"Ada apa? Kenapa raut wajahmu terlihat cemas?"
"Ternyata banyak panggilan tidak terjawab dari bibiku. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah. Bisa tolong lajukan mobilmu lebih cepat!" pintaku dengan perasaan panik.
"Baiklah, untungnya jalanannya tidak terlalu padat," balasnya yang mulai melihat kepanikan di raut wajahku.
Sesampainya di depan rumah Bi Nani, aku dibuat terkejut dengan keadaan di sini.
'Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa ini?'
Tanpa memperdulikan keberadaan Revan, aku berlari memasuki rumah. Kulihat Bi Nani sedang bersimpuh di lantai.
"Ya Allah, ini kenapa, Bi?" tanyaku cemas.
Bi Nani menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi.
"Sial, aku terlambat!" gumamku geram.
Tidak berselang lama, Revan datang menghampiri kami. Aku baru tersadar akan keberadaannya. Sepertinya Revan mendengar semuanya.
Dia langsung berpamitan karena ternyata sang ibu terus saja mencarinya. Aku baru teringat dengan tawaran yang tadi Revan berikan.
"Tunggu!" Aku menghentikan langkahnya sebelum ia membuka pintu mobil.
"Apakah tawaranmu yang tadi masih berlaku?" tanyaku memastikan kembali tawarannya. Aku takut ia berubah pikiran setelah melihat keadaanku di sini.
"Tentu. Apa kamu sudah mendapatkan jawabannya?" Revan balik bertanya kepadaku.
Mendengar pertanyaannya, keraguan kembali datang. Tapi, ini jalan satu-satunya agar aku bisa segera mendapatkan uang dalam waktu dekat. Keselamatan Bi Nani dan Danur sekarang menjadi tanggung jawabku juga.
"Sebaiknya kita bicarakan ini nanti. Ini sudah larut sebaiknya tenangkan dulu pikiranmu sebelum mengambil keputusan. Ini kartu namaku, di sana ada nomor teleponku. Kamu bisa menghubungiku nanti," ucapnya ketika melihatku hanya terdiam dan tidak memberikan jawaban.
Revan mulai memasuki mobilnya. Dalam hitungan menit mobil itu telah hilang dari pandanganku.
***
Sekarang aku kembali berdiri di depan gedung apartemen milik Revan. Tidak ingin menunggu lama, tadi pagi gegas aku menghubungi nomor yang tertera di sebuah kartu nama yang Revan berikan. Dan akhirnya dia memintaku untuk datang lagi ke apartemen miliknya.
Sebelumnya, aku meminta Bi Nani dan Danur untuk sementara pergi dari rumah itu. Aku takut ketika aku pergi para rentenir itu datang lagi ke rumah Bi Nani.
Dengan perasaan yang penuh keyakinan, aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu masuk. Berjalan menuju sebuah elevator yang akan mengantarkanku ke lantai lima di mana kamar Revan berada.
Ting! Suara pintu elevator mulai terbuka. Hanya ada aku di sana. Setelah menekan angka lima pintu elevator mulai tertutup. Tapi, tiba-tiba pintu elevator tertahan. Apa jangan-jangan ...?"
Saat pintu elevator kembali terbuka, ternyata ... itu Revan. Aku sempat panik, aku takut para rentenir itu mengikutiku sampai ke tempat ini. Walaupun aku memakai masker tapi rasanya aku tetap harus waspada. Ah, rasanya aku yang menjadi penj4hatnya di sini. Aku melepaskan masker dan tersenyum ke arahnya.
"Ternyata benar itu kamu. Kupikir aku salah orang." Sapanya yang diakhiri dengan senyumnya yang manis.
"Tadi, hampir saja jantungku terlepas. Aku kira para b4ndit tua itu mengejarku sampai di sini," ujarku dengan memegang d4daku sebelah kiri.
"Tenang saja, kamu tidak perlu takut. Oh ya, maaf sudah merepotkanmu untuk datang ke apartemenku. Mama sedang istirahat sebaiknya kita bicara di cafe saja," ucapnya sambil menarik tanganku keluar dari elevator.
Aku tidak bisa berkutik dan mengekor di belakangnya. Sesampainya di cafe yang Revan tuju, ia mengajakku ke sebuah tempat duduk favoritnya. Suasana cafe yang nyaman, dengan alunan musik santai di siang hari serta ruangan yang sejuk dan tidak terlalu banyak pengunjung malah membuatku menjadi mengantuk.
Seorang waiters menghampiri kami. Ia menyodorkan buku menu di hadapanku. Revan mempersilakanku untuk memilih menu yang sudah tertulis di sana. Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti apa nama makanan yang tertulis di sini. Dari bahasa yang digunakan sepertinya cafe ini berkonsep Japanese food.
Aku termasuk tipe orang yang tidak terlalu senang masuk ke tempat seperti ini. Selain harganya yang tidak bersahabat dengan sakuku, makan baso urat Teh Mimin lebih pas di lidahku.
"Mau pesan apa?" tanyanya ketika aku hanya membolak-balik halaman buku menu tersebut.
"Aku tidak lapar, aku pesan minuman saja. Satu minuman yang sama dengan yang kamu pesan, " jawabku. Aku tidak boleh terlihat bo*doh di hadapannya.
"Ok!"
Dia terlihat menunjuk beberapa gambar dan langsung dicatat oleh waiters.
"Jadi, kau setuju untuk berpura-pura menjadi adikku?" tanyanya sesaat setelah waiters tadi meninggalkan kami.
"Iya. Aku mau berpura-pura menjadi adikmu. Asal ... kau tidak lupa dengan janjimu. Aku sangat butuh uang itu sekarang. Kemarin kamu lihat sendiri bagaimana rumah Bi Nani mereka acak-acak. Aku tidak mau terus-menerus mereka teror. Walaupun beliau bukan ayah kandungku, aku tetap harus melunasi hutang-hutangnya. Setidaknya di sana beliau bisa lebih tenang," balasku dengan sudut mata yang mulai memanas.
"Aku mengerti. Tapi, aku juga memiliki syarat."
"Syarat? Apa itu?"
"Pertama, kamu harus bisa membantu memulihkan kesehatan mental mama. Kedua, ketika nanti ayahku datang, kamu harus bersembunyi atau paling tidak kamu harus menggunakan masker! Aku tidak mau ayah sampai tahu kemiripan wajahmu dengan adikku, itu akan membahayakan nyawamu! Ketiga, jangan coba-coba mencintaiku! Kita hanya partner dan setelah kesehatan mental mama membaik perjanjian ini berakhir. Kamu setuju?" ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.
Aku tersentak saat Revan tiba-tiba mendekati wajahku. "Kamu bersedia?" tanyanya untuk kedua kalinya.
Aku mencoba mencerna setiap perkataan yang Revan ucapkan. "Maksud kamu?"
"Ikuti saja dan jangan banyak bertanya!" ucapnya dengan penuh penekanan kini.
Seketika, Revan yang kukenal ramah dan terlihat baik kini berubah dingin. Seperti mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Tapi, sudahlah yang penting aku bisa segera mendapatkan uang itu. Setelah mamanya pulih aku tidak akan terikat lagi dengannya. Dan apa? Dia bilang jangan coba-coba mencintainya? Ya, ya, ya, aku bahkan cukup tahu diri tentang siapa aku.
Tidak berselang lama, makanan yang ia pesan sudah datang.
Tanpa mendengar lagi jawabanku, Revan memintaku untuk menyebutkan nomor rekeningku. "Berapa nomor rekeningmu?" tanyanya disela ia menyantap hidangan yang telah tersaji.
"Saat ini aku tidak punya tabungan di bank. Jadi, aku tidak punya nomor rekening yang kamu pinta," jawabku jujur apa adanya.
