Nana
Saat mentari berada tepat di atas kepala, aku baru pulang dari rumah Aron dengan menggunakan jasa ojek online.
Di hari libur, kosan sepi. Penghuninya seperti keluar dari penjara. Mereka refreshing dari padatnya aktivitas kuliah. Sementara aku kebalikannya, stay di kosan dan memilih jalan-jalan sehabis kuliah jika tidak ada tugas.
Saat hendak membuka pintu, ponselku berdering. Aku mengecek ponsel terlebih dahulu, siapa tahu itu penting. Ah, rupanya dari Ibu.
“Assalamualaikum, Na.”
“Waalaikumsalam, Bu.” Aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak, kemudian membuka pintu kosan. Melanjutkan sambungan telepon sambil rebahan di atas kasur.
“Kamu sehat kan, Nduk?”
Sebagai anak tunggal dari pasangan Kamal Pahlevi dan Mulyani, acap kali Ibu meneleponku untuk sekadar bertanya apa yang sedang aku lakukan. Dulu waktu aku memutuskan kuliah di Jakarta, Ibu setengah hati mengizinkannya. Ibu bilang Jakarta kejam, aku tidak mungkin sanggup hidup sebatang kara. Tapi keyakinanku kuat, aku harus bisa meyakinkan diri sendiri dan kedua orang tuaku, khususnya Ibu, jika aku berani hidup sendiri.
Dan sebagai anak tunggal juga, kedua orang tuaku cukup memanjakanku. Yang aku inginkan pasti mereka kabulkan. Ya, kecuali keinginanku kuliah di Jakarta. Tapi sekarang Ibu sudah mulai terbiasa, tidak terlalu mengkhawatirkanku seperti awal-awal menginjakkan kaki di kota yang identik dengan gedung-gedung pencakar langit ini.
“Sehat, alhamdulillah. Ibu sama Ayah sehat?”
“Sehat. Cuma Ayahmu sekarang sering sembelit.”
Sejak tahun akademik baru, sudah sebulan aku tidak pulang ke Solo. Biasanya aku pulang kampung sebulan sekali, tapi berhubung sekarang banyak tugas, terpaksa aku harus menunda melepas rindu bersama orang tuaku.
“Periksa ke dokter, Bu. Ayah kan sering kali mengabaikan kesehatannya.”
Ketakutan yang sering kali menghantuiku ya itu. Takut Ayah dan Ibu sakit, sementara aku jauh dari mereka. Tetapi aku bersyukur, rumahku dengan rumah saudara-saudara Ayah bertetangga. Setidaknya mereka bisa membantu orang tuaku.
“Iya, Na, Ibu sampai capek ngasih tahu. Kuliahmu gimana?”
Mengubah posisi berbaringku menjadi tengkurap. “Lagi ada project drama, Bu. Tugas kelompok buat main drama gitu. Doain mudah-mudahan Nana hafal dialognya dan kelompok Nana dapat nilai yang memuaskan ya, Bu.”
“Ibu tak pernah lepas doain kamu, Nduk. Sehabis salat, Ibu selalu berdoa supaya kamu baik-baik saja, selalu ada dalam lindungan Allah.”
Aku tersenyum dengan hati yang bergetar. “Makasih ya, Bu. Doa dari Ibu itu restu untuk Nana,” lirihku terharu.
“Oh iya, Bayu mau nikah, Na.”
Jantungku seakan berhenti berdetak saat Ibu menyebutkan nama itu. Dia yang kucintai, namun meninggalkanku dengan alasan ingin melanjutkan S2 di Surabaya. Saat itu, aku yang baru duduk di kelas 11 SMA hanya bisa pasrah dan menangis karena keputusan Mas Bayu.
“Bayu Winatraguna?” tanyaku memastikan. Siapa tahu yang Ibu maksud itu Bayu yang lain.
“Iya. Nikah sama temannya sewaktu S2. Minggu kemarin baru lamaran, bulan depan nikahannya. Ayu tenan calon istrinya, ramah pula. Pantes toh Bayu kepincut.”
Aku berdecak. Sebal jika Ibu sudah memuji wanita lain. Apalagi yang Ibu puji adalah calonnya Mas Bayu.
“Bu, Ibu sadar nggak kalau yang Ibu puji itu calon istri dari mantan aku?”
Ibu justru tertawa dengan renyah. “Kan cuma mantan, Na. Ibu pernah nemu status orang di f******k, katanya buanglah mantan ke kebun binatang. Biar jadi santapan macan.”
