Jaeran yang baru bangun tidur siang menatap paras sang isteri penuh damba dibelainya wajah itu hingga membuat sang empunya merasa risih. Pemuda itu mengecup bibir Rosa sekilas sebelum lelaki itu beranjak dari tempat tidur, Jaeran tak pernah merasa tega menganggu waktu istirahat sang wanitanya. Sekiranya ia dapat membantu dalam pekerjaan rumah tangga maka lelaki itu akan bantu sebisanya saja, pada saat ia ingin melangkah keluar dari kamarnya tiba-tiba sebuah genggaman lembut menyelinap kesela-sela jemarinya. Rosa membuka kelopak matanya yang begitu indah, ditatapnya wajah sang suami khas orang bangun tidur. "Aku kelamaan tidurnya ya?" Jaeran menggeleng pelan tangannya tak berhenti mengusap wajah sang isteri.
"Justru aku mikir, ... aku ganggu kamu tidur ya?" Rosa menghela panjang dan kemudian beringsut duduk seraya menggenggam tangan besar lelaki itu.
"Kamu gak ngusik aku, Na."
Entah kenapa ada rasa takut yang menyelimuti hati Jaeran saat ini mengingat perihal saran yang diberikan oleh Herina tadi siang, ... Jaeran tak pernah berpikir untuk memanggil adiknya sendiri buat merawat wanita yang memegang status sebagai kakak ipar pemuda itu. "Rose, kalo Jerome yang rawatm kamu setuju gak?" Rosa diam sejenak lalu menatap manik kelam lelakinya.
"Aku gak masalah kalo kamu gak keberatan, ... apalagi dia adikmu kan?" Meski begitu tetap saja ada rasa gelisah yang menyeruak di dalam hati lelaki Minendra itu.
"Aku bakal setuju, kalo kamu cium di sini." Ucap Jaeran yang menunjuk bibirnya, Rosa terkikik melihat tingkah manja sang suami. Perempuan menciumnya sekilas namun lelaki yang tengah menempel kedua bibir mereka itu tak melepaskannya begitu saja.
Jaeran menekan tengkuk sang isteri dan membuat Rosa kehabisan oksigen, pemuda itu memang sang agressif dalam melakukan intim tangan besarnya mengusap lembut punggung sang isteri dan membuat wanitanya merasa geli. "Eung, ... Na." Jaeran melepaskan pangutan mereka dan menatap manik sang isteri.
"Hm?"
"Aku, ... mau pipis, aku ke kamar mandi dulu." Rosa berpikir Jaeran akan melepaskannya begitu saja dengan beralasan ke kamar kecil, namun nyatanya tidak. Lelaki tersenyum manis dan tak melepaskan tautan jari mereka.
"Bareng ajh, ... aku juga kebelet," perempuan itu terdiam ditempatnya menatap paras sang suami yang tak ada celahnya dari kata tampan. Jaeran merasa isterinya tak bergerak dan hanya menatapnya sayu, dahinya mengerut heran. "Kenapa? Gak jadi?"
"Na, ... aku malu," lelaki itu diam sesaat lalu berpikir tentang pengakuan sang isteri barusan, pemuda itu terkekeh. Ia sudah lama tak melihat sikap tersipu Rosa, jujur ia sangat rindu.
"Gak perlu malu, hm?" Jaeran menggesek hidungnya pada hidung sang isteri, perempuan itu mengangguk lalu mengikuti langkah besar pria yang memimpin jalan mereka. Saat sampai di dalam kamar mandi lelaki itu benar-benar tak melepaskan sang isteri begitu saja Jaemin melanjutkan aktivitas erotis mereka di dalam sana.
Lami yang baru sampai merasa rumah sang kakak tampak begitu sepi dan kosong, gadis itu mencoba melakukan panggilan dan ia terkejut melihat ponsel kakaknya tergeletak begitu saja di atas nakas. "Apa kak Rosa gak bawa ponsel ke manapun ia pergi. Dan satu lagi mana mas Jaeran? Kok rumah sepi banget." Gadis itu menggerutu kecil karena rumah tampak begitu senyap, butuh beberapa waktu anak perempuan itu menunggu.
Jaeran terkejut dengan kedatang adik dari sang isteri, "lho Lami? Udah lama?"
"Sejam, ke mana ajh sih!" Protesnya yang hanya dibalas kekehan ringan dari sang kakak ipar. "Kok rumah sepi! Mas Jaeran gak berbuat yang iya-iya sama orang lain kan, selain kakak kan?"
Jaeran sudah menduga akan hal itu, Lami dengan pikiran negatifnya. Lelaki itu bahkan sampai bersumpah saat meminang sang kakak dari gadis yang duduk dihadapannya. "Astaga, masih ajh ..."
Lami tak peduli dengan ujaran pasrah kakak iparnya itu, gadis itu beranjak dari sofa dan melangkah dengan santai lalu memasuki kamar kakaknya itu. "Kamu ke sini dek," tegur Rosa yang menyadari kehadiran adiknya itu.
"Iya kak, udah sejam. Kakak ke mana sih? Aku tuh nunggu dibawah kaya orang tolil tau gak, mana ponselnya ketinggalan. Kan aku mikirnya kakak pergi, ..."
"Ya enggak ding, nanti suami kakak siapa yang urus."
"Suami kakak gak perlu diurusin, udah besar," Rosa terkekeh saat mendengar penuturan gak suka sang adik terhadap suaminya itu, atau mungkin saja Lami masih belum bisa menerima Jaeran sepenuhnya.
"Kamu ini, ..." Lami menatap wajah Jaeran dengan gurat tak suka, kemudian gadis itu berdecih kecil ketika melihat tingkah mesra kakaknya.
"Ada gue lho mas," Jaeran tak bisa berbuat apa-apa jika Lami berada dirumah mereka. Pemuda itu menatap gusar sang isteri kemudian menggenggam erat tangan Rosa.
"Lami," tegur perempuan yang berada di atas ranjang itu. "Na, jangan ambil hati, ..." Jaeran tersenyum tipis, lalu beranjak pergi dari kamarnya untuk mengambilkan adik iparnya minum. Selepas Jaeran pergi, Rosa melirik sinis Lami dan mendesis pelan. "Kamu bisa gak si, bersikap sewajarnya?" Desisnya muak dengan tingkah Lami.
"Kakak gak inget? Wajah itu kan yang buat kakak kaya sekarang? Nanda, cih. Dulu kakak agungkan nama itu!!" Teriak Lami, bahkan sampai saat ini Jaemin hanya mengetahui sepenggal kisah kelam sang isteri melalui sahabat baik Rosa saja. Perempuan itu diam dan menatap adiknya tak percaya, lalu menghela gusar.
"Lami tingkah kamu udah terlewat batas!? Kakak gak pernah minta kamu buat melakukan hal yang gak kamu suka kan?!! Tapi apa begini caramu bersikap pada orang yang lebih tua!?" Bentak Rosa yang tak membuat Lami terkejut.
"Kakak masih sama! Masih dengan perasaan itu! Kakak inget, dulu siapa yang buat kakak kaya gini? NARENDRA, KAK!!! DAN SEKARANG KAKAK AGUNGKAN LAGI NAMA ITU?!! KAKAK TUH HAMPIR GILA GARA-GARA LELAKI BIADAB ITU---" suara tamparan keras terdengar dari luar kamar dan itu membuat Jaeran terkejut dengan hal yang dilakukan sang isteri begitupula dengan Lami yang sama terkejutnya.
Lami tak merasa sakit hati dengan perlakuan kakaknya, gadis itu ingat bagaimana kondisi kakaknya saat ini. Gadis itu berlalu begitu saja dan meninggalkan tanya pada Jaeran yang melihat wajah kedua begitu murung. Rosa menunduk menahan rasa sakit yang kembali menyeruak dalam lubang lukanya yang hampir menutup ingatan di mana masa-masa indahnya bersama sang mantan kekasih hadir kembali. "Na, ..." lirihnya, yang hanya dibalas helaan panjang.
"Gak apa-apa, Lami tau bagaimana kamu, dia adikmu yang paling dirimu sayang ..." pertengakaran itu membuat lukanya semakin terasa sakit. Rosa merasa ia hanya butuh Jaemin berada disisinya untuk saat ini, perempuan itu tak butuh hal lain. Hanya Jaeran. Obat penenangnya. Bahkan perempuan itu tak butuh Jerome sepertinya, tetapi entahlah tak ada yang tau juga seberapa berarti Jerome dihidup Rosa nantinya.
Kali ini Jaeran tak berpikir dua kali untuk menghubungi sang adik, karena tak mau semua semakin kacau. Jaeran terpaksa menghubungi Jeno yang sedang melakukan magang disalah satu klinik kecil. Setelah menghubungi Jerome, Jaeran duduk menghampiri Lami yang lagi menahan air matanya. "Kalo mau nangis, nangis ajh. Gak apa-apa, Lam. Gak semua orang sama dengan lelaki yang sebelumnya mengisi hati wanita yang kita cintai. Kalo itu mengenai wajah gak ada yang mau dilahirkan memiliki wajah yang serupa ... gak ada, Lam." Jaeran beranjak dari duduknya dan mengangkat telepon dari rumah sakit.
Lami terdiam ia merasa menyesal telah tidak menyukai sang kakak ipar, seharusnya ia menerima pemuda itu dengan menutup lembaran lama.
Malam itu kedua pasangan ini mendapat undangan makan malam dari teman lama Jaeran, meski Rosa mengenalnya jelas perempuan bergaun maroon itu terlihat begitu tak bersemangat. Lelaki yang berdiri disamping sang isteri tentu menyadari perubahan ekspresi wanitanya, Jaeran menghentikan langkahnya kemudian menatap seksama perubahan kondisi isterinya. "Rosa, kamu sakit?" Perempuan itu menggeleng lemah. Jelas sekali perempuan itu berbohong, Jaeran melanjutkan langkahnya dan terus menggenggam tangan sang isteri."Kamu duluan ajh, Na. Aku cari air dulu, ..." Jaeran tampak ragu melepas sang isteri, dengan berat hati lelaki itu melepaskan tautan mereka."Aku ambilkan saja," Rosa menggeleng untuk menolaknya."Gak apa, aku bisa." Jaeran tak yakin Rosa terlihat fit saat ini, wajah lemasnya begitu tergambar sekali. Karena khawatir pemuda itu memilih untuk mengikutinya, saat lagi berjalan tak sengaja Jaeran menabrak salah satu teman sekolahnya. Dan
Aisya menatapi wajah Jerome yang terlihat begitu frustrasi berada dikediaman kakaknya itu, perempuan itu mendengus geli saat mengubah pandangannya ke arah dua manusia yang sedang bermesraan. Aisya tau bagaimana perasaan lelaki yang ada disebelahnya itu, sangat tau. Perempuan menepuk pelan pundak Jerome yang lagi termenung sendiri. "Apa loe tuh gak bisa move ke cewek lain gitu, Jer. Itu ipar loe sendiri lho, ..." dengus perempuan tersebut.Helaan berat keluar begitu saja dari lelaki yang mengurus surat-surat perpindahan kerjanya. "Gue gak ngerti lagi, Ai. Semua udah gue coba. Pacaran sama Mia, menerima perjodohan nyokap, sampai tunangan sama Hilda juga. Tapi gue gak ngerti sama sekali, ... waktu kemarin kak Rosa pingsan dengan tanggap gue tinggalin semuanya. Loe bayangin ajh, gue yang lagi sibuk meninggalkan semuanya cuma buat dia doang, sedangkan Hilda yang selalu minta gue temani gak ada waktu sedikitpun." Jelas Jerome yang kembali menatap sendu keluarganya itu, Ai
Rosa tertidur di sofa ruang tengah ditemani Jerome yang sedang mengerjakan tugas akhirnya, Jaeran menatap sinis wajah sang adik yang menjadi pahanya bantalan sang isteri. Wajah damai Rosa membuat hati keduanya merasa tenang namun itu tak berselang lama ketika Jaeran hendak memindahkannya, lengan besar sang adik menghalanginya. Tak peduli apa yang dikatakan oleh sang adik, lelaki itu mengangkat tubuh sang isteri dengan kasar hingga membuat tidur Rosa terusik. Jerome menggeleng pelan melihat perangai sang kakak yang amat begitu tidak suka dengan kehadirannya dikehidupan mereka. "Loe gak bisa pelan?" Tegur Jerome yang membuat Jaeran menghentikan langkahnya tanpa menoleh. "Ke mana ajh loe? Gak tau isteri lagi butuh? Apa loe sebenarnya menikahi Rosa cuma berdasarkan rasa iba?" Jaeran menggeram lalu menatap wajah polos isterinya."Jaga itu mulut ya, ..." geram lelaki itu yang kembali melanjutkan langkahnya. Mendadak hatinya ngilu saat memandang raut cemas dalam damai Rosa
Jaeran terkejut dengan sikap isterinya yang tiba-tiba berubah saat berada ditempat temannya, ah, ya, ... temannya pasti akan sangat terkejut dengan apa yang telah mereka lihat pasalnya wanitanya itu tak pernah mau menghentikan pengobatan yang dijalaninya, Rosa tak sendirian di sana ada Jeno serta Herina yang turut menenangkannya, padahal wanita cantik itu hanya meminta izin mengambil sebuah minuman saja. Tetapi apa yang telah ia lewatkan sehingga isterinya berteriak marah pada semua orang, lelaki itu memegang tangan perempuan yang memandangnya entah dengan tatapan mata apa. Yang jelas ketika mereka saling menatap satu sama lain, terpancar rasa lelah yang menyelimuti hatinya, Rosa menggeleng kepalanya perlahan sambil memeluk tubuh besar di depannya itu. Jerome menghela kasar lalu melangkah pergi meninggalkan keduanya yang sama-sama tidak ingin diganggu oleh siapapun, Herina tentu mengerti bagaimana perasaan pemuda itu.Lami berlari-lari menuju k
Rosa sedang mencuci piring dan Jaeran baru saja mengirim laporan rekam medis terakhirnya, perempuan menggeleng saja ketika melihat sifat kekanakkan sang suami. Saat ponsel Jaeran berdering sesaat pemuda itu melirik sang isteri yang masih dengan urusan dapur, ... Jaeran berjalan ke arah depan lalu mengangkat teleponnya itu. Rosa yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu berhenti ketika sang suami tampak terlihat tertawa dengan riangnya. Pria itu mematikan sambungannya lalu berjalan begitu saja tanpa menyadari sosok isterinya, desir sesak menjalar direlung hati perempuan itu. Rasanya seperti ada yang beberda dari sang suami. Jaeran menghentikan langkahnya lalu mengecup sekilas pucuk kepala Rosa, “aku keluar dulu ya, ...” wanita itu meneguk ludah kasar. Ouh, ayolah, sudah berapa lama ia mengenal sang suami? Itu yang ada dipikirinnya.“Bukannya kamu udah janji bakal menemaniku seharian?”
Jena tak mengerti apa dengan mengapa anak bungsu masih tetap bertahan pada perasaan yang bahkan, orang itu tau jika akan terlalu mengambil resiko tinggi jika melawan kakaknya sendiri. Jerome menatap wajah sang mama yang tampak mengerutkan keningnya ingin bertanya, namun lelaki itu memilih diam dan tak mengatakan apapun, ah, ya, itu akan menjadi rasa yang ingin ia pendam sendiri. “Mau sampai kapan?” Tegur sang mama yang membuat pemilik eyes smile itu menoleh.“Maksudnya?” Lelaki itu bertanya balik, mama mendengus dingin lalu menggeleng sambil menunggu perkejaan anaknya itu selesai. Ah, apa mamanya akan membahas hal yang sama, ... Perasaan haram itu? Katakan tidak jika itu benar. “ Mama gak ada maksud buat bahas tentang alasan itu lagi kan?” Tegas pemuda itu yang mendadak menjatuhkan rahangnya.“Jer!” Tegur sang mama yang tampa
Perempuan itu membanting pintu rumah lalu berlari ke kamarnya, ia mengunci pintu kamarnya ditatapnya dirinya dalam cermin seketika pikirannya menguasai hati yang sedang kalut. “Loe bahkan gak pantas buat diperjuang sama siapapun!” Isaknya kecil lalu meraba benda tumpul yang ada di dalam laci, ... Jaeran terus berlari hingga masuk ke dalam rumah. Suasana hatinya benar-benar kacau dan tak tenang bayangan sang isteri dimasa kelamnya terus saja menghantui benak pemuda sukses itu.“Rose, ... buka ini aku,” tak ada sahutan dari dalam sana, Rosa terduduk dengan sayatan yang masih terbuka matanya menatap kosong sisi kiri ranjang tempat tidur. Mendadak sosok Jaeran terlintas dalam tatapan kosong itu, ... Rosa tersenyum getir.“Na, ... kamu tau?” Kini posisi mereka saling duduk berbelakangan. Hanya sebuah dehaman yang menjadi respon diantara mereka.“Hm,”
Rosa menutup pintu kamarnya dan menyimpan seluruh obatnya di selipan pakaian, perempuan itu menghela nafasnya pelan. Ia tak yakin jika hidupnya kembali normal seperti sebelumnya, namun Rosa sangat yakin jika dirinya bugar maka Jaeran tak akan melihat wanita lain selain dirinya. Setelah menyegarkan tubuhnya perempuan itu berjalan menuruni tangga, ... Rosa menatap sekeliling yang tampak sepi tak ada orang. Wanita itu melangkahkan kakinya ke dalam dapur untuk membuat smoothie dan salad buah, tak tau kenapa rasanya sedang menginginkan hal itu. “Na,” panggilnya agak teriak. Alis menukik heran lalu menolehkan kepalanya ke arah belakang, perempuan menaruh apron begitu saja. Langkahnya kian berat semakin ia berjalan, tiba-tiba saja sebuah kabut putih menyelimutinya dan suara riuh tawa mengelilinginya. Rosa berjalan pelan ke arah ruang tamu, matanya membola saat menemukan sang suami sedang bersama perempuan lain dan memiliki anak. “JAERAN!!!!” Teriaknya, yang dibanjiri keringat dingin dan de
Sudah lima bulan berlalu namun Rosa belum ada perkembangan juga, entahlah rasanya Jaeran ingin mengubur semua harapannya, sebentar lagi persalinan sang istri dan ia masih belum menjenguknya hingga sejak terakhir kali bertemu. Wajah cantik Rosa selalu terbayang di dalam benak lelaki tak lama sang mama mengusapinya dengan lembut, sebenarnya ia merindukan sang istri; saat kabar sang istri akan dioperasi pemuda itu begitu terkejut dengan keputusan Dirga yang tak meminta persetujuannya. Ia juga masih ingat betul bagaimana sikap Dirga ketika dirumah sakit, tak jarang Lami mengabarinya. Aslinya Dirga gak sebegitu marah sama sang adik ipar, Cuma lelaki itu memang sangat jarang menegur orang dan rasa gak sukanya itu terhadap membuat sifat Dirga seperti orang yang tak memiliki rasa kemanusiaan. “Na! Makan!” Panggil mama yang lagi ada di dapurnya. Tam ada sahutan dari sang sulung membuat Jena menahan rasa gemasnya, anaknya itu jika sudah sedih suka sekali menguruskan badannya.
Jaeran sebenarnya kesal pasalnya daritadi ia bertanya namun tak ada yang menjawab hingga pemuda itu tertidur dibangku tunggu, itu sontak saja membuat Sarah merasa iba padanya. Sarah menepuk pundak lelaki itu agar beristirahat dirumah saja, namun Jaeran tak mau menuruti perkataan sang kakak iparnya tersebut. Namun Sarah tak memaksakan hal itu, perempuan itu hanya memandang lurus lorong rumah sakit, emosi Dirga sedang tidak stabil jika sang suami melihat adanya kehadiran Jaeran bisa kembali naik pitam lelaki tersebut. Jaeran menatap dengan memohon pada perempuan yang hampir melengang dari tempat itu, Sarah menghembuskan nafasnya pasrah lalu menjelas semua permasalah yang terjadi dan bagaimana Rosa bisa mengalami pendarahan. “Sebenarnya bukan pure kesalahan Jerome tetapi karena kamu benci sama adikmu, jadi kamu menyalahkannya. Andai saja kamu tidak bertemu dengan perempuan itu, ini semua tak akan terjadi.” Jaeran sebenarnya ingin menyalahkan Sarah yang menyudutkan orang lai
Jena memerhatikan anaknya yang tengah mencuci piring tetapi setelah ditelaah lagi putra sulung terlihat agak lebih kurus itu membuatnya merasa sang menantu tak benar dalam mengurus sang anak, perempuan tua itu tersenyum lalu menepuk pundak putranya sendiri. Jena agak merasa keki ketika berdiri disamping putranya sendiri, pasalnya sudah berapa bulan Jaeran tak datang ke rumah hanya untuk melihatnya atau sekadar memberikan uang bulanan padanya. Jaeran melirik sekilas sang mama kemudian melengang dari dalam, pemuda itu jelas tau apa yang dibahas sang mama itu kenapa ia membawa sang mama ke arah dalam kamar tamu. Pemuda itu menghela pendek sebelum membuka obrolan di antara mereka berdua, pandangannya sinis lalu menajamkan kedua pendengarannya. “Mama kalo bicarakan hal yang gak penting mending mama pulang,” Jena terperanjat saat Jaeran mengusirnya dari sana.“Kamu ngusir mama?” Pemuda itu berdeham lalu melengos dari sana seraya merapikan style
Jerome menaruh rasa curiga dengan perempuan yang sedang duduk mengamatinya dari dekat sofa panjang, pemuda itu merasa aneh dengan ketidak hadiran sang pemilik acara dari awal hingga selesai, Lami pun ikut menyindir Maria yang mati-matian tak bisa menahan diri untuk tidak dekat-dekat dengan kakak iparnya itu. Lami menahan kesal agar tetap menjalankan acara dengan baik kala itu sampai selesainya acara tersebut perempuan yang memiliki hubungan darah dengan Rosa itu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. "Udah kali menelnya, masih aja menel. Gak ingat kemarin yang ngajak baikan siapa?!" Ketus perempuan itu yang langsung bergegas pergi meninggalkan halaman rumah."Sirik aja sih!" Seru Maria sinis."Ya gak sirik lah! Calon gue lebih kaya dari cowok yang ada disebelah loe!!" Balas Lami tak kalah nyinyir, sedangkan Jerome menghela panjang dan mengalihkan pandangannya pada pintu kamar sang kakak ipar. Lelaki itu mendadak cem
Rosa duduk menatap layar kaca televisi, perempuan itu baru saja mendapatkan kabar bahwa sang editor telah mengundurkan diri sebagai seorang editor karena masalah yang tak bisa dijelaskan. Jujur saja perempuan itu terkejut sudah berapa lama ia tak pernah berhubungan dengan editornya, selama Ayu lah yang sudah banyak membantunya dalam proses belajar kepenulisan. Perempuan itu tak bertanya siapa editor penanggungjawab selanjutnya pada pihak atasan, namun dari setiap group chat bisa dirinya tebak dengan mudah siapa selanjutnya. Jaeran mematikan televisi saat masuk ke dalam rumahnya itu, perempuan tersebut tak fokus pada apa yang telah dia lihat, pemuda itu tersenyum tipis kemudian merangkul pinggang sang istri. Digenggamannya sudah ada hasil pemeriksaan medis atas pengulangan tes ulang uji coba darah. "Maafin aku selama ini gak pernah percaya sama kamu," cicit lelaki tersebut memelan.Perempuan itu menoleh cepat lalu mendengus dingin saat mendengar suara sang suami,
Herina menyambut baik kedatangan Rosa dengan memeluk tubuh ramping itu erat, perempuan yang kini duduk di kursi terapi tersebut kembali menuangkan semua keluh kesahnya. Herina menghela panjang seraya mencatat apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsultasi kali ini. Tak banyak yang dapat Herina bantu saat konsultasi berlangsung namun paling tidak Rosa bisa mengurangi pikirannya, dan mengurangi munculnya dosis tambahan dalam konsumsi obat-obatannya. Herina mengulas senyum tipis kemudian melangkah menuju meja kantor, lalu meraih ponselnya dan menekan nomor telepon sang teman dekat, Rosa masih memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus pada rambut hitam panjang miliknya. "Kamu gak suka sama harumnya? Apa besok mau aku ganti aja?" Rosa menatap langit ruangan tersebut."Gak usahlah, terlalu berlebihan.""Kalo buat kamu nyaman, ya gak apa-apa. Lagipula aku juga perlu kok." Sudah tak ada sahutan lagi dari sang lawan bicara lalu Rosa menari
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.