"Baiklah, aku sudah menduganya. Kartu debit ini sudah aku isi dengan sejumlah uang, kamu bisa menggunakannya untuk kebutuhanmu. Tenang saja aku akan secara berkala mengisinya. Selain itu, kamu harus merubah penampilanmu agar terlihat seperti Liana. Jadi, belanjakan apa yang nanti akan dibutuhkan!" Dia menyerahkan sebuah kartu debit platinum berwarna hitam setahuku kartu ini memiliki limit yang cukup besar.
"Dan ini cek, kamu bisa gunakan uang itu untuk membayar semua hutang-hutang ayahmu dan yang lainnya." Revan memberiku selembar cek dan seketika ... mataku membulat sempurna saat aku melihat nominal angka yang tertera di sana. Deretan nol yang berjejer di belakang angka dua berhasil membuatku ternganga.
Du-dua milyar? Apa benar semua uang ini untukku?
"Kenapa? Apa uangnya kurang?" tanya Revan kemudian. "Tidak, ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya," jawabku seraya menyerahkan cek itu kembali. "Bukankah kamu ingin terbebas dari para rentenir itu? Terus kenapa kamu tidak mau menerima cek dariku? Tenang saja, uangku tidak akan berkurang hanya karena cek yang kuberikan padamu!" ucapnya enteng. Ia sedikit menyombongkan harta yang dimilikinya. Tentu saja, baginya uang mungkin tidak bernilai. Ketika kita memiliki privilege dan orang dalam kekuasaan sudah pasti dalam genggaman. "Tetap saja, bagiku ini terlalu banyak! Aku bukan orang yang suka memanfaatkan keadaan!" tolakku lagi. "Sudahlah, lebih baik kamu terima! Anggap saja itu bayaran untuk kontrak kerja yang nanti akan kamu lakukan," ujarnya san
"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil. "Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati. Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya. "Aw," ringisnya menahan perih. "Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu." Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana." Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin. "Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula. Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jel
"Entahlah, mungkin kami sebenarnya adalah kembar yang terpisahkan oleh ... takdir," jawabku asal. Walaupun dalam hati aku berharap dia memang kembaranku. "What?" Sejak kapan memangnya Nona Liana punya kembaran?" tanya Alexa dengan mulut ternganga. "Aku bilang 'mungkin', aku sendiri bahkan belum pernah lihat semirip apa aku dengan gadis yang bernama Liana itu. Mereka hanya bilang aku mirip dan mirip tanpa memperlihatkan foto mendiang padaku." "Ya udah nanti juga yu bakal tau dengan sendirinya, iya 'kan? Eyke sekarang keluar buat manggil petugas terapisnya ke sini. Pokoknya habis ini, yu pasti beneran bakal dibuat se-rileks mungkin." Alexa pamit meninggalkan ruangan ini. "Wah, ruangannya indah sekali. Sungguh nyaman menjadi orang kaya, mereka selalu dimanjakan
"Kenapa Azila harus mengembalikan cek ini, Bi? Dengan uang ini Zila bisa membayar seluruh hutang peninggalan almarhum ayah dan kita bisa terbebas dari para rentenir dan debt kolektor itu. Selain itu, uang ini bisa Bibi pakai untuk operasi Danur nanti," tegasku. Aku kecewa Bi Nani malah memintaku untuk mengembalikan cek ini. Aku kira Bi Nani akan senang dan melompat girang ketika melihat cek ini. Ternyata dugaanku salah."Iya, Bibi tahu. Bibi mengerti. Bibi juga sangat butuh uang itu. Tapi, Bibi tidak mau kamu mendapatkan uang dengan jalan yang salah. Sekarang Bibi tanya? Pekerjaan apa yang Revan berikan dengan bayaran sebesar ini, kalau bukan menjual diri?" ucapnya pedas. "Lihat penampilanmu sekarang!" pekiknya keras. Emosinya meledak. Baru kali pertama, aku melihat Bi Nani semarah ini. Apakah seperti ini, sikap seorang ibu ketika mengkhawatirkan anaknya?"Astaghfirullah,
"Selamat Pak Revan, kinerja Anda sangat bagus dalam memimpin perusahaan ini. Ibu Raihanah pasti sangat bangga pada Anda.""Selamat, Pak. Anda layak jadi CEO di sini.""Anda hebat, pemuda pemberi inspirasi! Muda dan berprestasi. Lanjutkan!""Kami tunggu gebrakan dan inovasi terbaru Anda untuk perusahaan ini!" Itulah, ucapan para penjilat setelah aku terpilih kembali sebagai CEO di perusahaan mama. Mereka adalah orang-orang yang telah papa suap untuk memenangkan vote pemilihan CEO baru pada rapat dewan direksi. "Sudah papa bilang kamu yang akan terpilih kembali, 'kan?" ucap Papa senang ketika aku akhirnya yang terpilih menjadi CEO. "Kamu pantas dan layak mendapatkan semua ini, papa bangga padamu, Nak," ucapnya bangga. "Semua salah, Pah. Jabatan ini seharusnya milik Liana. Papa tahu, semua orang tahu ... kalau aku ini bukan anak kandun
Tin! Tin! Tin! Bip! Bip!Suara monitor tanda vital menggema di seluruh ruangan ICU tempat Liana kini terbaring. Sudah hampir satu tahun sejak kecelakaan naas itu terjadi, Liana belum juga tersadar dari komanya. Namun, aku bersyukur, Tuhan masih memberikan kami kesempatan hidup setelah kejadian tabrakan itu. Walaupun Liana, hanya bisa hidup dengan bantuan dari alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya."Maaf, aku datang terlambat, Ana!" ucapku lembut dekat dengan telinga sebelah kanan Liana.Aku sengaja membuat tempat ini khusus untuk Liana. Lokasinya berada di dalam salon Kecantikan Nonamuda. Dengan begitu, papa tidak menyadari nya. Dengan dokter dan perawat terbaik yang kudatangkan khusus untuk menjaga Liana di sini. Bukan tanpa maksud aku menempatkan Liana di sini. Semua demi menyelamatkan hidupnya. Papa yang mengetahui Liana masih hidup pasca kecelakaan itu, terus berusaha mencari cara untuk melenyapkann
Azila kini tengah berada di dalam sebuah mobil bersama seorang asisten yang telah Revan tugaskan untuk menjemputnya. Sesuai janji Revan tempo hari, ia akan mengirimkan seseorang untuk menjemputnya. "Kamu mau bawa saya ke mana? Ini bukan jalan menuju apartemen Revan, bukan?" tanya Azila pada Asisten Revan yang belum dia tahu siapa namanya. Tadi asisten itu hanya memperkenalkan dirinya tanpa menyebutkan nama. "Maaf, Nona. Saya diperintahkan untuk membawa Nona ke kediaman keluarga Tuan Yudistira yang berada di jalan Cenada. Tuan muda dan Nyonya besar sudah menunggu Anda di sana," jelas asisten itu pada Azila. "Jalan Cendana? Sepertinya aku pernah melihat sebuah tulisan 'Jalan Cendana' di buku harian ayah yang tak sengaja kutemukan ditumpukan buku-buku lamaku dulu. Tapi aku lupa jalan Cendana nomor berapa waktu itu? Apakah tempat itu, tempat di mana ayah dulu bekerja?" ucap Azila dalam hatinya, tiba-tiba setel
"Aaaaaaaa ...! Kamu bukan anakku! Kamu bukan anakku! Kamu bukan Liana? Di mana Liana? Di mana Liana?" Ibunya kembali histeris setelah sadar kalau Azila bukan anaknya. Seperti singa yang akan menerkam mangsanya, sang nyonya besar melotot tajam ke arah Azila. "Zila, sebaiknya kamu mundur. Saat ini kondisi mama sangat di luar kendali. Itu bisa membahayakan dirimu!" seru Revan agar Azila menjauh dari sang ibu. Azila tidak mengindahkan ucapan Revan, ia malah berjalan mendekatinya. "Ma, Mama sama sekali tidak mengenaliku? Apa hanya Liana yang ada di hati mama?" batin Azila sedih. Bugh! Seketika gelas yang sedari tadi ia pegang langsung melayang mengenai kepala Azila. Prang! Serpihan pecahan gelas langsung berserakan di lantai. "Ya Allah, apa ini?" Azila terkejut dan tidak sempat mengelak. Ia memegang kepalanya, ada cairan hangat yang tiba-tiba merembes
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan.Perlahan Azila menutup kembali matanya, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napasnya."Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena A
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Semua rasa yang pernah tersimpan apik di dalam hati, sepertinya harus tersimpan rapat selamanya. Belum bisa terganti. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Sepertinya, itu yang kini tengah dirasakan Azila. Lima tahun berlalu, namun sosok Revan tidak pernah lekang oleh waktu. Semakin Azila coba lupakan, bayang-bayang cinta pertamanya itu semakin kuat mengisi hati dan pikirannya."Jadi gimana, mau 'kan terima perjodohan ini?" rayu seorang gadis cantik berhijab yang duduk di samping Azila.Tidak ada respon dari Azila. Dia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Liana."Ayo, dong, Sayang! Kamu harus mau terima perjodohan kali ini. Kamu tahu, kalau kamu nggak mau nikah, adik kamu, Liana, juga nggak mau nikah. T'rus kapan Mama bisa mamerin cucu Mama ke temen-temen arisan? Cuman Mama loh, yang nggak punya cucu." Wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya. Ia pun turut menc
Azila sangat terkejut melihat foto yang diberikan sang ibu. Terlihat dengan jelas, ada yang telah membongkar makam Liana. Makam itu kini dalam keadaan terbuka dan hanya berisi peti kosong. Konon katanya, karena jasad Liana rusak mereka terpaksa memakaikan peti saat menguburkannya."Seseorang mengirimkan foto itu seminggu yang lalu. Mama juga kaget saat melihat foto-foto itu. Mama langsung datang memeriksa ke sana. Dan kamu tahu, setelah Mama tanya-tanya petugas di sana, ternyata makam itu ... kosong!""Apa? Ma-makam Liana, kosong?" Gadis itu dibuat menganga oleh pernyataan sang ibu."Mama serius? Kok, bisa?" Azila beranjak dari tempatnya duduk, berpindah posisi dan lebih dekat dengan sang ibu. Raut wajahnya terlihat lebih serius."Mama juga nggak ngerti, Sayang. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa jangan-jangan ... memang sebenarnya Liana itu tidak benar-benar meninggal?!" Sejenak Raihanah terdiam sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang b
"Ka-kalian se-semua harus i-ikut ma-ti di si-sini!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sofia berhasil menyalakan pemantik api yang sedari tadi digenggam. Tak lama kemudian dia terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.Kilatan api dengan cepat merembet ke arah kaki Azila yang masih terikat di kursi. "Arrrrgghhh! Api! Tolong!" pekik Azila panik."Astaghfirullah, Revan. Tolong Alina, cepat!" teriak Raihanah ikut panik melihat kejadian itu. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tengah membantu sang adik yang tadi tertusuk.Dengan sigap, Revan segera membuka jaketnya dan mengibaskan api yang sempat menyentuh kaki gadis itu. Akhirnya pria muda itu berhasil membuka ikatan talinya dan membawa Azila ke tempat yang aman.Tidak berselang lama, para polisi datang membantu. Kobaran api semakin besar, dan mulai merobo
"Apa kalian pikir hanya kalian yang menderita di dunia ini? Lalu bagaimana dengan nasibku? Yang waktu bayi telah dibuang oleh ayahmu itu. Dari kecil aku pun sama tidak pernah merasakan kesenangan seperti yang kalian pikirkan. Aku pun sama sering dihina dan dikucilkan karena kemiskinan dan status yang tidak jelas. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyimpan dendam seperti yang kalian rasakan. Karena aku sadar semua telah digariskan oleh Tuhan," seru gadis itu membuat Rihana tertohok. Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Azila. "Silakan, tampar aku sesukamu! Asal kalian tahu, setiap perbuatan itu ada balasannya. Sekecil apapun itu. Tuhan tidak pernah tidur, ingat itu!" "Hentikan semua ucapanmu itu! Kami tidak butuh ceramah darimu!" titah Sofia sambil menjambak kasar rambut gadis itu. "Bertobatlah, sebelum kalian menyesal
"Cukup! Dasar, wanita gila! Jangan pernah lagi kamu menyentuh ibuku, hah!" ucapnya penuh emosi. "Dua tahun ini, aku sengaja menyelinap masuk ke dalam keluarga barumu. Seperti yang kuduga kau sama sekali tidak mengenaliku. Aku berpura-pura menjadi suster pribadimu hanya untuk bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau lihat ini?" Wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari kantung bajunya dan mengacungkannya ke udara. "Bagaimana kamu bisa menemukan stempel itu?" tanya Raihanah saat ia melihat benda yang diacungkan adiknya. "Bukan hal sulit bagiku. Tentunya aku dibantu oleh para pekerja yang ada di rumah mewahmu itu. Semua telah kubayar agar mereka tutup mulut dan mau bekerja sama. Termasuk saat kejadian saat gadis ini datang ke rumahmu." Wanita itu kini berpindah dan mencengkeram dagu Azila. "Lepaskan!" Gadis itu meronta sekuat tenaga. "Jadi, pelaku sebenarnya yang waktu itu memukulku adalah kamu, bukan Mbok Karsih?" ucapnya kaget seolah tidak percaya dengan
Suasana dini hari itu begitu sunyi. Hujan lebat yang baru saja berhenti menyisakan tetesan air yang merembes dari atas plafon gudang tua tempat Raihanah dan Azila disekap. Terasa dingin dan pengap. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang gadis muda tengah terbaring di sebuah dipan kayu yang mulai rusak. Perlahan gadis itu mulai terlihat sadar dan membuka matanya. Seketika itu pula, dia beringsut dari tempatnya terbaring. "Di mana ini?" Azila mencoba mengedarkan pandangannya. Terasa asing dan sedikit gelap. Hanya ada lampu gantung kecil yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. "Aw!" Tiba-tiba rasa sakit itu datang kembali saat ia mencoba untuk berdiri. Azila memegang erat kepalanya. Pandangannya sedikit kabur dan serasa berputar. Belum lagi rasa ngilu yang harus kembali ia rasakan di area sekitar punggungnya. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang untuk menahan semua rasa sakitnya. Pikirannya kembali teringat pada sang ibu. Sekuat tenaga dan tidak lagi memperdulikan r
"Sialan, kalian mau bawa aku ke mana?" umpat Yudistira saat tahu mobil polisi yang membawanya berbelok arah dan bukan menuju kantor polisi. "Hahaha ... jangan banyak bicara kau Tua Bangka!" pekik salah satu pria yang menyamar sebagai polisi tersebut. "Siapa kalian sebenarnya? Cepat, katakan!" teriak Yudistira lantang ke arah kedua pria itu. "Plak! Jangan banyak bicara aku bilang!" Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Yudistira. Seketika cairan berwarna merah keluar dari salah satu sudut bibirnya. "Kalian berurusan dengan orang yang salah. Anak buahku pasti akan segera menemukan keberadaanku," ucapnya sinis. Seketika salah satu oknum tersebut menutup kedua mata pria paruh baya itu dengan kain hitam. "Lepaskan! Kalian pasti akan mati! Lepaskan!" Sebuah lakban lantas berhasil menyumpal mulut Yudistira. Pria paruh baya itu kini tak bisa berkutik melawan dua orang pria yang tadi menyamar sebagai polisi dan berhasil menangkapnya. 'Kurang ajar, siapa mereka? Kenapa mereka berani memp