Rosa tertidur di sofa ruang tengah ditemani Jerome yang sedang mengerjakan tugas akhirnya, Jaeran menatap sinis wajah sang adik yang menjadi pahanya bantalan sang isteri. Wajah damai Rosa membuat hati keduanya merasa tenang namun itu tak berselang lama ketika Jaeran hendak memindahkannya, lengan besar sang adik menghalanginya. Tak peduli apa yang dikatakan oleh sang adik, lelaki itu mengangkat tubuh sang isteri dengan kasar hingga membuat tidur Rosa terusik. Jerome menggeleng pelan melihat perangai sang kakak yang amat begitu tidak suka dengan kehadirannya dikehidupan mereka. "Loe gak bisa pelan?" Tegur Jerome yang membuat Jaeran menghentikan langkahnya tanpa menoleh. "Ke mana ajh loe? Gak tau isteri lagi butuh? Apa loe sebenarnya menikahi Rosa cuma berdasarkan rasa iba?" Jaeran menggeram lalu menatap wajah polos isterinya.
"Jaga itu mulut ya, ..." geram lelaki itu yang kembali melanjutkan langkahnya. Mendadak hatinya ngilu saat memandang raut cemas dalam damai Rosa.
"Na, ... jangan pergi. Na, jangan khianati aku kaya dia." Igau sang isteri yang menyimpan dukanya sendirian, "aku gak mau kamu pergi." Jaeran menggenggam tangan Rosa yang dalam tidurnyapun masih menyisakan air mata.
"Apa yang harus aku lakukan biar kamu tau, cuma kamu yang berarti untukku? Bahkan gak pernah terbesit dikepala aku buat berkhianat dari kamu ... aku sayang kamu, itu faktanya. Aku juga sangat mencintai kamu. Tapi aku gak mau adik aku sendiri yang menghancurkan segala kebahagiaan aku, itu yang aku takutkan." Jaeran berdiri dan hendak melengang namun tangan kecil Rosa menggenggamnya terlalu erat.
Rosa membuka matanya lalu menatap wajah yang menungguinya dengan posisi yang tidak pas, retina mata wanita cantik itu menoleh ke arah luar jendela, sudah pagi. Itu yang ada di dalam benaknya. "Berapa lama dia tidur seperti ini?" Perempuan itu mengusap lembut surai lelakinya lalu beranjak dari tempat tidur dan menunaikan ibadah. Setelah selesai dengan aktifitas pada tuhan, Rosa membangunkan sang suami agar cepat melakukan ibadah.
Perempuan itu turun ke bawah dan mendapati Jerome tengah membuat sarapan sendirian, "udah bangun kak?" Rosa mengangguk lalu menatap maniknya sebentar.
"Buat apa Jer? Biar aku saja,"
"Tidak buat apapun, hanya memotong buah untuk kakak saja." Rosa mengulas senyum tipis, lalu mengambil satu potong apple. "Udah jauh lebih baik?" Perempuan diam sejenak kemudian mengangguk, Jerome mengamati garis wajah sang kakak ipar seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" Gelisah Rosa yang menyadari perubahan air muka adik iparnya itu.
"Kakak gak sedang berbohongkan?" Rosa tersentak lalu manik bergerak gelisah ke kanan juga kiri, apa ia takut jika Jeno mengetahui kebohongannya. Wanita itu menggeleng cepat lalu masuk ke dalam kamar mandi. "Ada yang gak beres sama Rosa, ..." Jerome mengikuti sampai depan pintu kamar mandi. Lelaki itu hanya mneguping pembicaraan sang kakak ipar dengan seseorang.
Saat Jaeran turun dari atas Jerome seberusaha mungkin bersikap normal dan tak menimbul masalah, lelaki yang menyandang status sebagai kakak itu tak mencurigainya sama sekali. Setelah Jaeran pergi lari, sesegera mungkin Jerome menghubungi Herina dan memberitahu tentang kecurigaannya. "Nanaku gak boleh pergi," gumamnya yang tanpa sepengetahuan perempuan itu di dengar oleh Jerome. Pemuda itu menoleh cepat lalu menahan lengan sang kakak ipar.
"Kak, kak Herina mau bertemu. Kakak siap-siap ya?" Rosa mengernyit heran, setaunya ia tak apa-apa kenapa harus kontrol lagi? Lagipula bukankah ia dirawat oleh Jerome?
"Aku baik kenapa harus ketemu Herina?" Jerome tersenyum menyakinkan, dan mengajaknya ke arah garasi mobil. "Bagaimana dengan Nana? Pasti dia mencari nanti." Jerome melupakan hal itu, baiklah itu bisa dipikirkan nanti.
"Dia, ... bakal nyusul. Ya, bakal nyusul. Aku udah bilang kalo kita akan kontrol." Lelaki itu terpaksa berdusta, ah, sial. Rosa sangat bergantung pada sang kakak hingga tak membiarkannya untuk masuk ke dalam hati perempuan itu. Rosa mengangguk lalu tersenyum mengikuti langkah besar Jerome.
Pemuda itu menulis sebuah catatan kecil lalu diselipkan dekat televisi. Jaeran membaca catatan itu kemudian meremat kertas kecil dan berlari ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Herina menyambut kedatang Jeno dan Rosa, wanita itu senyum manis dan memeluk isteri dari sahabatnya itu. Wanita tersebut sempat memeriksa kondisi Rosa yang secara fisik bagus dan mentalnya mulai membaik. Namun Herina menyanyangkan satu hal, saraf motorik kerja otaknya mulai terbebani akan sesuatu yang tak nyata. Herina mengembuskan panjang dan kemudian menatap Jerome yang memberikan beberapa laporan. "Gue perlu bicara sama Jaeran, ini serius ..." Herina menutup buku notenya dan menyimpannya dilaci. "Mengenai ini, gue rasa loe gak perlu tau. Jer, gue tau perasaan loe. Tapi loe harus ingat Hilda, dia juga butuh loe, jangan abaikan dia. Rosa punya Jaeran yang selalu jaga, so ... loe gak perlu khawatir sampai harus nginep dirumah mereka." Jerome tergugu dengar nasihat dari kakak tingkatnya itu, pemuda itu menatap Rosa yang sedang menghubungi adik bungsunya.
"Gue, ... gak bisa, selamanya perasaan itu akan tetap ada. Soal Hilda itu berbeda, gue sayang Hilda tapi untuk mencintainya gue rasa gak akan mudah." Herina tertawa sinis lalu menggeleng tak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki dihadapannya. Sesampainya Jaeran diruangan Herina, pemuda tersebut menatap sang isteri dengan pandang lega.
"Loe-!" Geram Jaeran yang memincingkan matanya marah.
Herin menyela sebelum perdebatan itu terjadi dan wanita satu anak itu tak mau ruangannya ternoda dengan pertengkaran kakak adik itu. "Jaerome, loe boleh keluar. Rosa biarin ajh, ada suaminya."
"Isteri gue gak gila!" Seru Jaeran gak terima. Herin memutar bola mata malas. Jerome meninggalkan ruangan itu dan berlalu begitu saja.
"Hampir! Asal loe gak berbuat yang macem-macem! Loe tau? Kalo loe bisa sedikit ajh, nahan rasa egois loe dan emosi loe itu? Rosa gak akan memikirkan hal yang aneh-aneh!" Omel Herina yang membuat pemuda itu terdiam dan memandang Rosa yang lagi duduk merenung sendirian.
"Maksud loe apa?" Herina bercerita tentang apa yang dirasakan oleh teman perempuannya itu, betapa terkejutnya Jaeran saat mendengar keluhan sang isteri. "Rosa cerita begitu!?" Sentaknya yang membuat sang isteri menoleh menatap bingung suaminya.
"Hm, dia sampai takut apa yang pernah terjadi terulang kembali. Loe tau kan pengkhianatan hubungan sesuatu yang sensitif buat dia? Gue harap loe gak berbuat hal yang diluar norma pernikahan." Jaeran tertawa pelan lalu mengingat kembali pertemuan mereka yang secara kebetulan dan melalui Herin pula. "Cuma dia yang gue anggap bukan sebagai pasien gue, ... gue sayang dia sebagai adik, Jae. Gue harap loe gak berniat selingkuh dibelakang dia. Gue mohon Jae biarkan dia hidup normal setelah cowok bajingan itu menghancurkan kehidupannya ..." untuk pertama kalinya Jaeran melihat Herin menangis takut kehilangan orang yang berharga. Ya walau bagaimanapun Herin harus menebus kesalahannya dimasa lalu yang telah menghancurkan kenangan manis perempuan tersebut. Herinlah yang patut dipersalahkan akan ketidak tenangan hidup Rosa, karenanya wanita cantik itu jadi seperti ini. Jaeran yang mengerti tak banyak bertanya lagi, meski jelas secara detail tentu lelaki itu tau kronologis hubungan pertemanan mereka. Tentu Rosa tak akan tau siapa perempuan yang tega merebut miliknya karena selama ini Narendra tak pernah mengatakan secara jelas siapa perempuan tersebut.
Setelah selesai semuanya Rosa menghampiri Jaeran dengan wajah yang tak bersahabat, perempuan tidak pernah marah itu yang Jaeran tau. Namun pemuda itu tak tau jika sang isteri tengah merajuk padanya. "Rose, kamu marah sama aku?" Ujarnya, dengan nada rendah.
"Kamu tau aku gak pernah bisa marah sama kamu, ..." sahutnya murung. Jaeran mengembuskan sabar, lelaki itu kembali menatap wanitanya kehabisan akal.
"Lalu, ..."
"Kenapa tak ada saat aku butuh kamu?" Jaeran membeku ia melupakan fakta itu, pemuda itu mengeram secara spontan. "Gak ada yang kamu lakukan dibelakangku kan?" Jaeran memiringkan kepalanya lalu mengernyit heran.
"Kamu menuduhku selingkuh?!" Bentak Jaeran kelepasan bicara dan membuat Rosa terkejut dan ada desiran hebat yang menjalar dinadinya. Rosa membuang muka tak mau menatap wajah sang suami, kemudian menutup matanya menahan sesuatu aliran yang berasal dari pupil matanya agar tak keluar.
Jaeran terkejut dengan sikap isterinya yang tiba-tiba berubah saat berada ditempat temannya, ah, ya, ... temannya pasti akan sangat terkejut dengan apa yang telah mereka lihat pasalnya wanitanya itu tak pernah mau menghentikan pengobatan yang dijalaninya, Rosa tak sendirian di sana ada Jeno serta Herina yang turut menenangkannya, padahal wanita cantik itu hanya meminta izin mengambil sebuah minuman saja. Tetapi apa yang telah ia lewatkan sehingga isterinya berteriak marah pada semua orang, lelaki itu memegang tangan perempuan yang memandangnya entah dengan tatapan mata apa. Yang jelas ketika mereka saling menatap satu sama lain, terpancar rasa lelah yang menyelimuti hatinya, Rosa menggeleng kepalanya perlahan sambil memeluk tubuh besar di depannya itu. Jerome menghela kasar lalu melangkah pergi meninggalkan keduanya yang sama-sama tidak ingin diganggu oleh siapapun, Herina tentu mengerti bagaimana perasaan pemuda itu.Lami berlari-lari menuju k
Rosa sedang mencuci piring dan Jaeran baru saja mengirim laporan rekam medis terakhirnya, perempuan menggeleng saja ketika melihat sifat kekanakkan sang suami. Saat ponsel Jaeran berdering sesaat pemuda itu melirik sang isteri yang masih dengan urusan dapur, ... Jaeran berjalan ke arah depan lalu mengangkat teleponnya itu. Rosa yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu berhenti ketika sang suami tampak terlihat tertawa dengan riangnya. Pria itu mematikan sambungannya lalu berjalan begitu saja tanpa menyadari sosok isterinya, desir sesak menjalar direlung hati perempuan itu. Rasanya seperti ada yang beberda dari sang suami. Jaeran menghentikan langkahnya lalu mengecup sekilas pucuk kepala Rosa, “aku keluar dulu ya, ...” wanita itu meneguk ludah kasar. Ouh, ayolah, sudah berapa lama ia mengenal sang suami? Itu yang ada dipikirinnya.“Bukannya kamu udah janji bakal menemaniku seharian?”
Jena tak mengerti apa dengan mengapa anak bungsu masih tetap bertahan pada perasaan yang bahkan, orang itu tau jika akan terlalu mengambil resiko tinggi jika melawan kakaknya sendiri. Jerome menatap wajah sang mama yang tampak mengerutkan keningnya ingin bertanya, namun lelaki itu memilih diam dan tak mengatakan apapun, ah, ya, itu akan menjadi rasa yang ingin ia pendam sendiri. “Mau sampai kapan?” Tegur sang mama yang membuat pemilik eyes smile itu menoleh.“Maksudnya?” Lelaki itu bertanya balik, mama mendengus dingin lalu menggeleng sambil menunggu perkejaan anaknya itu selesai. Ah, apa mamanya akan membahas hal yang sama, ... Perasaan haram itu? Katakan tidak jika itu benar. “ Mama gak ada maksud buat bahas tentang alasan itu lagi kan?” Tegas pemuda itu yang mendadak menjatuhkan rahangnya.“Jer!” Tegur sang mama yang tampa
Perempuan itu membanting pintu rumah lalu berlari ke kamarnya, ia mengunci pintu kamarnya ditatapnya dirinya dalam cermin seketika pikirannya menguasai hati yang sedang kalut. “Loe bahkan gak pantas buat diperjuang sama siapapun!” Isaknya kecil lalu meraba benda tumpul yang ada di dalam laci, ... Jaeran terus berlari hingga masuk ke dalam rumah. Suasana hatinya benar-benar kacau dan tak tenang bayangan sang isteri dimasa kelamnya terus saja menghantui benak pemuda sukses itu.“Rose, ... buka ini aku,” tak ada sahutan dari dalam sana, Rosa terduduk dengan sayatan yang masih terbuka matanya menatap kosong sisi kiri ranjang tempat tidur. Mendadak sosok Jaeran terlintas dalam tatapan kosong itu, ... Rosa tersenyum getir.“Na, ... kamu tau?” Kini posisi mereka saling duduk berbelakangan. Hanya sebuah dehaman yang menjadi respon diantara mereka.“Hm,”
Rosa menutup pintu kamarnya dan menyimpan seluruh obatnya di selipan pakaian, perempuan itu menghela nafasnya pelan. Ia tak yakin jika hidupnya kembali normal seperti sebelumnya, namun Rosa sangat yakin jika dirinya bugar maka Jaeran tak akan melihat wanita lain selain dirinya. Setelah menyegarkan tubuhnya perempuan itu berjalan menuruni tangga, ... Rosa menatap sekeliling yang tampak sepi tak ada orang. Wanita itu melangkahkan kakinya ke dalam dapur untuk membuat smoothie dan salad buah, tak tau kenapa rasanya sedang menginginkan hal itu. “Na,” panggilnya agak teriak. Alis menukik heran lalu menolehkan kepalanya ke arah belakang, perempuan menaruh apron begitu saja. Langkahnya kian berat semakin ia berjalan, tiba-tiba saja sebuah kabut putih menyelimutinya dan suara riuh tawa mengelilinginya. Rosa berjalan pelan ke arah ruang tamu, matanya membola saat menemukan sang suami sedang bersama perempuan lain dan memiliki anak. “JAERAN!!!!” Teriaknya, yang dibanjiri keringat dingin dan de
Rosa kembali ke rumah sakit untuk menemui Herina namun sayangnya langkahnya itu telah diketahui oleh sang suami yang lagi berjalan mengarah pulang. Langkah terburu-buru perempuan sangat menimbulkan rasa curiga bagi Jaeran yang tak sengaja melihatnya. Jaeran berdiri di dekat pilar ruangan Herina ketika Rosa masuk ke dalam sana, ... sekiranya aman lelaki itu kembali mengikutinya. “Ayo lakukan operasi itu!” Herina terkejut begitupula dengan Jaeran yang tak mengerti.“Operasi?” Bisiknya pelan. Rosa tak punya banyak waktu lagi sebelum penerbitan buku barunya.“Kamu gila? Itu sangat fatal! Aku gak mau!” Rosa mengerling kesal pada wanita yang duduk di depannya saat. Perempuan itu menggebrak meja kemudian menatap tajam Herina yang tak mengerti dengan keinginan pasiennya itu.“AKU GAK MAU MANDUL!! ALAT BAJINGAN ITU BISA MEMBUATKU GAK MEMILIKI ANAK?!!” pekik Rosa m
Jena menatap lurus putra bungsunya, ... pemuda yang lagi bercocok tanam itu terus saja memutar bola matanya jengah saat dipandangi seperti itu oleh sang mama tercinta. Jerome meletakkan cangkulnya kesal lalu berjalan kehadapan sang mama, putranya tak mau sang mama mengganggu waktu berkebunnya disaat luangnya telah hadir. Jena terkekeh dengan sikap putra bungsunya lalu mengusap surai putranya tersebut. “Kamu buruan nikah, ... biar mama gak nungguin kakak kamu terus buat ngasih anak,” Jerome menghela pelan daritadi mamanya memerhatikan hanya untuk membahas itu?“Bukan mau mas Nana juga, ma kaya gitu, ...” pelan sang putra yang mencoba nemberi pengertian pada sang mama.“Iya, mama lupa yang mandul Rosa, ...” Jerome mengepalkan tangan kuat lalu berdecih kecil, seperti ini cara mamanya bersikap dibelakang Rosa? Apa mamanya tak pernah merasa kosong setelah menikah. Pemuda itu melengang pergi meninggal
Jaeran tak membalas salam dari kedua orang yang baru saja datang, langkahnya langsung masuk ke dalam dapur. Pemuda itu sudah lama meninggalkan dunia gelapnya, saat kemarin meminumnya lagi rasanya agak asing, lelaki berdiri dicounter dapur seraya memandang kedekatan anatara isterinya dan sang adik. “Lagi jadi bucin Jerome ya?” Celetuk Maraka yang melihat kelakuan kedua oknum itu. Rosa menoleh kemudian menggeleng cepat, ...“Ya kagalah! Gila ajh loe!” Mahendra menghela panjang lalu berdecak sebal sambil menurunkan ponselnya dari hadapan lelaki itu.“Ya terus?” Sahutnya agak ngegas dan menyinisi lelaki yang duduk disebelah Renjun. Rosa menghela panjang saat teman-teman suaminya itu mulai cerewet dan mengurusi kehidupan rumah tangganya.“Kalian apaan si, ... gue dari rumah sakit elah, check up. Sekalian periksa kandung!” Seru Rosa agak memelan namun mendesis kesal. Maraka mengerutkan dahinya bingung dan berpandangan pada Jerome yang men
Sudah lima bulan berlalu namun Rosa belum ada perkembangan juga, entahlah rasanya Jaeran ingin mengubur semua harapannya, sebentar lagi persalinan sang istri dan ia masih belum menjenguknya hingga sejak terakhir kali bertemu. Wajah cantik Rosa selalu terbayang di dalam benak lelaki tak lama sang mama mengusapinya dengan lembut, sebenarnya ia merindukan sang istri; saat kabar sang istri akan dioperasi pemuda itu begitu terkejut dengan keputusan Dirga yang tak meminta persetujuannya. Ia juga masih ingat betul bagaimana sikap Dirga ketika dirumah sakit, tak jarang Lami mengabarinya. Aslinya Dirga gak sebegitu marah sama sang adik ipar, Cuma lelaki itu memang sangat jarang menegur orang dan rasa gak sukanya itu terhadap membuat sifat Dirga seperti orang yang tak memiliki rasa kemanusiaan. “Na! Makan!” Panggil mama yang lagi ada di dapurnya. Tam ada sahutan dari sang sulung membuat Jena menahan rasa gemasnya, anaknya itu jika sudah sedih suka sekali menguruskan badannya.
Jaeran sebenarnya kesal pasalnya daritadi ia bertanya namun tak ada yang menjawab hingga pemuda itu tertidur dibangku tunggu, itu sontak saja membuat Sarah merasa iba padanya. Sarah menepuk pundak lelaki itu agar beristirahat dirumah saja, namun Jaeran tak mau menuruti perkataan sang kakak iparnya tersebut. Namun Sarah tak memaksakan hal itu, perempuan itu hanya memandang lurus lorong rumah sakit, emosi Dirga sedang tidak stabil jika sang suami melihat adanya kehadiran Jaeran bisa kembali naik pitam lelaki tersebut. Jaeran menatap dengan memohon pada perempuan yang hampir melengang dari tempat itu, Sarah menghembuskan nafasnya pasrah lalu menjelas semua permasalah yang terjadi dan bagaimana Rosa bisa mengalami pendarahan. “Sebenarnya bukan pure kesalahan Jerome tetapi karena kamu benci sama adikmu, jadi kamu menyalahkannya. Andai saja kamu tidak bertemu dengan perempuan itu, ini semua tak akan terjadi.” Jaeran sebenarnya ingin menyalahkan Sarah yang menyudutkan orang lai
Jena memerhatikan anaknya yang tengah mencuci piring tetapi setelah ditelaah lagi putra sulung terlihat agak lebih kurus itu membuatnya merasa sang menantu tak benar dalam mengurus sang anak, perempuan tua itu tersenyum lalu menepuk pundak putranya sendiri. Jena agak merasa keki ketika berdiri disamping putranya sendiri, pasalnya sudah berapa bulan Jaeran tak datang ke rumah hanya untuk melihatnya atau sekadar memberikan uang bulanan padanya. Jaeran melirik sekilas sang mama kemudian melengang dari dalam, pemuda itu jelas tau apa yang dibahas sang mama itu kenapa ia membawa sang mama ke arah dalam kamar tamu. Pemuda itu menghela pendek sebelum membuka obrolan di antara mereka berdua, pandangannya sinis lalu menajamkan kedua pendengarannya. “Mama kalo bicarakan hal yang gak penting mending mama pulang,” Jena terperanjat saat Jaeran mengusirnya dari sana.“Kamu ngusir mama?” Pemuda itu berdeham lalu melengos dari sana seraya merapikan style
Jerome menaruh rasa curiga dengan perempuan yang sedang duduk mengamatinya dari dekat sofa panjang, pemuda itu merasa aneh dengan ketidak hadiran sang pemilik acara dari awal hingga selesai, Lami pun ikut menyindir Maria yang mati-matian tak bisa menahan diri untuk tidak dekat-dekat dengan kakak iparnya itu. Lami menahan kesal agar tetap menjalankan acara dengan baik kala itu sampai selesainya acara tersebut perempuan yang memiliki hubungan darah dengan Rosa itu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. "Udah kali menelnya, masih aja menel. Gak ingat kemarin yang ngajak baikan siapa?!" Ketus perempuan itu yang langsung bergegas pergi meninggalkan halaman rumah."Sirik aja sih!" Seru Maria sinis."Ya gak sirik lah! Calon gue lebih kaya dari cowok yang ada disebelah loe!!" Balas Lami tak kalah nyinyir, sedangkan Jerome menghela panjang dan mengalihkan pandangannya pada pintu kamar sang kakak ipar. Lelaki itu mendadak cem
Rosa duduk menatap layar kaca televisi, perempuan itu baru saja mendapatkan kabar bahwa sang editor telah mengundurkan diri sebagai seorang editor karena masalah yang tak bisa dijelaskan. Jujur saja perempuan itu terkejut sudah berapa lama ia tak pernah berhubungan dengan editornya, selama Ayu lah yang sudah banyak membantunya dalam proses belajar kepenulisan. Perempuan itu tak bertanya siapa editor penanggungjawab selanjutnya pada pihak atasan, namun dari setiap group chat bisa dirinya tebak dengan mudah siapa selanjutnya. Jaeran mematikan televisi saat masuk ke dalam rumahnya itu, perempuan tersebut tak fokus pada apa yang telah dia lihat, pemuda itu tersenyum tipis kemudian merangkul pinggang sang istri. Digenggamannya sudah ada hasil pemeriksaan medis atas pengulangan tes ulang uji coba darah. "Maafin aku selama ini gak pernah percaya sama kamu," cicit lelaki tersebut memelan.Perempuan itu menoleh cepat lalu mendengus dingin saat mendengar suara sang suami,
Herina menyambut baik kedatangan Rosa dengan memeluk tubuh ramping itu erat, perempuan yang kini duduk di kursi terapi tersebut kembali menuangkan semua keluh kesahnya. Herina menghela panjang seraya mencatat apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsultasi kali ini. Tak banyak yang dapat Herina bantu saat konsultasi berlangsung namun paling tidak Rosa bisa mengurangi pikirannya, dan mengurangi munculnya dosis tambahan dalam konsumsi obat-obatannya. Herina mengulas senyum tipis kemudian melangkah menuju meja kantor, lalu meraih ponselnya dan menekan nomor telepon sang teman dekat, Rosa masih memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus pada rambut hitam panjang miliknya. "Kamu gak suka sama harumnya? Apa besok mau aku ganti aja?" Rosa menatap langit ruangan tersebut."Gak usahlah, terlalu berlebihan.""Kalo buat kamu nyaman, ya gak apa-apa. Lagipula aku juga perlu kok." Sudah tak ada sahutan lagi dari sang lawan bicara lalu Rosa menari
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.