Sementara itu, di lain tempat ada dua pemuda dengan Slenderman dan Vampire, melangkah mencari peralatan kebersihan yang bisa mereka gunakan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan si pemilik rumah.
Akan tetapi, lama mengelilingi rumah kuno itu, tak ada satu pun alat kebersihan yang mereka temukan, padahal mereka harus bergegas membersihkan rumah pria bernama Jack itu, agar dapat mengambil kotak hadiah sebagai imbalan."Ck ...." Valen berdecak memecah kesunyian di antara dirinya dan Ben. "Sendari tadi kita keliling mencari sapu dan kain pel, tetap tidak. Bahkan kemoceng saja tidak ketemu. Ini rumah atau gudang, sih?!"Valen menggerutu sambil menendang meja di depannya yang berdebu banyak. Kini dirinya dan Ben terjebak di ruangan yang memang mirip sebuah gudang dengan barang-barang yang hampir sebagian besar tertutup oleh kain hitam.Meski sudah biasa dengan keluhan Valen, tetap saja kuping Ben terasa pengang juga mendengar ocehan cemprengnya dari tadi. Ditambah sejak beberapa menit lalu, Ben pun belum berpapasan dengan teman-temannya yang lain, terutama Aletta yang diam-diam tengah dicarinya"Yang lain juga ke mana, sih? Niat membersihkan rumah inj atau tidak? Malah sibuk sendiri-sendiri."Ben menghela napas lelah mendengar Gerutuan Valen untuk kesekian kalinya. "Sudahlah jangan protes. Cari saja yang benar," sahut Ben memerintah.Pemuda bergaya rambut short and spicy itu membuka satu persatu kain yang menutupi barang-barang yang ada di gudang. Siapa tahu ia akan menemukan sapu terselip di sana.Valen cemberut sambil bersedekap dada, "Kenapa kita tadi tidak langsung tanya saja pada Tuan Jack untuk meminta alat kebersihannya?" tanyanya.Pemuda berambut jabrik itu masih belum puas mengomel. Kedua tangan terjulur menarik kain yang menutupi kursi usang. Valen pun mendudukan tubuhnya santai sembari tangannya sibuk melempar-lempar kotak hadiah yang ia dapatkan di rumah sebelumnya.Ben menoleh menatap Valen yang asyik duduk memainkan kotak hadiah di tangannya."Aku lupa," jawab Ben singkat dan padat, berharap Valen mengerti. Namun, harapannya pudar saat sahabat kecilnya kembali mengoceh."Kenapa bisa lupa, sih?" keluh Valen. "Kitakan jafi repot ini.""Lah, kamu sendiri kenapa tidak mengingatkan, Val?" balas Ben balik bertanya, enggan untuk disalahkan."Oh iya juga, ya."Ben mendengkus mendengar jawaban. Namun, beberapa saaf kemudian alisnya menukik tajam, sambil menatap Valen, ia berkata."Tapi Val saat kita pergi, aku sempat melihat ke belakang, tapi Tuan Jack mendadak menghilang begitu saja."Sejak kejadian di ruang depan tadi, Jack menghilang tidak kembali lagi. Ben dan Valen yang berniat mencari alat kebersihan memang teringat untuk langsung menanyakan pada sang pemilik rumah.Namun, sayangnya pria paruh baya berjaket hitam itu tak ditemukan di mana pun. Dan anehnya juga meski rumah ini terlihat kecil, entah kenapa mereka tidak berpapasan dengan siapapun. Bahkan Ben belum bertemu dengan teman perempuannya yang entah ada di mana sekarang.Ben tidak merasa kuatir dengan keadaan Kyler. Mau pemuda itu dimakan hantu pun, Ben tidak peduli. Tapi keselamatn Aletta adalah prioritas utamanya. Ben tahu, sejak awal Kyler pergi untuk menyusul Aletta Terlihat dari arah yang dituju Ketua Osis itu sama dengan arah kepergian Aletta dan Erna. Mengingat hal itu Ben, mengepalkan tangan kuat.Sadar rekan setimnya terdiam dan berbicara hal yang aneh tentang si tuan rumah, mendadak Valen merasa bulu kuduknya berdiri, bergegas Valen pun berdiri menatap Ben dengan alis mengerut, raut wajah Wakil Ketua Osis itu terlihat mengeras."Menghilang bagaimana? Dan kenapa kamu baru bercerita padaku sekarang, Ben?" tanya Valen merinding."Aku lupa karena kamuterus mengoceh, Val," balas Ben datar."Lho, kenapa malah menyalahkanku," ujar Valen tidak terima disalahkan.Valen terdiam memang apa yang dikatakan oleh Ben ada benarnya juga."Hoy, jangan melamun!" sentak Ben membuyarkanlamunan Valen.Valen tersentak. Namun, kembali memasang wajah datar, sebisa mungkin bersikap biasa dan tidak mengikuti instingnya yang ketakutan."S---sudahlah, Ben. Jangan dibahas lagi. Mungkin saja Tuan Jack buru-buru ke tempat lain atau ke kamarnya mungkin," cengir Valen menjelaskan, tetapi suaranya bergetar hebat. Jelas ada ketakutan di sana."Baiklah, lebih baik kita cepat selesaikan tugas ini sambil mencari temen-temen yang lain."Ben berbalik memungguhi Valen yang termenung. Namun, pemuda itu tetap mengikuti saran Ben. Jujur saja, Valen pun ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini, dan menyelesaikan permainan konyol Kyler.Buyar sudah keinginannya yang tadi bersemangat untuk mendapatkan mobil. Rasa lelahnya membuat semangat Giano menghilang tertiup angin.Ben berjalan ke sisi Barat, sedangkan Valen melangkah menuju kearah sebaliknya dengan mendumel tak jelas. Ben tak lagi memedulikan ocehan pemuda urakan itu, tangannya sibuk meraih kain putih yang menutupi benda besar seukuran lemari baju.Setelah kain tersibak, tampaklah meja rias berwarna coklat usang dengan sebuah cermin yang memantulkan bayangan dirinya sendiri.Melihat pantulan pemuda berkostum Vampire dalam cermin.Ben menompang dagu, tak ada yang berubah dari penampilannya sejak tadi sore. Kecuali gigi runcing yang telah Ben lepaskan ketika memulai berpencar bersama timnya.Ben merapihkan sedikit tatanan rambut pendeknya. Hingga kelereng hitamnya melihat sebuah buku bersampul biru tua tergeletak di meja.Ben meraih buku itu setelah meniup debu yang menutup cover depan beku. Seketika debu berhamburan membuatnya terbatuk kecil. Ben menutup mulut dan hidungnya dengan punggung tangan."Buku apa ini? Kenapa bentuknya aneh begini?" tanya Ben bergumam membolak-balikan buku aneh di tangannya."Itu buku mantra."Ben segera menoleh ke asal suara, tampak Kyler berdiri bersedekap dada menyandar di tembok. Sejak kapan Ketua Osis sombong itu ada di sana? Pikir Ben dengan raut wajah mengeras menatap Kyler.Sungguh dirinya sangat membenci sikap pongah pemuda di depannya. Pemuda yang memiliki segala apa yang tidak ia miliki. Kembali Ben mengepalkan tangan kuat, berusaha meredam emosinya yang bergejolak.Bukan hanya karena ditinggalken oleh Kyler berdua saja dengan Valen, tetapi karena tindakan Ketua Osis tadi di ruang depan yang dengan sigap menyusul Aletta. Jujur saja, Ben menaruh cemburu."Kamu ini dari mana saja, sih? Bukannya bantu beres-beres dan menyelesaikan permainan konyol ini, malah keluyuran tidak jelas? Kenapa?mengejar Aletta?" decak Ben mendelik, menatap tajam Kyler yang kini menurunkan tangan berjalan mendekati dirinya, sehingga kini mereka berhadapan. Nada suara Ben bahkan sengaja dibuat mengejek, meledek Kyler yang selama ini dikenal angkuh.Kyler tertawa kecil. "Maafkan aku, tadi aku tersesat di rumah besar ini. Dan aku tidak sedang mengejar Aletta, buktinya aku ada di sini," jawabKyler berkata dengan nada santai, seakan-akan tidak bersalah. Hal itu membuat Ben malah semakin emosi. Benar-benar tidak ada penyesalan sama sekali.Eh, tapi tunggu ...."Huh?"Mendadak Ben merasakan kepalanya ngehang selama beberapa detik. Alisnya menukik tajam mendengar permintaan Kyler. Seingatnya bocah sombong satu itu paling anti mengucapkan kata naaf. Sepertinya, tiga kata ajaib maaf, tolong, dan terima kasih tidak pernah ada di kamus hidup Kyler. Namun, kenapa pemuda di depannya ini meminta maaf.Jangan-jangan ..."Kamu kenapa? Kepalamu habis terbenturkah? Tidak biasanya kamu meminta maaf padaku. Ada apa ini? Kamu sakit?" tanya Ben menunjuk dahi Kyler yang tertutup labu.Kyler tertawa renyah"Ya tidaklah. Ya kali, pada dasarnya aku memang orang baik, kok."Akan tetapo, jawaban Kyler nyatanya semakin membuat Ben mengernyit kebingungan. Dalam. hati terus bertanya-tanya, apakah pemuda di depannya ini benar-benar Kyler Si Ketua Osis angkuh mantan sahabat kecilnya dulu."Sepertinya memang ada yang salah denganmu, sini buka dulu topengnya," ujar Ben menjulurkan tangan hendak melepaskan topeng labu Kyler. Namun, gagal saat siempunya segera menghindar dengan mengambil langkah ke belakang."Tidak perlu, aku baik-baik saja," balas Kyler terdengar datar dan Ben menyadarinya, namun abai karena itu sudah biasa."Baik apanya? Kamu aneh," gumam Ben mendengkus sinis.Sadar hal itu, Kyler menarik napas panjang. "Ya, aku hanya sadar saja kalau aku ini memang aslinya tidak sepintar dirimu. Aku dari dulu iri padamu.""Huh?""Hahaha, begitulah. Aku iri padamu, Ben."Kyler kembali tertawa. Entah mentertawakan apa.Kyler iri padanya? Ben sendiri hanya mampu terdiam tak percaya. Dalam hatinya ia merasa curiga dengan sikap tak biasa Kyler.Namun, menepis hal itu semua. Kyler dari dulu juga sudah aneh. Tak perlu mempeributkan hal sepele itu. Toh, apa pun urusan pemuda itu, bukan urusan Ben."Ngomong-ngomong apa yang mau kamu lakukan dengan buku mantra itu?" tanya Kyler memecah keheningan, menunjuk buku yang ada di tangan Ben.Ben mengangkat buku di depan wajah Kyler."Buku mantra? Mantra apa? Mantra pelet?" tanya Ben mengejek. Tertawa dengan keanehan dan keabsrudan rivalnya yang semakin menjadi-jadi."Yaaa memang itu buku pelet kok.""Apa?"Berbeda dengan jawaban Kyler yang santai. Reaksi yang ditunjukan Ben sungguh terbanding terbalik. Pria berambut hitam pendek itu melotot menatap Kyler.Tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh rekan Osisnya itu. Ben lalu tertawa terpikal-pikal, memegang perutnya. Mau sampai kapan Kyler merendahkan dirinya sendiri?"Apa, sih? Jangan becanda. Zaman sekarang masih percaya pelet. Memang kamu hidup tahun berapa, Kyler?"Kembali menlontarkan ejekan yang sayangnya tidak digubris oleh Kyler, padahal sebelumnya Kyler akan selalu membalas ejekan apa pun yang ditunjukan padanya. Mungkin benar Kyler habis terbentur, pikir Ben mulai melantur."Kalau tidak percaya kenapa tidak kamu coba saja baca mantranya. Siapa tahu Aletta kepincut."Mendengar jawaban Kyler, Ben terkejut bukan main. Ben yang tadi sibuk meneliti buku bersampul biru tua itu, mendongak menatap tepat iris Kyler yang tertutup topeng. Kenapa Kyler membawa-bawa nama Aletta? Bukannya pemuda itu menyukai sekretaris Osis itu?"Bukannya kamu juga menyukainya?" tanya balik Ben mengernyit. "Jangan kira aku tidak tahu, tingkahmu selama ini sudah terlihat jelas."Kyler tertawa kecil. "Kata siapa? Apa aku pernah mengatakannya sendiri?""Monyet juga tahu kali. Sikap jaimmu yang berusaha mendekati dia." Bukannya membalas ucapan sinis bernada ejekan yang dilontarkan Ben, Kyler malah tertawa heboh."Iya sih aku memang menyukainya, habis dia baik, sih, cantik pula," tutur Kyler tak berhenti tertawa."Apa?"Melihat reaksi terkejut Ben yang sangat berlebihan membuat Kyler tersenyum tipis."Bagaimana kalau begini saja?! Ayo, kita buktikan dengan mebaca buku mantar itu," tawar Kyler memberi usulan sambil menunjuk buku lusuh di tangan Ben."Lho, tapi tadi kamu bilang ini buku pelet?!" tanya Ben tak mengerti dengan ajakan Kyler."Memang aku bilang begitu, tapi ini juga bisa jadi buju mantra untuk memilih pasangan hidup kok. Setiap mantrakan tahu kemana dia harus datang," Kyler menaik turunkan alisnya dan kembalibbersedekap dada.Ben terdiam, enggan kembali terlibat dalam hal konyol yang ditawarkan Kyler."Bagaimana? Berani menerima tantanganku?" tanyanya lagi. Ben terdiam tak menjawab."Ah ... jangan deh, kamu pasti takut. Jadi Alleta buatku saja yah?!"Kyler mulai melancarkan provokasi. Mendengar nama Aletta kembali di sebut, Ben pun menyetujui tantangan itu. Dengan perasaan dongkol penuh emosi, pemuda berambut pendek itu mulai membuka lebaran buku usang di tangannya.Aksara-aksara yang ditulis meliuk-liuk mulai terlihat. Ben mengusap kertas yang lapuk termakan usia itu. Berusaha membaca lebih jelas."Satan ...."Wushhh ... angin kencang menerjang entah dari mana. Suasana mendadak dingin, membuat bulu kuduk ikut meremang hebat. Ben melihat tampak Kyler masih berdiri bersedekap dada, menyender pada meja. Entah perasaan Ben saja atau apa, ia mulai merasa kini dirinya dikelilingi makhluk tak kasat mata yang menunggunya entah untuk apa."Kenapa diam? Ayo lanjutkan!" perintah Kyler sinis, seolah mengejek ketakutan Ben."Masa baru segitu saja udah berhenti sih. Cemen banget!"Menggertakan giginya kuat, Ben kembali membaca mantra itu hingga selesai. Tak lagi memedulikan hawa dingin yang kian pekat menyelimuti ruangan."Satan ...." Untuk ketiga Kalinya Ben meneriaki nama itu, sedangkan Kyler di sisinya semakin tersenyum lebar.Setelah selesai membaca mantra tulisan di dalam buku. Tubuh Ben terasa panas dan terbakar. Tangan dan kakinya bergetar hebat, seolah-olah ada yang mengguncang tubuhnya kuat. Ben memejamkan mata, bayangan sesosok mahluk berselimut kobaran api tengah menyeringai padanya.Ben tak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, juga matanya yang terasa panas. Hal terakhir yang ia ingat adalah teriakan Valen memanggil-manggil namanya."Ben ... Ben, kamu kenapa? Sadarlah, Ben!" teriak Valen panik bukan main."Ben ... siapa?"Sementara itu, kembali pada Aletta yang berdiri di depan pintu bercat biru. Sendari tadi tangannya terus memutar gagang pintu, berusaha untuk membukanya.Akan tetapi, malang nian nasib gadis bergaun putih itu, niat hati ingin mencari Erna dan teman-temannya yang lain, ia malah harus terjebak di sebuah kamar dengan Kyler di dalammya.Semua berawal dari Aletta yang tak sengaja berpapasan dengan Kyler. Pria berpangkat Osis yang tadi memaksanya untuk memanggil nama asli itu menawarkan diri untuk membantunya mencari yang lain. Namun, ketika tengah berkeliling di sebuah kamar bernuansa biru laut, mereka dikagetkan dengan suara benda jatuh entah dari mana. Bunyinya yang nyaring membuat Aletta yang berdiri di dekat pintu, membanting kuat hingga pintu tertutup rapat dan mereka pun terjebak berdua di dalam sana, tanpa ada orang yang mendengar teriakannya. Sadar dengan kebodohan yang telah Aletta lakukan, ia tergesa berusaha meraih gagang pintu untuk membukanya. Gadis berambut hitam sebahu itu
Sudah Aldo duga sebelumnya, ada yang salah dengan rumah besar dekat hutan yang ia singgahi ini. Sungguh, padahal Aldo sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan pada kedua teman setimnya tentang keanehan yang terjadi. Akan tetapi, mereka menolak dan justru mentertawainya. Mereka berdua tidak percaya dengan ucapan Aldo yang menuturkan jika tingkah si Pemilik Rumah terkesan aneh dan misterius. Namun, mereka justru menganggap bahwa Aldo terlalu paranoid. Sekarang terbukti sudah, pemilik rumah kuno ini bukan manusia. Dengan kostum putih yang compang-camping, Aldo berlari di lorong ruangan. Sekujur tubuhnya tergores luka akibat benda tajam, memar kemerahan pun terlukis mengerikan. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan niat Aldo untuk terus berlari mencari jalan keluar. Pemuda yang awalnya mengenakan kostum Pocong itu, bahkan tak lagi dapat merasakan nyeri. Kepalanya penuh dengan pikiran, bahwa ia harus keluar dari rumah hantu ini. Rasa sakit yang ia rasakan tak sebanding dengan situ
Aletta memilin rambut sebahunya yang tergerai bebas. Rambut yang biasanya terikat dua itu kini terjatuh menutupi punggungnya. Helaian hitam lebat yang kini tampak kusut, berantakan. Aletta tak ubanya sosok Kuntilanak sesungguhnya, jika saja wajahnya pucat seperti hantu asal Negaranya itu sudah dipastikan Aletta terlihat seperti hantu sesungguhnya. Bukan tanpa alasan Aletta merasa gugup seperti sekarang ini. Namun, semenjak dikagetkan dengan kedatangan Kyler yang menepuk bahunya, Aletta dibuat salah tingkah karena telah meninggalkan pemuda pirang itu di kamar seorang diri. Terlebih Aletta secara terang-terangan menolak Kyler sampai menamparnya, hingga membuat Aletta benar-benar malu. Namun, Aletta sangat bersyukur karena kejadian tadi, Kyler kembali bersikap seperti biasanya.Di sisi lain Kyler terdiam dengan sesekali melirik gadis bergaun putih di sampingnya. Sejak bertemu dengan gadis itu lagi setelah Aletta pergi ke kamar mandi, sikap gadis itu jadi aneh. Mereka lebih canggung d
Ben terus menggosok tangannya yang beberapa menit lalu berlumuran darah Valen. Kejadian di gudang tadi membuatnya takut bukan main. Ben membunuh Valen. Ben benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi sekarang. Setelah membaca tulisan yang tertera di buku usang yang ia temukan di meja, pikirannya tiba-tiba berkabut. Kepalanya terasa pusing dengan suara-suara yang entah berasal dari mana. Hingga hal terakhir yang Ben ingat tubuhnya seperti melayang, bebas tak terkontrol, seperti ada orang yang mengambil alih kesadarannya. Tapi oleh siapa? Dan untuk apa ia disuruh melakukan perbuatan keji itu hingga mencelakai sahabat kecilnya sendiri? Sungguh, mengingat tentang darah yang berceceran di lantai tadi dan kondisi mengenaskan Valen membuat Ben ketakutan bukan main. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Akankah Ben dijeblosken ke penjara karena membunuh Valen?Ben menggeleng kuat, mengenyahkan segala pikiran buruk yang bersarang di hatinya. Sungguh, tidak ada maksud Ben untuk mencelakai apal
"Jangan becanda, Erna. Cepat buka pintunya sekarang! " hardik Kyler menaikkan suaranya, membentak gadis berselendang pink itu. Namun, sayangnya Erna tak bergeming sedikitpun. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hdup. Bahkan tatapan matanya kosong. Melihat keterdiaman Erna, Kyler menggeram marah dengan reaksi yang diberikan gadis bergaun merah muda pudar itu, Kyler kemudian mendekat berniat untuk menghampiri Erna. Setelah itu, ia pun melakukan hal yang sama seperti yang Erna akukan. Namun, benar pintunya tak bisa dibuka, mereka terkunci di dalam."Kita ... kita ... akan ... mati!" lirih Erna terbata-bata, ia benar-benar ketakutan. Bahkan tubuhnya pun bergetar hebat. Ia benar-benar terguncang akan kenyataan pahit yang mengancam nyawa mereka kini. Jangan lupakan sorot mata kosong tanpa sinar kehidupan. Gigi putihnya saling beradu, ketakutan. Berbeda sekali dengan sifat Erna yang biasanya ceria dan pemberani. "T---tidak, jangan mengatakan hal seperti itu, Erna. Kita pasti selamat. Tenangl
Flashback beberapa puluh tahun sebelumnya ..."Hahaha, aku untung banyak!" Jack berlari sambil memainkan kantong kain berisi kepingan emas di tangannya. Hari ini, pemuda berpakaian hitam lusuh itu berhasil menipu para bangsawan dalam permainannya di Kasino. Dia tertawa sumringah dengan keberuntungannya yang memiliki otak cerdas, hingga berhasil mengelabui banyak orang. "Jack ... apa yang kau lakukan di sini?"Pemuda yang dipanggil namanya itu, menoleh untuk mendapati seorang gadis bergaun coklat lusuh tampak tergopoh berlari mendekat. Jack memasukkan kantong berisi kepingan koin ke dalam bajunya ketika sang kakak telah berdiri di depannya, sibuk mengatur napas yang tersengal-sengal. "Kak Violeta, ada apa?" tanya Jack pada satu-satunya saudara yang ia miliki. Gadis berambut panjang sepunggung yang terikat rapi. Kulit putih bersih bak porselen dengan mata jernih kecoklatan. Wajahnya manis khas perempuan jaman kerajaan."Kemana saja kau?" hardik Violeta bertanya berang. "Kau tau, Tu
Jack meronta, berusaha melepaskan rantai besi yang ada di lehernya, tubuh kurus keringnya pun terseok-seok, terseret oleh dua bawahan Lucifer yang menyeretnya kasar menuju tempat Leviathan berada. Jangan lupakan keringat yang membasahi wajahnya. Lucifer berjalan di depan. Sungguh, sebenarnya ia sangat malas mengunjungi kerajaan dingin Envy. Namun, mau bagaimana lagi, jiwa manusia yang dikirimkan Gabriel padanya membuat Lucifer mau tidak mau harus membereskan semuanya dengan kedua tangannya sendiri. Sambil berdecak kesal, Lucifer kembali meneruskan perjalanan menuju kerajaan Leviathan sambil memikirkan kejadian sebelumnya. Jujur saja, melihat sosok bercahaya Gabriel tadi membuat Lucifer mengingat saat ia berada di kelompok para Angelus ribuan tahun lalu. Namun, sifat sombongnya yang membangkang keputusan Sang Pemilik Alam Semesta, membuat ia diusir ke Neraka. Bukan Lucifer menyesali kejadian itu, sungguh tidak ada sedikitipun rasa penyesalan didirinya. Toh, ia sekarang juga sudah
Gaun putih panjangnya terseok-seok di lantai. Sesekali kain menjuntai itu menghambat langkah kakinya, sesekali ia tersandung meja dan kursi. Meski begitu, tak menyurutkan niat Aletta untuk terus berlari mencari seorang pemuda yang tadi meninggalkannya sendiri. Seorang pemuda yang kabur karena melihat mayat Karin di dalam kamar dengan bukti tulisan nama Kyler di cermin yang retak. Seolah-olah menegaskan, bahwa Kylerlah yang telah membunuh sosok Karin dan meninggalkan mayatnya di kamar seorang diri. Namun, Aletta yang telah selesai membaca buku di kamar itu, telah mengetahui apa yang menimpa mereka semua. Sejak awal mereka memang sudah terjebak dalam permainan Iblis yang mencoba mengambil jiwa mereka. Sendari awal memasuki rumah ini tidak jauh sebelum itu, sejak kegadungan di ruang Osis mengenai perbedaan pendapat antara Kyler dan Ben, semuanya sejak tersusun dengan rapi saat mereka menyetujui rencana Ketua Osis untuk mengadakan acara Halloween.Permainan Track Or Treat dengan hadiah
"Kyler ... Kyler!" Kyler mengerjapkan kedua bola matanya. Cahaya terang yang tiba-tiba masuk rentinanya, membuat Kyler hanya mampu membuka tutup matanya, membiasakan diri dari sinar terang entah dari mana.Suara-suara bising orang-orang memanggil namanya, samar-samar mulai tertangkap indera pendengaran Kyler. Sebelah pipinya tampak memanas, perih seolah sudah ditampar beberapa kali."Kyler ... bangun, ooy. Mau tidur sampai kapan? Bukankah kamu ada rapat Osis. Ayolah bangun."Itu Suara Valen, pikir Kyler yang belum bisa membuka matanya. Syukurlah jika pemuda urakan itu sudah ditemukan. Akan tetapi, itu tidak lebih baik ketika Valen mengetahui kebenaran tentang Erna. Sungguh, dapat Kyler duga jika Valen akan sangat terpukul jika mengetahu Erna yang merupakan gadis gebetannya itu telah mati tertusuk Ben, sahabat mereka sendiri. Tidak mau larut dalam pikitan tak berujung, Kyler pun mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka kedua mata dengan sempurna agar dapat melihat dengan jelas.
Seorang pria paruh baya dengan hodie hitam yang menutup hampir sebagian besar wajahnya, berdiri dengan santai menatap tiga remaja yang bepenampilan berantakan dengan darah mengotori baju mereka. Jack tertawa pelan melihat raut terkejut di wajah ketiga manusia unyu di depannya, terutama ketika melihat wajah Kyler yang biasanya angkuh dan sombong, kini wajah itu kusut, tak ubahnya kaset rusak. "Kamu ... Pak tua, Sialan. Ke mana saja kamu selama ini? Jangan-jangan kamulah dalang dibalik pembunuh berantai ini?" tanya Kyler membuka suara, memecah keheningan di antara mereka dengan suaranya yang tak sopan, masih terkesan angkuh dan sombong. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu cari? " tanya Kyler lagi tidak puas dengan keterdiaman si Tuan Rumah. Nada suaranya kini merendah, tidak sekeras tadi."Kenapa anda mengurung kami di sini?" tanya Ben ikut bertanya. Meski perkataannya sopan. Namun, nada pemuda berjubah hitam itu sama menakutkannya dengan Kyler, Sang Ketua Osis yang memiliki
Napas berderu saling bersahutan dengan degup jantung yang kian berdetak kencang. Keringat mulai membasahi, meluncur turun hingga dagunya. Rambut hitam panjang tergerai Indira kini mulai basah oleh keringat. Indira sesekali tampak mengangkat gaun putih panjangnya tinggi-tinggi.Gadis berkostum Kuntilanak itu tidak berani menengok belakang. Deru langkah kaki yang bersahutan sudah cukup sebagai tanda bahwa sosok bitam itu masih mengejarnya. Aletta mulai melambatkan laju larinya. Kaki jenjang putih Aletta mulai terasa pegal. Napasnya pun mulai tidak stabil. Namun, Aletta takut untuk berhenti bahkan hanya untuk menarik napas sejenak saja. Hal itu dikarenakan nyawanya kini bisa melayang kapan saja jika ia berhenti berlari. "Jangan lari, Aletta!"Kembali suara itu bergaung nyaring, semakin membuat nyali Aletta menciut. Suara serak khas pria dewasa yang menyuruhnya untuk berhenti berlari. Bahkan sesekali terdengar tawa mengerikan dari mulut sosok yang mengejarnya.Di kejauhan sana Aletta pu
Gaun putih panjangnya terseok-seok di lantai. Sesekali kain menjuntai itu menghambat langkah kakinya, sesekali ia tersandung meja dan kursi. Meski begitu, tak menyurutkan niat Aletta untuk terus berlari mencari seorang pemuda yang tadi meninggalkannya sendiri. Seorang pemuda yang kabur karena melihat mayat Karin di dalam kamar dengan bukti tulisan nama Kyler di cermin yang retak. Seolah-olah menegaskan, bahwa Kylerlah yang telah membunuh sosok Karin dan meninggalkan mayatnya di kamar seorang diri. Namun, Aletta yang telah selesai membaca buku di kamar itu, telah mengetahui apa yang menimpa mereka semua. Sejak awal mereka memang sudah terjebak dalam permainan Iblis yang mencoba mengambil jiwa mereka. Sendari awal memasuki rumah ini tidak jauh sebelum itu, sejak kegadungan di ruang Osis mengenai perbedaan pendapat antara Kyler dan Ben, semuanya sejak tersusun dengan rapi saat mereka menyetujui rencana Ketua Osis untuk mengadakan acara Halloween.Permainan Track Or Treat dengan hadiah
Jack meronta, berusaha melepaskan rantai besi yang ada di lehernya, tubuh kurus keringnya pun terseok-seok, terseret oleh dua bawahan Lucifer yang menyeretnya kasar menuju tempat Leviathan berada. Jangan lupakan keringat yang membasahi wajahnya. Lucifer berjalan di depan. Sungguh, sebenarnya ia sangat malas mengunjungi kerajaan dingin Envy. Namun, mau bagaimana lagi, jiwa manusia yang dikirimkan Gabriel padanya membuat Lucifer mau tidak mau harus membereskan semuanya dengan kedua tangannya sendiri. Sambil berdecak kesal, Lucifer kembali meneruskan perjalanan menuju kerajaan Leviathan sambil memikirkan kejadian sebelumnya. Jujur saja, melihat sosok bercahaya Gabriel tadi membuat Lucifer mengingat saat ia berada di kelompok para Angelus ribuan tahun lalu. Namun, sifat sombongnya yang membangkang keputusan Sang Pemilik Alam Semesta, membuat ia diusir ke Neraka. Bukan Lucifer menyesali kejadian itu, sungguh tidak ada sedikitipun rasa penyesalan didirinya. Toh, ia sekarang juga sudah
Flashback beberapa puluh tahun sebelumnya ..."Hahaha, aku untung banyak!" Jack berlari sambil memainkan kantong kain berisi kepingan emas di tangannya. Hari ini, pemuda berpakaian hitam lusuh itu berhasil menipu para bangsawan dalam permainannya di Kasino. Dia tertawa sumringah dengan keberuntungannya yang memiliki otak cerdas, hingga berhasil mengelabui banyak orang. "Jack ... apa yang kau lakukan di sini?"Pemuda yang dipanggil namanya itu, menoleh untuk mendapati seorang gadis bergaun coklat lusuh tampak tergopoh berlari mendekat. Jack memasukkan kantong berisi kepingan koin ke dalam bajunya ketika sang kakak telah berdiri di depannya, sibuk mengatur napas yang tersengal-sengal. "Kak Violeta, ada apa?" tanya Jack pada satu-satunya saudara yang ia miliki. Gadis berambut panjang sepunggung yang terikat rapi. Kulit putih bersih bak porselen dengan mata jernih kecoklatan. Wajahnya manis khas perempuan jaman kerajaan."Kemana saja kau?" hardik Violeta bertanya berang. "Kau tau, Tu
"Jangan becanda, Erna. Cepat buka pintunya sekarang! " hardik Kyler menaikkan suaranya, membentak gadis berselendang pink itu. Namun, sayangnya Erna tak bergeming sedikitpun. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hdup. Bahkan tatapan matanya kosong. Melihat keterdiaman Erna, Kyler menggeram marah dengan reaksi yang diberikan gadis bergaun merah muda pudar itu, Kyler kemudian mendekat berniat untuk menghampiri Erna. Setelah itu, ia pun melakukan hal yang sama seperti yang Erna akukan. Namun, benar pintunya tak bisa dibuka, mereka terkunci di dalam."Kita ... kita ... akan ... mati!" lirih Erna terbata-bata, ia benar-benar ketakutan. Bahkan tubuhnya pun bergetar hebat. Ia benar-benar terguncang akan kenyataan pahit yang mengancam nyawa mereka kini. Jangan lupakan sorot mata kosong tanpa sinar kehidupan. Gigi putihnya saling beradu, ketakutan. Berbeda sekali dengan sifat Erna yang biasanya ceria dan pemberani. "T---tidak, jangan mengatakan hal seperti itu, Erna. Kita pasti selamat. Tenangl
Ben terus menggosok tangannya yang beberapa menit lalu berlumuran darah Valen. Kejadian di gudang tadi membuatnya takut bukan main. Ben membunuh Valen. Ben benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi sekarang. Setelah membaca tulisan yang tertera di buku usang yang ia temukan di meja, pikirannya tiba-tiba berkabut. Kepalanya terasa pusing dengan suara-suara yang entah berasal dari mana. Hingga hal terakhir yang Ben ingat tubuhnya seperti melayang, bebas tak terkontrol, seperti ada orang yang mengambil alih kesadarannya. Tapi oleh siapa? Dan untuk apa ia disuruh melakukan perbuatan keji itu hingga mencelakai sahabat kecilnya sendiri? Sungguh, mengingat tentang darah yang berceceran di lantai tadi dan kondisi mengenaskan Valen membuat Ben ketakutan bukan main. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Akankah Ben dijeblosken ke penjara karena membunuh Valen?Ben menggeleng kuat, mengenyahkan segala pikiran buruk yang bersarang di hatinya. Sungguh, tidak ada maksud Ben untuk mencelakai apal
Aletta memilin rambut sebahunya yang tergerai bebas. Rambut yang biasanya terikat dua itu kini terjatuh menutupi punggungnya. Helaian hitam lebat yang kini tampak kusut, berantakan. Aletta tak ubanya sosok Kuntilanak sesungguhnya, jika saja wajahnya pucat seperti hantu asal Negaranya itu sudah dipastikan Aletta terlihat seperti hantu sesungguhnya. Bukan tanpa alasan Aletta merasa gugup seperti sekarang ini. Namun, semenjak dikagetkan dengan kedatangan Kyler yang menepuk bahunya, Aletta dibuat salah tingkah karena telah meninggalkan pemuda pirang itu di kamar seorang diri. Terlebih Aletta secara terang-terangan menolak Kyler sampai menamparnya, hingga membuat Aletta benar-benar malu. Namun, Aletta sangat bersyukur karena kejadian tadi, Kyler kembali bersikap seperti biasanya.Di sisi lain Kyler terdiam dengan sesekali melirik gadis bergaun putih di sampingnya. Sejak bertemu dengan gadis itu lagi setelah Aletta pergi ke kamar mandi, sikap gadis itu jadi aneh. Mereka lebih canggung d