Nana
Sebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.
Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk melawan kemalasan yang sering kali menghadang jalanku menuju Roma, maaf, maksudku jalan menuju impianku.Aku tidak lahir dari keluarga yang bergelimang harta dan tahta. Ayahku seorang PNS, merupakan kepala sekolah SMP Negeri. Ibuku membuka katering makanan yang sudah lumayan dikenal masyarakat di daerahku. Itu juga sebagai salah satu motivasi untukku, bahwa Naditya Pramesti bisa lebih sukses dari Ayah dan Ibu.“Ran?” Aku menegur Rani yang fokus membaca cerpenku.Ia hanya menjawab dengan gumaman kecil.“Ini gue nazar ya, lo yang jadi saksinya. Kalau ada dokter yang karakternya sama kayak di cerpen gue, bakalan gue kejar itu dokter. Nggak peduli gue cewek sekali pun. Ya gila aja gitu, kalau ngelepasin kesempatan dapetin dokter.”Rani mengangkat wajahnya. Iris matanya menatapku disertai kerutan di dahinya. “Oke, oke. Terus kalau misalnya nih emang beneran ada, tapi dokter itu pindah ke Afrika Selatan, gimana tuh?”“Ya, ya bakalan gue kejar juga, tapi...” Aku sengaja menggantungkan kalimatku sampai Rani benar-benar penasaran.“Tapi apa?” Dia bertanya dengan nada tidak sabaran.Aku melontarkan senyum padanya. “Gue bakal kejar kalau ada modalnya.”Tawa lantang dari Rani mengudara memenuhi satu ruangan kamar kosku. “Ngamen dulu di stasiun sana.”“Anti ngamen-ngamen klub,” sahutku.“Bentar gue lanjutin baca dulu,” ujarnya setelah berhasil menghentikan tawanya.Aku mengangguk, membiarkan Rani hanyut ke dalam imajinasinya. Sementara aku mencoba memejamkan mata karena ngantuk.“Ah, sumpah sumpah!!! Ini kenapa lo bisa sekeren ini bikin cerpen sih?”Rani menjerit, sontak membuatku terkejut dan menutup kedua telinga. Karena posisi Rani kini duduk bersila di depanku sambil memangku laptop.Aku tersipu malu, entah kenapa setiap Rani membaca cerpenku selalu timbul rasa kurang percaya diri dengan kemampuan diri sendiri. “Ah, lebay lu!” Aku mendorong lengannya pelan.“Ini serius, Na. Gue baper sama sosok dokter Nando di cerpen lo. Masya Allah suamiable banget. Kalau gini caranya gue juga mau rebutan dapetin dokter macam ini sama lo,” cerocosnya menggebu-gebu.“Eh, nggak usah ngaco lo. Nggak ada ya acara ikut-ikutan!” Aku memelototinya.“Ngapa, sih? Ya biarin aja kali kita bersaing sehat.” Rani menyeringai lebar.“Ogah ya, gue udah nazar duluan.”“Iya deh gue ngalah. Gue mau sama dosen yang ada di cerpen lu minggu kemarin aja.”“Sayangnya nggak ada dosen macam Pak Aldo di kampus kita,” sahutku.“Ah, iya.” Rani cemberut. “Tapi sumpah kata-kata dokter Nando yang ini nih yang bikin gue lemes. Aku bisa mencegah penyakit dengan cara memberikan tips bagaimana cara hidup sehat pada orang lain, tapi aku nggak bisa mencegah hati aku buat nggak cinta sama kamu. Baper banget!”Perasaan bahagia semakin membuncah. Istilahnya seperti ini, ketika apa yang lo kerjakan itu diapresiasi sama orang lain apalagi keluarga dan temen lo sendiri, lo pasti akan speechless. Terharu dan bahagia sulit buat diungkapin. Dan itu terjadi padaku saat ini.“Ah, idung gue hampir terbang nih kalau lo puji-puji terus.”Rani menutup laptopku kembali setelah selesai membaca, lalu ikut barbaring lagi di sebelahku. Kami berdua sama-sama menatap langit kamar, aku memeluk guling sementara Rani memeluk boneka teddy bear yang cukup besar.“Ajarin gue dong, Na, biar bisa bikin cerita sebaper ini.”Nah, aku sendiri bingung bagaimana menjawab pertanyaan semacam ini. Karena bagiku, nulis itu timbul dari alam bawah sadar yang kerap kali meminta kita berimajinasi lebih padat dari seseorang.“Terus belajar nulis, Ran, sambil baca-baca buku baik itu non-fiksi ataupun fiksi, biar kosa kata lo terasah dan imajinasi lo pun bakal lebih banyak,” jawabku seadanya.“Gue kaku kalau nulis,” timpalnya.“Emang kaku awalnya. Gue pas lihat tulisan gue yang pertama. Ketawa sendiri saking gelinya sama itu tulisan.”Asli! Aku tertawa sewaktu membaca buku diary zaman sekolah dasar dengan tulisan ceker ayam dan diksi yang lebay.“Sip deh gue coba nanti, siapa tahu gue bisa nyiptain karakter yang bisa jadi jodoh gue di dunia nyata.”Mau tak mau aku tertawa. Siapa yang tidak mau berjodoh jika pria itu seperti tokoh fiksi cowok dalam sebuah cerita yang sempurna baik fisik maupun sifat? Aku menengok ke arah Rani, melihat garis wajahnya dari samping. Rani ini memiliki wajah yang oriental dan cantik. “Yang namanya mengejar cita-cita itu gak kenal kata kadaluarsa. Mau umur lo udah tua, tubuh lo udah reyot tapi impian lo masih ada yang belum tercapai, ya kejarlah.”Rani balas menoleh ke arahku, alisnya bertahut namun bibirnya melengkungkan senyum. “Kok otak lo bisa bijak sih, Na? Biasanya sableng.”Tawaku cukup keras karena pertanyaan Rani yang 99,9% benar itu. Otakku kadang sesableng itu.“Otak gue bijak kalo isi dompet gue penuh. Kalau otak gue sableng itu artinya isi dompet gue limit.”Rani menoyor kepalaku tanpa belas kasihan. “Bilang aja butuh dana tanggal tua lu! Tanggal tua si merah dalam dompet langka ya.”“Bukan langka lagi tapi gak ada, paling banter ada si biru satu lembar.” Ini bagian dari curhatan anak kosan.“Ngenes banget ya ampun!” Rani tertawa.“Eh, sesama orang ngenes nggak usah saling mengejek,” ketusku. Kemudian kami berdua tertawa. Iya, bahagia itu sederhana jika kita menikmati hidup.“Sore ini anterin gue jenguk nyokap Beni di rumah sakit ya, Na?”“Ibunya Beni sakit?”For your information, Beni ini adalah pacar Rani. Mereka sudah jalan dua tahun. Beni juga mahasiswa, ia fakultas seni rupa di Universitas yang sama denganku dan Rani.“Iya, kemarin asmanya kumat. Rawat inap dua hari katanya,” jawab Rani.“Oalah... Lo kenapa nggak minta Beni jemput aja?”“Nggak mau ngerepotin gue tuh. Lagian dia lagi jaga nyokapnya. Biar gue naik transjakarta aja.” Lalu raut wajahnya berubah menjadi memelas. Jemarinya mencengkeram lenganku lalu mengguncang-guncangnya. “Anter ya, Na. Bayar TJ pake kartu gue deh. Terus gue jajanin lo kalau laper.”Tawaran yang sangat menggiurkan, rezeki sudah pasti jangan ditolak. Secepat kilat, wajahku berubah secerah mentari. “Oke sip. Tapi gue tidur dulu sekarang. Ngantuk banget.”Rani bangkit dan duduk bersila. “Sip. Ntar gue ke sini lagi jam tiga. Gue pinjem dulu catatan lo. By the way, lo nggak jadi nyari makan?”Aku menggeleng. “Tidur aja.”“Gue balik ke kamar deh kalau gitu,” katanya seraya turun dari kasur, mengambil buku catatanku kemudian pergi dari kamar kosku.Jam tiga sore, kami berdua menuju rumah sakit tempat ibunya Beni dirawat dengan menggunakan transjakarta. Salah satu transportasi umum yang aku sukai karena ongkosnya yang terjangkau.“Kamarnya di mana?”“Di lantai tiga katanya, kita naik lift, Na.”Aku mengikuti langkah Rani untuk mencari lift. Di dalam lift, aku kembali bersama khayalanku. Berharap, sosok dokter dalam cerpenku benar-benar nyata dan mungkin saja aku temukan di rumah sakit ini.Tepat saat keluar dari lift, aku mendengar keributan. Suara itu berasal dari sebelah kanan tempatku berdiri, bola mataku sontak menengok ke arah tersebut. Kulihat beberapa orang berdiri di sekitar nurse station.“KENAPA KAMU CEROBOH SEKALI?”Suara bariton itu memekakkan telingaku. Langkahku dan Rani terhenti begitu saja. Kami saling pandang, belum mengerti akan situasi yang terjadi. Tetapi yang kulihat, dua orang dokter laki-laki berdiri saling berhadapan.“Saya kan sudah bilang, jangan melakukan apa pun sebelum saya perintahkan!!!”Lagi, sosok dokter yang berdiri membelakangiku itu membentak dokter muda di depannya. Sumpah! Ini bulu kuduk merinding mendengar nada suaranya tadi. Adegan ini pun menjadi tontonan gratis beberapa orang yang lewat di lantai ini.“Dok...”“Kerja itu pake otak! Baru koas aja kerjamu sudah teledor seperti ini. Gimana kalau udah resmi jadi dokter? Apa yang akan kamu lakukan hanya akan menghilangkan nyawa orang lain saja?”Astaga, kenapa kata-katanya menyayat hati. Seperti merendahkan orang lain. Jika aku menjadi koas itu, sudah pasti aku akan melawan jika dipandang sebelah mata seperti tadi. Mentang-mentang sudah menjadi dokter, jadi sombong. Amit-amit kalau sampai jodohku dokter kejam seperti dokter yang berdiri membelakangiku.“Maaf, Dokter. Lain kali saya akan lebih teliti lagi,” kata koas itu seraya menundukan kepalanya hormat.Ck, orang kejam seperti itu tidak patut dihormati.“Kali ini saya maafkan.” Lalu sang dokter berbalik badan, saat itu pula aku menahan napasku.Damn! Si Om?Jadi, dokter yang marah-marah tadi itu si Om yang aku temui di taman hari sabtu kemarin?Aku menelan saliva, kemudian menundukkan kepala. Berharap si Om tidak mengenali siapa diriku. Aku melihat langkah kakinya yang begitu lebar melewati garis lantai tempatku berdiri. Akhirnya, aku bisa bernapas dengan lega.“Horor ya tuh dokter,” bisik Rani.Sumpah, ini kenapa tubuhku gemetar begini?“Udah yuk, lanjutin lagi jalannya.”Aku hanya menggangguk, terlalu shock dengan fakta yang baru aku ketahui.“Na, ayo!”Teguran itu membuatku terkesiap, aku menaikkan pandangan. Ternyata Rani sudah melangkah satu meter di depanku, aku segera mengejarnya sambil menengok ke arah belakang. Si Om sudah tidak terjangkau retinaku.“Sabar, Ga. Dokter Galih kalau marah emang nyeremin.” Salah satu perawat tampak sedang menenangkan koas yang kena marah si Om, ah ralat, ternyata namanya itu...Dokter Galih.NanaApa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.“Oh, dia sudah menikah. Teru
NanaKurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.Kembali ke topik awal dan lupakan soal
NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba
Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany
NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran
NanaDokter Galih mengajakku bertemu di acara car free day Bundaran Hotel Indonesia. Aku terduduk lemas di trotoar jalan setelah jogging di sekitar bundaran HI, napasku memburu, dan kakiku berselonjor untuk menghindari kram. Kelelahanku sepertinya menjadi hiburan bagi dokter Galih. Ia duduk di sebelahku sambil terkekeh. Tak lupa kedua kakinya yang ikut berselonjor.“Kelihatan nggak pernah olahraga,” katanya.Aku menggeleng sambil meneguk air putih dalam botol. Kemudian menyanggah pendapatnya. “Saya biasa jogging tiap minggu sore”“Olahraga itu perlu, minimal seminggu sekali untuk menjaga kebugaran tubuh.”Sepertinya jika setiap hari aku bertemu dengannya, setiap hari pula aku akan mendapatkan seminar gratis tentang kesehatan.“Kalau weekend gini saya biasa tidur sampe sore, abis itu bangun buat jogging.”“J
NanaHidup itu terkadang penuh kejutan. Dalam seminggu terakhir ini, kejutan bertubi-tubi datang menghampiri. Di awali dari imajinasiku yaitu merancang sebuah cerita pendek tentang impianku yang ingin memiliki jodoh dokter. Selanjutnya, pertemuanku dengan dokter Galih di taman itu merupakan awal dari segala kejutan terjadi. Tentang imajinasiku yang nyaris patah tentang dokter, tentang penyakit ayah, yang pada akhirnya membawaku berada dalam satu dimensi waktu kembali dengan dokter Galih.Soal nazarku tempo hari, bukankah dokter Galih tidak seperti dokter Nando diceritaku? Aku tidak harus mengejarnya, kan? Toh, bertemunya aku dengannya hari ini bukan karena bermaksud flirting, tapi karena memang ada yang ingin aku tanyakan.Pukul dua belas siang, kami sepakat untuk pulang. Aku kira sewaktu pulang dari bioskop itu akan menjadi yang pertama dan ter
GalihGue tahu jika jodoh itu ada di tangan Tuhan. Tapi cara takdir bermain dalam kehidupan gue itu sadis, sampai gue tidak bisa berkutik sedikit pun. Kadang gue menertawakan takdir kejam itu, takdir soal asmara di hidup gue tentu saja. Apa ini karma?Sebab, sebelum gue memutuskan serius mengejar satu wanita, gue tidak pernah serius. Gue hobi hura-hura sama wanita. Menganggap mereka boneka yang gue buang begitu saja setelah gue mainkan. Tapi justru pada akhirnya gue yang dimainkan oleh wanita.Apa itu definisi bahwa sebagai laki-laki gue ini goblok?Gue tahu apa yang gue lakukan saat ini berisiko. Tetap berada di jalur yang sama dengan masa lalu. Gue tidak beranjak, masa lalu gue masih berkeliaran di hidup gue. Jujur, ucapan Raina soal anaknya selalu terngiang di telinga gue.“Aku berharap kamu tetap kayak gini sama Naka. Kamu boleh benci sama aku & Raka. Tapi, tolong. Jangan libatkan Naka dalam masa
Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu
Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut
NanaMengalir dan deras. Perasaanku ibarat air sungai yang mengalir dengan arus yang sangat deras hingga menemukan pelabuhannya.Menikah dengan seorang lelaki yang berprofesi dokter itu impianku. Tapi, menikah dengan lelaki yang masih terlelap sambil menjadikanku guling hidupnya ini bukanlah satu ekspektasi yang besar. Bahkan, aku tak pernah punya bayangan akan hidup dengan dia seperti sekarang ini. Rasanya tiga bulan terlalu cepat berlalu. Kupikir pernikahan ini hanya akan berjalan dalam waktu yang singkat, sesingkat waktu saat kami memulainya. Namun takdir Tuhan itu sulit ditebak. Kami masih berbagi tempat tidur dalam satu atap yang sama. Bolehkah meminta untuk selamanya?Bibirku membiaskan senyum. Meneliti keindahan yang Tuhan ciptakan untuk sosok lelaki yang menjadi imamku ini. Tampan memang relatif, tapi tampan disertai menarik itu yang langka. Dan Mas Galih punya daya tarik yang pada akhirnya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam
NanaAda yang hilang saat aku membuka mata. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi sebelum beranjak bangun. Tidurku menyamping, menatap bagian kosong yang ditinggalkan. Kamar ini menjadi saksi bisu bagaimana aku takluk akan bujukan dan sentuhannya malam itu. Seminggu yang lalu.Semalam kantukku hilang, mencoba memejamkan mata pun alam mimpi tidak kunjung menjemputku. Sering kali aku membuka ponsel, barang kali ada notifikasi dari Mas Galih. Nyatanya semalaman menunggu, tidak ada satu pesan yang masuk walaupun sekadar ucapan; selamat tidur.Capek memikirnya, aku beranjak dari ranjang dan memutuskan untuk mandi.Jika harus egois, kesalahanku kemarin tidak setara dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia pandai memanipulasi keadaan. Bersikap seolah-olah dia mengejarku dengan sungguh-sungguh, padahal hatinya masih menyangkut di masa lalu. Parahnya, aku percaya sebelum semua fakta terungkap.Saat dia mengambil first kiss-ku. Deng
NanaSejak perjalanan menuju unit apartemen, Mas Galih sama sekali tidak membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tadi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaanku.Dia mengambil langkah lebar saat keluar dari lift. Meninggalkanku yang tertinggal jauh di belakangnya. Aku berusaha mengejarnya dengan langkah pendekku semaksimal mungkin.“Mas?”Dia tidak mengacuhkanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Mas Galih terus berjalan menuju kamar, dan aku mengikutinya dari belakang.“Mas Galih?”Masih diam. Dia menyibukkan diri dengan membuka kemeja yang dipakainya. Lalu menaruhnya dengan sembarangan ke keranjang cucian. Lantas mengambil handuk dari lemari.“Mas, dengerin aku ngomong dulu dong!” Aku berteriak dengan sangat keras hingga suaraku memantul di penjuru kamar.Langkahnya menuju kamar mandi seketika terhent
NanaBerdamai dengan masa lalu, menyingkirkan setiap rasa sakit yang pernah hadir. Semua itu perlahan terkikis waktu seiring berjalannya kebersamaan. Di saat aku merencanakan apa yang terjadi setelah satu bulan ke depan, ternyata Tuhan punya jalannya sendiri untuk rumah tanggaku.Semuanya berubah setelah malam di mana aku menyerahkan hati dan harta yang paling berharga di hidupku pada sosok lelaki yang sekarang sedang menikmati sarapannya. Sebenarnya tak ada ekspektasi apa-apa jika aku akan segampang menyerah padanya dan mengingkari syarat yang kubuat sendiri. Semuanya berawal dari kejadian saat aku berdiri di pinggir kolam renang. Aku tidak bisa berenang, tapi melihat airnya yang jernih dan tenang aku jadi tertarik untuk menikmatinya. Sekadar menenggelamkan kakiku dan duduk di pinggir sungai. Namun kejadian tak terduga terjadi saat aku hendak duduk, dari arah belakang ada yang mendorongku hingga jatuh ke dalam kolam renang. Aku pasrah saat itu. Takut
GalihGue mendudukkan Nana di tepi ranjang. Sejak tadi dia sama sekali belum berbicara, hanya menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk dalam. Ya Tuhan, setakut ini dia sama kolam renang?Gue mengambil handuk bersih di lemari, membungkus tubuh basah Nana dengan handuk itu. Gue mengambil posisi jongkok di depannya, mengangkat dagunya agar dia menatap gue.“Jangan nangis,” kata gue lembut, mengusap air matanya. Lalu menggenggam jemari dinginnya.Tangisnya mulai mereda, matanya yang bengkak menatap sayu gue. “Waktu SMP, aku pernah hampir tenggelam karena dijorokin temen waktu praktik renang. Dari situ aku takut renang. Aku....,”“Ssttt!”Gue tahu Nana ingin cerita kejadian di masa lalunya itu. Tapi sepertinya emosinya meledak-ledak dan masih belum stabil.“Udah jangan dilanjutin,” cegah gue. “Mau ga
Galih Sebagai lelaki yang normal seratus persen, lo tahu apa yang buat gue frustasi setiap hari? Status gue sebagai suami. Tapi gue hanya dikasih bibir doang, paling banter gue bisa nyentuh dadanya. Itu juga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Asli mau bilang nanggung, gue sudah terlanjur janji. Satu bulan, satu bulan terberat dalam hidup gue. Untung dia selalu memakai pakaian yang sopan, piyama tidur yang panjang. Dan itu berhasil sedikit meredam keinginan gue untuk menyentuhnya. Dan gue berharap, setelah delapan hari terlama dalam hidup gue itu, gue bukan hanya berhasil memanjakan ronaldo junior. Tapi gue harus berhasil meyakinkan Naditya Pramesti, kalau gue sayang, ah ralat mungkin sayang gue sudah ke tahap cinta. Hidup satu atap dengannya selama dua puluh dua hari, membawa perubahan signifikan dalam hidup gue. Gue lupa kapan tepatnya, tapi gadis kecil itu berhasil bikin gue uring-uringan lagi setelah tiga tahun lepas dari yang
NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste