Share

Bab 2

Author: itsluvi_
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nana

Mahasiswa itu harus serba bisa. Bisa makan di sela-sela mengerjakan tugas, bisa bergosip saat dosen menerangkan materi kuliah, bisa membuka catatan kecil saat UAS atau UTS, bisa presentasi tanpa membuka materi, dan pastinya bisa mendekati dosen agar nilai UAS tak jelek-jelek amat.

Sastra Indonesia, bagiku mempelajarinya butuh ketelitan sebab sifatnya dinamis dan ambigu. Dia berjalan seiring perkembangan zaman. Sastra itu pasti identik dengan puisi dan prosa. Puisi dibagi dua, puisi lama dan puisi baru atau modern. Pun dengan prosa. Ada prosa lama dan prosa modern. Satu lagi yang terlewat adalah drama.

Di semester 6 kali ini, ada mata kuliah sanggar sastra. Dosen memerintahkan untuk mementaskan sebuah drama sebagai tugas kelompok. Dalam satu kelas dibagi ke dalam lima kelompok. Tema cerita bebas asal tidak diadaptasi dari cerita dongeng atau novel yang sudah ada. Tenggat waktu yang diberikan untuk mempersiapkan naskah sekaligus menghafal naskah selama satu bulan. Sebelum akhirnya digelar pementasan drama di aula yang akan ditonton oleh mahasiswa lain.

Keributan terjadi saat kelompokku menyusun tema dan konsep drama yang ingin kami usung. Semua ingin menang sendiri.

“Kalau temanya marriage life gimana? Jadi nanti konfliknya pelakor gitu,” usul Maria. Dia anak rantau asli Papua. Rambutnya ikal dan pendek. Kulitnya hitam manis, dan dia amat cerewet. Acap kali apa yang dia ucapkan sulit dimengerti karena menggunakan dialek daerahnya.

“Lo mau ngalahin sinetron apa gimana?” tanya Aron, si Unta Arab yang memiliki brewok tipis.

“Kan lagi viral, Ron. Apalagi di akun-akun gosip tuh banyak kali pelakor.” Maria berusaha memperjuangkan usulannya.

“Jangan pelakor deh.” Aron menolak ide Maria. Tampak Maria menghela napasnya kasar.

“Temanya kemerdekaan aja gimana? Perang-perangan gitu.” Wawan juga angkat bicara. Wawan ini keturunan sunda-betawi.

“Perangnya pake apa, Wan?” timpal Bowo.

“Pake senjata mainanlah. Kalau senjata alami gue cuma punya satu. Ketangkasannya akan gue buktikan abis kawin nanti.”

Otak Wawan memang kurang sesendok.

“Bangke. Gue sunat sampe abis, biar lo nggak bisa beranak.” Aron menoyor kepala Wawan.

Sebenarnya anggota kelompokku itu berjumlah delapan orang. Hanya saja yang dua tidak hadir. Mungkin malas karena mengerjakan tugas di hari libur. Begitu pun diriku. Hari libur itu seharusnya tidur seharian tanpa ingat mandi, tetapi hari libur kali ini terpaksa bangun pagi untuk kerja kelompok di rumah Aron yang ditunjuk sebagai ketua kelompok untuk membahas tugas drama kami.

“Gimana kalau judulnya Cinderella Milenial?” Anjani juga tidak mau kalah untuk memberikan usulannya. Anjani ini tipe Chelsea Islan—Cewek langsing dan seksi idaman setiap lelaki tampan. Salah satu primadona yang ada di kelas. Pastinya akan dijadikan pemeran utama dalam pementasan drama nanti.

Kalau aku, jangan tanya peranku apa. Pemilik rambut mirip Pak Tarno yang panjangnya sebatas bahu ini pastinya tidak akan disetujui untuk dijadikan pemeran utama. Aku pasrah saja, yang terpenting nilaiku setara dengan nilai mereka nanti.

“Lo Cinderella-nya dan gue pangerannya ya?”

Nah, si Unta Arab langsung berbinar cerah. Siapa yang menolak pesona Anjani? Aku yakin semua mahasiswa baik yang tampan maupun yang standar berlomba-lomba mendapatkan perhatian Anjani. Tapi Anjani cenderung cuek. Makanya jika ada kesempatan, jangan dilewatkan begitu saja.

“Gimana kalo Putri Tidur aja. Gue jadi pangeran yang akan membangunkan Putri Tidur yang diperankan Jani dengan bibir kissable gue,” ujar Bowo dengan seringai jahilnya.

“Najis!” tolak Jani. “Na, kasih usul kek. Dari tadi diem aja.” Anjani yang kebetulan duduk di sebelahku akhirnya sadar dengan kehadiranku.

“Gue pusing denger kalian debat,” keluhku, memasang wajah malas seraya berselonjor.

“Lo ada ide nggak, Na?” tanya Aron.

“Hmm...” Kali ini aku mulai ikut berpikir. Bertopang dagu sambil memutar otak. Barangkali ada ide yang nyasar di kepalaku sehingga keinginan untuk pulang dan tidur lagi segera terpenuhi.

“Ada sih. Kita bikin semacam drama musikal gitu. Temanya percintaan. Gue punya empat tokoh. Misalnya Jani, Aron, Bowo, dan gue. Jadi nanti ada satu pasangan. Jani dan Aron. Cowoknya romantis. Lo pada tahu kan definisi cowok romantis bagi cewek?” Aku melempar pertanyaan untuk mereka yang menyimak.

“Kasih bunga?” tebak Wawan.

Aku mengangguk. “Selain itu?”

“Nyanyi sambil ngegitar buat ceweknya, atau candle light dinner?”

“Itu juga termasuk.”

“Terus? Konfliknya gimana?” tanya Jani.

“Jani sahabatan sama gue dan Bowo. Nah, Bowo suka sama Jani tapi nggak berani nembak. Sementara diam-diam gue suka jalan sama Aron. Selingkuh deh istilahnya.”

Amit-amit. Jangan sampai alur yang kubuat terjadi di dunia nyata.

“Oke. Terus nanti ketahuan?” tanya Maria.

“Jelas dong. Jani marah, dan mutusin Aron. Dan saat itu juga Bowo muncul sebagai penyelamat. Bowo selalu menghibur Jani. Sampai Jani sadar kalau Bowo ternyata selalu ada buat dia,” tutupku.

Terkadang aku bangga dengan diri sendiri yang memiliki imajinasi yang membludak.

“Nah, konsepnya drama musikal nih, otamatis harus ada yang nyanyi. Jadi nanti tiap ada masalah nyanyi, terus di ending ada backsong romantis.”

“Klise nggak sih?” Mata Jani membidikku.

Musnah sudah harapanku dalam sekejap.

“Iya, sih. Agak klise,” jawabku sedih.

Untuk apa meminta pendapatku kalau akhirnya ditolak secara tidak langsung. “Ya udah. Gue nurut apa kata kalian deh. Percuma juga mulut gue sampe berbusa,” ketusku.

Inilah akibatnya kalau satu kelompok bersama orang-orang yang mengakui dirinya pintar.

“Gimana kalau Siti Nurbaya?” Wawan kembali memberi usul. “Keren banget kan itu novel. Bisa kita bedah inti ceritanya buat naskah drama. Gimana?”

“Kan nggak boleh adaptasi dari novel yang udah ada, Wawan,” balasku ketus.

“Oh, iya ya.” Wawan menggaruk kepalanya sambil tertawa kecil. Dasar bakwan gosong!

“Gimana kalau Preman Pensiun?”

“Seperti sinetron judul,” sahut Maria.

“Judul sinetron, Kriwil. Lo itu ngomong pake di bolak-balik,” komentar Wawan.

“Itu maksudku.” Maria nyengir.

Begitulah Maria dengan segala kepolosannya.

“Gue punya alur yang berbeda. Sini-sini merapat gue bisikin alurnya.”

Anehnya, kami merapat dengan raut penasaran. Aron membisikkan idenya. Kami menyimak dengan serius apa yang disampaikannya.

Cukup masuk akal. Tapi siap-siap saja, peranku hanya akan jadi figuran.

“Cocok ya?” tanya Aron setelah bercerita.

“Udah ambil aja yang itu. Masukin unsur komedi biar nggak garing,” kata Bowo.

Semuanya satu paham dengan Bowo, kecuali aku yang memilih membisu sejak ideku ditolak.

Please, itu sakit banget. Bagaimana kalau cinta gue yang ditolak?

“Gue tulis dulu prediksi tokoh-tokohnya.” Aron membuka buku catatannya dan menulis. “Sabrang nama premannya. Terus Jamilah cewek yang disukai Sabrang. Ini pemeran utamanya. Yang mau jadi Sabrang siapa?”

“Lo aja deh, Ron,” jawab Bowo.

“Iya lo aja. Muka lo cocok,” celetuk Wawan.

“Serius lo berdua. Nggak mau saingan buat membelai pipi Jani nanti.” Aron mengerling nakal.

“Gue tabok lu!” ancam Jani sangar.

“Nana jadi Aisyah ya, orang ketiga dalam hubungan Sabrang dan Jamilah.”

Aaaa aisyah kujatuh cinta, papapa pada Jamilah.” Wawan malah bernyanyi sambil tertawa. “Harusnya jangan preman pensiun, tapi preman tik-tok,” celetuknya lagi.

“Iyalah, si Bowo nih harusnya jadi pemeran utama,” timpal Maria.

“Diem kalian!” Aron geram. “Jadi Aisyah sama Sabrang sahabatan. Mereka dijodohkan dari kecil, tapi orang tua Aisyah tidak setuju karena pekerjaan Sabrang. Tapi Aisyah cinta mati sama Sabrang, dia patah hati pas tahu Sabrang suka Jamilah.”

“Kok gue jadi yang tersakiti sih?” protesku.

“Ini cuma peran, Na,” jawab Aron.

Plato mengatakan, Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.

Gambaran dari kenyataan? Aku harap sastra dalam hidupku itu kenyataan yang menyenangkan. Tidak apa-apa jika hidupku tidak sepuitis dan seromantis diksi dalam sastra, asal hidupku berwarna.

“Ya udah,” jawabku pasrah.

Daripada dihempas ke ujung Antartika, mending menurut saja.

“Oke. Kalau gitu nanti malam gue kerjain naskahnya. Besok gue sebar di grup. Kalau ada yang kurang, kalian bisa nambahin,” putus Aron.

“Siap, Ron!” Semua menjawab kompak.

“Kasih tahu Anto sama Agnes juga ya.”

“Sip. Aku nanti chat Agnes,” kata Maria.

“Oke, diskusi ditutup sampai sini. Besok abis kuliah kita kumpul lagi.”

“Siap, Capt!”

Aron memang punya sifat leadership yang bagus. Dia bertanggungjawab dan bisa mengayomi anggotanya. Tidak salah jika dosen sering kali mempercayainya sebagai ketua kelompok.

Related chapters

  • Stetoskop Hati   Bab 3

    Galih Lo tahu efek negatif dari patah hati yang berkepanjangan? Malas mencari pasangan lagi. Itu salah satu yang gue alami setelah tiga tahun yang lalu gue mengalami patah hati super dahsyat di saat gue ingin serius sama wanita yang gue cintai. Tapi lagi-lagi kenyataan itu buat gue sadar, kalau cinta memang bulshit! Gue tidak akan percaya lagi dengan satu kata yang diagung-agungkan manusia itu. Tiga tahun ternyata tidak mampu menyembuhkan sakit hati dalam diri gue. Bahkan tidak mampu mengeluarkan dia dari dalam hati gue. Apalagi kehidupan gue masih direcoki wanita yang membuat hati gue hancur sehancur-hancurnya. Gue pernah hampir menikah. Tanggal dan waktu sudah ditetapkan. Pernikahan itu gagal karena calon istri gue hamil anak mantan pacarnya sendiri. Mantan yang membuatnya gagal move on. Sampai cara licik pun mereka tempuh. Gue juga pernah berekspektasi tinggi, sampai memikirkannya pun merinding. G

  • Stetoskop Hati   Bab 4

    NanaSaat mentari berada tepat di atas kepala, aku baru pulang dari rumah Aron dengan menggunakan jasa ojek online.Di hari libur, kosan sepi. Penghuninya seperti keluar dari penjara. Mereka refreshing dari padatnya aktivitas kuliah. Sementara aku kebalikannya, stay di kosan dan memilih jalan-jalan sehabis kuliah jika tidak ada tugas.Saat hendak membuka pintu, ponselku berdering. Aku mengecek ponsel terlebih dahulu, siapa tahu itu penting. Ah, rupanya dari Ibu.“Assalamualaikum, Na.”“Waalaikumsalam, Bu.” Aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak, kemudian membuka pintu kosan. Melanjutkan sambungan telepon sambil rebahan di atas kasur.“Kamu sehat kan, Nduk?” Sebagai anak tunggal dari pasangan Kamal Pahlevi dan Mulyani, acap kali Ibu meneleponku untuk sekadar bertanya apa yang sedang aku lakukan. Dulu waktu aku memutuska

  • Stetoskop Hati   Bab 5

    NanaSebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk mel

  • Stetoskop Hati   Bab 6

    NanaApa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.“Oh, dia sudah menikah. Teru

  • Stetoskop Hati   Bab 7

    NanaKurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.Kembali ke topik awal dan lupakan soal

  • Stetoskop Hati   Bab 8

    NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba

  • Stetoskop Hati   Bab 9

    Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany

  • Stetoskop Hati   Bab 10

    NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran

Latest chapter

  • Stetoskop Hati   Extra Part

    Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu

  • Stetoskop Hati   Epilog

    Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut

  • Stetoskop Hati   Bab 42

    NanaMengalir dan deras. Perasaanku ibarat air sungai yang mengalir dengan arus yang sangat deras hingga menemukan pelabuhannya.Menikah dengan seorang lelaki yang berprofesi dokter itu impianku. Tapi, menikah dengan lelaki yang masih terlelap sambil menjadikanku guling hidupnya ini bukanlah satu ekspektasi yang besar. Bahkan, aku tak pernah punya bayangan akan hidup dengan dia seperti sekarang ini. Rasanya tiga bulan terlalu cepat berlalu. Kupikir pernikahan ini hanya akan berjalan dalam waktu yang singkat, sesingkat waktu saat kami memulainya. Namun takdir Tuhan itu sulit ditebak. Kami masih berbagi tempat tidur dalam satu atap yang sama. Bolehkah meminta untuk selamanya?Bibirku membiaskan senyum. Meneliti keindahan yang Tuhan ciptakan untuk sosok lelaki yang menjadi imamku ini. Tampan memang relatif, tapi tampan disertai menarik itu yang langka. Dan Mas Galih punya daya tarik yang pada akhirnya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam

  • Stetoskop Hati   Bab 41

    NanaAda yang hilang saat aku membuka mata. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi sebelum beranjak bangun. Tidurku menyamping, menatap bagian kosong yang ditinggalkan. Kamar ini menjadi saksi bisu bagaimana aku takluk akan bujukan dan sentuhannya malam itu. Seminggu yang lalu.Semalam kantukku hilang, mencoba memejamkan mata pun alam mimpi tidak kunjung menjemputku. Sering kali aku membuka ponsel, barang kali ada notifikasi dari Mas Galih. Nyatanya semalaman menunggu, tidak ada satu pesan yang masuk walaupun sekadar ucapan; selamat tidur.Capek memikirnya, aku beranjak dari ranjang dan memutuskan untuk mandi.Jika harus egois, kesalahanku kemarin tidak setara dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia pandai memanipulasi keadaan. Bersikap seolah-olah dia mengejarku dengan sungguh-sungguh, padahal hatinya masih menyangkut di masa lalu. Parahnya, aku percaya sebelum semua fakta terungkap.Saat dia mengambil first kiss-ku. Deng

  • Stetoskop Hati   Bab 40

    NanaSejak perjalanan menuju unit apartemen, Mas Galih sama sekali tidak membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tadi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaanku.Dia mengambil langkah lebar saat keluar dari lift. Meninggalkanku yang tertinggal jauh di belakangnya. Aku berusaha mengejarnya dengan langkah pendekku semaksimal mungkin.“Mas?”Dia tidak mengacuhkanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Mas Galih terus berjalan menuju kamar, dan aku mengikutinya dari belakang.“Mas Galih?”Masih diam. Dia menyibukkan diri dengan membuka kemeja yang dipakainya. Lalu menaruhnya dengan sembarangan ke keranjang cucian. Lantas mengambil handuk dari lemari.“Mas, dengerin aku ngomong dulu dong!” Aku berteriak dengan sangat keras hingga suaraku memantul di penjuru kamar.Langkahnya menuju kamar mandi seketika terhent

  • Stetoskop Hati   Bab 39

    NanaBerdamai dengan masa lalu, menyingkirkan setiap rasa sakit yang pernah hadir. Semua itu perlahan terkikis waktu seiring berjalannya kebersamaan. Di saat aku merencanakan apa yang terjadi setelah satu bulan ke depan, ternyata Tuhan punya jalannya sendiri untuk rumah tanggaku.Semuanya berubah setelah malam di mana aku menyerahkan hati dan harta yang paling berharga di hidupku pada sosok lelaki yang sekarang sedang menikmati sarapannya. Sebenarnya tak ada ekspektasi apa-apa jika aku akan segampang menyerah padanya dan mengingkari syarat yang kubuat sendiri. Semuanya berawal dari kejadian saat aku berdiri di pinggir kolam renang. Aku tidak bisa berenang, tapi melihat airnya yang jernih dan tenang aku jadi tertarik untuk menikmatinya. Sekadar menenggelamkan kakiku dan duduk di pinggir sungai. Namun kejadian tak terduga terjadi saat aku hendak duduk, dari arah belakang ada yang mendorongku hingga jatuh ke dalam kolam renang. Aku pasrah saat itu. Takut

  • Stetoskop Hati   Bab 38

    GalihGue mendudukkan Nana di tepi ranjang. Sejak tadi dia sama sekali belum berbicara, hanya menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk dalam. Ya Tuhan, setakut ini dia sama kolam renang?Gue mengambil handuk bersih di lemari, membungkus tubuh basah Nana dengan handuk itu. Gue mengambil posisi jongkok di depannya, mengangkat dagunya agar dia menatap gue.“Jangan nangis,” kata gue lembut, mengusap air matanya. Lalu menggenggam jemari dinginnya.Tangisnya mulai mereda, matanya yang bengkak menatap sayu gue. “Waktu SMP, aku pernah hampir tenggelam karena dijorokin temen waktu praktik renang. Dari situ aku takut renang. Aku....,”“Ssttt!”Gue tahu Nana ingin cerita kejadian di masa lalunya itu. Tapi sepertinya emosinya meledak-ledak dan masih belum stabil.“Udah jangan dilanjutin,” cegah gue. “Mau ga

  • Stetoskop Hati   Bab 37

    Galih Sebagai lelaki yang normal seratus persen, lo tahu apa yang buat gue frustasi setiap hari? Status gue sebagai suami. Tapi gue hanya dikasih bibir doang, paling banter gue bisa nyentuh dadanya. Itu juga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Asli mau bilang nanggung, gue sudah terlanjur janji. Satu bulan, satu bulan terberat dalam hidup gue. Untung dia selalu memakai pakaian yang sopan, piyama tidur yang panjang. Dan itu berhasil sedikit meredam keinginan gue untuk menyentuhnya. Dan gue berharap, setelah delapan hari terlama dalam hidup gue itu, gue bukan hanya berhasil memanjakan ronaldo junior. Tapi gue harus berhasil meyakinkan Naditya Pramesti, kalau gue sayang, ah ralat mungkin sayang gue sudah ke tahap cinta. Hidup satu atap dengannya selama dua puluh dua hari, membawa perubahan signifikan dalam hidup gue. Gue lupa kapan tepatnya, tapi gadis kecil itu berhasil bikin gue uring-uringan lagi setelah tiga tahun lepas dari yang

  • Stetoskop Hati   Bab 36

    NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste

DMCA.com Protection Status