahwa ia sudah sampai di lantai tujuannya. Gadis itu pun buru-buru menerobos keluar "Auww!" Zora melenguh sewaktu bahunya tak sengaja menabrak keras sisi pintu lift yang hendak menutup k
"Pak Nevano, kita harus ke ruang meeting sekarang. Waktu rapat sudah akan dimulai sepuluh menit lagi," ujar Mia ketika ia masuk ke ruangan Nevano dan melihat pemuda itu masih berkutat memeriksa laporan serta dokumen keuangan dengan khusyuk.Nevano mendongak, memijat pelipisnya seraya menatap arloji di pergelangan tangan. Ia nyaris melupakan jadwal rapat dengan para staff perencanaan mengenai ide bisnis yang akan diluncurkan.Nevano segera berdiri sembari memasang jasnya. Ada sesuatu yang membuat semangatnya meluap-luap dalam hati. Entah apa itu, yang jelas ia sudah menanti rapat ini sejak kemarin."Bagaimana dengan laporan data produk biji kopi itu, Pak? Apa memang terjadi kesalahan? Pak Indra tadi menghubungi saya dan beliau merasa penolakan Bapak terhadap kontraknya sangat tidak relevan. Beliau menuntut penjelasan."Nevano mendengkus. Sudah bisa menebak bahwa pria itu pasti tidak akan begitu saja m
Roda ban mobil BMW 7 series itu berdecit ketika Nevano membelokkannya ke arah pekarangan istana keluarga Abraham dengan kecepatan tinggi. Ia nyaris menabrak sederet pepohonan palem yang tumbuh berbaris di sekitar tempat parkir. Lalu, turun dengan membanting kasar pintu mobil dan berjalan tergesa-gesa menuju bangunan utama. Beberapa orang pelayan yang berada di sekitar buru-buru menghampiri putra sulung Rafianto Abraham tersebut, bermaksud untuk bertanya basa-basi ada keperluan apa sampai kemari. Ya, memang hal yang mengejutkan bila Nevano bisa menginjakkan kaki ke tempat ini secara tiba-tiba. Apalagi melihat ekspresi kemarahan yang terpancar di wajah pemuda itu, jelas akan ada satu lagi keributan yang mungkin akan terjadi. "Di mana Papa?" tanya Nevano kepada para pelayan tersebut sambil terus melangkah menelusuri lorong demi lorong yang menghubungkan tiap ru
 "Bunda!" "Bunda!" Seorang bocah berusia delapan tahun berlarian dengan penuh semangat menaiki tangga. Tangannya yang memegang selembar kertas, berkali-kali ia acungkan ke atas. "Bunda!" teriaknya lagi, dengan lincah melompati satu demi satu anak tangga di hadapan. Senyum manis terkembang di bibir mungilnya. Memunculkan dua lubang indah di kedua pipi bulat si bocah."Tuan Nevano, hati-hati! Nanti Tuan bisa jatuh!" Seorang pelayan yang sejak tadi memperhatikan buru-buru mengingatkan.Namun, si bocah tak menggubris ucapan pelayan itu. Justru ia semakin antusias melompati anak tangga tersisa, demi mencari sosok wanita yang sejak tadi me
Suara musik yang berdebam-debam di sekeliling Nevano, sama sekali tak menarik perhatian pemuda berlesung pipi itu. Nevano justru sibuk menuang Jack Daniels ke dalam gelas, lalu menenggaknya sampai tandas. Kenangan indah masa kecil kembali berputar seperti sebuah kaset rusak di dalam kepala. Nevano sampai tidak ingat bahwa dirinya pernah sebahagia itu dulu. Pernah merasakan hal yang diinginkan semua orang di dunia, yaitu memiliki sepasang orangtua yang begitu rukun dan saling mencintai. Namun, sekarang semua kebahagiaan itu telah menjadi puing-puing menyedihkan. Yang tersisa hanyalah dendam dan kebencian, membuat Nevano harus selalu terkungkung dalam kubangan lukanya sendiri."Woi, No! Lo udah sampe duluan ternyata?" Sebuah seruan beserta tepukan keras di pundak sedikit menyentakkan Nevano dari lamunan.Pemuda itu menoleh, mendapati Median dan Rendi—minu
Pagi-pagi sekali Zora sudah bangun, membereskan rumah, menyiapkan sarapan untuk Zia berangkat sekolah dan segala macam pekerjaan rumah lain yang cukup menguras energi. Gadis itu berusaha menyibukkan diri. Setidaknya ia masih bisa melakukan kegiatan yang bermanfaat di rumah selama masanya menganggur sebelum mendapatkan pekerjaan baru.Setelah selesai menyiapkan bekal makan siang untuk Zia, Zora pun segera berjalan ke kamar adik perempuannya itu, menyuruhnya bergegas agar tidak terlambat."Zia ...," panggil Zora di depan pintu kamar yang tertutup seraya mengetuk. "Sarapan, yuk! Nanti keburu telat."Tak berapa lama pintu kamar itu terbuka. Zia yang telah rapi mengenakan seragam, melangkah keluar dengan raut yang tampak lesu dan sedikit pucat dari biasanya.Zora yang menyadari keadaan adiknya itu serta-merta bertanya, "Eh, kamu sakit?"Zia menggeleng sambil mengulas senyum tipis. "Nggak,