Nana
Aku berselancar ke i*******m. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.
“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”
Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”
“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.
“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mbak Raina muncul.
Astaga! Aku lupa belum memberitahu tentang kesalahpahamanku mengenai status dokter Galih.
“Sebenernya gue lupa cerita, kalau itu bukan anaknya dokter Galih tapi keponakannya. Dokter Galih belum nikah.”
Reaksi Rani cukup terkejut. Hampir sama seperti ketika aku baru mengetahui status dokter Galih. “Wow, serius?”
“Iya, serius.”
Wong dia sendiri yang bilang, padahal aku tidak memintanya menjelaskan status. Too much information banget pokoknya.
“Usianya berapa?”
“Dia bilang tiga puluh tahun.”
“What?” Rani memekik disertai matanya yang melotot sempurna. “Kok belum nikah ya? Usia udah matang, ganteng, mapan, pokoknya kalau nikah sama dia hidup kita pasti terjamin. Apa jangan-jangan dia gay?”
Kupukul lengan Rani karena sudah berbicara sembarangan padahal kami masih di tempat umum. Bukan di dalam kamar kos yang biasa dijadikan tempat untuk ajang curhat kami berdua.
“Hush, sembarangan lo. Masa iya gay. Mungkin dia sibuk ngejar gelar spesialis bedah digestif, Ran. Jangan ngaco, deh. Kalau orangnya denger bisa disuntik mati lo.”
“Ya semoga aja nggak gay,” cicit Rani. “Ah, Na, kenapa nggak lo coba deketin? Katanya pengin punya suami dokter. Sama dokter Galih aja. Siapa tahu dia jelemaan dokter Nando yang di cerpen lo?”
Kali ini giliran aku yang dibuat melotot olehnya. “Ngaco! Dari umur aja udah jauh banget bedanya. Sembilan tahun cuy.”
Rani tergelak lantas bertopang dagu. “Na, tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan. Kalau emang pikiran lo dewasa, meskipun umur lo masih muda, lo pasti bisa ngimbangin orang yang usianya lebih tua dari lo.”
“Ya nggak sama dokter Galih juga, Ran,” tolakku.
“Gimana kalau Tuhan beneran jodohin lo berdua? Nggak ada pertemuan tanpa alasan. Nggak baik kalau nolak jodoh, Na. Katanya lo pengin dapet jodoh dokter, kesempatan ada di depan mata lo sekarang. Lo juga udah terlanjur nazar, harus ditepatin dong,” cerocos Rani.
Tidak! Sifat dan sikap Dokter Galih tidak seperti Dokter Nando dalam cerpenku.
“Ran, tapi dokter Galih nggak masuk kriteria yang gue inginkan. Dia galak.”
“Dia nggak galak, Na. Dia tegas. Tapi tegasnya agak horor aja. Kayaknya laki-laki macam dia nggak boleh dipancing emosinya,” kata Rani lagi. Dia seperti sedang meng-endorse dokter Galih.
Aku berdecak. Lantas mengembungkan pipi, ngambek. “Ah, gue nggak mau sama dokter Galih. Udah parno duluan, Ran. Lagian masih banyak mahasiswa kedokteran.”
Yups targetku adalah dokter muda.
Lagi-lagi Rani merespons dengan gelak tawa. Matanya sampai menyipit. “Memangnya ngedeketin mahasiswa kedokteran itu segampang lo nyabut upil? Boro-boro ngedeketin, kadang kenalan aja susah.”
Dan itu realita. Mahasiswa kedokteran itu seakaan sibuk dengan buku-buku tebal.
Baik, sepertinya pembahasan soal jodoh dokter harus dihentikan sampai sini, daripada Rani semakin menggebu-gebu nantinya.
“Udah sih. Kok jadi bahas dokter Galih? Mending ke Gramed yuk, nanti sekalian nonton.”
“Eh, gue mau jalan sama Beni nanti malem.”
“Yah, emang nyokapnya udah balik dari rumah sakit?”
“Udah. Kini waktunya gue quality time sama Beni.” Rani tersenyum lebar. Aku yakin hatinya sudah berbunga-bunga. Karena dua hari sebelumnya, ia galau karena Beni sibuk mengurus ibunya di rumah sakit dan bergantian dengan kakaknya. Dulu Rani pernah cerita, ayahnya Beni jarang sekali pulang karena pekerjaannya sebagai abdi negara yaitu Perwira Mayor TNI Angkatan Laut yang bertugas di Armada Timur, Tanjung Perak, Surabaya.
“Najis! Ya udah gue nonton sendiri.”
“Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama kamu asyik sendiri. Lama tak ada yang menemani.”
Rani malah meyindirku dengan menyanyikan lagu Terlalu Lama Sendiri milik Kunto Aji. Iya, memang, status jombloku sudah berjamur dan kadaluarsa. Aku jomblo bukan berarti gagal move on. Aku sudah melupakan Mas Bayu, meskipun pada awalnya sulit. Tapi toh tidak ada untungnya selalu mengingat mantan. Aku jomlo karena memang tidak ada niat untuk pacaran dulu dan ada rasa takut dalam diriku untuk memulai sebuah hubungan.
“Na, hati lo apa kabar? Bertahun-tahun jomblo, apa hati lo gak nelangsa?” Pertanyaan paling pahit yang keluar dari mulut sahabatku.
“Gue jomlo karena ingin memelihara hati gue dan menjauhkannya dari pengkhianatan cowok.”
“Gaya lo! Udah mending lo usaha buat dapetin dokter Galih, siapa tahu doi masih single.”
Nah, lagi-lagi dokter Galih.
“Rani, stop!” Rasanya ingin menyumpal Rani dengan french fries yang sayangnya sudah masuk semua ke dalam kerongkonganku.
“Yuk cabut!” ajaknya sembari menutup laptop.
Aku mengangguk. Sebelum pergi pastinya membayar pesanan sesuai harga.
Tujuan kami berikutnya adalah Gramedia, mencari buku-buku mengenai sejarah sastra yang akan kami jadikan pedoman untuk membuat laporan tugas. Tidak perlu berlama-lama di Gramedia, setelah menemukan apa yang kami butuhkan, kami langsung keluar.
Setelah dari Gramedia, tujuanku dan Rani berbeda. Aku nonton ke bioskop dan Rani pergi bersama Beni yang sudah menjemputnya.
Memilih menonton film action daripada film romantis. Film Mile 22 yang kupilih. Film luar negeri, tapi dalam daftar pemainnya ada aktor laga Indonesia yang sudah go international yaitu Iko Uwais. Aku memilih show ketiga, pukul 19.00 WIB. Berarti tinggal duapuluh menit lagi. Duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam bioskop, aku memainkan ponsel agar tidak terlalu jenuh.
“Kamu Nana, kan?”
Kepalaku yang sejak tadi menunduk tanpa memperhatikan keadaan sekitar akhirnya mendongak ketika mendengar suara orang yang menegurku.
Astaga! Dokter Galih? Bibirku membulat sempurna. Okay, santai, Na.
“Wah, dokter Galih. Nonton juga, Dok?” tanyaku basa-basi.
Tanpa kuduga, dokter Galih duduk di sebelahku. “Iya. Ngelepas penat dulu setelah seharian kerja. Nonton film apa kamu?”
“Mile 22.” Aku memperlihatkan tiket nontonku padanya.
“Saya juga Mile 22.” Jawaban dokter Galih sukses membuatku melongo.
Kok sama sih?
“Kamu sendirian?” tanya dia lagi.
“Iya. Dokter?”
“Sama, saya sendiri.”
Ciri-ciri cowok single, nonton film sendirian.
“Cewek suka film action. Keren juga. Biasanya cewek muda kayak kamu ini lebih ingin menonton film romantis,” tebaknya.
“Sebenarnya banyak genre yang saya tonton. Berhubung sekarang nonton sendiri, dan penasaran juga sama aktingnya Iko Uwais jadi pilih nonton Mile 22 aja. Takutnya kalau nonton film romantis nanti bapernya sendiri, dan envy lihat orang lain rangkulan. Apalagi kalau nontonnya sendiri, yang ada ngenes, Dok.”
Astaga kenapa aku curhat?
“Jujur banget kamu.” Ini pertama kali aku melihat dia terkekeh pelan. Selama empat kali kesempatan kami bertemu, dia kurang membuat kesan baik padaku. Pertama di Taman, sumpah itu paling menyebalkan. Kedua saat dia marah-marah pada salah satu koas, itu juga menyebalkan. Ketiga, saat aku melihat dokter Galih menemani pasiennya di taman. Itu keren menurutku. Dan yang keempat adalah saat aku mewawancainya. Rautnya saat itu masih terkesan serius.
“Ayah selalu bilang, kalau jujur masih menjadi sifat terpuji kenapa harus ditinggalkan?”
Kulihat dokter Galih mengangguk tanda setuju dengan ucapanku.
“Mohon perhatian Anda. Pintu teater dua telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis dipersilakan untuk memasuki ruangan teater dua.”
Aku berdiri lebih dulu, disusul dokter Galih.
“Kamu duduk di kursi berapa?” tanyanya.
“E4,” jawabku setelah membaca tiket nonton. “Dokter berapa?”
“F1.”
“Wah di pojok ya?”
“Iya, biar seru,” jawabnya. “Ayo, sambil jalan!”
Aku mengangguk, lantas berjalan dengan hati-hati dan sedikit di belakangnya. Malu jika harus berjalan beriringan. Kami tidak sepadan.
“Kamu pulang naik apa?” Dia kembali melontarkan pertanyaan saat kami berjalan menuju teater dua.
“Transjakarta.”
“Nanti sama saya pulangnya.”
Jantungku bereaksi berlebihan. Ditambah rasa hangat yang muncul di hati. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba dokter Galih berbicara dengan nada santainya mengajakku pulang bareng. Apa tidak salah?
“Hah?”
Aku tidak tahu seperti apa ekspresiku kali ini. Mungkin sudah cengo tak terkira. Hal itu sontak membuat dokter Galih tertawa lagi.
“Kenapa kaget? Saya nggak akan menculik kamu. Kamu bisa pegang KTP saya sebagai jaminan,” ucapnya terdengar mantap. Memangnya gaya laki-laki dewasa setiap melakukan sesuatu itu harus ada jaminan?
“Nggak usah, Dok. Ngerepotin. Saya udah biasa naik TJ kok,” tolakku merasa tidak enak.
“Kamu itu perempuan. Nggak baik pulang malam menggunakan kendaraan umum.”
Yups, kalimatnya persis seperti wejangan Ibu yang kerap kali khawatir jika aku pulang malam apalagi menggunakan kendaraan umum.
“Nanti kamu tunggu di pintu keluar bioskop ya,” ujarnya lagi yang semakin membuatku tidak berkutik.
Apa benar yang dikatakan Rani. Kalau dokter Galih adalah jelmaan Dokter Nando di dunia nyata?
“Na?”
“Ah, iya, Dok?”
Sial. Kenapa aku gugup?
“Saya antar kamu pulang nanti habis nonton.” Seolah meyakinkan bahwa dia tidak sedang bercanda untuk mengantarkanku pulang.
Seperti orang linglung, aku hanya menganggukkan kepala seraya menyeret langkahku lebih dekat ke pintu teater. Menyerahkan karcis pada pramuniaga, sebelum diizinkan masuk.
Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany
NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran
NanaDokter Galih mengajakku bertemu di acara car free day Bundaran Hotel Indonesia. Aku terduduk lemas di trotoar jalan setelah jogging di sekitar bundaran HI, napasku memburu, dan kakiku berselonjor untuk menghindari kram. Kelelahanku sepertinya menjadi hiburan bagi dokter Galih. Ia duduk di sebelahku sambil terkekeh. Tak lupa kedua kakinya yang ikut berselonjor.“Kelihatan nggak pernah olahraga,” katanya.Aku menggeleng sambil meneguk air putih dalam botol. Kemudian menyanggah pendapatnya. “Saya biasa jogging tiap minggu sore”“Olahraga itu perlu, minimal seminggu sekali untuk menjaga kebugaran tubuh.”Sepertinya jika setiap hari aku bertemu dengannya, setiap hari pula aku akan mendapatkan seminar gratis tentang kesehatan.“Kalau weekend gini saya biasa tidur sampe sore, abis itu bangun buat jogging.”“J
NanaHidup itu terkadang penuh kejutan. Dalam seminggu terakhir ini, kejutan bertubi-tubi datang menghampiri. Di awali dari imajinasiku yaitu merancang sebuah cerita pendek tentang impianku yang ingin memiliki jodoh dokter. Selanjutnya, pertemuanku dengan dokter Galih di taman itu merupakan awal dari segala kejutan terjadi. Tentang imajinasiku yang nyaris patah tentang dokter, tentang penyakit ayah, yang pada akhirnya membawaku berada dalam satu dimensi waktu kembali dengan dokter Galih.Soal nazarku tempo hari, bukankah dokter Galih tidak seperti dokter Nando diceritaku? Aku tidak harus mengejarnya, kan? Toh, bertemunya aku dengannya hari ini bukan karena bermaksud flirting, tapi karena memang ada yang ingin aku tanyakan.Pukul dua belas siang, kami sepakat untuk pulang. Aku kira sewaktu pulang dari bioskop itu akan menjadi yang pertama dan ter
GalihGue tahu jika jodoh itu ada di tangan Tuhan. Tapi cara takdir bermain dalam kehidupan gue itu sadis, sampai gue tidak bisa berkutik sedikit pun. Kadang gue menertawakan takdir kejam itu, takdir soal asmara di hidup gue tentu saja. Apa ini karma?Sebab, sebelum gue memutuskan serius mengejar satu wanita, gue tidak pernah serius. Gue hobi hura-hura sama wanita. Menganggap mereka boneka yang gue buang begitu saja setelah gue mainkan. Tapi justru pada akhirnya gue yang dimainkan oleh wanita.Apa itu definisi bahwa sebagai laki-laki gue ini goblok?Gue tahu apa yang gue lakukan saat ini berisiko. Tetap berada di jalur yang sama dengan masa lalu. Gue tidak beranjak, masa lalu gue masih berkeliaran di hidup gue. Jujur, ucapan Raina soal anaknya selalu terngiang di telinga gue.“Aku berharap kamu tetap kayak gini sama Naka. Kamu boleh benci sama aku & Raka. Tapi, tolong. Jangan libatkan Naka dalam masa
NanaKatanya sebuah impian itu harus diwujudkan kalau itu bukan sesuatu yang mustahil. Tapi impianku ini menurutku sedikit konyol. Bahkan tidak pantas disebut impian, tapi obsesi. Obsesiku tentang jodoh dokter bahkan sudah kuumbar-umbar pada kedua orang tuaku. Mereka sangat tahu kalau aku terobsesi oleh lelaki yang berprofesi dokter.Di sebelahku sekarang, ada seorang dokter laki-laki yang jelas-jelas masih single. Secara fisik sudah pasti dapat poin sembilan. Dari segi sikap dan sifat, aku merasa dokter Galih sudah mulai asyik dalam setiap sesi obrolan kami.Bisakah aku mengatakan bahwa ini konspirasi alam semesta? Di saat aku mulai menyerah dengan obsesiku dan memilih menikmati kehidupanku, Tuhan mempertemukanku dengan dokter Galih. Tapi, masa iya aku harus jatuh cinta sama dia?Dia sudah tiga puluh tahun. Itu artinya dia sudah kelewat matang. Sementara aku ingin memiliki pasangan yang usianya hanya terpaut
Nana Sebagai anak kos yang mesti bangun pagi, hampir setiap hari aku dan Rani sarapan bubur yang ada di dekat kampus. Meskipun sarapan sama bubur ayam itu cepat lapar, minimal bisa mengganjal perut sampai pergantian jam mata kuliah nanti. “Udah sampai mana pendekatan lo sama dokter Galih?” Di tengah sarapan, Rani sempat-sempatnya menanyakan hal itu. Berbicara tentang dokter Galih, kejadian kemarin tidak bisa aku abaikan begitu saja. Cara dia bercanda itu berlebihan. Apa dia selalu begitu kepada setiap wanita yang dekat dengannya? Kasihan mereka pasti berpikir dokter Galih memberi harapan palsu. Sementara bagiku, aku nyaris termakan sama omongannya. Tapi kembali lagi ke realita, rasanya sulit mempercayai jika dokter Galih serius apalagi kita baru saling mengenal dan dia sendiri yang mengatakan bahwa ucapannya yang seperti melamarku itu hanya sebuah candaan belaka. “Jangan bikin gosip, Ran. Gue nggak pernah PDKT s
NanaRumah Singgah Merangkul Asa di sore hari ini cukup ramai. Ada rasa sungkan saat melihat tatapan-tatapan yang dilontarkan dari beberapa orang yang ada di sana saat aku melewati berjalan beriringan dengan dokter Galih.“Mas Galih.” Seorang wanita paruh baya berjilbab dan memakai gamis pink, melangkah lebar mendekati dokter Galih tak lupa bibirnya yang melengkungkan senyum ramah.“Sehat, Bu?” Dokter Galih mencium tangan wanita tadi dengan sopan.“Alhamdulillah sehat.”Lalu bola mata wanita yang kurasa seusia Ibu jatuh ke arahku. Mau tak mau aku tersenyum kikuk.“Ini siapa?” tanyanya padaku.“Namanya Nana, Bu. Dia yang mau ngajarin anak-anak menulis puisi. Kebetulan Nana mahasiswa sastra.” Dokter Galih yang menjawab. “Na, kenalin ini Bu Anggi. Beliau selaku Ketua Pengurus Rumah Singgah Merangkul Asa ini.”Aku mengangguk sopan
Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu
Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut
NanaMengalir dan deras. Perasaanku ibarat air sungai yang mengalir dengan arus yang sangat deras hingga menemukan pelabuhannya.Menikah dengan seorang lelaki yang berprofesi dokter itu impianku. Tapi, menikah dengan lelaki yang masih terlelap sambil menjadikanku guling hidupnya ini bukanlah satu ekspektasi yang besar. Bahkan, aku tak pernah punya bayangan akan hidup dengan dia seperti sekarang ini. Rasanya tiga bulan terlalu cepat berlalu. Kupikir pernikahan ini hanya akan berjalan dalam waktu yang singkat, sesingkat waktu saat kami memulainya. Namun takdir Tuhan itu sulit ditebak. Kami masih berbagi tempat tidur dalam satu atap yang sama. Bolehkah meminta untuk selamanya?Bibirku membiaskan senyum. Meneliti keindahan yang Tuhan ciptakan untuk sosok lelaki yang menjadi imamku ini. Tampan memang relatif, tapi tampan disertai menarik itu yang langka. Dan Mas Galih punya daya tarik yang pada akhirnya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam
NanaAda yang hilang saat aku membuka mata. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi sebelum beranjak bangun. Tidurku menyamping, menatap bagian kosong yang ditinggalkan. Kamar ini menjadi saksi bisu bagaimana aku takluk akan bujukan dan sentuhannya malam itu. Seminggu yang lalu.Semalam kantukku hilang, mencoba memejamkan mata pun alam mimpi tidak kunjung menjemputku. Sering kali aku membuka ponsel, barang kali ada notifikasi dari Mas Galih. Nyatanya semalaman menunggu, tidak ada satu pesan yang masuk walaupun sekadar ucapan; selamat tidur.Capek memikirnya, aku beranjak dari ranjang dan memutuskan untuk mandi.Jika harus egois, kesalahanku kemarin tidak setara dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia pandai memanipulasi keadaan. Bersikap seolah-olah dia mengejarku dengan sungguh-sungguh, padahal hatinya masih menyangkut di masa lalu. Parahnya, aku percaya sebelum semua fakta terungkap.Saat dia mengambil first kiss-ku. Deng
NanaSejak perjalanan menuju unit apartemen, Mas Galih sama sekali tidak membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tadi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaanku.Dia mengambil langkah lebar saat keluar dari lift. Meninggalkanku yang tertinggal jauh di belakangnya. Aku berusaha mengejarnya dengan langkah pendekku semaksimal mungkin.“Mas?”Dia tidak mengacuhkanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Mas Galih terus berjalan menuju kamar, dan aku mengikutinya dari belakang.“Mas Galih?”Masih diam. Dia menyibukkan diri dengan membuka kemeja yang dipakainya. Lalu menaruhnya dengan sembarangan ke keranjang cucian. Lantas mengambil handuk dari lemari.“Mas, dengerin aku ngomong dulu dong!” Aku berteriak dengan sangat keras hingga suaraku memantul di penjuru kamar.Langkahnya menuju kamar mandi seketika terhent
NanaBerdamai dengan masa lalu, menyingkirkan setiap rasa sakit yang pernah hadir. Semua itu perlahan terkikis waktu seiring berjalannya kebersamaan. Di saat aku merencanakan apa yang terjadi setelah satu bulan ke depan, ternyata Tuhan punya jalannya sendiri untuk rumah tanggaku.Semuanya berubah setelah malam di mana aku menyerahkan hati dan harta yang paling berharga di hidupku pada sosok lelaki yang sekarang sedang menikmati sarapannya. Sebenarnya tak ada ekspektasi apa-apa jika aku akan segampang menyerah padanya dan mengingkari syarat yang kubuat sendiri. Semuanya berawal dari kejadian saat aku berdiri di pinggir kolam renang. Aku tidak bisa berenang, tapi melihat airnya yang jernih dan tenang aku jadi tertarik untuk menikmatinya. Sekadar menenggelamkan kakiku dan duduk di pinggir sungai. Namun kejadian tak terduga terjadi saat aku hendak duduk, dari arah belakang ada yang mendorongku hingga jatuh ke dalam kolam renang. Aku pasrah saat itu. Takut
GalihGue mendudukkan Nana di tepi ranjang. Sejak tadi dia sama sekali belum berbicara, hanya menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk dalam. Ya Tuhan, setakut ini dia sama kolam renang?Gue mengambil handuk bersih di lemari, membungkus tubuh basah Nana dengan handuk itu. Gue mengambil posisi jongkok di depannya, mengangkat dagunya agar dia menatap gue.“Jangan nangis,” kata gue lembut, mengusap air matanya. Lalu menggenggam jemari dinginnya.Tangisnya mulai mereda, matanya yang bengkak menatap sayu gue. “Waktu SMP, aku pernah hampir tenggelam karena dijorokin temen waktu praktik renang. Dari situ aku takut renang. Aku....,”“Ssttt!”Gue tahu Nana ingin cerita kejadian di masa lalunya itu. Tapi sepertinya emosinya meledak-ledak dan masih belum stabil.“Udah jangan dilanjutin,” cegah gue. “Mau ga
Galih Sebagai lelaki yang normal seratus persen, lo tahu apa yang buat gue frustasi setiap hari? Status gue sebagai suami. Tapi gue hanya dikasih bibir doang, paling banter gue bisa nyentuh dadanya. Itu juga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Asli mau bilang nanggung, gue sudah terlanjur janji. Satu bulan, satu bulan terberat dalam hidup gue. Untung dia selalu memakai pakaian yang sopan, piyama tidur yang panjang. Dan itu berhasil sedikit meredam keinginan gue untuk menyentuhnya. Dan gue berharap, setelah delapan hari terlama dalam hidup gue itu, gue bukan hanya berhasil memanjakan ronaldo junior. Tapi gue harus berhasil meyakinkan Naditya Pramesti, kalau gue sayang, ah ralat mungkin sayang gue sudah ke tahap cinta. Hidup satu atap dengannya selama dua puluh dua hari, membawa perubahan signifikan dalam hidup gue. Gue lupa kapan tepatnya, tapi gadis kecil itu berhasil bikin gue uring-uringan lagi setelah tiga tahun lepas dari yang
NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste