Pagi ini, aku sengaja bangun kesiangan, karna tak perlu repot membuat sarapan dan mengurus keperluan suamiku. Lagi pula, aku tak bisa tidur tadi malam. Mataku sulit terpejam mengingat betapa kontrasnya keadaanku di rumah dengan suamiku di sana.
Aku meringkuk menahan perih di hati, sementara ia tengah bersenang-senang melewati malam indahnya dengan wanita yang baru dinikahinya.
Entah dari mana asalnya wanita itu, hingga membuat suamiku yang dulunya setia dengan mudahnya berpaling dariku. Secantik apakah dia? Kalau hanya karna kecantikan, bukankah aku juga cantik!
Hidungku mancung dan bibirku tipis, mataku juga indah dengan bulu yang lentik, dan daguku kata mas Adnan seperti lebah bergantung. Gambaran sempurna dari keindahan yang diinginkan oleh setiap wanita. Mereka sampai melakukan berbagai operasi untuk mendapatkan hidung mancung dengan bibir yang tipis, tentu mengeluarkan sangat banyak biaya dari sang suami.
Lalu, aku? Mas Adnan hanya tinggal menikmati kecantikanku dan memberiku waktu untuk tetap merawatnya, tapi ia malah berpaling dengan wanita lain. Bahkan aku biasa ke salon tanpa meminta uang darinya.
Dasar lelaki tak bersyukur!
Selesai mandi dan berganti baju, aku berniat keluar untuk membeli lontong sayur untuk sarapan pagi. Sudah jam sembilan, biasanya kedai sarapan pasti kehabisan menu kecuali warung kak Butet. Sebenarnya aku sedikit malas ke sana, karna mulut wanita itu selalu nyinyir dan kepo dengan urusan orang lain, apalagi lontongnya juga kurang sedap. Itulah mengapa menu sarapannya lebih lama habis, warga di sekitar sini lebih mengutamakan membeli sarapan di tempat lain, kecuali sudah kesiangan seperti aku.
Setelah memastikan Tabitha masih terlelap di ayunan, aku gegas berlari keluar meninggalkannya sebentar menuju warung yang berjarak dua rumah dari sini.
“Lontong satu, Kak,” ucapku pada janda yang berusia hampir kepala empat itu.
“Eh, Zahira, udah lama kali kau gak kesini, Dek. Kok udah mau makan lontong kau, Dek? Apa udah selapan kau?” Seperti dugaanku. Aku baru mengeluarkan satu kalimat, tapi ia sudah bicara berkali–kali.
“Sudah, Kak. Anakku saja sudah dua bulan,” jawabku singkat.
“Oh, gak terasa, ya. Rawat dirimu, Dek, biar suamimu gak ke mana-mana. Ku tengok badanmu gemukan. Taulah zaman sekarang ini, pelakor berserakan. Tapi, kalau si Adnan itu kayaknya gak mungkin lah, ya, selingkuh. Secara dia itu baik kali nampaknya. Beruntunglah dirimu, Dek,” ucapnya panjang lebar. Aku hanya membalas dengan senyuman, tak ingin menyangkal ucapannya. Biarlah mas Adnan terlihat sempurna di matanya, meskipun ia baru saja meluluh lantakkan hatiku karna menikah lagi di belakangku.
Setelah selesai, aku memberikan selembar uang sepuluh ribu dan mengambil dua buah peyek kacang tanah. Setengah berlari aku menuju rumah, takut kalau Tabita terbangun dan menangis.
Aku membuka pintu pelan, lalu mengecek Tabitha di ayunan. Untungnya bayi berlesung pipi itu masih terlelap dengan ekspresi yang menggemaskan. Ingin rasanya mencium lembut pipinya, tapi takut ia terbangun sementara ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku mematut diri di depan cermin, melihat perubahan yang terjadi pada setiap inci tubuhku. Menurutku ada benarnya juga ucapan kak Butet tadi, kemungkinan mas Adnan berpaling karna tubuhku tak seperti dulu lagi.
Perutku bergelambir dengan beberapa strechmark di atasnya. Begitu juga pada kedua pahaku. Akan tetapi, bukankah ini bukti pengorbanan atas besarnya cintaku padanya? Aku begini karna telah menghadirkan malaikat kecil impiannya, seharusnya ia berterimakasih dan tak perlu berpaling hanya karna perubahan di tubuhku.
Bukankah tubuh ini bisa kembali indah? Aku hanya perlu waktu.
Serendah itukah perempuan di mata laki-laki, sehingga nilainya akan turun seiring berkurangnya kecantikan?!
Ataukah memang mas Adnan yang tak paham dalam menilai kodrat wanita.
Netraku kembali berkaca-kaca, ada bulir bening yang hendak kembali tumpah. Tidak, aku tak boleh menangis lagi. Bukankah aku telah berjanji untuk tetap tegar demi Tabitha. Aku telah mempersiapkan peran untuk permainan ini, dan aku tak boleh kalah sebelum memulai.
Setelah membereskan rumah dan segala keperluan, aku kembali ke kamar.
Kuperiksa kembali segala dokumen penting yang tadi malam kumasukkan ke dalam sebuah tas besar. Aku sempat berpikir untuk berpisah saja dengan mas Adnan yang sudah tega menghancurkan hatiku berkeping-keping. Tapi mengingat tangisan Tabitha tadi malam, membuatku goyah dan tak rela memisahkannya dari sang ayah. Anak itu masih membutuhkan kasih sayang dan dampingan dari kedua orangtuanya demi tumbuh kembangnya. Meski bagi sebagian orang adalah justru menguntungkan jika bercerai selagi anak masih bayi, karena tak perlu bersusah payah memberikan pengertian pada sang anak. Namun, berbanding terbalik denganku, biarlah aku mencoba bertahan dulu, mencari tahu alasan dan letak kesalahanku, agar aku bisa mengambil sikap untuk merebutnya kembali dari wanita itu atau melepaskannya.
Seandainya pilihan terakhir adalah bercerai, tentu aku tak ingin menjadi seorang janda biasa. Aku harus mempersiapkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi, termasuk mempersiapkan aset demi masa depan buah hatiku. Aku tak ingin melihat Tabitha makan dengan singkong rebus, kesulitan membeli apa yang ia inginkan, atau terancam pendidikannya, seperti masa kecilku dulu.
Lebih baik aku bersabar demi meneguk madu, daripada gegabah yang akan merugikan diri sendiri. Aku sadar akan posisiku, aku hanyalah perempuan dari kampung yang dinikahi mas Adnan. Tak ada aset berharga atas namaku selain dua butik yang kurintis sendiri dan beberapa perhiasan yang kusimpan. Sementara tabungan, rumah, mobil dan beberapa villa masih atas nama suamiku. Setidaknya aku harus mengambil alih rumah ini agar tak memikirkan mencari tempat tinggal yang baru jika berpisah nanti.
Pelan dan cantik.
Itulah cara yang kupikirkan semalaman. Aku sudah menguatkan hati untuk berpura-pura b*odoh di hadapan mereka. Sampai waktunya mereka sendiri yang akan menelan pil pahit atas kecurangan yang mereka lakukan.
“Zahira ... Zahira ...!” Suara yang sangat ku kenal sedang memanggil namaku dari balik pagar rumah, itulah Nyonya Sarmila, mertuaku.
“Iya, Ma, sebentar,” ucapku setengah berteriak, menyingkap kain jendela kamar yang berada di lantai dua. Kulihat mama dan Lula sedang berdiri sambil memegang koper masing-masing. Sepertinya mereka baru turun dari taksi.
Aku berjalan melewati anak tangga menuju pintu utama rumah bertingkat ini, lalu keluar membukakan pagar untuk kedua orang yang turut andil dalam pengkhianatan mas Adnan.
“Udah pulang, Ma. Kok gak nelpon dulu, kupikir kalian akan tiba sore nanti,” ucapku seraya mengekor di belakang mama menuju ruang tamu. Ia tak menjawab, begitupun Lula yang tampak sibuk dengan gawainya.
“Mana Thabita?” tanya mama setelah menyandarkan bobotnya di sofa serta meletakkan koper dan tasnya sembarangan.
“Di kamar, Ma, sedang tidur. Baru selesai mandi dan kususui. Kalian kok gak ngajak aku, sih, ke Padang?” Aku kembali bertanya seolah tak tahu yang sebenarnya.
“Mbak ‘kan punya bayi. Lagian temen mama mendadak ngundangnya, jadi gak sempat juga kasi tahu mbak Zahira,” timpal Lula, matanya masih tetap lekat memandang benda pipih berlayar di depannya.
“Jadi mana potonya? Mbak penasaran sama pengantinnya. Mereka cantik dan ganteng, gak?” Aku bertanya sambil menaik turunkan kedua alisku. Berakting seakan tak sabar untuk menilai keserasian kedua pengantin melalui wajahnya. Karna itulah kebiasaan aku dan Lula setiap kali kembali dari resepsi pernikahan orang lain. Mengambil potonya untuk kami komentari.
“A-aku gak sempat poto, Mbak!” Ucapnya bimbang. Sementara mama melirikku sebentar lalu memijit dahinya pelan.
“Kok, gitu? Biasanya kamu gak mau ketinggalan untuk poto dan menguploadnya ke sosmed,” gumamku, dengan wajah jengkel yang kubuat-buat.
Aku tahu, bukan itu alasan sesungguhnya. Mana mungkin mereka mau memperlihatkan poto itu, apalagi pengantin prianya adalah suamiku.
Mereka mengeluarkan oleh-oleh yang aku minta semalam. Memberikan semuanya sambil mengalihkan topik pembicaraan tentang keadaan mereka di pesawat.
Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari mas Adnan. Gegas kujawab tanpa berlama-lama.
“Halo, Mas. Kamu kemana, aja? Aku khawatir,” cecarku, sesaat setelah menekan tombol hijau di layar.
“Maaf, sayang. Baterai ponsel mas habis total, lagian semalam sibuk. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sepertinya mas akan pulang seminggu lagi,” jawabnya tanpa bertanya kabarku dan Tabitha terlebih dahulu. Kini ia malah mengatakan akan pulang lebih lama lagi.
“Gak bisa, Mas. Kamu harus pulang sesuai waktunya. Aku gak mau ditinggal terus sendirian di rumah,” rengekku. Bukan karena pekerjaan, pasti ia ingin pergi berbulan madu dengan istri barunya. Aku harus bertindak, tak mungkin diam saja.
“Zahira, tolong pengertiannya. Aku bekerja demi kamu dan anak kita,” bujuknya, membuat aku semakin geram. Menjadikan pekerjaan sebagai alibi.
“Oh, iya, Mas. Kalau gitu aku bakal nyusul ke sana. Kamu harus jemput aku di bandara, ya.”
“Eng-enggak bisa, sayang. Aku sibuk.” Mas Adnan berkilah, mungkin ia tak menyangka kalau aku berencana ingin menyusulnya.
“Pokoknya aku bakal ke sana sama Tabitha. Aku akan pesan tiket dan bersiap.” Aku memutus panggilan telepon, sementara Lula dan mama yang sedari tadi mendengarkan percakapanku dan mas Adnan tampak tegang.
“Ada-ada saja kau, Zahira. Jelas-jelas suami lagi kerja kamu malah mau nyusul. Jangan bikin repot Adnan, lah!”
Mama berusaha mencegahku.
“Enggak, Ma. Suamiku ingkar janji, katanya dia akan pulang tiga hari ke depan. Nyatanya diperpanjang seminggu lagi. Aku lebih baik menyusulnya daripada harus sendirian terus di rumah.” Aku tetap kekeh, lalu pergi ke kamar untuk mengemas pakaian milikku dan Tabitha ke dalam koper.
Sebuah chat masuk ke akun WhatsApp di gawaiku. Aku yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper gegas mengambilnya dari atas kasur dan membukanya.[Mas akan pulang sesuai rencana dan tidak jadi memperpanjang waktu kerja di sini. Demi kamu, Zahira. Tetaplah di rumah dan jangan ke mana- mana. Maafkan mas karna sempat membuatmu marah.]Aku tersenyum setelah membaca isi chat yang dikirim suamiku dan hanya membalasnya dengan emoticon jempol tanda oke. Sesuai dugaanku, pasti mama yang memintanya untuk tetap pulang tiga hari lagi karna tadi saat aku menaiki tangga, kulihat mama tengah sibuk dengan gawainya. Mungkin ia ingin menghubungi anak kesayangannya agar mencegahku datang ke Padang. Karna bila aku ke sana, semua kebusukan mereka pasti akan terbongkar.Aku tertawa puas. Baru saja memulai, aku sudah menang. Ini belum apa-apa Mas, masih ada hal tak terduga lainnya yang akan kulakukan!Tiba-tiba mama masuk ke kamarku setelah mengetuknya dua kali. Wanita paro baya itu langsung menggen
Selang beberapa menit terdengar suara klakson mobil. Benar saja, ada sebuah taksi di depan rumahku, pasti mas Adnan. Aku berlari keluar membuka pintu, hatiku berdebar sebab akan berhadapan langsung dengan wanita itu. Tak tahu apa yang akan kukatakan nanti, yang pasti aku harus tegar dan tidak boleh bersikap lemah di depannya.Aku berdiri di depan pagar, melihat mas Adnan turun lalu tersenyum menatapku. Rasa tak sabar ingin segera bertatapan langsung dengan pelakor itu, lalu mengusirnya sebelum sempat menginjakkan kaki bahkan di halaman ini.Mas Adnan sudah menurunkan barang-barangnya, namun wanita itu tak kunjung turun. Dengan tak sabar aku mendekat dan meraih pintu mobil, membukanya, namun tak menemukan siapapun lagi kecuali si sopir taksi. Ekspresinya sama dengan mas Adnan,Menunjukkan mimik heran melihatku yang tiba-tiba membuka pintu lalu menutupnya keras.Mas Adnan menarikku, dengan tampang penuh tanya ia berucap, “Kenapa sayang? Kok kamu tiba-tiba begitu? Nyari apa?”Entah ke ma
Tepat pukul sepuluh pagi mobil yang dijanjikan mas Adnan sudah terparkir rapi di garasi rumah. Diantar pihak showroom menggunakan truk towing yang berhenti di pinggir jalan. Menyisakan sebagian ruang untuk mobil mas Adnan nanti masuk. Garasi selebar tujuh meter itu akan terisi dua mobil, milikku dan suamiku.Nanti saat jam istirahat, mas Adnan akan pulang dan membawaku pergi untuk mengurus segala keperluan sehingga mobil idamanku itu akan sah atas namaku.Sebagai kepala staff bagian quality control yang berpenghasilan hampir puluhan juta, membuat mas Adnan dengan mudahnya membelikanku sebuah mobil, apalagi perusahaannya baru saja memenangkan tender pembangunan proyek besar di Sumatra Barat. Ini adalah masa-masa emas bagi mas Adnan setelah enam tahun bekerja dan hanya menjadi staff biasa di perusahaan itu. Artinya, sebelum menikah mas Adnan memang sudah bekerja di perusahaan yang sama, namun setelah menikah karirnya perlahan meningkat seiring naiknya posisi dan jabatannya di perusahaan
Oek ... Oek ... OekTabitha yang terlelap digendonganku tiba-tiba terbangun, menyadarkanku dari ilusi yang mungkin akan menghancurkan aku dan rencanaku.Tak hanya menangis, bayiku bahkan muntah, mengeluarkan kembali asi dari hidung dan mulutnya. Tangisannya semakin kencang, sementara aku tak tahu harus berbuat apa.“Zahira, kenapa Tabitha sampai muntah gitu?” Mama hendak mengambil Tabitha dariku, saat tangannya baru saja meraih tubuh kecil itu, mas Adnan merebutnya kembali.“Tabitha, sayang, kamu kenapa, Nak?”Mas Adnan cemas. Ia menimang pelan putri kecilnya yang masih menangis.Aku mengambil tisu, membersihkan kotoran yang menempel pada baju Tabitha. Bersiap duduk di sofa, mengambil Tabitha kembali untuk menyusuinya.Bukannya diam, ia malah semakin menangis, kurasakan hangat pada sekujur tubuhnya.“Tabitha panas, Ma.” Aku mendongak, menunggu respon dari mama. Ia juga tampak panik sepertiku. Tapi, mama kalah cepat ketimbang mas Adnan.“Bawa ke kamar, sayang. Ganti bajunya dan cek suh
Aku mengantar Renita menuju gudang di belakang rumah. Bangunan ini akan menjadi tempat tinggalnya selama bekerja di sini. Meskipun mama berkali-kali memintaku untuk mengizinkan Renita tinggal di kamar tamu, tapi aku sama sekali tak menanggapinya. Kamar itu disediakan khusus untuk tamu, selain Mamak, biasanya Lula atau Dipo yang akan menempatinya.Dipo adalah adik lelaki mas Adnan yang sedang kuliah jurusan seni di Universitas Negeri Medan. Ia sering datang tiba-tiba pada malam hari dan bermalam di sini.“Kamu bersihkan saja dulu, gudang ini tidak terlalu buruk. Lagipula, semua fasilitas lengkap di sini,” ucapku ketika membuka pintu gudang yang aslinya adalah sebuah klinik yang didirikan oleh pemilik awal rumah ini.Bangunan yang bahkan bisa disebut rumah itu mempunyai kamar mandi dan dapur tersendiri. Jadi, aku memerintahkan Renita untuk tidak berlama-lama di rumahku. Cukup datang ketika harus beberes di pagi dan sore hari atau ketika aku membutuhkannya. Bagian masak-memasak tetap aku
Aku memandikan Tabitha dan memakaikan sebuah dress cantik bergambar kelinci yang dihadiahkan Dipo. Dipo memang sangat perhatian kepadaku dan Tabitha, tetapi entah mengapa ia tak begitu akrab dan peduli kepada Mas Adnan, saudara kandungnya sendiri.Wajah mereka sangat mirip, bahkan bentuk alis dan bibirnya sangat serupa. Hanya saja Dipo terkesan asal, rambutnya dibiarkan panjang sebahu dan berkumis tipis. Gaya berpakaiannya juga tak semodis mas Adnan. Kata mas Adnan wajah mereka mewarisi almarhum papa. Sedangkan Lula mewarisi wajah mama.Selama lima tahun menjadi bagian dari keluarga ini, aku sama sekali tak pernah tahu wajah almarhum papa seperti apa. Mereka sama sekali tak pernah menunjukkan potretnya padaku.“Zahira, Zahira.” Terdengar suara Masli dari luar, aku mengintip dari jendela sambil membawa Tabitha dalam gendongan. Masli berdiri di depan pagar sambil terus memukul- mukul pagar, padahal ada Renita sedang berdiri di depannya.Aku bergegas turun menemuinya, sepertinya terjadi
Sudah lima hari aku mengikuti kursus mengemudi dan aku sudah cukup lihai berkendara di keramaian. Sang instruktur sudah memberikan sebuah sertifikat tanda selesai pelatihan dan memberikan beberapa berkas yang harus ditanda tangani untuk pengurusan Surat Izin Mengemudiku dari kepolisian.Lima hari pula Masli bolak balik ke rumahku untuk menjaga Tabitha dan mendesain kamarnya. Sebenarnya Masli bisa saja menyelesaikannya dalam dua hari, tapi aku sengaja memintanya untuk mengulur waktu agar sesuai dengan waktu kursusku, yaitu lima hari.Kamar itu sudah rampung, Masli mengubahnya menjadi bernuansa pink dan putih yang indah dipandang mata. Beberapa aksesoris berbentuk Hello Kitty di pajang pada sebuah meja dekat jendela. Dinding dan lemari juga ditempeli stiker bergambar kartun kucing imut itu. Aku jadi lebih suka menghabiskan waktu di kamar ini, selain untuk menjaga Tabitha, juga untuk menghindar dari mas Adnan.Hari ini Mas Adnan kembali lebih awal. Kantornya memperbolehkan karyawan khusu
Aku meninggalkan mereka dengan perasaan yang penuh teka-teki. Apakah ini bagian dari sandiwara mereka atau memang ada hal lain yang memang disembunyikan. Sepertinya aku harus memasang cctv di rumah ini.“Aku jadi tidak bersemangat mau keluar malam ini, Mas!” keluhku pada mas Adnan saat sudah berada di kamar. Aku melipat kedua tanganku, berdecak kesal.“Kenapa sayang, apa karna ulah Renita tadi? Kalau memang kamu tidak suka, aku bakalan pecat dia sekarang juga,” ucapnya, bergegas hendak keluar kamar. Aku mencekal pergelangan tangan suamiku, bermaksud untuk mencegahnya.Aku menggeleng pelan, memberi isyarat agar mas Adnan tak perlu melakukannya. Ke mana wanita itu akan pergi jika ia tak di sini lagi. Lagipula, akan sulit bagiku mengetahui apa yang nanti mereka lakukan di luar sana. Bisa jadi ini hanya akal–akalan mas Adnan, agar Renita bisa keluar dari rumah ini dan akan lebih leluasa menemuinya di tempat lainlaiTerlebih lagi, ia merasa aku selalu memperhatikan setiap gerak geriknya. A
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid