"Jangan b*doh, Renita. Bayimu itu manusia, jangan sekali-kali kau lakukan dua tindakan bodoh itu. Jika kau sempat melakukannya, aku tidak akan tinggal diam!" hardikku marah. Bagaimana seorang ibu bisa berpikiran seburuk itu pada anaknya, meskipun tanpa ayah, anak itu berhak hidup seperti bayi lainnya."Kenapa kau yang jadi repot, Zahira? Apa karena kau tidak punya anak laki-laki?" cibirnya padaku. Dalam kondisi seperti sekarang ini, ia masih sempat mengulik tentang kekuranganku.Wanita itu mencebik, ia merasa lebih unggul karena telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sampai detik ini, tidak diketahui siapa ayah biologisnya."Dia mulai kurang ajar, Bu. Ayo katakan padanya tentang keputusan Ibu, agar wanita ini bisa berbicara sedikit sopan," sergah Lula geram. Renita seperti tak sadar dengan apa yang ia terima saat ini, ruangan VIP dan pelayanan baik yang ia terima di rumah sakit ini karena uang kami. "Sudah kubilang, pergilah kalian dari sini. Aku tidak sudi melihat kehadiran k
"Mak, Mamak kenapa?" ucapku ketika melihatnya duduk sembari menerawang jauh ke luar jendela. Wajahnya sembab seperti habis menangis."Mak!" Kusentuh bahunya, namun ia hanya diam, bungkam dengan buliran bening yang mulai jatuh membasahi pipi.Mamak sedang berada di kamar Tabitha yang kini dihuni Marwah, sendirian. Aku baru saja masuk ke sini untuk meletakkan Tabitha dalam ranjang box-nya, karena putriku tertidur pulas sepanjang pulang dari supermarket tadi. Niatku hendak kembali turun barang meminum seteguk air lalu pergi mandi, karena Bu Yati bersama kedua adikku sedang merapikan bahan belanjaan. Akan tetapi, aku langsung menghampiri mamak yang sedang duduk menghadap ke jendela, ketika menyadari ada sesuatu yang lain sedang terjadi padanya."Mamak kenapa menangis? Apa aku punya salah, maafkan kalau sikapku telah menyinggung mamak. Aku minta maaf, Mak!" ucapku lemah. Barangkali mamak memang benar-benar marah atas sikapku dan juga keluarga suamiku. Jika begitu, aku akan menjelaskan semu
Ranjang itu telah kosong ketika aku keluar dari kamar mandi. Yang tersisa hanya selimut dan bantal yang tak lagi berada di tempatnya. Setelah berpakaian, kurapikan tempat itu dan keluar untuk memeriksa Tabitha. Rupanya ia sudah mandi dan sedang diberi makan oleh Bu Yati.Aku pun kembali masuk ke kamarku dan merebahkan diri di sana, meluruskan persendian dan memejamkan mata yang kelopaknya terasa kian berat.Tok ... Tok ... TokSuara ketukan yang berderet memaksaku untuk segera membuka mata. Lamat-lamat kupandangi jam dinding yang rupanya sudah bergulir di angka delapan. Rupanya aku sudah tertidur hampir empat jam lamanya, namun letih di tubuh ini masih juga belum berkurang."Kak Zahira bangun, Kak!" Suara Marwah terdengar memanggil dari balik pintu. Panggilannya semakin terdengar sering karena aku tidak kunjung menyahut. Saking lelahnya, bibir ini pun terasa berat walau untuk sekedar bersuara, kupaksakan tungkaiku berjalan menuju pintu lalu menariknya agar segera terbuka. Aku mengu
"Za-zahira!" Ia kaget bukan kepalang, mungkin jika jarak kami tidak terlalu jauh, aku akan mendengar degupan jantungnya. Bahkan wajahnya lebih pucat dari pada saat bertemu di rumah sakit."Iya, ini Zahira, bukan hantu!" sindirku terkikih. Sudah dua kali aku tak sengaja bertemu dengannya, dan dua kali pula ia tampak ketakutan.Ia masih gelagapan dengan ponselnya. Dari benda itu kudengar suara manja seorang wanita yang memanggilnya dengan sebutan sayang. Pastinya, itu bukan suara Masli. Namun, suara itu kedengaran tak asing di telingaku.Lelaki itu lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja, setelah memutus paksa panggilan video yang sedang berlangsung. Sayangnya, layar ponsel itu mengarah ke depan wajahnya sehingga aku tidak dapat melihat siapa lawan bicaranya."Kamu beli pakaian bayi! Untuk siapa?" tanyaku, sebab ada rasa ingin tahu yang begitu membuncah di dalam dada.Kemarin ia datang ke rumah sakit bersalin, dan hari ini ia membeli pakaian bayi. Lelaki itu terlihat gugup den
Sekali lagi, ia menghindar dariku dan menepis cengkraman tanganku."Zahira ... apa kau ingin menyamakan suamiku seperti Adnan? Dia memiliki wanita lain dan menyembunyikannya dariku?" ketus Masli. Ucapannya semakin mengada-ngada, ia malah kembali membasahi luka di masa laluku."Tapi mas Adnan hanya terpaksa, Li. Berbeda dengan suamimu!""Sudahlah, Zahira. Kenapa kau malah sibuk membahas tentang rumah tanggaku di pernikahan adikmu? Sapalah para tamu undangan yang hadir di sini, karena bukan cuma aku tamu yang hadir!" Wanita berkebaya merah itu melongos begitu saja. Ia meninggalkan aku sendiri tanpa mau mendengar penjelasan yang lain.Terpaksa, aku kembali berbaur dengan tamu undangan yang lain. Bertegur sapa dan saling menanyakan kabar berita. Bagaimana bisa aku tidak peduli dengannya sementara ia lah orang satu-satunya yang bersedia membantuku ketika Mas Adnan kedapatan menikah lagi dengan wanita lain. Ia yang paling terdepan dalam membantu dan meringankan bebanku. Bahkan, jika tidak
Ya, memang benar yang dikatakan Masli. Aku tidak bisa menyangkal hal itu. Akan tetapi, aku akan menyelidikinya lebih jauh. Aku akan mencari bukti yang lain untuk mengarahkan petunjuk ini. "Bagaimana, Mbak? Sudah cukup informasinya?" sela Pak Ramses ketika kami sibuk berdebat di hadapannya."Ya, cukup, Pak. Tapi mungkin nanti saya akan butuh bantuan bapak lagi. Saya harap bapak bersedia menolong kami. Biar hal ini akan menjadi rahasia di antara kita.""Tergantung ...." ucapnya sarkas."Iya, saya tahu maksud bapak. Kami tidak akan membawa tangan kosong ke sini!" Dasar mata duitan, batinku kesal."Baiklah!" ucap lelaki itu sembari menaikkan sebelah alisnya ke atas.Aku pun mengajak Masli untuk pergi dari kawasan perumahan Evergreen tersebut. Sambil memikirkan rencana lain yang aku akan lakukan besok. Namun, sekarang aku harus kembali ke ballroom. Sudah terlalu lama aku di sini dan mungkin salah satu keluarga sedang mencari keberadaanku yang pergi tanpa permisi."Dari mana kau tahu kalau
Tangan Masli mengepal kuat. Napasnya memburu karena emosi yang memuncak. Namun tak ada air mata di sana, yang ada hanya kilatan amarah yang memancar terang."Benar, Ra. Ternyata orang yang sama," lirihnya dengan nada menekan.Ku elus bahunya yang naik turun karena pertukaran udara dan emosi. Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Akhirnya, Masli harus merelakan pernikahannya luluh lantah hanya karena satu manusia yang sama, yang juga pernah mengganggu pernikahanku. Bedanya, Mas Adnan terpaksa menjalin hubungan dengan Renita karena dorongan mama Sarmila, sementara jalinan Riswan dengan Renita memang atas dasar saling suka.Kami pun mengucapkan terima kasih pada Pak Yudi atas kebaikannya. Tak lupa pula meminta file dari potongan berdurasi enam menit tersebut. Rekaman itu akan menjadi bukti yang kuat bagi Masli.Kubiarkan Masli menumpahkan semua air mata ketika kami sudah berada di dalam mobil. Sahabatku sedang patah hati hebat, namun ia tak ingin tinggal diam. Ia ingin membe
TringBeberapa notifikasi di acara live Facebook mulai berdatangan. Ada yang menekan emot marah dan tertawa, ada pula yang mengirim komentar malu dan kecewa. Apalagi Masli turut menandai akun milik suaminya, sehingga ada beberapa rekan kerja, mahasiswa dan keluarganya ikut menyaksikan tayangan live yang sudah kurekam sejak tujuh menit belakangan.Berbagai jenis kalimat umpatan dan makian terpampang jelas di layar. Semua menyayangkan perbuatan Riswan yang dianggap tidak sesuai dengan profesinya.Untungnya pohon tempat kami berdiri cukup rimbun, sehingga kedua orang itu masih tidak menyadari kehadiran kami di tengah-tengah mereka."Tolong, Ce, jangan buat tambah keruh suasana. Kami sedang difitnah, Cece jangan menambah fitnah yang baru! Saya bisa tuntut Cece atas pencemaran nama baik," sahut Riswan setelah kedua bola matanya terbelalak lebar mendengar penuturan wanita Tiong Hoa tersebut."Saya gak fitnah, saya tahu dari Pak Satpam. Kalau kamu tidak terima, tunjukkan saja buku nikah kali
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid