Malam itu kedua pasangan ini mendapat undangan makan malam dari teman lama Jaeran, meski Rosa mengenalnya jelas perempuan bergaun maroon itu terlihat begitu tak bersemangat. Lelaki yang berdiri disamping sang isteri tentu menyadari perubahan ekspresi wanitanya, Jaeran menghentikan langkahnya kemudian menatap seksama perubahan kondisi isterinya. "Rosa, kamu sakit?" Perempuan itu menggeleng lemah. Jelas sekali perempuan itu berbohong, Jaeran melanjutkan langkahnya dan terus menggenggam tangan sang isteri.
"Kamu duluan ajh, Na. Aku cari air dulu, ..." Jaeran tampak ragu melepas sang isteri, dengan berat hati lelaki itu melepaskan tautan mereka.
"Aku ambilkan saja," Rosa menggeleng untuk menolaknya.
"Gak apa, aku bisa." Jaeran tak yakin Rosa terlihat fit saat ini, wajah lemasnya begitu tergambar sekali. Karena khawatir pemuda itu memilih untuk mengikutinya, saat lagi berjalan tak sengaja Jaeran menabrak salah satu teman sekolahnya. Dan orang tersebut menyadari akan kehadiran pemuda itu.
Rosa tak benar-benar mencari air minum, ... perempuan itu berjalan ke arah kamar mandi dan berdiri di depan wastafel. Saat menatap pantul dirinya, sebuah cairan bening mengalir begitu saja, wanita itu menghapus dengan cepat. Ia menghubungi Herina dan meminta agar wanita tersebut datang ke kamar mandi. Rosa menahan rasa sakit dikepalanya yang menyerang begitu saja, tentu itu tak akan bereffek jika Jaeran tak membawanya ke acara hari ini. "He, .... Rina," tukas dengan lemah pada sang lawan bicara.
"Rose, kamu kenapa? Ada apa dengan suaramu, ..." respon Herina cepat dan berjalan dengan terburu-buru ke arah kamar mandi. "Rosa, kamu masih dengar aku kan? Jangan matikan sambungannya," namun belum terjawab sambungan sudah terputus secara sepihak. Herina berdecak kesal lalu berlari ke arah kamar mandi.
Ketika Herina asampai kamar mandi betapa terkejutnya wanita tersebut, suaranya begitu keras dan pecah. Herina langsung berlari menghampiri sosok perempuan yang tergeletak di atas lantai, perempuan itu mencoba menyadarkannya namun hasilnya nihil. Herina mencoba untuk menghubungi Jaeran tetapi nomornya tidak aktif, karena kesal, perempuan tersebut menghubungi Jerome. Jaeran melirik arlojinya dengan begitu cemasnya, mendadak perasaannya bergejolak tak enak. Pemuda itu selalu memandang ke arah sang isteri pergi, saat mau mencarinya sebuah pesan masuk dari Herina. Manik legam lelaki membeliak kaget dan perasaannya berkecamuk, Jaeran berlari sekuatnya. Saat sampai disalah satu kamar, Jaeran membuka pintu itu dengan kasar. "Rosa!?" Pekik lelaki itu dengan lantang. "Apa yang terjadi?"
"Ke mana saja kamu!!" Ketus, Herina yang ditatap oleh Jerome. Jaeran tentu tidak kaget dengan kehadirannya karena Herin telah memberitahu segelanya, itu dapat ia pastikan dari cara Jerome memandangnya telak.
"Aku tidak tau, kalo hal ini akan terjadi. Sungguh Rin. Dia hanya meminta izin untuk mencari minuman, ... itu saja," jelas, Jaeran yang terluka melihat sang isteri kembali tak sadarkan diri. Herina melengang pergi dan tersisa mereka berdua yang sama-sama menatap sendu seorang wanita yang lagi terkulai lemas tak sadarkan diri.
"Mas," sapa Jerome memecah keheningan di antara mereka.
"Jangan macem-macem, dia kakak ipar loe, ..." kecam Jaeran yang membawa Rosa pergi darisana. Jerome mengusak surai frustrasi, tentu ia tak akan mau mengalami hal seperti ini, mencintai yang menjadi milik kakaknya.
Jerome ikut melangkah dibelakang Jaeran dan masuk ke dalam mobil yang sama, pemuda itu tak banyak bicara. Saat berada di dalam rumahpun keduanya hanya terdiam seraya menunggu sang isteri terjaga. "Tugas loe di sini, buat rawat Rosa sampai sembuh. Disaat waktunya nanti gue harap loe jangan pernah muncul dihadapan Rosa lagi." Tegas, Jaeran yang menciptakan kerutan di dahi Jeno.
"Loe bisa bilang kaya gitu mas, tapi loe tau sekuat apapun loe misahin gue sama kak Rosa. Gak akan berpengaruh banyak karena kita iparan dan loe masih menjalin hubungan dengannya." Jaeran menggeram kecil, lelaki itu hampir melayangkan tinjunya.
"Apa maksud loe---" ucapannya terputus saat mendengar namanya dielukan oleh sang isteri.
"Na, ..." Jaeran menahan emosinya lalu berjalan masuk ke dalam kamar, Rosa hampir menangis ketika melihat Jaeran sangat mengkhawatirkan dirinya.
Perempuan menghapus jejak bening dipipinya, kemudian tersenyum tipis. Jaeran menghela berat dan mengecup surai sang isteri bertubi-tubi. "Hm? Aku di sini, jangan takut."
Rosa menyadarkan kepalanya pada dada bidang sang suami, perempuan itu menatap lurus di mana tempat Jerome berada saat ini. Jaeran yang menyadari hal itu mendengkus tak suka, dan mengalihkannya pada manik legamnya itu. "Pusing," lelaki itu memijat kepala sang isteri dan membenarkan posisinya. "Pembacaku berkurang," adunya, sontak membuat pria itu tergelak kecil.
"Nanti juga ada lagi, jangan terlalu memikirkannya kalo udah rezeki pasti laku kok bukunya." Lembut Jaeran dan menghentikan tangannya. Sungguh, pijatan tangan sang suami tak ada duanya.
"Na, sedang apa Jerome di sini?" Jaeran mengikuti arah pandang Rosa, lalu menatap manik legam isterinya dengan penuh suka cita.
"Dia yang merawatmu nanti, ..." ujar, Jaeran seraya memainkan ponselnya. Rosa yang merasa perhatiannya terbagi membuang pandangannya pada Jerome yang sedang sibuk dengan proposal. Jaeran yang merasa jika sang isteri bergerak akhirnya menurunkan ponselnya dan mengunci tubuh Rosa agar tidak bisa ke manapun. "Mau ke mana hm?" Bisik pria itu seduktif. Rosa menggeleng kepalanya pelan lalu menatap Jerome lagi yang seperti sedang kesusahan.
"Hngg, ... Na, jangan." Lenguhnya yang merasa kulitnya diusap dengan intim oleh sang suami. Jaeran tersenyum manis, karena untuk pertama kalinya Rosa tak menolak sentuhannya. Sang isteri menggeleng pelan dan memberikan isyarat bahwa ada Jerome ditempat itu.
"Memang kenapa jika ada Jerome?" Ucap Jaeran deep voice dan sontak saja, membuat bulu yang ada ditubuh perempuan itu berdiri seketika. Jaeran menjilat daun telinga sang isteri yang membuat Rosa menggeliat geli, kemudian lelaki itu mengigitnya. Rosa menahan suaranya agar tidak begitu kentara menikmati sentuhan sang suami.
Jaeran menghentikan aktivitasnya dan membuat Rosa merasa kecewa, diikutinya arah pandang sang suami. Jaeran terlihat menutup pintu dan mengunci pintu tersebut. "Bukan, gitu ... Na, aku malu jika melakukannya dihadapan orang lain," Jaeran terkekeh geli dengan tingkah polos sang isteri.
"Maka itu kan? Aku menutupnya," Rosa merasa sekujur tubuhnya bermandikan keringat. "Kamu gak lagi nolak aku kan?" Curiga Jaeran yang membuat perempuan itu terdiam untuk beberapa saat seketika ucapan sang adik ipar terngiang begitu saja. Rosa menggeleng lemah dan membenarkan posisinya.
Sang suami sangat tau ritme permainan ini, "j-jangan kasar ya ... Na," cicitnya takut dan hanya dibalas anggukan pelan oleh Jaeran. Rosa yang mulai menutup matanya tak merasakan pergerakan dari sang suami. "Ada apa?"
"Kalo kamu takut, aku---" Rosa menggeleng kuat lalu dengan segenap keberanian yang ada perempuan menyambar bibir sang suami. Jaeran yang sempat terkejutpun langsung menguasai ritme itu, pemuda itu memperdalam cumbuan mereka.
Jaeran menuruti keinginan Rosa yang tidak bermain kasar, lelaki mengusap punggung sang isteri yang sontak saja membuat Rosa terus mengelukan namanya. Pemuda itu begitu senang saat mendengar namanya dielukan puja oleh sang isteri, tangan besar Jaemin berpindah ke lain pusat tanpa melepas pangutan itu. Rosa mengusap pelan perut rata berbentuk milik Jaemin, lelaki itu mengarahkan tangan sang isteri pada bagian dalam miliknya. Terlihat sekali Jaemin sangat lihai dalam melakukan hal itu, meski tau mereka butuh oksigen pemuda itu tetap tak melepas pangutannya dan memberikan oksigen miliknya pada sang isteri.
Rosa memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan Jaemin saat pada bagian intimnya, tiba-tiba saja sang suami menanggalkan pakaiannya. "Na, itu yang keras apa?" Pemuda itu terkikik mendengar pertanyaan polos dari Rosa.
"Milikku," respon Jaeran seadanya. Perempuan itu masih belum begitu paham, hanya mengangguk saja. "Kesayangan aku polos banget, ..." celetuk, lelaki itu yang menandai leher sang isteri dan itu membuat Rosa meringis kesakitan.
Aisya menatapi wajah Jerome yang terlihat begitu frustrasi berada dikediaman kakaknya itu, perempuan itu mendengus geli saat mengubah pandangannya ke arah dua manusia yang sedang bermesraan. Aisya tau bagaimana perasaan lelaki yang ada disebelahnya itu, sangat tau. Perempuan menepuk pelan pundak Jerome yang lagi termenung sendiri. "Apa loe tuh gak bisa move ke cewek lain gitu, Jer. Itu ipar loe sendiri lho, ..." dengus perempuan tersebut.Helaan berat keluar begitu saja dari lelaki yang mengurus surat-surat perpindahan kerjanya. "Gue gak ngerti lagi, Ai. Semua udah gue coba. Pacaran sama Mia, menerima perjodohan nyokap, sampai tunangan sama Hilda juga. Tapi gue gak ngerti sama sekali, ... waktu kemarin kak Rosa pingsan dengan tanggap gue tinggalin semuanya. Loe bayangin ajh, gue yang lagi sibuk meninggalkan semuanya cuma buat dia doang, sedangkan Hilda yang selalu minta gue temani gak ada waktu sedikitpun." Jelas Jerome yang kembali menatap sendu keluarganya itu, Ai
Rosa tertidur di sofa ruang tengah ditemani Jerome yang sedang mengerjakan tugas akhirnya, Jaeran menatap sinis wajah sang adik yang menjadi pahanya bantalan sang isteri. Wajah damai Rosa membuat hati keduanya merasa tenang namun itu tak berselang lama ketika Jaeran hendak memindahkannya, lengan besar sang adik menghalanginya. Tak peduli apa yang dikatakan oleh sang adik, lelaki itu mengangkat tubuh sang isteri dengan kasar hingga membuat tidur Rosa terusik. Jerome menggeleng pelan melihat perangai sang kakak yang amat begitu tidak suka dengan kehadirannya dikehidupan mereka. "Loe gak bisa pelan?" Tegur Jerome yang membuat Jaeran menghentikan langkahnya tanpa menoleh. "Ke mana ajh loe? Gak tau isteri lagi butuh? Apa loe sebenarnya menikahi Rosa cuma berdasarkan rasa iba?" Jaeran menggeram lalu menatap wajah polos isterinya."Jaga itu mulut ya, ..." geram lelaki itu yang kembali melanjutkan langkahnya. Mendadak hatinya ngilu saat memandang raut cemas dalam damai Rosa
Jaeran terkejut dengan sikap isterinya yang tiba-tiba berubah saat berada ditempat temannya, ah, ya, ... temannya pasti akan sangat terkejut dengan apa yang telah mereka lihat pasalnya wanitanya itu tak pernah mau menghentikan pengobatan yang dijalaninya, Rosa tak sendirian di sana ada Jeno serta Herina yang turut menenangkannya, padahal wanita cantik itu hanya meminta izin mengambil sebuah minuman saja. Tetapi apa yang telah ia lewatkan sehingga isterinya berteriak marah pada semua orang, lelaki itu memegang tangan perempuan yang memandangnya entah dengan tatapan mata apa. Yang jelas ketika mereka saling menatap satu sama lain, terpancar rasa lelah yang menyelimuti hatinya, Rosa menggeleng kepalanya perlahan sambil memeluk tubuh besar di depannya itu. Jerome menghela kasar lalu melangkah pergi meninggalkan keduanya yang sama-sama tidak ingin diganggu oleh siapapun, Herina tentu mengerti bagaimana perasaan pemuda itu.Lami berlari-lari menuju k
Rosa sedang mencuci piring dan Jaeran baru saja mengirim laporan rekam medis terakhirnya, perempuan menggeleng saja ketika melihat sifat kekanakkan sang suami. Saat ponsel Jaeran berdering sesaat pemuda itu melirik sang isteri yang masih dengan urusan dapur, ... Jaeran berjalan ke arah depan lalu mengangkat teleponnya itu. Rosa yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu berhenti ketika sang suami tampak terlihat tertawa dengan riangnya. Pria itu mematikan sambungannya lalu berjalan begitu saja tanpa menyadari sosok isterinya, desir sesak menjalar direlung hati perempuan itu. Rasanya seperti ada yang beberda dari sang suami. Jaeran menghentikan langkahnya lalu mengecup sekilas pucuk kepala Rosa, “aku keluar dulu ya, ...” wanita itu meneguk ludah kasar. Ouh, ayolah, sudah berapa lama ia mengenal sang suami? Itu yang ada dipikirinnya.“Bukannya kamu udah janji bakal menemaniku seharian?”
Jena tak mengerti apa dengan mengapa anak bungsu masih tetap bertahan pada perasaan yang bahkan, orang itu tau jika akan terlalu mengambil resiko tinggi jika melawan kakaknya sendiri. Jerome menatap wajah sang mama yang tampak mengerutkan keningnya ingin bertanya, namun lelaki itu memilih diam dan tak mengatakan apapun, ah, ya, itu akan menjadi rasa yang ingin ia pendam sendiri. “Mau sampai kapan?” Tegur sang mama yang membuat pemilik eyes smile itu menoleh.“Maksudnya?” Lelaki itu bertanya balik, mama mendengus dingin lalu menggeleng sambil menunggu perkejaan anaknya itu selesai. Ah, apa mamanya akan membahas hal yang sama, ... Perasaan haram itu? Katakan tidak jika itu benar. “ Mama gak ada maksud buat bahas tentang alasan itu lagi kan?” Tegas pemuda itu yang mendadak menjatuhkan rahangnya.“Jer!” Tegur sang mama yang tampa
Perempuan itu membanting pintu rumah lalu berlari ke kamarnya, ia mengunci pintu kamarnya ditatapnya dirinya dalam cermin seketika pikirannya menguasai hati yang sedang kalut. “Loe bahkan gak pantas buat diperjuang sama siapapun!” Isaknya kecil lalu meraba benda tumpul yang ada di dalam laci, ... Jaeran terus berlari hingga masuk ke dalam rumah. Suasana hatinya benar-benar kacau dan tak tenang bayangan sang isteri dimasa kelamnya terus saja menghantui benak pemuda sukses itu.“Rose, ... buka ini aku,” tak ada sahutan dari dalam sana, Rosa terduduk dengan sayatan yang masih terbuka matanya menatap kosong sisi kiri ranjang tempat tidur. Mendadak sosok Jaeran terlintas dalam tatapan kosong itu, ... Rosa tersenyum getir.“Na, ... kamu tau?” Kini posisi mereka saling duduk berbelakangan. Hanya sebuah dehaman yang menjadi respon diantara mereka.“Hm,”
Rosa menutup pintu kamarnya dan menyimpan seluruh obatnya di selipan pakaian, perempuan itu menghela nafasnya pelan. Ia tak yakin jika hidupnya kembali normal seperti sebelumnya, namun Rosa sangat yakin jika dirinya bugar maka Jaeran tak akan melihat wanita lain selain dirinya. Setelah menyegarkan tubuhnya perempuan itu berjalan menuruni tangga, ... Rosa menatap sekeliling yang tampak sepi tak ada orang. Wanita itu melangkahkan kakinya ke dalam dapur untuk membuat smoothie dan salad buah, tak tau kenapa rasanya sedang menginginkan hal itu. “Na,” panggilnya agak teriak. Alis menukik heran lalu menolehkan kepalanya ke arah belakang, perempuan menaruh apron begitu saja. Langkahnya kian berat semakin ia berjalan, tiba-tiba saja sebuah kabut putih menyelimutinya dan suara riuh tawa mengelilinginya. Rosa berjalan pelan ke arah ruang tamu, matanya membola saat menemukan sang suami sedang bersama perempuan lain dan memiliki anak. “JAERAN!!!!” Teriaknya, yang dibanjiri keringat dingin dan de
Rosa kembali ke rumah sakit untuk menemui Herina namun sayangnya langkahnya itu telah diketahui oleh sang suami yang lagi berjalan mengarah pulang. Langkah terburu-buru perempuan sangat menimbulkan rasa curiga bagi Jaeran yang tak sengaja melihatnya. Jaeran berdiri di dekat pilar ruangan Herina ketika Rosa masuk ke dalam sana, ... sekiranya aman lelaki itu kembali mengikutinya. “Ayo lakukan operasi itu!” Herina terkejut begitupula dengan Jaeran yang tak mengerti.“Operasi?” Bisiknya pelan. Rosa tak punya banyak waktu lagi sebelum penerbitan buku barunya.“Kamu gila? Itu sangat fatal! Aku gak mau!” Rosa mengerling kesal pada wanita yang duduk di depannya saat. Perempuan itu menggebrak meja kemudian menatap tajam Herina yang tak mengerti dengan keinginan pasiennya itu.“AKU GAK MAU MANDUL!! ALAT BAJINGAN ITU BISA MEMBUATKU GAK MEMILIKI ANAK?!!” pekik Rosa m
Sudah lima bulan berlalu namun Rosa belum ada perkembangan juga, entahlah rasanya Jaeran ingin mengubur semua harapannya, sebentar lagi persalinan sang istri dan ia masih belum menjenguknya hingga sejak terakhir kali bertemu. Wajah cantik Rosa selalu terbayang di dalam benak lelaki tak lama sang mama mengusapinya dengan lembut, sebenarnya ia merindukan sang istri; saat kabar sang istri akan dioperasi pemuda itu begitu terkejut dengan keputusan Dirga yang tak meminta persetujuannya. Ia juga masih ingat betul bagaimana sikap Dirga ketika dirumah sakit, tak jarang Lami mengabarinya. Aslinya Dirga gak sebegitu marah sama sang adik ipar, Cuma lelaki itu memang sangat jarang menegur orang dan rasa gak sukanya itu terhadap membuat sifat Dirga seperti orang yang tak memiliki rasa kemanusiaan. “Na! Makan!” Panggil mama yang lagi ada di dapurnya. Tam ada sahutan dari sang sulung membuat Jena menahan rasa gemasnya, anaknya itu jika sudah sedih suka sekali menguruskan badannya.
Jaeran sebenarnya kesal pasalnya daritadi ia bertanya namun tak ada yang menjawab hingga pemuda itu tertidur dibangku tunggu, itu sontak saja membuat Sarah merasa iba padanya. Sarah menepuk pundak lelaki itu agar beristirahat dirumah saja, namun Jaeran tak mau menuruti perkataan sang kakak iparnya tersebut. Namun Sarah tak memaksakan hal itu, perempuan itu hanya memandang lurus lorong rumah sakit, emosi Dirga sedang tidak stabil jika sang suami melihat adanya kehadiran Jaeran bisa kembali naik pitam lelaki tersebut. Jaeran menatap dengan memohon pada perempuan yang hampir melengang dari tempat itu, Sarah menghembuskan nafasnya pasrah lalu menjelas semua permasalah yang terjadi dan bagaimana Rosa bisa mengalami pendarahan. “Sebenarnya bukan pure kesalahan Jerome tetapi karena kamu benci sama adikmu, jadi kamu menyalahkannya. Andai saja kamu tidak bertemu dengan perempuan itu, ini semua tak akan terjadi.” Jaeran sebenarnya ingin menyalahkan Sarah yang menyudutkan orang lai
Jena memerhatikan anaknya yang tengah mencuci piring tetapi setelah ditelaah lagi putra sulung terlihat agak lebih kurus itu membuatnya merasa sang menantu tak benar dalam mengurus sang anak, perempuan tua itu tersenyum lalu menepuk pundak putranya sendiri. Jena agak merasa keki ketika berdiri disamping putranya sendiri, pasalnya sudah berapa bulan Jaeran tak datang ke rumah hanya untuk melihatnya atau sekadar memberikan uang bulanan padanya. Jaeran melirik sekilas sang mama kemudian melengang dari dalam, pemuda itu jelas tau apa yang dibahas sang mama itu kenapa ia membawa sang mama ke arah dalam kamar tamu. Pemuda itu menghela pendek sebelum membuka obrolan di antara mereka berdua, pandangannya sinis lalu menajamkan kedua pendengarannya. “Mama kalo bicarakan hal yang gak penting mending mama pulang,” Jena terperanjat saat Jaeran mengusirnya dari sana.“Kamu ngusir mama?” Pemuda itu berdeham lalu melengos dari sana seraya merapikan style
Jerome menaruh rasa curiga dengan perempuan yang sedang duduk mengamatinya dari dekat sofa panjang, pemuda itu merasa aneh dengan ketidak hadiran sang pemilik acara dari awal hingga selesai, Lami pun ikut menyindir Maria yang mati-matian tak bisa menahan diri untuk tidak dekat-dekat dengan kakak iparnya itu. Lami menahan kesal agar tetap menjalankan acara dengan baik kala itu sampai selesainya acara tersebut perempuan yang memiliki hubungan darah dengan Rosa itu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. "Udah kali menelnya, masih aja menel. Gak ingat kemarin yang ngajak baikan siapa?!" Ketus perempuan itu yang langsung bergegas pergi meninggalkan halaman rumah."Sirik aja sih!" Seru Maria sinis."Ya gak sirik lah! Calon gue lebih kaya dari cowok yang ada disebelah loe!!" Balas Lami tak kalah nyinyir, sedangkan Jerome menghela panjang dan mengalihkan pandangannya pada pintu kamar sang kakak ipar. Lelaki itu mendadak cem
Rosa duduk menatap layar kaca televisi, perempuan itu baru saja mendapatkan kabar bahwa sang editor telah mengundurkan diri sebagai seorang editor karena masalah yang tak bisa dijelaskan. Jujur saja perempuan itu terkejut sudah berapa lama ia tak pernah berhubungan dengan editornya, selama Ayu lah yang sudah banyak membantunya dalam proses belajar kepenulisan. Perempuan itu tak bertanya siapa editor penanggungjawab selanjutnya pada pihak atasan, namun dari setiap group chat bisa dirinya tebak dengan mudah siapa selanjutnya. Jaeran mematikan televisi saat masuk ke dalam rumahnya itu, perempuan tersebut tak fokus pada apa yang telah dia lihat, pemuda itu tersenyum tipis kemudian merangkul pinggang sang istri. Digenggamannya sudah ada hasil pemeriksaan medis atas pengulangan tes ulang uji coba darah. "Maafin aku selama ini gak pernah percaya sama kamu," cicit lelaki tersebut memelan.Perempuan itu menoleh cepat lalu mendengus dingin saat mendengar suara sang suami,
Herina menyambut baik kedatangan Rosa dengan memeluk tubuh ramping itu erat, perempuan yang kini duduk di kursi terapi tersebut kembali menuangkan semua keluh kesahnya. Herina menghela panjang seraya mencatat apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsultasi kali ini. Tak banyak yang dapat Herina bantu saat konsultasi berlangsung namun paling tidak Rosa bisa mengurangi pikirannya, dan mengurangi munculnya dosis tambahan dalam konsumsi obat-obatannya. Herina mengulas senyum tipis kemudian melangkah menuju meja kantor, lalu meraih ponselnya dan menekan nomor telepon sang teman dekat, Rosa masih memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus pada rambut hitam panjang miliknya. "Kamu gak suka sama harumnya? Apa besok mau aku ganti aja?" Rosa menatap langit ruangan tersebut."Gak usahlah, terlalu berlebihan.""Kalo buat kamu nyaman, ya gak apa-apa. Lagipula aku juga perlu kok." Sudah tak ada sahutan lagi dari sang lawan bicara lalu Rosa menari
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.