"Asal kau mau menjadi istriku yang ke lima." Pria tua yang ada di depanku tertawa puas melihat ketidakberdayaanku saat ini.
"Anda sudah tidak w4ras, saya lebih cocok jadi cucu Anda dibandingkan istri Anda," rutukku karena j1jik mendengar ucapannya.
"Aw ...." Laki-laki tua itu meringis kesakitan setelah aku menginjak kakinya kuat.
"Dasar b0cah ingusan, berani ya kamu main-main denganku?" umpatnya dengan penuh amarah.
Sepertinya aku telah membuatnya semakin marah. Tapi aku tidak peduli. Ayahku yang berhutang dan kini aku yang harus menanggung hutangnya pada banyak rentenir. Bahkan dengan terang-terangan mereka meminta tubuhku sebagai gantinya. Gil4! mereka benar-benar gil4 dan aku hampir dibuat gil4 karena harus berurusan dengan orang gil4 seperti mereka.
Tanpa pikir panjang aku berteriak minta tolong. Seketika orang-orang datang berkerumun dan akhirnya pria tua itu berhasil pergi karena dia takut akan diserang warga.
Suasana rumah kembali tenang setelah pria tua tadi berhasil aku usir, walaupun dia terus meng4ncam akan kembali lagi nanti untuk menagih hutang. Setidaknya, setelah nanti aku berhasil mendonorkan ginjalku aku memiliki cukup uang untuk melunasi hutang-hutang ayahku. Dan pada saat pria tua itu kembali, aku bisa melunasi semuanya.
***
Aku kembali harus menelan pil pahit, beberapa perusahaan yang aku datangi semua menolakku, ternyata sesulit ini mencari pekerjaan di ibu kota. Apalagi hanya bermodal ijazah SMA. Ditambah tadi aku datang terlalu siang, gara-gara harus berurusan dengan pria tua itu. Arghhh.
Tenggorokanku kini terasa kering, berkeliling mencari pekerjaan membuatku lupa untuk sekedar menegak setetes air. Kulirik jam di pergelangan tangan, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum jam dua tiba. Aku memasuki sebuah minimarket untuk sekedar membeli air mineral dan sepotong roti untuk mengganjal perutku yang mulai keroncongan dan minta untuk diisi.
"Aw! Ibu siapa?"
Aku terperanjat, baru saja aku akan mengambil botol air mineral, tiba-tiba seorang wanita paruh baya menggenggam tanganku erat. Dia terus saja memanggil namaku dengan sebutan Liana. Selain itu, lirikan matanya pada kalung yang kupakai membuatku curiga. Jangan-jangan ini hanya sebuah modus kejahatan baru untuk mencuri.
"Maaf, Bu! Saya Azila, saya bukan Liana seperti yang ibu maksud."
Sepertinya percuma aku terus menjelaskan, gengaman tangannya semakin kuat, tiba-tiba ia berteriak histeris dan terus menyebut namaku Liana. Untungnya keadaan minimarket dalam keadaan sepi. Tapi, kejadian ini berhasil membuatku gelagapan.
Tidak berselang lama, tiba-tiba dari luar datang seorang laki-laki muda yang kukira berumur tidak jauh dariku, menggunakan kemeja hitam panjang yang bagian tangannya ia lipat ke atas, menghampiri kami. "Kamu siapa?" tanyanya padaku kemudian.
"Anda yang siapa? Apakah kalian sebuah komplotan penjahat?" tanyaku balik padanya.
Ternyata wanita paruh baya tersebut adalah ibunya. Dan mereka bukan komplotan penjahat yang akan mencuri di tempat ini. Aku telah salah sangka. Ia meminta maaf atas perlakuan ibunya padaku. Dia seperti terkejut melihat wajahku. Sama halnya dengan sang ibu, lelaki yang baru kutahu ternyata bernama Revan itu ikut menyebutku Liana.
Revan berusaha membujuk sang ibu untuk melepaskan tangannya dariku, tapi lagi-lagi percuma, ia langsung berteriak histeris dan menjerit-jerit seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya.
Alarm ponselku berbunyi, ternyata itu adalah pengingat jika setengah jam lagi aku harus pergi ke kantor temanku. Sial, genggaman tangan wanita ini masih belum bisa dilepaskan. Bagaimana ini? Bisa terlambat aku sampai di sana. Aku tidak mau rencanaku gagal kali ini. Aku sangat membutuhkan uang itu.
"Maaf, saya harus segera pergi, saya masih ada urusan penting lainnya. Bisa kamu lepaskan tangan ibumu dari tanganku!"
"Sekali lagi aku minta maaf, ibuku sedang sakit. Aku salah telah membiarkannya sendiri, tadi aku keluar sebentar, ponselku tertinggal di mobil. Kamu tahu, wajahmu ... sangat mirip dengan adikku, Liana. Jadi ... aku kira ibuku mengira kamu itu Liana," ujarnya halus sambil menatap wajahku.
Liana? Siapa Liana? Mengapa dari tadi mereka terus memanggilku Liana? Dan mengapa ada suatu getaran aneh ketika wanita ini menyebutku Liana?
Karena tidak ingin menimbulkan keributan lagi, Revan mengajakku untuk masuk ke mobilnya yang terparkir di luar minimarket. Sebuah mobil sedan dari merk ternama terparkir di sana. Dari mobil yang mereka pakai, aku yakini mereka pasti orang kaya. Sementara itu, ibunya Revan terus tersenyum ke arahku dan terus menggenggam tanganku erat.
Rasanya sulit untukku bisa segera pergi. Ya Allah, aku harus apa sekarang? Sebentar lagi jam dua.
Tatapan kami akhirnya kembali bertemu. Ada raut bersalah terlihat di wajah Revan, ketika aku berkata ada hal sangat penting yang harus aku lakukan sekarang. Tetapi lagi-lagi, ibunya tidak membiarkan aku pergi.
"Ibu, maaf saya bukan Liana, saya Azila. Saya harus pergi sekarang. Saya janji nanti kita ngobrol bareng lagi, ya! Saya mohon ibu mau melepaskan tangan ibu ini!" rayuku padanya.
Wanita itu, terus saja menggenggam tanganku seolah tidak ingin terpisahkan lagi. Ada satu perasaan aneh yang tiba-tiba kurasakan saat wanita itu menggenggam tanganku, seperti ada ikatan emosional diantara kami. Walaupun aku sedang gelisah tapi saat bersamanya ada satu ketenangan yang aku sendiri tidak mengerti.
Dering ponselku kembali berbunyi. Rasa panik ini semakin membuatku hampir gil4. Aku memberi isyarat pada Revan, agar dia mau kembali membujuk ibunya.
Akhirnya, aku terpaksa mengikuti ke mana Revan membawa kendaraannya. Aku sudah pasrah dengan perjanjian itu, jam sudah menujukan pukul tiga sore dan aku masih terjebak di dalam sebuah mobil bersama dua orang asing yang sama sekali tidak aku kenal.
"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanyaku pada Revan yang terlihat fokus ke jalanan.
"Suatu tempat di mana adikku berada. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Mungkin setelah melihatnya, ibu mau melepaskan tanganya darimu. Maaf untuk situasi ini. Ini semua diluar kendaliku," ujarnya di balik kemudi.
Ingin sekali aku mengumpat mereka, protes atas apa yang tiba-tiba mereka lakukan padaku. Tapi rasanya tenggorokan ini tercekat, sulit rasanya untuk kubersuara. Terlebih saat melihat ibunya Revan, sepertinya ia sangat kehilangan Liana. Aku belum tahu pasti ada kejadian apa yang membuat ibunya sakit seperti ini.
Liana, kamu sangat beruntung. Ibumu sangat menyayangimu. Bahkan sampai ibumu sakit seperti ini karena terus mengingatmu. Tidak seperti ibuku.
"Kita sudah sampai!" Suara Revan tiba-tiba membuyarkan semua lamunanku. Dari tadi ternyata pandanganku kosong dan tidak memperhatikan ke mana mobil Revan melaju.
Tunggu! Tempat ini ...?
Bukannya tempat ini, sebuah pemakamam umum. Dan ini tempat pemakamam yang sama dengan ayahku?"Siapa yang meninggal?" Aku langsung bertanya pada Revan sesaat setelah keluar dari mobil."Nanti kau akan tahu di sana? Bisa tolong bantu ibuku berjalan?" pintanya padaku karena sang ibu tidak pernah melepaskan tangannya dariku."Tentu saja, dari tadi bahkan ibumu sama sekali belum melepaskan tangannya dariku," ucapku dengan nada sedikit kesal."Maaf, kami sudah merusak harimu. Tapi, terima kasih sudah berlaku baik dan sopan pada ibuku yang sedang sakit dan sepertinya ... kamu cocok jadi adikku," ujarnya lirih hampir saja tidak terdengar olehku."Maaf, bisa kamu ulangi kata-katamu yang terakhir!""Tidak, aku hanya bercanda. Tidak usah terlalu dipikirkan," jawabnya enteng yang membuatku kebingungan.Ternyata benar, tempat ini pemakaman yang sama dengan ayahku berada, hanya berbeda blok. Dia membawaku ke pemakaman khusus untuk keluarga kaya. Perawatannya pun berbeda sesuai kelas mereka."Mah,
"Ada apa? Kenapa raut wajahmu terlihat cemas?""Ternyata banyak panggilan tidak terjawab dari bibiku. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah. Bisa tolong lajukan mobilmu lebih cepat!" pintaku dengan perasaan panik."Baiklah, untungnya jalanannya tidak terlalu padat," balasnya yang mulai melihat kepanikan di raut wajahku.Sesampainya di depan rumah Bi Nani, aku dibuat terkejut dengan keadaan di sini.'Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa ini?'Tanpa memperdulikan keberadaan Revan, aku berlari memasuki rumah. Kulihat Bi Nani sedang bersimpuh di lantai."Ya Allah, ini kenapa, Bi?" tanyaku cemas.Bi Nani menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi."Sial, aku terlambat!" gumamku geram.Tidak berselang lama, Revan datang menghampiri kami. Aku baru tersadar akan keberadaannya. Sepertinya Revan mendengar semuanya.Dia langsung berpamitan karena ternyata sang ibu terus saja mencarinya. Aku baru teringat dengan tawaran yang tadi Revan berikan."Tunggu!" Aku menghentikan langkahnya sebelum
"Kenapa? Apa uangnya kurang?" tanya Revan kemudian. "Tidak, ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya," jawabku seraya menyerahkan cek itu kembali. "Bukankah kamu ingin terbebas dari para rentenir itu? Terus kenapa kamu tidak mau menerima cek dariku? Tenang saja, uangku tidak akan berkurang hanya karena cek yang kuberikan padamu!" ucapnya enteng. Ia sedikit menyombongkan harta yang dimilikinya. Tentu saja, baginya uang mungkin tidak bernilai. Ketika kita memiliki privilege dan orang dalam kekuasaan sudah pasti dalam genggaman. "Tetap saja, bagiku ini terlalu banyak! Aku bukan orang yang suka memanfaatkan keadaan!" tolakku lagi. "Sudahlah, lebih baik kamu terima! Anggap saja itu bayaran untuk kontrak kerja yang nanti akan kamu lakukan," ujarnya san
"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil. "Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati. Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya. "Aw," ringisnya menahan perih. "Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu." Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana." Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin. "Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula. Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jel
"Entahlah, mungkin kami sebenarnya adalah kembar yang terpisahkan oleh ... takdir," jawabku asal. Walaupun dalam hati aku berharap dia memang kembaranku. "What?" Sejak kapan memangnya Nona Liana punya kembaran?" tanya Alexa dengan mulut ternganga. "Aku bilang 'mungkin', aku sendiri bahkan belum pernah lihat semirip apa aku dengan gadis yang bernama Liana itu. Mereka hanya bilang aku mirip dan mirip tanpa memperlihatkan foto mendiang padaku." "Ya udah nanti juga yu bakal tau dengan sendirinya, iya 'kan? Eyke sekarang keluar buat manggil petugas terapisnya ke sini. Pokoknya habis ini, yu pasti beneran bakal dibuat se-rileks mungkin." Alexa pamit meninggalkan ruangan ini. "Wah, ruangannya indah sekali. Sungguh nyaman menjadi orang kaya, mereka selalu dimanjakan
"Kenapa Azila harus mengembalikan cek ini, Bi? Dengan uang ini Zila bisa membayar seluruh hutang peninggalan almarhum ayah dan kita bisa terbebas dari para rentenir dan debt kolektor itu. Selain itu, uang ini bisa Bibi pakai untuk operasi Danur nanti," tegasku. Aku kecewa Bi Nani malah memintaku untuk mengembalikan cek ini. Aku kira Bi Nani akan senang dan melompat girang ketika melihat cek ini. Ternyata dugaanku salah."Iya, Bibi tahu. Bibi mengerti. Bibi juga sangat butuh uang itu. Tapi, Bibi tidak mau kamu mendapatkan uang dengan jalan yang salah. Sekarang Bibi tanya? Pekerjaan apa yang Revan berikan dengan bayaran sebesar ini, kalau bukan menjual diri?" ucapnya pedas. "Lihat penampilanmu sekarang!" pekiknya keras. Emosinya meledak. Baru kali pertama, aku melihat Bi Nani semarah ini. Apakah seperti ini, sikap seorang ibu ketika mengkhawatirkan anaknya?"Astaghfirullah,
"Selamat Pak Revan, kinerja Anda sangat bagus dalam memimpin perusahaan ini. Ibu Raihanah pasti sangat bangga pada Anda.""Selamat, Pak. Anda layak jadi CEO di sini.""Anda hebat, pemuda pemberi inspirasi! Muda dan berprestasi. Lanjutkan!""Kami tunggu gebrakan dan inovasi terbaru Anda untuk perusahaan ini!" Itulah, ucapan para penjilat setelah aku terpilih kembali sebagai CEO di perusahaan mama. Mereka adalah orang-orang yang telah papa suap untuk memenangkan vote pemilihan CEO baru pada rapat dewan direksi. "Sudah papa bilang kamu yang akan terpilih kembali, 'kan?" ucap Papa senang ketika aku akhirnya yang terpilih menjadi CEO. "Kamu pantas dan layak mendapatkan semua ini, papa bangga padamu, Nak," ucapnya bangga. "Semua salah, Pah. Jabatan ini seharusnya milik Liana. Papa tahu, semua orang tahu ... kalau aku ini bukan anak kandun
Tin! Tin! Tin! Bip! Bip!Suara monitor tanda vital menggema di seluruh ruangan ICU tempat Liana kini terbaring. Sudah hampir satu tahun sejak kecelakaan naas itu terjadi, Liana belum juga tersadar dari komanya. Namun, aku bersyukur, Tuhan masih memberikan kami kesempatan hidup setelah kejadian tabrakan itu. Walaupun Liana, hanya bisa hidup dengan bantuan dari alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya."Maaf, aku datang terlambat, Ana!" ucapku lembut dekat dengan telinga sebelah kanan Liana.Aku sengaja membuat tempat ini khusus untuk Liana. Lokasinya berada di dalam salon Kecantikan Nonamuda. Dengan begitu, papa tidak menyadari nya. Dengan dokter dan perawat terbaik yang kudatangkan khusus untuk menjaga Liana di sini. Bukan tanpa maksud aku menempatkan Liana di sini. Semua demi menyelamatkan hidupnya. Papa yang mengetahui Liana masih hidup pasca kecelakaan itu, terus berusaha mencari cara untuk melenyapkann
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan.Perlahan Azila menutup kembali matanya, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napasnya."Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena A
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Semua rasa yang pernah tersimpan apik di dalam hati, sepertinya harus tersimpan rapat selamanya. Belum bisa terganti. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Sepertinya, itu yang kini tengah dirasakan Azila. Lima tahun berlalu, namun sosok Revan tidak pernah lekang oleh waktu. Semakin Azila coba lupakan, bayang-bayang cinta pertamanya itu semakin kuat mengisi hati dan pikirannya."Jadi gimana, mau 'kan terima perjodohan ini?" rayu seorang gadis cantik berhijab yang duduk di samping Azila.Tidak ada respon dari Azila. Dia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Liana."Ayo, dong, Sayang! Kamu harus mau terima perjodohan kali ini. Kamu tahu, kalau kamu nggak mau nikah, adik kamu, Liana, juga nggak mau nikah. T'rus kapan Mama bisa mamerin cucu Mama ke temen-temen arisan? Cuman Mama loh, yang nggak punya cucu." Wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya. Ia pun turut menc
Azila sangat terkejut melihat foto yang diberikan sang ibu. Terlihat dengan jelas, ada yang telah membongkar makam Liana. Makam itu kini dalam keadaan terbuka dan hanya berisi peti kosong. Konon katanya, karena jasad Liana rusak mereka terpaksa memakaikan peti saat menguburkannya."Seseorang mengirimkan foto itu seminggu yang lalu. Mama juga kaget saat melihat foto-foto itu. Mama langsung datang memeriksa ke sana. Dan kamu tahu, setelah Mama tanya-tanya petugas di sana, ternyata makam itu ... kosong!""Apa? Ma-makam Liana, kosong?" Gadis itu dibuat menganga oleh pernyataan sang ibu."Mama serius? Kok, bisa?" Azila beranjak dari tempatnya duduk, berpindah posisi dan lebih dekat dengan sang ibu. Raut wajahnya terlihat lebih serius."Mama juga nggak ngerti, Sayang. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa jangan-jangan ... memang sebenarnya Liana itu tidak benar-benar meninggal?!" Sejenak Raihanah terdiam sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang b
"Ka-kalian se-semua harus i-ikut ma-ti di si-sini!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sofia berhasil menyalakan pemantik api yang sedari tadi digenggam. Tak lama kemudian dia terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.Kilatan api dengan cepat merembet ke arah kaki Azila yang masih terikat di kursi. "Arrrrgghhh! Api! Tolong!" pekik Azila panik."Astaghfirullah, Revan. Tolong Alina, cepat!" teriak Raihanah ikut panik melihat kejadian itu. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tengah membantu sang adik yang tadi tertusuk.Dengan sigap, Revan segera membuka jaketnya dan mengibaskan api yang sempat menyentuh kaki gadis itu. Akhirnya pria muda itu berhasil membuka ikatan talinya dan membawa Azila ke tempat yang aman.Tidak berselang lama, para polisi datang membantu. Kobaran api semakin besar, dan mulai merobo
"Apa kalian pikir hanya kalian yang menderita di dunia ini? Lalu bagaimana dengan nasibku? Yang waktu bayi telah dibuang oleh ayahmu itu. Dari kecil aku pun sama tidak pernah merasakan kesenangan seperti yang kalian pikirkan. Aku pun sama sering dihina dan dikucilkan karena kemiskinan dan status yang tidak jelas. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyimpan dendam seperti yang kalian rasakan. Karena aku sadar semua telah digariskan oleh Tuhan," seru gadis itu membuat Rihana tertohok. Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Azila. "Silakan, tampar aku sesukamu! Asal kalian tahu, setiap perbuatan itu ada balasannya. Sekecil apapun itu. Tuhan tidak pernah tidur, ingat itu!" "Hentikan semua ucapanmu itu! Kami tidak butuh ceramah darimu!" titah Sofia sambil menjambak kasar rambut gadis itu. "Bertobatlah, sebelum kalian menyesal
"Cukup! Dasar, wanita gila! Jangan pernah lagi kamu menyentuh ibuku, hah!" ucapnya penuh emosi. "Dua tahun ini, aku sengaja menyelinap masuk ke dalam keluarga barumu. Seperti yang kuduga kau sama sekali tidak mengenaliku. Aku berpura-pura menjadi suster pribadimu hanya untuk bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau lihat ini?" Wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari kantung bajunya dan mengacungkannya ke udara. "Bagaimana kamu bisa menemukan stempel itu?" tanya Raihanah saat ia melihat benda yang diacungkan adiknya. "Bukan hal sulit bagiku. Tentunya aku dibantu oleh para pekerja yang ada di rumah mewahmu itu. Semua telah kubayar agar mereka tutup mulut dan mau bekerja sama. Termasuk saat kejadian saat gadis ini datang ke rumahmu." Wanita itu kini berpindah dan mencengkeram dagu Azila. "Lepaskan!" Gadis itu meronta sekuat tenaga. "Jadi, pelaku sebenarnya yang waktu itu memukulku adalah kamu, bukan Mbok Karsih?" ucapnya kaget seolah tidak percaya dengan
Suasana dini hari itu begitu sunyi. Hujan lebat yang baru saja berhenti menyisakan tetesan air yang merembes dari atas plafon gudang tua tempat Raihanah dan Azila disekap. Terasa dingin dan pengap. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang gadis muda tengah terbaring di sebuah dipan kayu yang mulai rusak. Perlahan gadis itu mulai terlihat sadar dan membuka matanya. Seketika itu pula, dia beringsut dari tempatnya terbaring. "Di mana ini?" Azila mencoba mengedarkan pandangannya. Terasa asing dan sedikit gelap. Hanya ada lampu gantung kecil yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. "Aw!" Tiba-tiba rasa sakit itu datang kembali saat ia mencoba untuk berdiri. Azila memegang erat kepalanya. Pandangannya sedikit kabur dan serasa berputar. Belum lagi rasa ngilu yang harus kembali ia rasakan di area sekitar punggungnya. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang untuk menahan semua rasa sakitnya. Pikirannya kembali teringat pada sang ibu. Sekuat tenaga dan tidak lagi memperdulikan r
"Sialan, kalian mau bawa aku ke mana?" umpat Yudistira saat tahu mobil polisi yang membawanya berbelok arah dan bukan menuju kantor polisi. "Hahaha ... jangan banyak bicara kau Tua Bangka!" pekik salah satu pria yang menyamar sebagai polisi tersebut. "Siapa kalian sebenarnya? Cepat, katakan!" teriak Yudistira lantang ke arah kedua pria itu. "Plak! Jangan banyak bicara aku bilang!" Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Yudistira. Seketika cairan berwarna merah keluar dari salah satu sudut bibirnya. "Kalian berurusan dengan orang yang salah. Anak buahku pasti akan segera menemukan keberadaanku," ucapnya sinis. Seketika salah satu oknum tersebut menutup kedua mata pria paruh baya itu dengan kain hitam. "Lepaskan! Kalian pasti akan mati! Lepaskan!" Sebuah lakban lantas berhasil menyumpal mulut Yudistira. Pria paruh baya itu kini tak bisa berkutik melawan dua orang pria yang tadi menyamar sebagai polisi dan berhasil menangkapnya. 'Kurang ajar, siapa mereka? Kenapa mereka berani memp