"Bukankah harusnya memang seperti itu?" Baginda menimpali."Mereka harus berlatih siang dan malam dengan sangat ketat." Pangeran melanjutkan, hal itu membuat Baginda dan Marta mengerjap tak mengerti."Siang dan malam?" Gumam Baginda. Marta yang berdiri di belakang sang Raja pun merasa cukup terwakili dengan pertanyaan itu. Ia ikut menatap serius ke arah Pangeran Mahesa, penasaran."Benar, Ayah. Karena kalau tidak, ketangkasan mereka tidak akan terasah," Jawaban Mahesa membuat Baginda makin memicing tak mengerti."Saat apa mereka bisa beristirahat?" Tanya Baginda lagi."Mereka hanya akan beristirahat di saat waktu makan saja, Ayah.""Saran dari mana itu? Apa kita tidak terlalu kejam dengan pasukan?""Justru tidak, Ayah. Bukannya semakin sering mereka berlatih, mereka akan semakin kuat?" Mahesa tetap mendesak, percaya bahwa usulan Bara yang paling benar."Bagaimana kalau mereka merasa tertekan dan kelelahan?""Tidak, Ayah. Mereka kan sudah ada waktu istirahatnya tersendiri. Jadi tidak m
Hening. Tak ada jawaban, hingga beberapa saat. Hingga suara deheman tegas membuat keduanya mendongak ke arah yang sama. Baik Marta maupun Bara, keduanya sama-sama menegakkan badan serentak. Bara serta merta menyatukan kedua tangannya menaruh hormat. "Pangeran."Bagas tak menanggapi, ia malah menatap dua orang di depan dengan pandangan menyelidik. Marta yang merasa dicurigai, hanya mendesah lirih. "Apa yang kalian lakukan di sini?" Tanya Bagas. Marta memberikan isyarat dengan tangan, agar bagas bisa sedikit lebih tenang. "Kau, siapa namamu?" Ujung telunjuk Bagas mengarah pada Bara. "Saya, Bara, Pangeran.""Bara? Kenapa kau ada di sini dengan gadis ini? Kau tau, kan, Marta adalah kekasihku?" Bagas menyindir. Marta berhembus lega. Setidaknya, pangeran itu kesini bukan karena mendengarkan ucapan bara tadi, tapi hanya sebatas kecemburuan. Ia menggeleng tak habis pikir. "Saya tau, Pangeran. Saya kemari hanya mengajak nona Marta untuk berbincang. Tidak ada yang lain.""Apa itu benar?"
"Pangeran, ada tiga orang lagi yang sakit," Teriak salah satu masuk tergesa ke kamar yang ditunggu Bagas."Ada yang sakit lagi?" Tanya Bagas."Iya, Pangeran. Mereka jatuh pingsan di tempat latihan." Baru saja prajurit yang melapor itu menyelesaikan kalimatnya, Bagas telah berlalu dari kamar itu. Berlari menuju tempat latihan yang telah riuh berkerumun menjadi satu.Ada Bara dan Dirga di sana, Bagas menyibak puluhan orang merapat satu sama lain. "Ada apa ini?" Tanya Bagas dengan nada cukup keras, sebab jika tidak, mereka tak mungkin bisa mendengarnya."Tidak tau, tuan Bagas. Mereka tiba-tiba saja pingsan," Jawab salah satu. Bagas tak langsung menanggapi, ia hanya mengamati satu demi satu prajurit yang ada di sana. Baik Panglima, Bara maupun Dirga pun tak luput dari tatapan menyelidik."Apa kalian tau, penyebab mereka pingsan? Bahkan di kamar sudah ada beberapa yang berbaring lemah," Kalimat tanya Bagas, diiringi dengan sorot mata tajam. Menyapu semua wajah yang ada di sini. Mereka meng
"Benar, Pangeran." Salah satu bicara diantara nafas terengah. "Gerakan pemberontak telah bermalam diperbatasan, tuan. Tak lama lagi pasti akan datang kemari," Jawaban mereka membuat Bagas tak mampu bereaksi apapun.Ia hanya mengerjap, antara tak percaya, dan beberapa perasaan kaget yang lain. Mungkin akan biasa saja, jika musuh dalam peperangan ini adalah negara lain. Namun ini, mereka harus melawan bangsa sendiri.Yang dampaknya bisa menghilangkan citra diri, di mata bangsa lain. Bisa saja mereka bersorak kegirangan atas peperangan dengan sesama sendiri seperti ini."Tuan Bagas," Sapa salah satu, karena Bagas telah beberapa detik tak menjawab apapun. "Bagaimana ini?""Ah, iya." Mendadak Bagas menjawab kikuk, arah tatapannya tak menentu. Pada tempat berlatih tanpa pelatih, juga ke arah tempat pertemuan. Yang di sana, Baginda telah turun dari singgasana. Berjalan kemari, mungkin melihat dirinya yang berbicara serius dengan penjaga perbatasan."Baginda harus tau secepatnya. Ayo, ikut ak
"Melarikan diri?" Gumam Panglima dan Baginda serentak, keduanya menatap serius ke arah Bagas."Melarikan diri bagaimana maksudmu, Bagas?" Baginda mengulang pertanyaan, karena Bagas tak segera memberikan jawaban. Malah menatapnya, juga Panglima dengan sorot mata penuh kekecewaan. Baginda sebenarnya paham sang putra sedang kecewa, hanya saja tidak mengerti apa yang membuatnya kecewa."Dugaanku pasti tidak salah. Mereka pasti melarikan diri, setelah membuat kekacauan pada pasukan istana," Bagas berucap dengan mata menerawang."Maksudmu, mereka adalah ...""Benar." Bagas kembali menatap sang Ayah yang bertanya bingung. "Mereka pasti mata-mata dari musuh. Datang kemari dan berpura-pura untuk mencari pekerjaan. Padahal tujuan utama mereka di sini pasti untuk mengacaukan pasukan. Agar mereka bisa mengalahkan kita.""Apa? Lalu, bagaimana ini?" Baginda panik, diikuti Panglima yang mungkin tak percaya bahwa dirinya selama ini telah dikelabuhi dua orang pegawai itu."Semua sudah terjadi. Musuh p
Malam ini belum mencapai puncak, tetapi suasananya lebih sunyi. Tak seperti biasanya. Di luar, hanya ada puluhan pasukan berjaga-jaga tanpa bicara pada yang lain. Masing-masing dari mereka seperti sedang menyiapkan mental untuk berperang, yang entah lusa, esok hari. Atau bahkan malam ini jugaWajah tegang nan khawatir nampak jelas pada mereka. Tiap kali mendengar suara tak biasa, semuanya akan bersiap di tempat penjagaan masing-masing.Dari arah kamar, Marta dapat melihatnya dengan jelas. Sisi egoisnya merasa senang dengan kondisi mencekam ini, tetapi sebagai pendekar yang juga dibekali ilmu kemanusiaan, hatinya trenyuh.Pergolakan batin membuatnya enggan untuk menanggapi apapun. Merespon apapun yang terjadi di tempat ini. Ia hanya ingin menjadi penonton, ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti. Siapa yang akan tumbang dan tetap berdiri tegak.Cukup lama ia termenung di dalam kamar, Marta tersentak saat ada seseorang mengetuk pintu. "Siapa?" Tanyanya menatap awas."Buka pintunya
"Katanya Baginda telah menyerahkan peperangan ini padamu. Jadi, kau harus memberikan kemenangan untuk Baginda. Benar, tidak?" Bagas tak sempat menjawab, mereka kemudian memandang ke arah yang sama. Ke arah suara riuh para penjaga di belakang istana. "Ayo kita lihat." Bagas serta merta menarik lengan Marta, mengajaknya menuju ke arah sana. Sang gadis pun tak sempat menolak, mau tak mau, ia harus mengikuti kemana langkah pemuda itu. Mereka menuju tempat prajurit berkerumun memamerkan kepanikan entah kenapa. Dan hal itu tentu saja membuat Bagas makin mempercepat langkah, yang didorong oleh rasa penasaran. "Ada apa ini?" Tanyanya menyibak belasan prajurit, lalu tanpa mereka jawab, ia telah melihat seorang penjaga menggelepar. Darah segar menyembur di dada yang tertancap kuat ujung panah, hingga hampir setengahnya. Bagas tercengang, Marta lebih dari itu. Melihat darah segar, memorinya kembali mengingatkan akan kematian Ibu dan Bapak yang dibunuh secara tak manusiawi. Dalam hati, ia mem
"Baginda, pakaian Anda sudah siap," Ucap Marta membuyarkan lamunan sang Raja. Baginda menoleh dengan tatapan sayu. "Selagi aku makan, kau di sini saja. Menyiapkan baju perangku," Titah Baginda kemudian menatap serius. Sepeninggal Raja itu dari kamarnya, Marta tetap berada di sini, sesuai perintah dari Baginda. Setumpuk pakaian berlapis baja berada dalam pangkuan. Gadis itu mengamatinya, dengan sesekali mengusap permukaan baja.Terus terang, baru kali ini ia melihat baju perang seorang Raja. Dalam benaknya, mendadak terdengar desingan pedang beradu, dilumuri darah segar. Membuat hati siapapun berdesir. Dalam benaknya juga bertanya, akankah pedang tajam mampu menembus lapisan baja ini. Tanpa disadari, telah cukup lama ia termenung sendiri di kamar ini. Hingga Baginda kembali datang dan berdiri di depannya. Marta mendongak kaget. "Bantu aku memasangkan baju ini," Pinta Baginda. Marta mengangguk gemetar, segera melakukan apa yang diinginkan sang Raja. Tangannya pun bergetar entah ken