Share

Bab 6

Author: itsluvi_
last update Last Updated: 2021-08-22 21:23:40

Nana

Apa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.

“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.

Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.

“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.

“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”

Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.

“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”

Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.

“Oh, dia sudah menikah. Terus hubungannya apa sama sekarang?” Rani menatapku serius.

Wajahku merengut lalu mengerucutkan bibir. “Dia ngerusak imajinasi tentang kesempurnaan dokter. Melihat dia marah, gue jadi tertampar sama imajinasi gue sendiri. Ternyata nggak ada orang yang benar-benar too good to be true. Setiap orang punya  kejelekan, termasuk dokter.”

“Gue nggak paham.”

Rasanya ingin menyentil dahinya. Padahal aku sudah menjelaskan panjang lebar. “Apa ada dokter yang nyaris sempurna seperti dokter Nando di cerpen gue? Sementara yang gue lihat dari dokter tadi, gak ada kata baik sama sekali.”

Rani menepuk bahuku. Menyalurkan kekuatan untukku kembali percaya diri. “Pasti ada kok, Na. Dokter tadi marah pasti ada alasannya, kan? Siapa tahu koas-nya memang salah.”

“Kalau pun salah, harusnya negur dengan cara halus. Nggak perlu sampai memaki di depan banyak orang. Itu akan menurunkan semangat kerja koas itu,” balasku yang tetap tidak terima atas tindakan dokter Galih, meskipun bukan aku yang dia marahi.

“Ya udahlah. Toh lo juga nggak kenal dia. Cuma sebatas kenal selewat doang.”

Aku melotot saat sadar. Refleks aku menepuk dahi karena merasa bodoh. “Iya, ya. Ngapain gue repot? Berharap jadi jodoh dia pun nggak,” kekehku. “Gue laper, Ran, ke kafetaria dulu ya.”

“Lah, temenin gue jenguk nyokapnya Beni, Na. Gue malu.”

Aku menyeringai lebar pada Rani. “Ran, lo tahu kan gue ke sini belum sempet makan. Gue laper banget ini. Lagian lo kan yang pacarnya Beni.”

Rani berdecak seraya melempar tatapan kesalnya padaku. “Ah, elu gimana sih? Kalau gini caranya mending gue pergi sendiri,” gerutunya.

Good luck, Raniku.” Sebelum pergi aku mencolek pipi Rani.

Kembali turun ke lantai satu karena saat aku bertanya pada salah satu perawat, dia bilang letak kafetaria berada di lantai satu. Rumah sakit ini luas, aku sempat bingung menentukan arah ke kafetaria. Di saat kebingungan terjadi, aku melihat pemandangan yang mengusik hatiku untuk berhenti melangkah. Di taman samping rumah sakit, aku melihat dokter Galih sedang jongkok di depan kakek-kakek yang duduk di kursi roda, ekspresinya santai dan lengkung senyum tulus dari bibirnya seolah melenyapkan kemarahannya tadi. Lalu ia berdiri, dan mendorong kursi roda kakek itu.

“Maaf, Sus, saya mau tanya.” Aku menghentikan perawat yang lewat di depanku.

“Iya, kenapa, Mbak?”

“Itu yang sama dokter Galih siapa?” tunjukku ke arah luar jendela.

Perawat itu tidak lantas menjawab, ia seperti menilai penampilanku. “Mbak ada hubungan apa sama dokter Galih? Maaf, maksud saya, kami tidak bisa memberitahukan informasi jika yang bersangkutan tidak mengizinkannya.”

Sombong amat si Om!

Aku berpikir lama untuk mencari alasan yang logis. Tidak mungkin aku bilang keluarganya, bisa menjadi korban makian dokter Galih berikutnya. Lalu harus kujawab apa?

Aku menggigit bibir bawahku, si perawat masih intens memperhatikan gesturku. Ayolah, Na. Berpikir dengan jernih. Butuh waktu sekitar satu menit untuk mendapatkan jawaban.

“Sa-saya mahasiswa. Saya ada tugas interview dan saya mengambil tema kesehatan. Berhubung saya ngefans sama dokter Galih, jadi saya ingin mewawancarai beliau.”

Tamat riwayatku habis ini.

 “Sebaiknya Mbak buat janji dulu sama beliau. Mari saya antar ke bagian administrasi.”

Aku pasrah. Mengikuti perawat itu ke meja administrasi. Ia berbicara pada staf administrasi. Perawat itu kemudian pamit setelah mengatakan dokter Galih akan di telepon oleh staf administrasi.

“Boleh saya lihat KTP dan KTM-nya, Mbak?”

Aku melotot disertai kernyitan di dahi.

“Untuk memastikan saja,” katanya seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Aku membuka dompet dan menyerahkan KTM dan KTP-ku. Staf administrasi itu kemudian menelepon dokter Galih.

Semoga tidak di acc. Bisa mati berdiri kalau sampai mewawancarai dokter yang super galak itu. Dari cara dia membentak koas tadi, aku berspekulasi kalau dia memiliki sifat yang galak dan otoriter.

“Oh, baik, Dok. Akan saya sampaikan.”

“Gimana, Sus?” tanyaku harap-harap cemas.

Interview bisa dilakukan sekarang, Mbak. Dokter Galih kebetulan sedang tidak sibuk.”

Sekarang juga? Kenapa harus sesial ini coba? Lo bego sih, Na. Harusnya lo nggak usah kepo tadi, pasti nggak bakal ada acara tipu muslihat gini. Apa yang harus gue wawancara? Gue mahasiswa sastra mana tahu soal dunia kedokteran.

“Nggak bisa besok ya, Sus?”

“Maaf, Mbak. Schedule Dokter Galih besok ada operasi jam dua siang.”

“Kalau nggak besok berarti lusa. Gimana, Sus?” Aku berusaha negosiasi.

“Maaf. Kalau Mbak ingin mewawancarai dokter Galih, sebaiknya sekarang saja.”

“Oh begitu. Okelah, Sus. By the way KTM sama KTP saya.”

“Oh, ini. Ruangannya ada di lantai empat.”

“Terima kasih, Sus.”

Gila gila gila! Aku harus bagaimana sekarang? Kalau kabur, Suster tadi sudah mengetahui almamaterku. Takut ada laporan ke pihak kampus juga.

Tidak langsung ke lantai empat, aku lebih memilih menekan tombol lantai tiga. Meminta solusi Rani terlebih dahulu. Di dalam lift aku mencoba menghubungi sahabatku itu, memintanya menungguku di luar kamar ibunya Beni.

“Ran, gawat!” Napasku terengah saat sampai di depan kamar inap ibu Beni. Efek lari dan nervous, membuat napasku tak beraturan.

“Ada apa? Lo kenapa kayak orang dikejar banci gila gitu sih?”

Aku membisikkan apa yang baru saja terjadi pada Rani agar tidak ada yang mendengarnya.

What? Kok bisa, Na?”

Menghempaskan tubuh di kursi tunggu. “Ceritanya panjang, Ran. Duh, gue harus gimana ini? Gue bingung, gue lapar. Nggak bisa mikir.”

Rani membuka tasnya, sebungkus roti ia keluarkan lalu mengangsurkan padaku.

“Makan roti dulu. Tenangin diri lo.”

“Mana bisa gue tenang, Ran. Yang mau gue wawancara itu dokter Galih. Dokter yang galak tadi,” ceracauku resah.

“Ya udah sih tinggal abaikan aja. Anggap lo nggak pernah minta buat interview dia,” jawab Rani enteng.

“KTM gue jadi jaminannya, Ran. Suster yang gue tanya itu tahu almamater gue dan dia bilangin ke dokter Galih. Bisa bahaya kalau gue kabur gitu aja, gue gak mau sampai kena kasus gara-gara ini.”

Ekspresi Rani berubah tegang. “Intinya sekarang lo harus maju. Nggak ada jalan buat mundur, kan?”

Aku mengangguk sedih.

Rani mengulum bibir, dahinya berkerut seakan berpikir sesuatu. “Oke, lo pura-pura aja lagi ada tugas dari dosen buat bikin cerpen. Nah, lo lagi riset soal kedokteran gitu. Bisa, kan?”

“Astaga! Kok gue nggak kepikiran ya? Oke, berarti gue pura-pura lagi nyari riset buat cerpen!”

“Yups.”

Aku memeluk Rani erat. “Ah, Rani. Thanks. Mungkin kalau nggak ada lo gue udah pingsan.”

“Dasar selebor! Makanya lain kali pikir-pikir dulu lah, asal bunyi aja sih lu.”

Aku nyengir.

“Ya udah. Gue meluncur nih ke ruangan dokter galak itu. Lo harus tungguin gue, gue nggak bakal lama.”

Rani mengangguk. “Nanti chat aja.”

Aku bangkit lantas mengacungkan jempol padanya. Kembali melanjutkan aksiku, yakni interview mendadak dengan dokter Galih. Jantungku berdebar abnormal saat tiba di depan ruangannya. Tanganku menggantung di depan pintu.

Nana pantang mundur sebelum tempur.

Aku membaca mantraku. Lalu mengetuk pintu ruangan dokter Galih. Setelah mendapat izin dari dalam, pintu kubuka.

“Selamat sore, Dok.”

“Selamat sore.”

Berjalan pelan mendekati mejanya. Dokter Galih yang sedang fokus ke layar laptop kemudian mengangkat pandangannya. Aku merasakan ada reaksi terkejut saat menyadari kehadiranku.

“Lho, kamu bukannya yang di taman itu?” tanya dia, ah rupanya dia mengingat wajah imutku.

“Iya, Dok. Saya Nana, dan saya yang mau interview Dokter.”

“Oh, silakan duduk.”

Aku mengangguk lalu duduk di seberangnya.

“Saya Nana, mahasiswa sastra semester 6.”

Dokter Galih mengernyit. “Apa hubungannya sastra sama kedokteran?”

Buset. Kena jebakan!

“Anu. Saya dikasih tugas mengarang cerpen. Saya lagi butuh riset soal kedokteran, karena dalam cerpen itu tokoh laki-laki berprofesi sebagai dokter.”

Alhamdulillah, mulut gue lancar.

“Oh, baik. Apa yang ingin kamu tanyakan?”

Aku semakin bingung dengan sikapnya. Kali ini ia tampak lebih ramah. Berbeda saat pertemuan kami di taman dan saat tadi dia marah.

Menggigit bibir bawahku, berpikir sejenak mencari pertanyaan yang sama sekali belum aku siapkan. Saat ide itu muncul, aku mengambil note book dari dalam tasku beserta pulpen. “Sebelumnya kalau Dokter berkenan, Dokter isi dulu biodata.”

Lagi-lagi ia mengernyitkan alisnya. “Kenapa saya harus isi biodata? Kan yang ingin kamu riset itu soal kedokteran bukan soal kehidupan pribadi saya.”

“Untuk bukti ke dosen saya, Dok,” dustaku namun berhasil membuatnya percaya.

“Oh, apa saja yang harus saya tulis?”

“Nama, tanggal lahir, alamat, riwayat pendidikan, dan alasan Dokter kenapa memilih pekerjaan sebagai dokter.”

Ia tidak menanggapi penjelasanku, tangannya mulai bergerak untuk menulis di note book. Sementara aku menunggunya selesai menulis sambil melirik-lirik sedikit ke arah tulisannya yang dikategorikan standar dan masih bisa dibaca.

“Segini cukup?” Ia menunjukan tulisannya padaku.

“Cukup, Dok.” Aku membaca biodata yang ditulis dokter Galih. “Kenapa dokter mengambil spesialis bedah digestif?”

Dokter Galih diam sejenak, berdeham, kemudian menjelaskan. “Waktu saya SMA, kakek saya pernah sakit tumor rektum, tumor ini dikategorikan kanker karena tumor ganas. Beliau cuek sama kesehatannya, tidak ingin berobat. Sampai akhirnya tumor itu terus tumbuh dan kakek saya tidak bisa diselamatkan karena saat berusaha berobat tumornya sudah mencapai stadium akhir. Dari situ saya memutuskan mengambil jurusan kedokteran, karena tidak ingin lagi ada orang yang nasibnya sama seperti kakek saya. Tapi, langkah saya menjadi sarjana kedokteran tidak semulus itu. Saya nakal, saya malas kuliah, kehidupan saya kental dengan dunia malam, clubing, rokok. Pokoknya miris sekali. Kadang saya tidak percaya bahwa dunia saya pernah sekelam itu. Saya mengecewakan orang tua saya, membuat ibu saya menangis. Tapi akhirnya rezeki sebagai dokter masih saya terima.”

Jadi, dia pernah berada di titik jenuh dalam hidupnya. Sampai dunia malam ia cicipi.

“Terus apa yang membuat Dokter berubah?” tanyaku semakin penasaran.

“Jatuh cinta,” jawab dokter Galih, sejenak membuatku speechless. “Saya tahu alasan saya berubah itu salah. Harusnya saya berubah karena diri saya sendiri bukan karena orang lain, tapi satu yang menjadi alasan saya berubah adalah saya jatuh cinta pada wanita yang tidak pernah saya sangka akan hadir di hidup saya.”

Aku bersandar di kepala kursi. “Terkadang, ada satu hal yang membuat kita termotivasi, termasuk cinta, Dok.”

Dokter Galih mengangguk setuju.

“Kalau boleh tahu, pekerjaan bedah digestif itu apa?”

“Bedah digestif itu bedah yang dikhususkan untuk penanggulangan gangguan kesehatan yang terjadi pada bagian pencernaan tubuh manusia. Tumor ini biasanya menyerang lansia, yaitu di atas lima puluh tahun. Gejalanya macam-macam. Bisa nyeri di area perut,  sembelit, atau adanya darah dalam tinja. Penyebabnya juga banyak, antara lain diabetes, kurang olahraga, kurang asupan serat dan buah-buahan, mengonsumsi minuman beralkohol, obesitas, dan merokok.”

Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepala karena tidak paham sama semua penjelasannya. Tapi aku berusaha tersenyum seramah mungkin. “Oh baik, Dok. Saya mulai paham sekarang.”

“Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?” tanyanya santai.

“Sepertinya cukup. Oh, kalau boleh tahu, kakek-kakek yang di Taman tadi siapanya, Dokter?” tanyaku hati-hati.

“Oh, itu pasien saya.”

Aku beroh ria. Terlepas dari kemarahannya tadi, ternyata sisi kemanusiaan dokter Galih tetap ada. Aku berdiri dengan kikuk, ingin menjabat tangannya sebagai ucapan terima kasih, namun gengsi. “Terima kasih banyak atas waktunya dan penjelasannya yang sangat rinci. Oh iya, titip salam buat anak Dokter. Anaknya lucu banget, Dok.”

Aku tidak bohong. Anaknya memang tampan tapi tidak mirip sama sekali dengan Dokter Galih.

Bola mata dokter Galih membidikku dengan tepat. Kedua alisnya bertaut. “Dari mana kamu menyimpulkan kalau saya sudah menikah?”

“Eh?” Aku terkesiap atas pertanyaannya.

“Umur saya memang sudah tiga puluh tahun sebentar lagi tiga puluh satu tahun, tapi saya belum menikah. Naka itu keponakan saya.” Tanpa diminta dia menjelaskan seolah-olah itu hal penting yang harus ia bagi padaku.

Omong-omong dia udah tua, tapi belum nikah? Masa tidak ada yang mau?

Related chapters

  • Stetoskop Hati   Bab 7

    NanaKurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.Kembali ke topik awal dan lupakan soal

    Last Updated : 2021-08-22
  • Stetoskop Hati   Bab 8

    NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba

    Last Updated : 2021-08-22
  • Stetoskop Hati   Bab 9

    Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany

    Last Updated : 2021-08-22
  • Stetoskop Hati   Bab 10

    NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran

    Last Updated : 2021-08-22
  • Stetoskop Hati   Bab 11

    NanaDokter Galih mengajakku bertemu di acara car free day Bundaran Hotel Indonesia. Aku terduduk lemas di trotoar jalan setelah jogging di sekitar bundaran HI, napasku memburu, dan kakiku berselonjor untuk menghindari kram. Kelelahanku sepertinya menjadi hiburan bagi dokter Galih. Ia duduk di sebelahku sambil terkekeh. Tak lupa kedua kakinya yang ikut berselonjor.“Kelihatan nggak pernah olahraga,” katanya.Aku menggeleng sambil meneguk air putih dalam botol. Kemudian menyanggah pendapatnya. “Saya biasa jogging tiap minggu sore”“Olahraga itu perlu, minimal seminggu sekali untuk menjaga kebugaran tubuh.”Sepertinya jika setiap hari aku bertemu dengannya, setiap hari pula aku akan mendapatkan seminar gratis tentang kesehatan.“Kalau weekend gini saya biasa tidur sampe sore, abis itu bangun buat jogging.”“J

    Last Updated : 2021-08-22
  • Stetoskop Hati   Bab 12

    NanaHidup itu terkadang penuh kejutan. Dalam seminggu terakhir ini, kejutan bertubi-tubi datang menghampiri. Di awali dari imajinasiku yaitu merancang sebuah cerita pendek tentang impianku yang ingin memiliki jodoh dokter. Selanjutnya, pertemuanku dengan dokter Galih di taman itu merupakan awal dari segala kejutan terjadi. Tentang imajinasiku yang nyaris patah tentang dokter, tentang penyakit ayah, yang pada akhirnya membawaku berada dalam satu dimensi waktu kembali dengan dokter Galih.Soal nazarku tempo hari, bukankah dokter Galih tidak seperti dokter Nando diceritaku? Aku tidak harus mengejarnya, kan? Toh, bertemunya aku dengannya hari ini bukan karena bermaksud flirting, tapi karena memang ada yang ingin aku tanyakan.Pukul dua belas siang, kami sepakat untuk pulang. Aku kira sewaktu pulang dari bioskop itu akan menjadi yang pertama dan ter

    Last Updated : 2021-08-22
  • Stetoskop Hati   Bab 13

    GalihGue tahu jika jodoh itu ada di tangan Tuhan. Tapi cara takdir bermain dalam kehidupan gue itu sadis, sampai gue tidak bisa berkutik sedikit pun. Kadang gue menertawakan takdir kejam itu, takdir soal asmara di hidup gue tentu saja. Apa ini karma?Sebab, sebelum gue memutuskan serius mengejar satu wanita, gue tidak pernah serius. Gue hobi hura-hura sama wanita. Menganggap mereka boneka yang gue buang begitu saja setelah gue mainkan. Tapi justru pada akhirnya gue yang dimainkan oleh wanita.Apa itu definisi bahwa sebagai laki-laki gue ini goblok?Gue tahu apa yang gue lakukan saat ini berisiko. Tetap berada di jalur yang sama dengan masa lalu. Gue tidak beranjak, masa lalu gue masih berkeliaran di hidup gue. Jujur, ucapan Raina soal anaknya selalu terngiang di telinga gue.“Aku berharap kamu tetap kayak gini sama Naka. Kamu boleh benci sama aku & Raka. Tapi, tolong. Jangan libatkan Naka dalam masa

    Last Updated : 2021-08-22
  • Stetoskop Hati   Bab 14

    NanaKatanya sebuah impian itu harus diwujudkan kalau itu bukan sesuatu yang mustahil. Tapi impianku ini menurutku sedikit konyol. Bahkan tidak pantas disebut impian, tapi obsesi. Obsesiku tentang jodoh dokter bahkan sudah kuumbar-umbar pada kedua orang tuaku. Mereka sangat tahu kalau aku terobsesi oleh lelaki yang berprofesi dokter.Di sebelahku sekarang, ada seorang dokter laki-laki yang jelas-jelas masih single. Secara fisik sudah pasti dapat poin sembilan. Dari segi sikap dan sifat, aku merasa dokter Galih sudah mulai asyik dalam setiap sesi obrolan kami.Bisakah aku mengatakan bahwa ini konspirasi alam semesta? Di saat aku mulai menyerah dengan obsesiku dan memilih menikmati kehidupanku, Tuhan mempertemukanku dengan dokter Galih. Tapi, masa iya aku harus jatuh cinta sama dia?Dia sudah tiga puluh tahun. Itu artinya dia sudah kelewat matang. Sementara aku ingin memiliki pasangan yang usianya hanya terpaut

    Last Updated : 2021-08-22

Latest chapter

  • Stetoskop Hati   Extra Part

    Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu

  • Stetoskop Hati   Epilog

    Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut

  • Stetoskop Hati   Bab 42

    NanaMengalir dan deras. Perasaanku ibarat air sungai yang mengalir dengan arus yang sangat deras hingga menemukan pelabuhannya.Menikah dengan seorang lelaki yang berprofesi dokter itu impianku. Tapi, menikah dengan lelaki yang masih terlelap sambil menjadikanku guling hidupnya ini bukanlah satu ekspektasi yang besar. Bahkan, aku tak pernah punya bayangan akan hidup dengan dia seperti sekarang ini. Rasanya tiga bulan terlalu cepat berlalu. Kupikir pernikahan ini hanya akan berjalan dalam waktu yang singkat, sesingkat waktu saat kami memulainya. Namun takdir Tuhan itu sulit ditebak. Kami masih berbagi tempat tidur dalam satu atap yang sama. Bolehkah meminta untuk selamanya?Bibirku membiaskan senyum. Meneliti keindahan yang Tuhan ciptakan untuk sosok lelaki yang menjadi imamku ini. Tampan memang relatif, tapi tampan disertai menarik itu yang langka. Dan Mas Galih punya daya tarik yang pada akhirnya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam

  • Stetoskop Hati   Bab 41

    NanaAda yang hilang saat aku membuka mata. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi sebelum beranjak bangun. Tidurku menyamping, menatap bagian kosong yang ditinggalkan. Kamar ini menjadi saksi bisu bagaimana aku takluk akan bujukan dan sentuhannya malam itu. Seminggu yang lalu.Semalam kantukku hilang, mencoba memejamkan mata pun alam mimpi tidak kunjung menjemputku. Sering kali aku membuka ponsel, barang kali ada notifikasi dari Mas Galih. Nyatanya semalaman menunggu, tidak ada satu pesan yang masuk walaupun sekadar ucapan; selamat tidur.Capek memikirnya, aku beranjak dari ranjang dan memutuskan untuk mandi.Jika harus egois, kesalahanku kemarin tidak setara dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia pandai memanipulasi keadaan. Bersikap seolah-olah dia mengejarku dengan sungguh-sungguh, padahal hatinya masih menyangkut di masa lalu. Parahnya, aku percaya sebelum semua fakta terungkap.Saat dia mengambil first kiss-ku. Deng

  • Stetoskop Hati   Bab 40

    NanaSejak perjalanan menuju unit apartemen, Mas Galih sama sekali tidak membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tadi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaanku.Dia mengambil langkah lebar saat keluar dari lift. Meninggalkanku yang tertinggal jauh di belakangnya. Aku berusaha mengejarnya dengan langkah pendekku semaksimal mungkin.“Mas?”Dia tidak mengacuhkanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Mas Galih terus berjalan menuju kamar, dan aku mengikutinya dari belakang.“Mas Galih?”Masih diam. Dia menyibukkan diri dengan membuka kemeja yang dipakainya. Lalu menaruhnya dengan sembarangan ke keranjang cucian. Lantas mengambil handuk dari lemari.“Mas, dengerin aku ngomong dulu dong!” Aku berteriak dengan sangat keras hingga suaraku memantul di penjuru kamar.Langkahnya menuju kamar mandi seketika terhent

  • Stetoskop Hati   Bab 39

    NanaBerdamai dengan masa lalu, menyingkirkan setiap rasa sakit yang pernah hadir. Semua itu perlahan terkikis waktu seiring berjalannya kebersamaan. Di saat aku merencanakan apa yang terjadi setelah satu bulan ke depan, ternyata Tuhan punya jalannya sendiri untuk rumah tanggaku.Semuanya berubah setelah malam di mana aku menyerahkan hati dan harta yang paling berharga di hidupku pada sosok lelaki yang sekarang sedang menikmati sarapannya. Sebenarnya tak ada ekspektasi apa-apa jika aku akan segampang menyerah padanya dan mengingkari syarat yang kubuat sendiri. Semuanya berawal dari kejadian saat aku berdiri di pinggir kolam renang. Aku tidak bisa berenang, tapi melihat airnya yang jernih dan tenang aku jadi tertarik untuk menikmatinya. Sekadar menenggelamkan kakiku dan duduk di pinggir sungai. Namun kejadian tak terduga terjadi saat aku hendak duduk, dari arah belakang ada yang mendorongku hingga jatuh ke dalam kolam renang. Aku pasrah saat itu. Takut

  • Stetoskop Hati   Bab 38

    GalihGue mendudukkan Nana di tepi ranjang. Sejak tadi dia sama sekali belum berbicara, hanya menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk dalam. Ya Tuhan, setakut ini dia sama kolam renang?Gue mengambil handuk bersih di lemari, membungkus tubuh basah Nana dengan handuk itu. Gue mengambil posisi jongkok di depannya, mengangkat dagunya agar dia menatap gue.“Jangan nangis,” kata gue lembut, mengusap air matanya. Lalu menggenggam jemari dinginnya.Tangisnya mulai mereda, matanya yang bengkak menatap sayu gue. “Waktu SMP, aku pernah hampir tenggelam karena dijorokin temen waktu praktik renang. Dari situ aku takut renang. Aku....,”“Ssttt!”Gue tahu Nana ingin cerita kejadian di masa lalunya itu. Tapi sepertinya emosinya meledak-ledak dan masih belum stabil.“Udah jangan dilanjutin,” cegah gue. “Mau ga

  • Stetoskop Hati   Bab 37

    Galih Sebagai lelaki yang normal seratus persen, lo tahu apa yang buat gue frustasi setiap hari? Status gue sebagai suami. Tapi gue hanya dikasih bibir doang, paling banter gue bisa nyentuh dadanya. Itu juga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Asli mau bilang nanggung, gue sudah terlanjur janji. Satu bulan, satu bulan terberat dalam hidup gue. Untung dia selalu memakai pakaian yang sopan, piyama tidur yang panjang. Dan itu berhasil sedikit meredam keinginan gue untuk menyentuhnya. Dan gue berharap, setelah delapan hari terlama dalam hidup gue itu, gue bukan hanya berhasil memanjakan ronaldo junior. Tapi gue harus berhasil meyakinkan Naditya Pramesti, kalau gue sayang, ah ralat mungkin sayang gue sudah ke tahap cinta. Hidup satu atap dengannya selama dua puluh dua hari, membawa perubahan signifikan dalam hidup gue. Gue lupa kapan tepatnya, tapi gadis kecil itu berhasil bikin gue uring-uringan lagi setelah tiga tahun lepas dari yang

  • Stetoskop Hati   Bab 36

    NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status