Gaul bukan Ibuku? Dia memiliki akun F******k sama I*******m.
“Aku nggak ngebuang mantan, Bu. Mas Bayu sendiri yang ngebuang aku,” dengkusku.
“Husshhh. Jangan suudzon. Toh, dulu kan Bayu sudah kasih alasan kenapa dia mutusin kamu.” Ibu selalu berpikiran positif, padahal lelaki itu sudah menyakiti hati anak semata wayangnya.
“Tapi sakit, Bu, sakitnya tuh di sini.” Aku menepuk dada walaupun Ibu tidak melihatnya.
Lagi-lagi Ibu tertawa. “Itu artinya Tuhan mau kamu nyari yang lebih baik dari Bayu.”
“Aku belum menemukannya sampai sekarang.”
Mas Bayu adalah mantanku satu-satunya. Aku masih trauma, takut dicampakkan lagi. Sebenarnya aku tidak membatasi pergaulan dengan lelaki, hanya saja saat mereka mulai melancarkan kode, aku lebih memilih tak acuh daripada harus baper. Aku belum siap jatuh cinta lagi kalau itu hanya akan memberikan luka di hati.
“Sabar, Ibu nggak nuntut kamu nikah muda. Fokus dulu sama kuliahmu.”
Alhamdulillah. Ibu yang pengertian.
“Kalau aku nikah, Ibu mau cucu berapa?”
“Empat. Laki-laki dua perempuan dua. Biar rumah rame. Nggak kayak rumah kita sekarang, cuma ada Ayah sama Ibu.”
Aku melotot. Gila! Pemerintah saja menganjurkan dua anak cukup. Nah, Ibu minta cucu empat.
“Salah sendiri kenapa nggak ngasih aku adek.”
“Bukan nggak kasih, tapi nggak jadi-jadi. Mungkin karena Ibu kelamaan pake pil KB jadi rahimnya kering.”
“Tuh, makanya jangan di KB,” jawabku asal.
“Kalau nggak di KB nanti adikmu empat.”
“Ya jangan banyak-banyak, Bu. Cukup satu aja biar aku ada temen curhat gitu.”
Karena sungguh menjadi anak tunggal itu tidak punya teman bercerita di rumah. Kalau curhat sama Ibu agak susah. Soalnya pemikiran kami kerap kali berbeda.
“Cukup ya berkhayalnya, sekarang Ibu mana bisa ngasih kamu adik.”
Aku bergumam.
“Kamu udah makan belum?” tanya Ibu membuka topik lain.
“Belum, Bu. Nanti aku ajak Rani keluar buat cari makan.”
Perut masih kenyang karena di rumah Aron tadi menghabiskan banyak camilan.
“Emang kamu di mana sekarang?”
“Di kosan, Bu. Baru pulang kerja kelompok.”
“Jangan sampai telat makan, Nduk. Nanti maag kamu kambuh.” Ibu menasehati.
“Insya Allah, nggak, Bu. Kan sekarang tiap pagi minum lemonade. Katanya itu baik untuk perut, Bu. Oh iya, bisa mengatasi sembelit juga, Bu. Coba ayah minum air lemon satu jam sebelum sarapan.”
“Oh gitu. Ya sudah, Ibu tutup dulu, Nduk. Kamu di sana jaga kesehatan, pergaulannya dijaga, salatnya jangan bolong-bolong, jangan malas belajar juga. Orang yang sukses itu adalah mereka yang selalu bertawakal disertai usaha.” Wejangan yang tidak mungkin Ibu lewatkan setiap kali menelepon.
“Siap, Ibunda.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sambungan terputus. Aku menyimpan ponsel di atas kasur. Meraih guling dan mendekapnya dengan erat. Hampir memejamkan mata, sebelum pintu kamarku diketuk, wajah Rani muncul dari balik pintu. “Na, pinjem buku catatan lo yang pelajaran Pak Windu dong. Soalnya gue belum nyatet.”
“Ambil tuh di meja.” Aku menunjuk buku catatanku dengan dagu.
“Oke sip. Lo abis dari mana, Na? Lo pergi nggak bilang-bilang, mau gue WA tapi nggak ada kuota.”
Aruna Calya Agrania, atau yang akrab dipanggil Rani. Rani ini sahabatku dan kita satu kelas. Perkenalan kami dimulai saat aku pindahan kosan. Rani pun saat itu baru pindah. Dari situ aku coba ngobrol sama dia, dan ternyata kami mengambil prodi yang sama.
“Nugas, Ran. Sanggar sastra,” jawabku malas.
Rani ikut berbaring di sebelahku. “Rajin amat kelompok lo. Kelompok gue dong adem ayem aja, pas udah mepet waktu baru deh mereka kalang kabut. Gue sih bodo amat, lagian gue udah ngajak kumpul merekanya banyak alasan. Waktunya kumpul sama keluargalah, kencanlah, tidur seharianlah. Bete tahu nggak sih, satu kelompok sama orang yang penginnya ngandelin kerja otak orang lain doang.” Rani kalau marah suka langsung tancap gas kalau bicara.
“Sabar, Buk. Sabar.” Aku menertawakannya sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Ya gimana gue bisa sabar. Ini tugas tuh nggak main-main. Gagal satu orang aja, tamat riwayat kita.”
Betul. Tugas ini tidak boleh dianggap remeh. Jika dalam satu kelompok ada yang malas, pastinya akan berpengaruh pada penampilan drama di atas panggung.
“Iya gue paham banget, Ran. Gue juga lagi kesel sama kelompok gue. Apalagi Anjani tuh.”
Ah, mengingat ideku diacuhkan begitu saja, menimbulkan kesal yang mencokol di hati.
“Kenapa lagi sama Chelsea Islan?”
Kenapa kami memanggilnya Chelsea Islan, bukan karena wajah Anjani yang mirip artis muda berbakat itu. Tapi Chelsea Islan itu--Cewek Langsing dan Seksi Idola Semua Lelaki Tampan.
“Dia kan negur, katanya gue diem aja. Dia minta gue ngasih ide. Pas gue cerita ide yang gue punya, Jani dengan tanpa rasa bersalah bilang; agak klise nggak sih?”
Rani tergelak saat aku mempraktikkan ekspresi Anjani tadi pagi.
“Pengin gue tabok tuh mukanya. Mentang-mentang cantik bisa seenaknya kayak gitu. Dan herannya Aron tuh nurut banget apa kata dia.”
Rani berbaring menyamping ke arahku. Dia mengambil paksa guling yang sedang kupeluk. “Kayak lo nggak tahu Aron aja. Istilahnya kucing garong dikasih ikan ya langsung disantaplah. Jani punya jerawat kecil di hidung aja, Aron langsung siaga kasih salep, kan?”
Aku mengangguk setuju.
“Terus konsep kelompok lo gimana?”
“Preman pensiun. Nggak tahu deh Aron yang punya ide. Dia juga yang ngerjain naskah awal.”
“Mantap jiwa!” Rani bersorak takjub. “Eh, lo udah kirim cerpen lagi ke majalah Ceria?”
Mengambil jurusan sastra karena aku memang mencintai novel. Kumpulan novel dari berbagai penulis baik dalam maupun luar negeri berjejer rapi di rak buku kosan. Selain itu, sebagai penulis amatir, sering kali aku mengirimkan cerpen-cerpen yang aku tulis ke redaksi. Yang nantinya akan diterbitkan di majalah ataupun koran. Lumayan, untuk menambah uang saku.
“Belum. Gue udah nulis sih cerpennya cuma belum gue revisi. Kayaknya masih banyak typo.”
“Wih, mau baca dong. Kali ini ceritanya tentang apa?”
Rani selalu menjadi pembaca pertamaku, sering kali ia mengoreksi typo atau ada kalimat yang rancu. Kadang dia juga ikut baper dengan karakter yang kuciptakan.
“The Perfect Doctor. Cerita tentang dokter ganteng dengan sifat romantis, setia, ah pokoknya bisa bikin lo meleleh.” Aku sendiri menulis cerpen itu dengan senyum mengembang. Membayangkan jika tokoh cewek yang kuciptakan di cerpen itu adalah aku sendiri.
“Tumben amat ngambil profesi dokter?”
“Karena gue pengin punya jodoh dokter. Lo tahu sendiri dokter itu gajinya gede. Ya keren aja gitu kalau gue punya suami dokter.” Aku terkikik.
“Gile... Gile... Gile. Sini gue baca dulu cerpennya.”
“Lo baca dalam kulkas harusnya, Ran.”
Alis Rani terangkat satu. Menatapku heran. “Kenapa emang?”
“Takutnya lo meleleh sama sosok dokter yang gue ciptain. Dan katanya ucapan itu doa, kali aja dokter di cerita gue itu ada di dunia nyata, kemudian ketemu sama gue, kita pendekatan, abis gitu merit. Astaga! Bahagia banget ya gue ngekhayal.”
“Licin amat mulut lo! Tapi gue aminin deh. Semoga jodoh lo dokter.”
Senyumku mengembang. “Aamiin.”
Rani duduk bersila. “Mana cerpennya, mau gue baca.”
“Itu di laptop. Nyalain aja. Abis baca anter gue nyari makan.”
“Oke, siap.”
NanaSebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk mel
NanaApa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.“Oh, dia sudah menikah. Teru
NanaKurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.Kembali ke topik awal dan lupakan soal
NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba
Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany
NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran
NanaDokter Galih mengajakku bertemu di acara car free day Bundaran Hotel Indonesia. Aku terduduk lemas di trotoar jalan setelah jogging di sekitar bundaran HI, napasku memburu, dan kakiku berselonjor untuk menghindari kram. Kelelahanku sepertinya menjadi hiburan bagi dokter Galih. Ia duduk di sebelahku sambil terkekeh. Tak lupa kedua kakinya yang ikut berselonjor.“Kelihatan nggak pernah olahraga,” katanya.Aku menggeleng sambil meneguk air putih dalam botol. Kemudian menyanggah pendapatnya. “Saya biasa jogging tiap minggu sore”“Olahraga itu perlu, minimal seminggu sekali untuk menjaga kebugaran tubuh.”Sepertinya jika setiap hari aku bertemu dengannya, setiap hari pula aku akan mendapatkan seminar gratis tentang kesehatan.“Kalau weekend gini saya biasa tidur sampe sore, abis itu bangun buat jogging.”“J
NanaHidup itu terkadang penuh kejutan. Dalam seminggu terakhir ini, kejutan bertubi-tubi datang menghampiri. Di awali dari imajinasiku yaitu merancang sebuah cerita pendek tentang impianku yang ingin memiliki jodoh dokter. Selanjutnya, pertemuanku dengan dokter Galih di taman itu merupakan awal dari segala kejutan terjadi. Tentang imajinasiku yang nyaris patah tentang dokter, tentang penyakit ayah, yang pada akhirnya membawaku berada dalam satu dimensi waktu kembali dengan dokter Galih.Soal nazarku tempo hari, bukankah dokter Galih tidak seperti dokter Nando diceritaku? Aku tidak harus mengejarnya, kan? Toh, bertemunya aku dengannya hari ini bukan karena bermaksud flirting, tapi karena memang ada yang ingin aku tanyakan.Pukul dua belas siang, kami sepakat untuk pulang. Aku kira sewaktu pulang dari bioskop itu akan menjadi yang pertama dan ter
Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu
Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut
NanaMengalir dan deras. Perasaanku ibarat air sungai yang mengalir dengan arus yang sangat deras hingga menemukan pelabuhannya.Menikah dengan seorang lelaki yang berprofesi dokter itu impianku. Tapi, menikah dengan lelaki yang masih terlelap sambil menjadikanku guling hidupnya ini bukanlah satu ekspektasi yang besar. Bahkan, aku tak pernah punya bayangan akan hidup dengan dia seperti sekarang ini. Rasanya tiga bulan terlalu cepat berlalu. Kupikir pernikahan ini hanya akan berjalan dalam waktu yang singkat, sesingkat waktu saat kami memulainya. Namun takdir Tuhan itu sulit ditebak. Kami masih berbagi tempat tidur dalam satu atap yang sama. Bolehkah meminta untuk selamanya?Bibirku membiaskan senyum. Meneliti keindahan yang Tuhan ciptakan untuk sosok lelaki yang menjadi imamku ini. Tampan memang relatif, tapi tampan disertai menarik itu yang langka. Dan Mas Galih punya daya tarik yang pada akhirnya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam
NanaAda yang hilang saat aku membuka mata. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi sebelum beranjak bangun. Tidurku menyamping, menatap bagian kosong yang ditinggalkan. Kamar ini menjadi saksi bisu bagaimana aku takluk akan bujukan dan sentuhannya malam itu. Seminggu yang lalu.Semalam kantukku hilang, mencoba memejamkan mata pun alam mimpi tidak kunjung menjemputku. Sering kali aku membuka ponsel, barang kali ada notifikasi dari Mas Galih. Nyatanya semalaman menunggu, tidak ada satu pesan yang masuk walaupun sekadar ucapan; selamat tidur.Capek memikirnya, aku beranjak dari ranjang dan memutuskan untuk mandi.Jika harus egois, kesalahanku kemarin tidak setara dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia pandai memanipulasi keadaan. Bersikap seolah-olah dia mengejarku dengan sungguh-sungguh, padahal hatinya masih menyangkut di masa lalu. Parahnya, aku percaya sebelum semua fakta terungkap.Saat dia mengambil first kiss-ku. Deng
NanaSejak perjalanan menuju unit apartemen, Mas Galih sama sekali tidak membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tadi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaanku.Dia mengambil langkah lebar saat keluar dari lift. Meninggalkanku yang tertinggal jauh di belakangnya. Aku berusaha mengejarnya dengan langkah pendekku semaksimal mungkin.“Mas?”Dia tidak mengacuhkanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Mas Galih terus berjalan menuju kamar, dan aku mengikutinya dari belakang.“Mas Galih?”Masih diam. Dia menyibukkan diri dengan membuka kemeja yang dipakainya. Lalu menaruhnya dengan sembarangan ke keranjang cucian. Lantas mengambil handuk dari lemari.“Mas, dengerin aku ngomong dulu dong!” Aku berteriak dengan sangat keras hingga suaraku memantul di penjuru kamar.Langkahnya menuju kamar mandi seketika terhent
NanaBerdamai dengan masa lalu, menyingkirkan setiap rasa sakit yang pernah hadir. Semua itu perlahan terkikis waktu seiring berjalannya kebersamaan. Di saat aku merencanakan apa yang terjadi setelah satu bulan ke depan, ternyata Tuhan punya jalannya sendiri untuk rumah tanggaku.Semuanya berubah setelah malam di mana aku menyerahkan hati dan harta yang paling berharga di hidupku pada sosok lelaki yang sekarang sedang menikmati sarapannya. Sebenarnya tak ada ekspektasi apa-apa jika aku akan segampang menyerah padanya dan mengingkari syarat yang kubuat sendiri. Semuanya berawal dari kejadian saat aku berdiri di pinggir kolam renang. Aku tidak bisa berenang, tapi melihat airnya yang jernih dan tenang aku jadi tertarik untuk menikmatinya. Sekadar menenggelamkan kakiku dan duduk di pinggir sungai. Namun kejadian tak terduga terjadi saat aku hendak duduk, dari arah belakang ada yang mendorongku hingga jatuh ke dalam kolam renang. Aku pasrah saat itu. Takut
GalihGue mendudukkan Nana di tepi ranjang. Sejak tadi dia sama sekali belum berbicara, hanya menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk dalam. Ya Tuhan, setakut ini dia sama kolam renang?Gue mengambil handuk bersih di lemari, membungkus tubuh basah Nana dengan handuk itu. Gue mengambil posisi jongkok di depannya, mengangkat dagunya agar dia menatap gue.“Jangan nangis,” kata gue lembut, mengusap air matanya. Lalu menggenggam jemari dinginnya.Tangisnya mulai mereda, matanya yang bengkak menatap sayu gue. “Waktu SMP, aku pernah hampir tenggelam karena dijorokin temen waktu praktik renang. Dari situ aku takut renang. Aku....,”“Ssttt!”Gue tahu Nana ingin cerita kejadian di masa lalunya itu. Tapi sepertinya emosinya meledak-ledak dan masih belum stabil.“Udah jangan dilanjutin,” cegah gue. “Mau ga
Galih Sebagai lelaki yang normal seratus persen, lo tahu apa yang buat gue frustasi setiap hari? Status gue sebagai suami. Tapi gue hanya dikasih bibir doang, paling banter gue bisa nyentuh dadanya. Itu juga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Asli mau bilang nanggung, gue sudah terlanjur janji. Satu bulan, satu bulan terberat dalam hidup gue. Untung dia selalu memakai pakaian yang sopan, piyama tidur yang panjang. Dan itu berhasil sedikit meredam keinginan gue untuk menyentuhnya. Dan gue berharap, setelah delapan hari terlama dalam hidup gue itu, gue bukan hanya berhasil memanjakan ronaldo junior. Tapi gue harus berhasil meyakinkan Naditya Pramesti, kalau gue sayang, ah ralat mungkin sayang gue sudah ke tahap cinta. Hidup satu atap dengannya selama dua puluh dua hari, membawa perubahan signifikan dalam hidup gue. Gue lupa kapan tepatnya, tapi gadis kecil itu berhasil bikin gue uring-uringan lagi setelah tiga tahun lepas dari yang
NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste