"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Semoga Samawa dan selalu bahagia’Sebuah story dari status whatsapp adik iparku. Menampilkan sebuah video wajahnya dan ibu mertuaku dari belakang kedua mempelai yang sepertinya baru selesai melangsungkan akad. Kedua pasangan pengantin baru itu tampak sedang mengambil foto bersama beberapa orang yang mungkin rekan dan kerabat kedua mempelai.Akan tetapi, aku mengecek ulang story tersebut saat mengenali sebuah jam tangan mewah yang melingkar di tangan kiri sang mempelai pria. Sangat jelas terlihat karna tangan itu sedang merangkul bahu wanita di sampingnya. Arloji itu persis milik suamiku yang kuberikan sebagai hadiah di anniversary kami yang ke lima, seminggu lalu.Aku sangat yakin karna jam itu limited edition. Selain itu, jika kuamati lagi postur tubuh lelaki itu sangat mirip dengan Mas Adnan, suamiku.Dengan jantung yang berdebar kencang, aku melakukan panggilan video ke nomor Lula, tapi tak kunjung dijawab meski tertulis berdering.Aku semakin curiga, lalu mengalihkannya menjadi pa
Hingga malam ini aku terus menghubungi nomor mas Adnan, dan mengirimkan berbagai macam chat, seolah aku khawatir terjadi sesuatu kepadanya karna sejak pagi tadi nomornya tidak dapat di hubungi.Selain itu, terus memantau story Lula yang mungkin saja bisa kujadikan bukti untuk rencana yang sudah kupikirkan sepanjang hari. Sayangnya, gadis berambut pirang itu tak lagi mengupdate satu story pun sejak kejadian tadi, padahal biasanya ia tak pernah sedikitpun lengah untuk membagikan aktivitasnya di akun whatssApp miliknya.Sepertinya keluarga itu benar –benar kompak untuk menutupi pengkhianatan ini dariku, istri sah Mas Adnan.Entah apa salahku kenapa mertua, ipar bahkan suamiku tega melakukan ini padaku. Padahal hubungan kami baik–baik saja dan terasa hangat, apalagi sejak kehadiran Thabita. Mama mas Adnan memang pernah memintanya untuk menikah lagi, tapi dulu ketika tiga tahun usia pernikahan kami. Karna aku tak kunjung hamil sementara mertuaku sudah tak sabar ingin memiliki cucu.Tapi se
Pagi ini, aku sengaja bangun kesiangan, karna tak perlu repot membuat sarapan dan mengurus keperluan suamiku. Lagi pula, aku tak bisa tidur tadi malam. Mataku sulit terpejam mengingat betapa kontrasnya keadaanku di rumah dengan suamiku di sana.Aku meringkuk menahan perih di hati, sementara ia tengah bersenang-senang melewati malam indahnya dengan wanita yang baru dinikahinya.Entah dari mana asalnya wanita itu, hingga membuat suamiku yang dulunya setia dengan mudahnya berpaling dariku. Secantik apakah dia? Kalau hanya karna kecantikan, bukankah aku juga cantik!Hidungku mancung dan bibirku tipis, mataku juga indah dengan bulu yang lentik, dan daguku kata mas Adnan seperti lebah bergantung. Gambaran sempurna dari keindahan yang diinginkan oleh setiap wanita. Mereka sampai melakukan berbagai operasi untuk mendapatkan hidung mancung dengan bibir yang tipis, tentu mengeluarkan sangat banyak biaya dari sang suami.Lalu, aku? Mas Adnan hanya tinggal menikmati kecantikanku dan memberiku wak
Sebuah chat masuk ke akun WhatsApp di gawaiku. Aku yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper gegas mengambilnya dari atas kasur dan membukanya.[Mas akan pulang sesuai rencana dan tidak jadi memperpanjang waktu kerja di sini. Demi kamu, Zahira. Tetaplah di rumah dan jangan ke mana- mana. Maafkan mas karna sempat membuatmu marah.]Aku tersenyum setelah membaca isi chat yang dikirim suamiku dan hanya membalasnya dengan emoticon jempol tanda oke. Sesuai dugaanku, pasti mama yang memintanya untuk tetap pulang tiga hari lagi karna tadi saat aku menaiki tangga, kulihat mama tengah sibuk dengan gawainya. Mungkin ia ingin menghubungi anak kesayangannya agar mencegahku datang ke Padang. Karna bila aku ke sana, semua kebusukan mereka pasti akan terbongkar.Aku tertawa puas. Baru saja memulai, aku sudah menang. Ini belum apa-apa Mas, masih ada hal tak terduga lainnya yang akan kulakukan!Tiba-tiba mama masuk ke kamarku setelah mengetuknya dua kali. Wanita paro baya itu langsung menggen
Selang beberapa menit terdengar suara klakson mobil. Benar saja, ada sebuah taksi di depan rumahku, pasti mas Adnan. Aku berlari keluar membuka pintu, hatiku berdebar sebab akan berhadapan langsung dengan wanita itu. Tak tahu apa yang akan kukatakan nanti, yang pasti aku harus tegar dan tidak boleh bersikap lemah di depannya.Aku berdiri di depan pagar, melihat mas Adnan turun lalu tersenyum menatapku. Rasa tak sabar ingin segera bertatapan langsung dengan pelakor itu, lalu mengusirnya sebelum sempat menginjakkan kaki bahkan di halaman ini.Mas Adnan sudah menurunkan barang-barangnya, namun wanita itu tak kunjung turun. Dengan tak sabar aku mendekat dan meraih pintu mobil, membukanya, namun tak menemukan siapapun lagi kecuali si sopir taksi. Ekspresinya sama dengan mas Adnan,Menunjukkan mimik heran melihatku yang tiba-tiba membuka pintu lalu menutupnya keras.Mas Adnan menarikku, dengan tampang penuh tanya ia berucap, “Kenapa sayang? Kok kamu tiba-tiba begitu? Nyari apa?”Entah ke ma
Tepat pukul sepuluh pagi mobil yang dijanjikan mas Adnan sudah terparkir rapi di garasi rumah. Diantar pihak showroom menggunakan truk towing yang berhenti di pinggir jalan. Menyisakan sebagian ruang untuk mobil mas Adnan nanti masuk. Garasi selebar tujuh meter itu akan terisi dua mobil, milikku dan suamiku.Nanti saat jam istirahat, mas Adnan akan pulang dan membawaku pergi untuk mengurus segala keperluan sehingga mobil idamanku itu akan sah atas namaku.Sebagai kepala staff bagian quality control yang berpenghasilan hampir puluhan juta, membuat mas Adnan dengan mudahnya membelikanku sebuah mobil, apalagi perusahaannya baru saja memenangkan tender pembangunan proyek besar di Sumatra Barat. Ini adalah masa-masa emas bagi mas Adnan setelah enam tahun bekerja dan hanya menjadi staff biasa di perusahaan itu. Artinya, sebelum menikah mas Adnan memang sudah bekerja di perusahaan yang sama, namun setelah menikah karirnya perlahan meningkat seiring naiknya posisi dan jabatannya di perusahaan
Oek ... Oek ... OekTabitha yang terlelap digendonganku tiba-tiba terbangun, menyadarkanku dari ilusi yang mungkin akan menghancurkan aku dan rencanaku.Tak hanya menangis, bayiku bahkan muntah, mengeluarkan kembali asi dari hidung dan mulutnya. Tangisannya semakin kencang, sementara aku tak tahu harus berbuat apa.“Zahira, kenapa Tabitha sampai muntah gitu?” Mama hendak mengambil Tabitha dariku, saat tangannya baru saja meraih tubuh kecil itu, mas Adnan merebutnya kembali.“Tabitha, sayang, kamu kenapa, Nak?”Mas Adnan cemas. Ia menimang pelan putri kecilnya yang masih menangis.Aku mengambil tisu, membersihkan kotoran yang menempel pada baju Tabitha. Bersiap duduk di sofa, mengambil Tabitha kembali untuk menyusuinya.Bukannya diam, ia malah semakin menangis, kurasakan hangat pada sekujur tubuhnya.“Tabitha panas, Ma.” Aku mendongak, menunggu respon dari mama. Ia juga tampak panik sepertiku. Tapi, mama kalah cepat ketimbang mas Adnan.“Bawa ke kamar, sayang. Ganti bajunya dan cek suh
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid