"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.
Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.
Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan. Perlahan Azila menutup kembali mata, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuh. Seakan-akan raga itu bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napas. "Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena seharian ini Azila belum makan. Rencananya ia ingin makan bersama dengan Bi Nani dan Danur. "Neng, Bibi udah nemuin payung--, Ya Allah, Neng? Kamu kenapa, Neng?" teriak Bi Nani terkejut. Ia berlari k
Rasa penasaran pada sosok anak kecil yang berada di samping Revan, sepertinya harus Azila tahan dulu. Dia tidak mau merusak suasana hati yang kini sedang berbunga-bunga. Penantiannya pada pria bertubuh tinggi itu tak lekang oleh waktu. Dan kini, saat sang pujaan berada tepat di hadapannya, rasanya tidak rela harus merusak segalanya. "Sebaiknya nanti saja aku tanyakan tentang anak ini. Tapi tunggu, kenapa wajahnya sangat tidak asing, ya?" gumamnya dalam hati. Menyadari tingkah Azila, Raihanah dan Liana mencoba kembali mencairkan suasana yang mulai sedikit kaku dan ada kecanggungan. Mereka juga tidak tahu kalau Revan akan mengajak serta putri dari adiknya-mendiang Shopia-untuk hadir di acara dadakan hari ini. Awalnya mereka akan memberi kejutan di sebuah hotel berbintang. Tetapi karena Azila tiba-tiba masuk rumah sakit, semua rencana dipindahkan secara mendadak. "Hmmm, kita potong kuenya dulu, ya! Kasian tuh yang lain pada nungguin," pinta Liana pada Azila. "Iya, nih, Teh,
Liana berusaha bangkit dan mengambil obat yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya. "Aku harus bisa!" Dengan napas yang mulai tersenggal-senggal. Hampir saja ia kembali terjatuh sebelum akhirnya ada seseorang yang berhasil menopang tubuhnya yang kurus."Ya ampuuuun, Non?" ucapnya saat berhasil menahan tubuh Liana agar tidak terjatuh. Ternyata itu Alexa dan perawat pribadi Liana yang datang.Dengan sigap sang perawat segera memberikan obat yang harus Liana minum. "Makasih," katanya dengan lemah."Untungnya kita datang tepat waktu, kalau nggak ya ampiun, Non, Non! Nanti kalau udah tenang Yey harus cerita sama Ekye pokoknya! Sekarang Yey istirahat, kita stand by di sini. Kita bakal jagain Yey dua puluh lima jam kalau perlu!" ucapan Alexa berhasil membuat Liana tersenyum."Sekali lagi terima kasih, kalian seperti malaikat yang Allah kirim untuk aku," ujar Liana lemas. Tidak lama kemudian dia terlihat terlelap
"Heh, mau apa kamu datang lagi ke sini? Kamu pikir kita bank yang bisa terus kamu pinjami uang, hah?" "Pergi sana! Datangi saja kuburan ayah kamu, gara-gara dia ngurus kamu hidupnya jadi ga jelas! Bahkan harus meninggal di usia yang masih muda." "Kita juga sama, lagi gak pegang uang sama sekali, kamu cantik jual saja tubuh kamu mungkin bakal banyak om-om genit yang bakal ngelirik kamu!" Semua ucapan-ucapan itu masih selalu terngiang di kepalaku. Aku tersungkur di pusara ayahku. Tanahnya masih terlihat basah walaupun sudah satu tahun berlalu sejak kecelakaan tragis itu terjadi. Duniaku serasa hancur berkeping-keping sepeninggal ayah. Bahu tempatku bersandar kini hilang bersama asa yang hanya menjadi abu hitam dan terbang ke udara.Aku tidak tahu lagi harus ke mana membawa langkah ini pergi. Semua orang yang kuanggap saudara seakan tutup mata dan telinga ketika aku datang meminta pertolongan. Bahkan mereka mengusirku terang-terangan dan tidak pernah menganggap keberadaanku. "Zi-la
"--Bayi itu kamu, Neng." Deg! 'Astaghfirullahaladzim, apa ini?' "Bibi sudah sering bertanya, bayi siapa ini, tapi ayahmu menutup rapat tentang dirimu, bahkan sampai kematian menjemputnya. Istrinya pun dulu bahkan sampai meminta cerai karena dia lebih memilih membesarkanmu," ucap Bi Nani yang terus menatapku dengan ekspresi sedih. "Jadi maksud Bibi, Zila ...." Aku terus memperhatikan ke arah kalung liontin pemberian Bi Nani. "Selama ini Azila bukan anak kandung ayah?" ujarku seakan tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Bi Nani. "Iya, Neng! Maaf Bibi baru bisa cerita sekarang. Awalnya ayahmu terus saja meminta Bibi untuk membuang kalung ini. Tapi Bibi berbohong dan menyimpan kalung ini. Bibi yakin, suatu saat kamu akan membutuhkannya. Dan ternyata benar dugaan Bibi. Mungkin dengan kalung ini, Neng Zila bisa cari tahu kebenaran tentang keluarga Neng yang sebenarnya," ujar Bi Nani hati-hati Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Apakah ini pertolongan darimu? Baru saja kemari
"Asal kau mau menjadi istriku yang ke lima." Pria tua yang ada di depanku tertawa puas melihat ketidakberdayaanku saat ini. "Anda sudah tidak w4ras, saya lebih cocok jadi cucu Anda dibandingkan istri Anda," rutukku karena j1jik mendengar ucapannya. "Aw ...." Laki-laki tua itu meringis kesakitan setelah aku menginjak kakinya kuat. "Dasar b0cah ingusan, berani ya kamu main-main denganku?" umpatnya dengan penuh amarah. Sepertinya aku telah membuatnya semakin marah. Tapi aku tidak peduli. Ayahku yang berhutang dan kini aku yang harus menanggung hutangnya pada banyak rentenir. Bahkan dengan terang-terangan mereka meminta tubuhku sebagai gantinya. Gil4! mereka benar-benar gil4 dan aku hampir dibuat gil4 karena harus berurusan dengan orang gil4 seperti mereka. Tanpa pikir panjang aku berteriak minta tolong. Seketika orang-orang datang berkerumun dan akhirnya pria tua itu berhasil pergi karena dia takut akan diserang warga. Suasana rumah kembali tenang setelah pria tua tadi berhas
Bukannya tempat ini, sebuah pemakamam umum. Dan ini tempat pemakamam yang sama dengan ayahku?"Siapa yang meninggal?" Aku langsung bertanya pada Revan sesaat setelah keluar dari mobil."Nanti kau akan tahu di sana? Bisa tolong bantu ibuku berjalan?" pintanya padaku karena sang ibu tidak pernah melepaskan tangannya dariku."Tentu saja, dari tadi bahkan ibumu sama sekali belum melepaskan tangannya dariku," ucapku dengan nada sedikit kesal."Maaf, kami sudah merusak harimu. Tapi, terima kasih sudah berlaku baik dan sopan pada ibuku yang sedang sakit dan sepertinya ... kamu cocok jadi adikku," ujarnya lirih hampir saja tidak terdengar olehku."Maaf, bisa kamu ulangi kata-katamu yang terakhir!""Tidak, aku hanya bercanda. Tidak usah terlalu dipikirkan," jawabnya enteng yang membuatku kebingungan.Ternyata benar, tempat ini pemakaman yang sama dengan ayahku berada, hanya berbeda blok. Dia membawaku ke pemakaman khusus untuk keluarga kaya. Perawatannya pun berbeda sesuai kelas mereka."Mah,
"Ada apa? Kenapa raut wajahmu terlihat cemas?""Ternyata banyak panggilan tidak terjawab dari bibiku. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah. Bisa tolong lajukan mobilmu lebih cepat!" pintaku dengan perasaan panik."Baiklah, untungnya jalanannya tidak terlalu padat," balasnya yang mulai melihat kepanikan di raut wajahku.Sesampainya di depan rumah Bi Nani, aku dibuat terkejut dengan keadaan di sini.'Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa ini?'Tanpa memperdulikan keberadaan Revan, aku berlari memasuki rumah. Kulihat Bi Nani sedang bersimpuh di lantai."Ya Allah, ini kenapa, Bi?" tanyaku cemas.Bi Nani menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi."Sial, aku terlambat!" gumamku geram.Tidak berselang lama, Revan datang menghampiri kami. Aku baru tersadar akan keberadaannya. Sepertinya Revan mendengar semuanya.Dia langsung berpamitan karena ternyata sang ibu terus saja mencarinya. Aku baru teringat dengan tawaran yang tadi Revan berikan."Tunggu!" Aku menghentikan langkahnya sebelum
Liana berusaha bangkit dan mengambil obat yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya. "Aku harus bisa!" Dengan napas yang mulai tersenggal-senggal. Hampir saja ia kembali terjatuh sebelum akhirnya ada seseorang yang berhasil menopang tubuhnya yang kurus."Ya ampuuuun, Non?" ucapnya saat berhasil menahan tubuh Liana agar tidak terjatuh. Ternyata itu Alexa dan perawat pribadi Liana yang datang.Dengan sigap sang perawat segera memberikan obat yang harus Liana minum. "Makasih," katanya dengan lemah."Untungnya kita datang tepat waktu, kalau nggak ya ampiun, Non, Non! Nanti kalau udah tenang Yey harus cerita sama Ekye pokoknya! Sekarang Yey istirahat, kita stand by di sini. Kita bakal jagain Yey dua puluh lima jam kalau perlu!" ucapan Alexa berhasil membuat Liana tersenyum."Sekali lagi terima kasih, kalian seperti malaikat yang Allah kirim untuk aku," ujar Liana lemas. Tidak lama kemudian dia terlihat terlelap
Rasa penasaran pada sosok anak kecil yang berada di samping Revan, sepertinya harus Azila tahan dulu. Dia tidak mau merusak suasana hati yang kini sedang berbunga-bunga. Penantiannya pada pria bertubuh tinggi itu tak lekang oleh waktu. Dan kini, saat sang pujaan berada tepat di hadapannya, rasanya tidak rela harus merusak segalanya. "Sebaiknya nanti saja aku tanyakan tentang anak ini. Tapi tunggu, kenapa wajahnya sangat tidak asing, ya?" gumamnya dalam hati. Menyadari tingkah Azila, Raihanah dan Liana mencoba kembali mencairkan suasana yang mulai sedikit kaku dan ada kecanggungan. Mereka juga tidak tahu kalau Revan akan mengajak serta putri dari adiknya-mendiang Shopia-untuk hadir di acara dadakan hari ini. Awalnya mereka akan memberi kejutan di sebuah hotel berbintang. Tetapi karena Azila tiba-tiba masuk rumah sakit, semua rencana dipindahkan secara mendadak. "Hmmm, kita potong kuenya dulu, ya! Kasian tuh yang lain pada nungguin," pinta Liana pada Azila. "Iya, nih, Teh,
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan. Perlahan Azila menutup kembali mata, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuh. Seakan-akan raga itu bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napas. "Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena seharian ini Azila belum makan. Rencananya ia ingin makan bersama dengan Bi Nani dan Danur. "Neng, Bibi udah nemuin payung--, Ya Allah, Neng? Kamu kenapa, Neng?" teriak Bi Nani terkejut. Ia berlari k
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Semua rasa yang pernah tersimpan apik di dalam hati, sepertinya harus tersimpan rapat selamanya. Belum bisa terganti. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Sepertinya, itu yang kini tengah dirasakan Azila. Lima tahun berlalu, namun sosok Revan tidak pernah lekang oleh waktu. Semakin Azila coba lupakan, bayang-bayang cinta pertamanya itu semakin kuat mengisi hati dan pikirannya."Jadi gimana, mau 'kan terima perjodohan ini?" rayu seorang gadis cantik berhijab yang duduk di samping Azila.Tidak ada respon dari Azila. Dia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Liana."Ayo, dong, Sayang! Kamu harus mau terima perjodohan kali ini. Kamu tahu, kalau kamu nggak mau nikah, adik kamu, Liana, juga nggak mau nikah. T'rus kapan Mama bisa mamerin cucu Mama ke temen-temen arisan? Cuman Mama loh, yang nggak punya cucu." Wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya. Ia pun turut menc
Azila sangat terkejut melihat foto yang diberikan sang ibu. Terlihat dengan jelas, ada yang telah membongkar makam Liana. Makam itu kini dalam keadaan terbuka dan hanya berisi peti kosong. Konon katanya, karena jasad Liana rusak mereka terpaksa memakaikan peti saat menguburkannya."Seseorang mengirimkan foto itu seminggu yang lalu. Mama juga kaget saat melihat foto-foto itu. Mama langsung datang memeriksa ke sana. Dan kamu tahu, setelah Mama tanya-tanya petugas di sana, ternyata makam itu ... kosong!""Apa? Ma-makam Liana, kosong?" Gadis itu dibuat menganga oleh pernyataan sang ibu."Mama serius? Kok, bisa?" Azila beranjak dari tempatnya duduk, berpindah posisi dan lebih dekat dengan sang ibu. Raut wajahnya terlihat lebih serius."Mama juga nggak ngerti, Sayang. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa jangan-jangan ... memang sebenarnya Liana itu tidak benar-benar meninggal?!" Sejenak Raihanah terdiam sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang b
"Ka-kalian se-semua harus i-ikut ma-ti di si-sini!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sofia berhasil menyalakan pemantik api yang sedari tadi digenggam. Tak lama kemudian dia terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.Kilatan api dengan cepat merembet ke arah kaki Azila yang masih terikat di kursi. "Arrrrgghhh! Api! Tolong!" pekik Azila panik."Astaghfirullah, Revan. Tolong Alina, cepat!" teriak Raihanah ikut panik melihat kejadian itu. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tengah membantu sang adik yang tadi tertusuk.Dengan sigap, Revan segera membuka jaketnya dan mengibaskan api yang sempat menyentuh kaki gadis itu. Akhirnya pria muda itu berhasil membuka ikatan talinya dan membawa Azila ke tempat yang aman.Tidak berselang lama, para polisi datang membantu. Kobaran api semakin besar, dan mulai merobo
"Apa kalian pikir hanya kalian yang menderita di dunia ini? Lalu bagaimana dengan nasibku? Yang waktu bayi telah dibuang oleh ayahmu itu. Dari kecil aku pun sama tidak pernah merasakan kesenangan seperti yang kalian pikirkan. Aku pun sama sering dihina dan dikucilkan karena kemiskinan dan status yang tidak jelas. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyimpan dendam seperti yang kalian rasakan. Karena aku sadar semua telah digariskan oleh Tuhan," seru gadis itu membuat Rihana tertohok. Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Azila. "Silakan, tampar aku sesukamu! Asal kalian tahu, setiap perbuatan itu ada balasannya. Sekecil apapun itu. Tuhan tidak pernah tidur, ingat itu!" "Hentikan semua ucapanmu itu! Kami tidak butuh ceramah darimu!" titah Sofia sambil menjambak kasar rambut gadis itu. "Bertobatlah, sebelum kalian menyesal
"Cukup! Dasar, wanita gila! Jangan pernah lagi kamu menyentuh ibuku, hah!" ucapnya penuh emosi. "Dua tahun ini, aku sengaja menyelinap masuk ke dalam keluarga barumu. Seperti yang kuduga kau sama sekali tidak mengenaliku. Aku berpura-pura menjadi suster pribadimu hanya untuk bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau lihat ini?" Wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari kantung bajunya dan mengacungkannya ke udara. "Bagaimana kamu bisa menemukan stempel itu?" tanya Raihanah saat ia melihat benda yang diacungkan adiknya. "Bukan hal sulit bagiku. Tentunya aku dibantu oleh para pekerja yang ada di rumah mewahmu itu. Semua telah kubayar agar mereka tutup mulut dan mau bekerja sama. Termasuk saat kejadian saat gadis ini datang ke rumahmu." Wanita itu kini berpindah dan mencengkeram dagu Azila. "Lepaskan!" Gadis itu meronta sekuat tenaga. "Jadi, pelaku sebenarnya yang waktu itu memukulku adalah kamu, bukan Mbok Karsih?" ucapnya kaget seolah tidak percaya dengan