Selang beberapa menit terdengar suara klakson mobil. Benar saja, ada sebuah taksi di depan rumahku, pasti mas Adnan. Aku berlari keluar membuka pintu, hatiku berdebar sebab akan berhadapan langsung dengan wanita itu. Tak tahu apa yang akan kukatakan nanti, yang pasti aku harus tegar dan tidak boleh bersikap lemah di depannya.
Aku berdiri di depan pagar, melihat mas Adnan turun lalu tersenyum menatapku. Rasa tak sabar ingin segera bertatapan langsung dengan pelakor itu, lalu mengusirnya sebelum sempat menginjakkan kaki bahkan di halaman ini.
Mas Adnan sudah menurunkan barang-barangnya, namun wanita itu tak kunjung turun. Dengan tak sabar aku mendekat dan meraih pintu mobil, membukanya, namun tak menemukan siapapun lagi kecuali si sopir taksi. Ekspresinya sama dengan mas Adnan,
Menunjukkan mimik heran melihatku yang tiba-tiba membuka pintu lalu menutupnya keras.
Mas Adnan menarikku, dengan tampang penuh tanya ia berucap, “Kenapa sayang? Kok kamu tiba-tiba begitu? Nyari apa?”
Entah ke mana perginya wanita itu, Masli bilang mereka tadi ada di dalam taksi yang sama dan menuju ke sini. Jangan-jangan ia sudah turun di tempat lain. Ah ... sudahlah, aku tak ingin mas Adnan curiga bahwa aku tahu kalau ia tadi semobil dengan isteri barunya. Bisa-bisa rencanaku berantakan dan aku tak mendapat aset apapun. Baiknya aku teruskan saja permainan ini.
“Enggak, Mas. Ku pikir masih ada bawaan kamu yang tertinggal di dalam,” ucapku tersenyum, menunjuk ke arah taksi yang hendak bersiap pergi.
“Cuma ini aja, kok. Yuk, masuk!” Ia tertawa lalu menggandeng tanganku menuju ke dalam rumah setelah menutup pagar besi.
Mas Adnan langsung menuju kamar dan menggendong Tabitha. Anak itu menangis saat hendak di letakkan oleh mas Adnan, seolah belum puas melepas rindu kepada sang papa yang telah meninggalkan rumah selama sepekan.
Saat ia sedang mandi, aku membuka semua isi tasnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi penguat dan bukti pernikahannya. Sayangnya, aku tak menemukan apapun. Mas Adnan tak akan seceroboh itu tentunya. Buktinya, aku tak tahu sedikitpun tentang rencana pernikahannya di Padang. Amat rapi ia menyimpan semuanya dariku.
“Mas, kamu jadi lebih tampan setelah seminggu di luar kota.” Aku berucap seraya memandangnya yang sedang menyugar rambut basahnya setelah mandi. Ia masih menggunakan handuk menutupi separuh badannya. Sedangkan aku bersandar di kepala ranjang sambil memberi asi Tabitha.
“Kamu bilang begitu karna udah seminggu gak lihat Mas,” ucapnya.
“Benaran, Mas. Kamu terlihat lebih tampan dan segar, seperti pengantin baru saja,” ucapku datar, menunggu respon darinya. Wajahnya berubah pucat dan tegang. Namun ia tak menjawab apapun.
“Pengantin baru lima tahun yang lalu, Mas,” candaku, disambut gelak tawa yang terdengar garing dari mulut lelaki itu.
‘Mas ... mas, sepertinya kau akan terus menutupi pernikahan keduamu, masih kubilang begitu saja kau sudah tak bernyali.’ Aku membatin.
Setelah Tabitha tertidur, aku mengajak mas Adnan untuk makan bersama di dapur. Aku telah memasak makanan kesukaannya, sambal teri kacang tanah dan sayur lodeh. Ia makan sangat lahap, sementara aku tak begitu berselera.
“Wajahmu terlihat pucat, sayang! Kamu sakit?” ujar mas Adnan saat aku hendak menyuap nasi ke mulutku.
“Enggak, kok, Mas. Gak sakit. Mungkin karna kelelahan mengurus Tabitha dan rumah,” kilahku. Memang sejak mengetahui pernikahan mas Adnan tempo hari aku jadi tak bersemangat bahkan kehilangan selera makan. Itulah yang membuat wajahku pucat seperti orang sakit.
Mas Adnan tampak berpikir, lalu berucap sambil mengelus lembut pipiku.
“Gimana kalau kita cari babysitter untuk bantu kamu ngurusin Tabitha biar gak terlalu capek,” usulnya.
“Boleh, tapi harus kamu yang bayar gajinya, cari yang benar-benar berpengalaman dan juga telaten,” jawabku. Saat ini memang aku membutuhkan seseorang yang bisa membantuku menjaga Tabitha, apalagi aku berniat akan ikut kursus menyetir, dan aku tak perlu khawatir meninggalkan Tabitha jika hendak bepergian. Pesan Mamak, aku tak boleh membawa Tabitha ke mana-mana dulu sampai umurnya genap tiga bulan.
“Oke, Mas akan cari babysitter yang pas untuk Tabitha,” ucapnya riang. Aku hanya mengangguk tanda setuju.
Selesai makan aku membereskan meja dan mencuci piring yang baru kami gunakan. Sementara mas Adnan sedang asyik dan bersantai menonton televisi di ruang keluarga.
“Mas, ada yang mau aku omongin,” ucapku, mendekat lalu duduk di sampingnya.
“Iya, bilang saja,” ucapnya, matanya masih lekat pada televisi.
“Mas, beliin aku mobil ini, ya.” Aku menunjukkan gambar sebuah mobil mewah dari gawaiku.
“Untuk apa, kamu kan gak bisa nyetir?” Ia menoleh.
“Aku mau jadi istri mandiri, Mas. Biar tidak merepotkan kamu kalau mau ke mana-mana. Aku juga sudah daftar kursus menyetir.” Ia tertawa mendengar penuturanku, lalu mengacak-acak rambutku.
“Kamu kan udah mandiri, buktinya sekarang udah punya butik sendiri. Kalau mau bepergian ‘kan bisa nak taksi.”
“Justru itu, Mas. Aku gak mau naik taksi lagi kalau ke butik. Kan lebih enak kalau bawa mobil sendiri, belikan, ya, Mas!” Aku memasang tampang memelas.
“Kamu yakin bisa menyetir sendiri?”
Ia tampak ragu dengan kemampuanku.
“Yakin, Mas. Kamu keberatan mengeluarkan uang buat beli mobil? Bukannya kamu udah janji akan turutin semua kemauanku setelah memberimu seorang anak?” Aku meninggikan suara, mengingatkan kembali akan janji yang pernah diucapkannya waktu itu.
Ia masih tak bersuara, bisa kulihat ekspresinya yang mulai gelisah.
Aku yang terlanjur kesal lantas meninggalkannya menuju kamar dan menelungkup di atas ranjang.
‘Apa yang kamu pikirkan, Mas? Apa kamu bingung bagaimana cara membagi uang untukku dan istri barumu? Bukannya dulu kamu akan selalu menuruti keinginanku. Namun, sayangnya selama ini aku terlalu baik. Tak pernah berpikir buruk tentangmu sehingga enggan meminta hal yang memberatkan dirimu, hanya sekedar meminta emas dan perhiasan saja. Bagiku kesetiaan dirimu lebih berharga daripada harta. Namun, sekarang aku sadar. Setelah aku tak lagi mendapat kesetiaan darimu, maka aku harus mendapatkan semua hartamu.’
Aku yang hampir dibuai mimpi tersadar saat kurasakan sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut. Ya, mas Adnan sudah ada di sebelahku, berbaring sambil memelukku.
Aku terkesiap, lalu berusaha melepaskan diri dari tubuh yang tidak lagi menjadi milikku seutuhnya, ia telah membaginya pada wanita lain. Rasanya aku tak sudi melekatkan tubuh pada orang yang telah menodai pernikahan ini.
“Sayang, maaf, ya. Mas akan penuhi janji mas waktu itu. Mas sudah menelepon pemilik showroom di dekat sini untuk mengantarkan mobil yang kamu suka besok.” Ia berucap lalu mengecup mesra tanganku. Dulu, hal sekecil itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga, aku seakan terbang terbawa angan. Namun kini, perlakuannya barusan terasa menjijikkan. Aku bahkan ingin sekali mengambil sanitizer untuk membersihkan sisa kecupannya di tanganku.
“Benaran, Mas? Terima kasih. Kamu memang suami yang baik dan tak pernah mengecewakanku,” ucapku berpura-pura, setidaknya aku harus bersikap manis karna akan segera memiliki mobil mewah seharga ratusan juta.
Tepat pukul sepuluh pagi mobil yang dijanjikan mas Adnan sudah terparkir rapi di garasi rumah. Diantar pihak showroom menggunakan truk towing yang berhenti di pinggir jalan. Menyisakan sebagian ruang untuk mobil mas Adnan nanti masuk. Garasi selebar tujuh meter itu akan terisi dua mobil, milikku dan suamiku.Nanti saat jam istirahat, mas Adnan akan pulang dan membawaku pergi untuk mengurus segala keperluan sehingga mobil idamanku itu akan sah atas namaku.Sebagai kepala staff bagian quality control yang berpenghasilan hampir puluhan juta, membuat mas Adnan dengan mudahnya membelikanku sebuah mobil, apalagi perusahaannya baru saja memenangkan tender pembangunan proyek besar di Sumatra Barat. Ini adalah masa-masa emas bagi mas Adnan setelah enam tahun bekerja dan hanya menjadi staff biasa di perusahaan itu. Artinya, sebelum menikah mas Adnan memang sudah bekerja di perusahaan yang sama, namun setelah menikah karirnya perlahan meningkat seiring naiknya posisi dan jabatannya di perusahaan
Oek ... Oek ... OekTabitha yang terlelap digendonganku tiba-tiba terbangun, menyadarkanku dari ilusi yang mungkin akan menghancurkan aku dan rencanaku.Tak hanya menangis, bayiku bahkan muntah, mengeluarkan kembali asi dari hidung dan mulutnya. Tangisannya semakin kencang, sementara aku tak tahu harus berbuat apa.“Zahira, kenapa Tabitha sampai muntah gitu?” Mama hendak mengambil Tabitha dariku, saat tangannya baru saja meraih tubuh kecil itu, mas Adnan merebutnya kembali.“Tabitha, sayang, kamu kenapa, Nak?”Mas Adnan cemas. Ia menimang pelan putri kecilnya yang masih menangis.Aku mengambil tisu, membersihkan kotoran yang menempel pada baju Tabitha. Bersiap duduk di sofa, mengambil Tabitha kembali untuk menyusuinya.Bukannya diam, ia malah semakin menangis, kurasakan hangat pada sekujur tubuhnya.“Tabitha panas, Ma.” Aku mendongak, menunggu respon dari mama. Ia juga tampak panik sepertiku. Tapi, mama kalah cepat ketimbang mas Adnan.“Bawa ke kamar, sayang. Ganti bajunya dan cek suh
Aku mengantar Renita menuju gudang di belakang rumah. Bangunan ini akan menjadi tempat tinggalnya selama bekerja di sini. Meskipun mama berkali-kali memintaku untuk mengizinkan Renita tinggal di kamar tamu, tapi aku sama sekali tak menanggapinya. Kamar itu disediakan khusus untuk tamu, selain Mamak, biasanya Lula atau Dipo yang akan menempatinya.Dipo adalah adik lelaki mas Adnan yang sedang kuliah jurusan seni di Universitas Negeri Medan. Ia sering datang tiba-tiba pada malam hari dan bermalam di sini.“Kamu bersihkan saja dulu, gudang ini tidak terlalu buruk. Lagipula, semua fasilitas lengkap di sini,” ucapku ketika membuka pintu gudang yang aslinya adalah sebuah klinik yang didirikan oleh pemilik awal rumah ini.Bangunan yang bahkan bisa disebut rumah itu mempunyai kamar mandi dan dapur tersendiri. Jadi, aku memerintahkan Renita untuk tidak berlama-lama di rumahku. Cukup datang ketika harus beberes di pagi dan sore hari atau ketika aku membutuhkannya. Bagian masak-memasak tetap aku
Aku memandikan Tabitha dan memakaikan sebuah dress cantik bergambar kelinci yang dihadiahkan Dipo. Dipo memang sangat perhatian kepadaku dan Tabitha, tetapi entah mengapa ia tak begitu akrab dan peduli kepada Mas Adnan, saudara kandungnya sendiri.Wajah mereka sangat mirip, bahkan bentuk alis dan bibirnya sangat serupa. Hanya saja Dipo terkesan asal, rambutnya dibiarkan panjang sebahu dan berkumis tipis. Gaya berpakaiannya juga tak semodis mas Adnan. Kata mas Adnan wajah mereka mewarisi almarhum papa. Sedangkan Lula mewarisi wajah mama.Selama lima tahun menjadi bagian dari keluarga ini, aku sama sekali tak pernah tahu wajah almarhum papa seperti apa. Mereka sama sekali tak pernah menunjukkan potretnya padaku.“Zahira, Zahira.” Terdengar suara Masli dari luar, aku mengintip dari jendela sambil membawa Tabitha dalam gendongan. Masli berdiri di depan pagar sambil terus memukul- mukul pagar, padahal ada Renita sedang berdiri di depannya.Aku bergegas turun menemuinya, sepertinya terjadi
Sudah lima hari aku mengikuti kursus mengemudi dan aku sudah cukup lihai berkendara di keramaian. Sang instruktur sudah memberikan sebuah sertifikat tanda selesai pelatihan dan memberikan beberapa berkas yang harus ditanda tangani untuk pengurusan Surat Izin Mengemudiku dari kepolisian.Lima hari pula Masli bolak balik ke rumahku untuk menjaga Tabitha dan mendesain kamarnya. Sebenarnya Masli bisa saja menyelesaikannya dalam dua hari, tapi aku sengaja memintanya untuk mengulur waktu agar sesuai dengan waktu kursusku, yaitu lima hari.Kamar itu sudah rampung, Masli mengubahnya menjadi bernuansa pink dan putih yang indah dipandang mata. Beberapa aksesoris berbentuk Hello Kitty di pajang pada sebuah meja dekat jendela. Dinding dan lemari juga ditempeli stiker bergambar kartun kucing imut itu. Aku jadi lebih suka menghabiskan waktu di kamar ini, selain untuk menjaga Tabitha, juga untuk menghindar dari mas Adnan.Hari ini Mas Adnan kembali lebih awal. Kantornya memperbolehkan karyawan khusu
Aku meninggalkan mereka dengan perasaan yang penuh teka-teki. Apakah ini bagian dari sandiwara mereka atau memang ada hal lain yang memang disembunyikan. Sepertinya aku harus memasang cctv di rumah ini.“Aku jadi tidak bersemangat mau keluar malam ini, Mas!” keluhku pada mas Adnan saat sudah berada di kamar. Aku melipat kedua tanganku, berdecak kesal.“Kenapa sayang, apa karna ulah Renita tadi? Kalau memang kamu tidak suka, aku bakalan pecat dia sekarang juga,” ucapnya, bergegas hendak keluar kamar. Aku mencekal pergelangan tangan suamiku, bermaksud untuk mencegahnya.Aku menggeleng pelan, memberi isyarat agar mas Adnan tak perlu melakukannya. Ke mana wanita itu akan pergi jika ia tak di sini lagi. Lagipula, akan sulit bagiku mengetahui apa yang nanti mereka lakukan di luar sana. Bisa jadi ini hanya akal–akalan mas Adnan, agar Renita bisa keluar dari rumah ini dan akan lebih leluasa menemuinya di tempat lainlaiTerlebih lagi, ia merasa aku selalu memperhatikan setiap gerak geriknya. A
Saat jarum panjang menunjuk angka sembilan, di situlah terdengar deru mesin mobil mas Adnan di depan rumah. Aku mengintip dari jendela kamar. Mas Adnan keluar setelah mematikan mesin mobilnya, tanpa membawanya masuk ke garasi.Ia berlari kencang masuk ke dalam rumah. Disusul mama yang tampak kepayahan memapah Renita yang masih terlihat tak berdaya. Aku segera turun menemui mereka, berlari menapaki anak tangga rumah ini.Mas Adnan tampak terburu-buru, ia baru saja memasukkan ponsel ke kantong celananya.“Sayang, tolong siapkan pakaian kerja. Mas harus ke luar kota malam ini juga, ada pekerjaan yang harus diselesaikan!” ucapnya, mengayunkan kaki menaiki tangga.“Kenapa mendadak begini, Mas. Makan malam kita?” Aku bertanya sembari memohon, membuatnya urung meneruskan langkah.“Maaf, sayang. Mas tidak bisa menunda pekerjaan ini. Lagi pula, ini sudah jam sembilan malam, terlalu larut untuk pergi ke restoran.” Ia menghampiriku, menuruni dua anak tangga di bawahnya.“Sampai kapan, Mas?”Saat
Dengan lihai aku memandikan Tabitha serta mengeramasi rambut hitamnya. Tiga bulan menjadi ibu membuatku perlahan paham bagaimana merawat bayi dengan baik. Aku sering mengoleskan minyak kemiri asli buatan mamak sehingga di usianya yang masih bayi, Tabitha memiliki rambut berwarna hitam legam sekaligus lebat.Aku memasukkan Tabitha di stroller dan membawanya menuju halaman depan. Tangannya mulai belajar menggenggam mainan kecil yang berbunyi. Sesekali ia tertawa menampilkan gusinya yang berwarna merah muda.“Tabitha cantik, sini yuk sama Oma.”Mama keluar dari balik pintu dan langsung menghampiri aku dan Tabitha yang tengah duduk di sebuah bangku di antara taman kecil rumah ini. Kebetulan aku sangat suka menanam bunga krokot, selain banyak warnanya, bunga itu juga sangat mudah tumbuh di mana pun.“Kita lihat ikan, ya, sayang!”Mama membawa Tabitha menuju kolam ikan kecil di dekat pintu garasi. Ada beberapa ekor ikan koi di kolam berukuran 2 x 0,5 meter di sudut sana.Aku melirik dari uj
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid