Jam Kantor hari ini telah usai, Jack memasuki ruangan Ammy tanpa permisi. Menarik lengan wanita muda itu kasar. Peduli setan! Gadis itu membuatnya dihantui rasa penasaran semenjak dia berani mengatai mulutnya recehan. Dan perlakuan ini cukup masuk akal sebagai wujud sebuah hukuman. Ia tak mau kalah cepat dari Davee. Gadis itu harus menjadi miliknya dengan cara apa pun.
"Lepaskan, Mr. Graham! Bukankah Jam kerja sudah habis dan ini sudah waktunya pulang?" kata Ammy berusaha melepaskan tangannya dari si bos yang menyebalkan itu. Jack tidak memedulikan ucapan Ammy, bersikap seolah-olah tidak mendengar apa pun. Membawanya menuju ke mobilnya.
“Bos selalu tahu kapan harus memulangkan karyawannya. Mengerti! Jadi jangan mengajariku!”
Ada yang tak beres, Jack tak pernah merasakan getaran seperti sengatan listrik seakan mengalir di dadanya. Namun gadis kurang ajar ini rasanya setiap detik semakin menarik saja! Jack mendengkus, ingin sekali mengumpat. Perasaan apa yang sebenarnya sedang mengacaukan pikirannya ini?
"Ayahku pasti khawatir, Mr. Graham."
Jack menatap wanita di sebelahnya penuh intimidasi. Memangnya siapa yang peduli mengenai ayahnya?
"Bukankah kau sudah dewasa?" Mata pria itu menatap tajam ke arah Ammy.
"Mana ponselmu?" Ia menengadahkan sebelah tangan, meminta telepon pintar wanita itu dan sejenak kemudian benda pipih itu segera berpindah tangan.
"Untuk apa?"
"Ammy Lawrence Martin, ini perintah!" Nadanya naik beberapa oktaf.
Ammy menurut, memberikan ponselnya pada Jack. Pria itu menekan kemudian menggeser menu kontak dan mencari nomor ayah Ammy.
"Halo, Sir! Selamat malam. Aku atasan Ammy, ingin memberitahukan bahwa Ammy akan pulang terlambat karena ada pekerjaan tambahan." Ia menyeringai, menutup teleponnya seolah tak peduli pada jawaban di ujung saluran telepon.
"Anda mau membawa saya ke mana, Mr. Graham? Kalau niat Anda membawa saya untuk memenuhi nafsu sesat Anda, mohon maaf Anda salah target! Tolong garis bawahi, SAYA TIDAK MENJUAL DIRI!" ucap Ammy tetap bergaya formal namun tegas dan penuh penekanan. Alih-alih melepaskan Ammy, Jack malah semakin mengeratkan cekalan di tangan gadis itu.
Pria jangkung itu terus melangkah, memasukkan Ammy ke mobilnya lalu melajukannya. Tak peduli mulut gadis itu meracau tak karuan, ia memilih menulikan pendengaran.
"Hentikan mobilnya! Kau menculikku, Mr. Graham!" Ammy menatap lelaki itu dengan sengit.
“Buat saja laporan ke polisi, maka aku akan memperkosamu saat ini juga!” Jack mengeram marah. Sementara Ammy semakin panik.
"MR. GRAHAM!" pekiknya lebih keras.
"Kau tidak berhak memerintahku. Aku ini atasanmu, Mi Amor," kata Jack masih dengan pandangan yang tajam dan angkuh.
"Satu lagi, berhenti memanggilku Mr. Graham. Panggil aku Jack saja! Bukankah kau bisa memanggilnya Davee saja? Jika kita ada dalam pertemuan penting dengan client kau baru boleh memanggilku Mr. CEO. Damn, kau pilih kasih!" tekannya sinis.
Ia menghentikan mobilnya pada sebuah Restoran. Mengajak Ammy turun dan makan bersama. Mereka memasuki restoran mewah dengan arsitektur megah di atas dataran tinggi. Bahkan mereka dapat menikmati pemandangan pusat kota Bosque de Chapultepec yang merupakan paru-paru kota Meksiko hanya dari dalam restoran berpintu kaca tersebut.
"Aku tertarik padamu, terus terang saja, sepertinya membuat pemberontak sepertimu terbang bersamaku di kamar tidur selalu jadi fantasi terbaik sepanjang hari ini. Kau ... pasti luar biasa," kata Jack setelah pramusaji menyuguhkan makanan yang ia pesan. Ia kemudian mulai menyuap dan mengunyah makanannya. Sambil tersenyum melemparkan tatapan mupeng ke arah Ammy.
"Ada begitu banyak wanita yang bisa kau bayar. Kenapa harus aku?” Ammy mulai menampakkan kekesalan yang terasa sudah di ubun-ubun. Sepertinya dia harus memikirkan cara resign dari perusahaan itu agar dapat terbebas dari alien spesies baru seperti Jack.
Jack menjeda aktivitas makannya, meletakkan garpu dan pisau steak lalu menatap Ammy dengan senyum sinis. Ammy sama sekali tak menyentuh makanan yang Jack pesan. Meskipun berjajar hidangan telah tersusun rapi, tak tertinggal sepiring Nachos dengan topping daging cincang dan saus keju. Makanan favorit itu tak menarik perhatian Ammy lagi lantaran ia sedang bersama Jack.
"Jadi, berapa aku harus membayarmu?” Jack mengusap bibirnya dengan tisu kemudian kedua tangannya terlipat di depan meja sok innocent.
Ammy membalas tatapannya tak kalah sinis. Namun tanpa mengatakan apa-apa.
"Katakan saja, berapa hargamu?" Nada bicara tuan muda itu mulai sedikit meninggi. Ammy bangkit, meraih segelas air di meja lalu menumpahkannya di wajah pria bermanik cokelat itu.
"Tidak semua yang ada di dunia ini bisa kau beli dengan uangmu, Jack. Berhentilah merendahkanku!" Ammy menyingsingkan lengan blouse berwarna mustard yang ia kenakan, lalu menenteng tas jinjingnya seraya melangkah pergi. Namun tangan kekar itu dengan cekatan kembali menahan langkahnya.
"Kau sombong sekali, Ammy!"
"Kau menjijikkan, Jack!" balasnya.
Ia tersenyum, mengibaskan tangan pria itu dengan kasar kemudian memilih meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa.
Mengetatkan rahang. Ada pemantik yang seolah semakin membakar gairahnya. Entah mengapa semakin gadis itu memberontak, Jack menjadi semakin penasaran padanya.
"Aku tidak akan melepaskanmu, Ammy. Jack Williams Graham tidak pernah gagal mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Kita lihat saja nanti!"
Ia menoleh ke depan pintu restoran yang transparan. Berlalu begitu saja sebelum membayar dan seorang pria menahannya.
"Anda belum membayar, Tuan."
"Kubeli sekalian restorannya untuk kandang anjingku. Aku bisa mentransfernya dan apa matamu buta sampai tak bisa melihat aku sedang terburu-buru?! Aku sudah meninggalkan kartu nama di meja. Apa matamu tidak berfungsi dengan baik?" tukasnya sarkastik, ia kembali mengambil kartu namanya dari kantong celana, menempelkannya di dahi si pria dan berkata, "kirim saja tagihannya, kau dipecat! Jika kau masih di sini saat aku datang kemari, kupastikan pemilik restoran ini akan bangkrut!"
Jack mendorong kecil tubuh laki-laki itu kemudian melanjutkan langkahnya. Si pria tertegun, mengamati kartu nama yang kini ada di genggamannya. Jack Wiliams Graham? Putra tunggal Hans Ferdinand Graham, pemilik hotel The Graham's Kingdom, National Company dan Meghan Medica Hospital? Ia hampir tak percaya. Maka dia memang harus siap hengkang dari pekerjaannya.
Mengejar Ammy yang belum jauh, sepatu berhak sekitar delapan belas senti sedikit membuatnya kesulitan berjalan cepat di tengah hujan bulan juni yang mengguyur deras Mexico City.
"Masuklah! aku akan mengantarmu," katanya setengah memerintah seraya membukakan pintu mobil.
"Aku tidak butuh mobilmu. Lebih baik aku basah kuyup atau mati disambar petir daripada harus berada di mobil yang sama denganmu. Menghirup udara yang sama dengan yang kau hirup saja membuatku cukup mual," ujarnya dengan kekesalan memuncak.
Tak diduga, kilat menyambar dengan penampakan yang begitu menakutkan diiringi suara dentum menggelegar. Terkejut, Ammy bergerak mundur, berteriak dengan spontan dan menelungkupkan wajahnya di dada Jack. Ia memang mengidap Astraphobia, yaitu ketakutan berlebih pada kilat dan petir. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
"Lihatlah, Ammy! Kucing liar ini akan kujinakkan dengan baik. Masih berkilah seolah kau menolakku?"
Ammy terburu-buru menarik tubuhnya dari pelukan Jack saat ia menyadari dirinya telah membuat kesalahan. Berbalik, ia melangkah maju, tanpa memedulikan Jack yang mulai basah kuyup diterpa hujan.
"Aku tidak sengaja," katanya, tampak semakin kesal dan takut.
Ammy menelan paksa ludahnya. Napasnya berat, dadanya bergemuruh menahan rasa takut pada cuaca yang sedang sangat tidak bersahabat. Dan lagi, apa yang ia lakukan barusan? Memeluk Jack? Ia berharap bisa memutar waktu dan menghapus peristiwa itu dari hidupnya. Damn, spontanitas yang memalukan.
Jack berlari kecil, meraih pergelangan tangan Ammy saat langkahnya mulai menjauh.
"Kalau kau kehujanan, maka biarkan aku kehujanan bersamamu, kalau saja kau mati tersambar petir, aku akan hancur bersamamu. Bagaimana? Tak perlu menebusnya dengan ke hotel bersamaku hari ini, mungkin bisa besok atau lusa," ucapnya masih dengan kalimat kurang ajarnya.
"Apa maumu?"
"Aku mau kau," jawabnya penuh percaya diri.
"Kita baru bertemu tadi pagi, Jack."
"Itu salahmu, kau yang membuat aku penasaran!" Tatapnya dengan senyum hangat.
"Berhentilah menggangguku! Besok aku akan mengurus surat pengunduran diri dari kantor. Aku rasa aku tak cocok menjadi anak buahmu," katanya serius.
"Terang saja kau tak cocok jadi bawahanku, kupikir lebih seru jika kau bermain di bawahku, Ammy." Jack tersenyum tengil. Sementara Ammy hanya bisa mendengkus kesal.
"Lepaskan tanganku!" ucapnya dengan suara melengking.
"Apa yang sudah kugenggam tidak mudah aku lepaskan. Kita jalani saja satu malam bersama, setelah itu silakan putuskan jika kau sanggup pergi dariku. Mudah bukan?"
Ammy semakin gusar pada sikap pria muda di hadapannya itu. Ia menampar pipi lelaki mesum itu keras-keras. Menyisakan rasa panas dan kebas di pipi Jack. Pria itu memegangi pipinya dengan sebelah tangan. Mengusapnya pelan.
Ditampar? Baru kali ini dia merasakan ditampar seorang wanita, dan wanita itu hanya seorang sekretaris? Demi apa?
Damn, kenapa wanita pemberontak itu semakin menarik saja di matanya. Ia mengetatkan rahang, kalau saja Ammy pria, ia pasti akan membabat habis batang lehernya.
Ammy masih berusaha melepaskan tangannya dari pria itu. Namun usahanya percuma, tangan itu terlalu kuat.
"Lepaskan!" pekiknya.
Alih-alih melepaskan genggamannya, Ia malah menarik sekretaris cantik itu ke pelukannya.
"Diamlah sebentar! Kau akan nyaman di dekatku. Hadiah untuk sikap kurang ajarmu adalah sebuah pelukan," katanya seraya menampakkan evil smirk.
“Aku tak akan memperkosamu, percayalah, aku masih punya harga diri untuk tidak menjadi binatang seperti itu,” ucapnya melunak.
"Apa kau memperlakukan semua wanita seperti ini, Jack? Katakan aku yang ke berapa?” Ia melirik wajah Jack yang berada begitu dekat dengan wajahnya. Sampai ia mampu merasakan embusan napasnya. Vibrasi detak jantungnya berpacu meninggi. Merasakan gelenyar seperti kupu-kupu beterbangan di dadanya. Jemari Jack merayap di pipi Ammy, bergerak mengeja detail wajahnya dan menyentuh bibir indahnya.
"Hanya kau, Ammy. Aku tak pernah penasaran pada wanita. Mereka hanya kupakai semalam dan kami tak pernah saling menyebut nama. Mereka hanya tempat pembuangan lendirku. Tapi, kau berbeda. Ada yang bergetar di dadaku saat aku bersamamu, Padahal kita baru bertemu tadi pagi." Manik cokelat itu bersitatap dengan iris biru Ammy, mengundang perasaan campur aduk yang membuncah di hati keduanya.
"Demi Tuhan, Jack. Aku tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan makhluk luar angkasa sepertimu."
Ia kembali mengembangkan senyum.
"Kalau begitu, mimpikan aku mulai hari ini, Am."
Sulur-sulur jingga menampakkan diri dari kepulan awan hitam. Gemuruh petir bersahutan mampu membuat Ammy melunak. Ia benar-benar merasa takut pada suasana yang begitu mencekam. Tidak ada pilihan selain Jack. Ini sudah malam dan pada siapa ia akan minta pertolongan?
Sialnya lagi baterai ponselnya habis beberapa menit setelah si bos menjengkelkan itu menghubungi ayahnya. Menunggu taksi atau kendaraan umum saat cuaca tak mendukung sepertinya mustahil, bahkan jalanan tampak sunyi dan lengang.
"Masuklah ke mobilku! Kau menggigil. Atau jika kau memilih tetap pulang sendiri, jangan menyesal jika ada berandal yang memperkosamu nanti, itu bukan ide yang lebih baik daripada tidur denganku, bukan?" ucapnya sedikit lembut.
Ammy masih bergeming dan dengan tegas Jack berkata sekali lagi. “Masuk ke dalam mobil, Ammy! INI PERINTAH!”
Ia membimbing Ammy memasuki mobilnya. Ammy menurut, ia tidak mungkin pulang sendiri dalam keadaan seperti ini. Dan setidaknya Jack benar, jika ada berandal yang melakukan hal yang tidak-tidak, tentu itu adalah kesombongan konyol yang mencelakai diri. Pada akhirnya dia memilih memasuki Aston Martin Vanquish mewah milik Jack.
"Aku rasa jantungmu berdetak sangat kencang saat kau berada di pelukanku." Ia menatap Ammy dengan pandangan meledek. Manik kecokelatan itu selalu mampu menghipnotis. Ammy merasa salah tingkah. Pipinya bersemu merah, karena memang apa yang dikatakan oleh pria itu benar. Dia tertarik pada Jack.
"Tidak, aku hanya takut pada petir. Kau tak mungkin paham karena kau bukan penderita Astraphobia," dalihnya.
"Pipimu merona, Ammy. kau masih menyangkal?" Ia terkekeh geli.
"Tutup mulutmu, atau aku akan keluar dari mobilmu!" Ammy meninggikan suaranya dengan ekspresi malu dan gusar.
"Tidak ... tidak! Aku hanya bercanda. Kau tidak serius, 'kan, tentang pengunduran diri dari kantor?" Ia terlihat serius. Tak juga menyalakan mesin mobilnya hingga jemari Ammy meraih kunci dan memutarnya. Jack kembali memutar kunci ke keadaan semula.
“Ayolah, jangan tergesa-gesa, Mi Amante!”
Ammy melotot kesal. Sejak kapan ia berpacaran dengan Jack sampai-sampai pria gila itu memanggilnya dengan sebutan kekasihku?
"Entahlah, mungkin saja, jika kau terus menggangguku. Siapa yang akan tahan dengan bos sepertimu. Pekerjaan baru mungkin lebih menarik."
"Kau akan merasa kehilangan saat aku tak ada nanti. Tentu saja aku tidak akan tega membuatmu merasa kehilangan." Jack mengedipkan mata.
Ammy memicing. Muntah segentong! Dia pikir dia setampan Joshua Honeycut atau seseksi Manu Rios?
"Kau terlalu percaya diri, Jack!” oloknya.
"Aku benar- benar tertarik padamu. Aku akan mendapatkanmu apa pun caranya! Ingat itu."
"Aku bukan barang. Dan, bukan seperti itu cara memperlakukan seseorang jika kau tertarik padanya. Bersikaplah lebih baik, siapa tahu aku akan mengubah pandanganku tentangmu. Atau tidak sama sekali jika kau terus bersikap seperti ini."
"Artinya ada harapan?" Ia menyelipkan rambut Ammy yang basah di sela telinganya. Menyentuh pipi Ammy, menatapnya dengan manik kecokelatan yang begitu misterius. Ammy merasa kesulitan menepis pesona yang dimilikinya. Dadanya bergejolak saat menatap manik Jack yang indah. Namun dia tidak boleh jatuh cinta pada Jack. Lelaki sombong itu, apa yang Ammy pikirkan tentangnya?
Sialan! Ammy tidak bisa mengelak kesempurnaan itu. Kesempurnaan yang membuat logikanya bergerak, membela kepribadian arogan Jack. Seolah semua kesombongannya lumrah adanya.
Ayolah, Ammy. Apa kau sudah gila?
Jack mendekatkan wajahnya pada Ammy, mencium aroma parfum yang terasa tak asing olehnya. Seperti parfum yang terletak di laci ruang tengahnya. Ayahnya bilang itu adalah parfum kesukaan mendiang Ibunya.
Meski ayahnya sering pulang ke kediamannya, pria itu merasa begitu kesepian karena ayahnya selalu mengabaikannya. Dia merasa disayangi hanya dengan semua kemewahan yang ayahnya berikan. Oleh karena itu dia sering menghabiskan waktu untuk mencari kesenangannya sendiri. Entah dunia akan memandangnya benar atau salah. Kepuasan hanyalah obat penenang bagi Jack.
"Kalau aku tak salah terka aroma ini adalah Caron poivre, seleramu tinggi juga. Harga di atas dua puluh ribu peso hanya untuk sebuah parfum, Kau sangat berkelas." Jack menghidu aroma Ammy, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wanita itu lalu menariknya sedikit menjauh.
"Dengar, Jack! kalau kau mau main-main denganku kau salah orang. Aku wanita baik-baik. Bahkan aku masih perawan. Sementara kau? Katakan berapa wanita yang pernah kau tiduri sampai kau begitu hafal aroma parfum wanita? Dan katakan apa alasan yang membuatmu bertingkah aneh dan membuatku muak? Apa yang membuatmu pantas kusukai dengan kepribadianmu yang seabsurd ini?" Ammy mendengkus, memaksa meneguk ludah. Jika ia menjabarkan rasa kesalnya, rasanya ia tak ingin berurusan dengan pria ini seumur hidupnya.
“Kau masih perawan? Ini Mexico City. Ada dua alasan wanita di atas delapan belas tahun masih perawan di sini. Yang pertama karena dia tak normal, yang kedua karena dia tidak memiliki ‘lubang kunci’. Jadi, sepertinya aku perlu memeriksa kau ada di alasan yang mana.” Jack tertawa terbahak-bahak. Memancing Ammy untuk melebarkan bola mata dan mengekspose manik jernih seindah blue shappire.
"Jalankan mobilnya, Jack. Aku mau pulang!" pintanya.
Pemuda itu melemparkan sepotong senyum. Menyalakan mesin mobil sambil berkata, "kau sedang memerintahku rupanya." Ia menjeda kalimatnya sepersekian detik lalu menambahkan, "aku tidak bisa membedakan apakah yang kau katakan tadi itu pertanyaan atau pernyataan, Ammy. Berapa wanita yang pernah kutiduri? Entahlah, aku hanya menikmati mereka tanpa sempat menghitung ini yang ke berapa dari sekian banyak. Alasan aku bersikap begini karena aku mau kau dan kau menolakku. Apa yang membuatku pantas kau sukai, aku memiliki segalanya, kau tahu itu dan semua wanita menyukainya. Aku tampan dan kaya."
Hey, ini aku ... Jack, pria paling sempurna di antara seribu pria, mungkinkah kucing liar ini tak tertarik? Mana mungkin!
Tidak lagi mengulur waktu. Mulai melajukan mobilnya di tengah rintik hujan yang kian mereda dengan begitu santai. Sesekali melirik Ammy yang duduk di sampingnya. Pakaian yang basah itu membuat lekuk tubuhnya terjiplak begitu jelas. Dan Jack menyukai itu.
Ammy membuang muka, melihat jalanan basah lewat kaca pintu yang mengembun sisa percikan hujan. Aroma petrikor menyapa penghidu. Pikirannya berkecamuk liar. Sepertinya ia benar-benar tertarik pada Jack. Itu buruk, sangat buruk! Bukankah seharusnya dia sadar siapa Jack dan kenapa harus dia? Apa yang membuat hatinya buta dan menyimpan Jack sebagai kriterianya? Bahkan Dia tidak pantas mendapat simpati darinya secuil pun, terlebih cinta.
To be continue.
Felicio tersenyum curang, meletakkan kotak musik kaca itu di ujung meja. Sempurna. Setelah meletakkan kotak musik itu di pinggir meja, ia akan memancing Jack agar memasuki ruang kerja Ammy. Kemudian pria ceroboh itu akan menjatuhkannya. Mereka akan bertengkar, dan setelah drama itu berlangsung, maka gadis itu akan menjauh dan membuat Jack yang labil itu semakin kelabakan. Skenario yang menarik. Mudah sekali menebak apa isi kepala si Hans junior itu. Ia berjingkat, membuka pintu dan keluar ruangan. Membiarkan pintu sedikit terbuka. Meneliti arloji yang bertengger di tangannya sekilas, biasanya sebentar lagi anak ingusan itu berangkat. Dan ia hanya perlu memantau dari sisi yang tak terlihat. Semua CCTV telah dimatikan. Menjadi orang dalam memudahkan segala ruang geraknya. Benar saja, beberapa menit kemudian pria itu melintas. Mengernyit ketika tahu pintu tak tertutup sempurna. Itu menarik perhatiannya. Ia berhenti sejenak di
Jack duduk di kursi ruangannya, menekan sebuah nomor di ponselnya lalu menghubungi nomor tersebut. "Hallo, Chloe. Ini aku, Jack! Aku butuh bantuanmu." "Ya, Jack. Ada yang bisa kubantu?" "Kau perancang sekaligus pembuat perhiasan. Bisakah kau membuatkan kotak musik kristal untukku?" "Kotak musik? Akan kuusahakan." "Kau tahu, kotak musik buatan Prancis The wings?" "Tentu saja, benda itu sangat esklusif, Jack." "Ya, aku tahu itu. Masalahnya benda itu sudah sangat lama diproduksi dan tidak lagi tersedia di pasaran, aku juga tahu benda itu limited edition. Kau Amazing Di bidang perhiasan, kristal atau sejenisnya. Bisakah kau membuatkan aku duplikasinya? Aku akan membayar berapa pun." "Itu terlalu riskan untuk
Jack berlalu dari ruang rawat Ammy membawa kemarahan dalam hati. Menimang ponselnya, skeptis menelpon atau tidak. Namun akhirnya dia putuskan untuk menelpon."Hallo, Lyncoln. Pasien di ruang Merigold Tagetes 1125, beri aku laporan mengenai perkembangan kesehatannya, sedetail mungkin. Beri penanganan terbaik untuknya. Apa kau mengerti?""Baik, Tuan muda. Sesuai yang Anda inginkan.""Bagus! Kupikir ayahku tidak salah mempercayakan Rumah sakit ini padamu." Jack menutup sambungan teleponnya. Seperti biasa tanpa basa-basi. Bukankah basa-basi itu tak penting?Dr. Lyncoln mengerutkan dahi sambil membatin."Bagaimana cara Tuan Hans mendidik anak ini, Bahkan dia tidak pernah mengucapkan terima kasih selepas minta bantuan."Dr. Miguel Keiv D'lyncoln adalah kepala RS. Meghan Medica Hospital. Rumah sakit yang dulunya hanya memiliki sepuluh lantai itu kini berkembang men
Jack mendengkus kesal. Menangkap bayangan wajahnya di cermin depan Wastafel, pelipisnya menyisakan luka robek yang darahnya mulai mengering, ujung bibirnya pecah dan terasa pedih saat ia menyeka air di sana. Kekesalan mempermainkan hatinya. Harusnya Ammy lebih memilihnya. Namun kenyataannya Davee lebih dulu menarik di matanya.Kali ini Ammy seakan menamparnya dengan sangat keras di dalam diam. Apa ini? Dia kalah hanya oleh seorang Davee yang bukan siapa- siapa? Bagaimana mungkin Ia bisa terima.Davee, tak pernah pantas menjadi pesaingnya. Matanya memejam untuk sejenak. Apa lagi yang harus ia lakukan untuk membuat Ammy jatuh cinta padanya? Ia mulai menyadari satu hal, bukan hanya tubuh gadis itu yang kini menjadi tujuan utamanya, tapi juga hatinya.-----"Tuan muda, Nona yang menempati kamar Marigold Tagetes 1125 sudah sehat, dia sudah pulang beberapa jam yang lalu."Dr. Lync
Siang ini cuaca terasa hangat. 27°C menjadi yang paling panas di kota Meksiko. Jam makan siang telah tiba. Jack mendatangi sebuah toko ponsel. Memikirkan bagaimana nasib file-file penting yang tersimpan di ponselnya jika benda itu rusak. Belum lagi banyak kontak rekan bisnisnya di sana.Bodoh, kenapa dia teledor dan tak mencadangkan semua berkas-berkas penting di dalam flashdisk? dan sekarang ia merasa makin bodoh sebab kecemburuannya kepada Davee atas Ammy membuatnya menghancurkan benda itu."Kau bisa memperbaiki ponsel ini? Kubayar berapa pun, lebih mahal dari harga asalnya tidak masalah. Aku butuh filenya," ucapnya bersungguh-sungguh.Pegawai di toko yang sepertinya juga seorang teknisi itu memperhatikan ponsel Jack. Mengamati kerusakan yang tampak sangat parah. Mengernyitkan dahi dan berkata, "kelihatannya kerusakan cukup parah, Tuan. Membetulkannya butuh waktu lama. Harus ada banyak komponen yang diganti. Kenapa t
Jack mulai bergerak menuju ruangannya. Ketika sampai di ambang pintu sebelum sempat menarik gagang, ponselnya berdering."Hai Jack, pesananmu sudah jadi, apakah kau akan mengambilnya, ataukah orangku saja yang mengantarkannya padamu.""Chloe, satu minggu. On time sekali. Aku suka! Biar orangmu saja yang mengantarkannya, kau punya gambarnya? Aku ingin melihatnya.""Of course, Anyway, kemana harus kuantar?""Kirim saja ke Avenida Presidente Masary real estate nomor sebelas. Jangan lupa sertakan namaku di kotaknya. Nanti kau bisa kabari aku, aku akan mentransfer biaya pengganti pembuatannya.""Ok, Jack. Aku melakukannya dengan baik. Kuharap kau menyukai hasilnya."Chloe mematikan sambungan teleponnya, kemudian mengirimk
Sepeninggal Jack, tak lama berselang, Ammy mendapatkan panggilan dari sambungan interkomnya."Ammy. Bisa kau antarkan surat kontrak dengan ELS Group? Aku akan mempelajarinya.""Masih belum selesai, Davee. Segera kuurus.""Lakukan dengan teliti, Ammy. Kalau sudah selesai antarkan ke ruanganku.""Apakah kau sudah mengcopy laporan terakhir meeting kemarin, filenya ada pada Mrs. Howard, tanyakan saja padanya apa saja yang kau tak tahu saat kau tak masuk kemarin? jika sudah aku akan mengambilnya, jadi aku berubah pikiran untuk mengambilnya ke ruanganmu saja.""Perlu aku yang antar?""Tidak, tidak ... biar aku saja ke ruanganmu. Sepertinya aku butuh udara yang sama seperti yang kau hirup." Davee sedikit berimprovisasi d
Jack yang sudah berada di parking place kembali masuk ke gedung National Company. Menghampiri Ammy yang masih sibuk bergelut dengan komputernya.Ia menarik tangan Ammy. "Ayo ikut denganku!""Tapi, Jack. Pekerjaanku belum selesai."Ia tetap menarik lengan Ammy tapi kali ini dengan lembut." Aku bossnya, aku yang memberimu pekerjaan."Jack menekan tombol elevator menuju basement. Mereka terdiam sejenak bersamaan dengan elevator yang perlahan bergerak ke bawah. Jack bergeser, menggenggam jemari Ammy kemudian menariknya dan membuatnya tersudut pada kunkungan kedua lengannya."Kau cantik, dan saat dekat denganmu rasanya kau mengambil alih seluruh kewarasanku."Tatapan mereka saling mengunci, tangannya lincah menelusuri leher jenjang Ammy, menarik tengkuknya kemudian menghisap bibir mungilnya dalam-dalam. Ammy tak memberontak, membiark
****Gadis itu menatap lurus ke depan dengan wajah datar tak berekspresi. Memilih untuk tidak membuka suara untuk bercakap-cakap dengan pria asing di sampingnya, sampai tibalah pada sebuah apotek di tepi jalan."Sebenarnya kau mau ke mana, Nona?" Pertanyaan itu yang mengiringi Lenka keluar dari taxi disusul pria itu dengan membawa koper si gadis."Berikan koperku, kau bukan sopirku!" Kata Lenka dingin."Bahkan kakimu sedang sakit. Aku hanya membantunya." Pria itu meletakkan koper itu di pinggir tempat duduk yang berjajar di tepi jalan."Tunggulah sebentar, aku akan membeli obat." Lenka mengangguk, sesaat kemudian pria itu menjauh menuju apotek.Kecamuk di hati Lenka tak juga surut. Ammy kritis, bukankah seharusnya sebagai seorang teman dia juga memiliki rasa peduli? jika hari ini hal buruk terjadi, tidakkah ia menyesal telah mem
Perasaan Jack campur aduk, ruang ICU? Ammy kritis? Semua ini terjadi pada hari ulang tahun Ammy? Demi apa?!Ia turut melangkahkan kaki saat brankar dorong itu membawa tubuh Ammy menuju ruangan lain. Ia tidak diperbolehkan masuk hingga beberapa saat, masuk pun dibatasi. Ia hanya boleh melihat Ammy di ruang tunggu yang tersekat kaca tebal di sana. Memandangi istrinya yang sedang tergeletak tidak berdaya. Hatinya terasa sangat sakit.Ammy, kenapa bukan aku saja yang di sana? Bolehkah aku mengantikanmu?Masih sibuk dengan kecamuk dalam hatinya, dering telepon membuyarkan pikirannya yang begitu jauh berkelana."Apa? Jatuh dari tangga? Kritis? Fuck! Apalagi ini!""Kemarilah, selamatkan Peter ... persediaan darah di sini sedang kosong sementara dia kehabisan banyak darah. Golongan darah Peter sama denganmu. Kumohon, Jack. Sekali ini saja, selamatkan putramu dan setelah ini aku j
Kebersamaan dengan suaminya membuat wanita itu begitu bahagia, begitu bersemangat untuk melanjutkan hidup meskipun matanya sering kali tak lagi mampu mengabur. Dokter bilang itu hanya karena Setidaknya tanpa mata ia masih bisa melihat orang yang ia cintai tersenyum dalam khayal.Menikmati sore hari di Dandelion park, meniup bulir seringan kapas bunga dandelion yang mekar dalam pangkuan Jack, membuatnya seperti tak lagi berpijak pada bumi. Dunianya terasa lebih indah dari yang ia bayangkan. Membuatnya semakin ingin tinggal lebih lama di samping belahan hatinya.Sesekali Jack mencium pundak wanitanya, memejamkan mata untuk menyimpannya dalam memory agar terus ia miliki sampai kapanpun."Ceritakan bagaimana indahnya sunset, Jack. Aku tidak bisa melihatnya, maka jadilah mataku."Jack menghela napas panjang. Mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk di hatinya."Indah sekali, sep
Jack melangkah menuju toilet, menyeka air matanya, ia cuci wajahnya sejenak di wastafel. Matanya masih meninggalkan warna merah. Menuju ruang rawat Ammy kaki jenjang itu nampak skeptis mengeja langkah.Derap sepatu kets nya terdengar samar - samar. Ia menatap dalam - dalam wajah istrinya saat tangannya membuka daun pintu. Merebahkan tubuhnya pada sisi Ammy. Bed pasien yang sempit itu membuat jarak nyaris tak ada di antara keduanya. Ia peluk tubuh istrinya, ia nikmati aroma tubuh yang terhidu jelas menyentuh inderanya. Setitik air mata kembali lolos menjatuhkan diri.Tetaplah seperti ini, Ammy. Kumohon! Hiduplah lebih lama di sisiku."Jack." Suara lirih Ammy terdengar lemah, ia meraba - raba wajah suaminya."Aku takut, Jack. Ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihatmu, bagaimana kalau aku lupa wajahmu? Bagaimana aku bisa mati dengan tenang saat aku tidak bisa melihatmu lebih lama untuk bekalku pergi
Mengembuskan napas putus asa, hanya rasa nyeri yang bisa ia rasakan di sekujur raganya, saat ia tahu Ammy kesulitan berjalan dan menabrak meja makan malam itu."Apa yang terjadi?""Tidak tahu, tiba-tiba gelap." Jawabnya."Kita ke rumah sakit." Tanpa banyak basa-basi, pria itu membopong istrinya menuju mobil, mendudukkannya di jok depan dan dia mengambil tempat di kursi kemudi. Wanita itu mengusap-usap matanya sejenak. Mengerjapkan mata lalu pandangannya kembali untuk sekejap kemudian memburam lagi."Apa yang terjadi, Noah?" Tanyanya setelah dr. Noah memeriksa keadaan Ammy. Jack sengaja berbicara empat mata dengan Noah agar Ammy tidak mendengar tentang apa yang ia alami. Apalagi jika mungkin yang akan disampaikan Noah adalah hal yang kurang mengenakkan."Pengobatan harus segera dilakukan. Bayi Ammy harus segera dilahirkan. Usianya sudah genap tujuh bulan artinya bayi itu akan bisa bertahan
Membaringkan tubuh Lenka, melepaskan pakaiannya satu per satu. Ia menyadari betapa gadis itu tampak semakin kurus saja.Menggantikan pakaiannya, ia seka tubuh polos itu dengan hati - hati seolah tubuh itu hiasan kaca yang mudah pecah. Ia menelpon dokter, setelah dokter memeriksanya memberikan obat, selesai. Dokter hanya bilang bahwa Lenka sedang stres berat dan butuh istirahat. Ia menungguinya dengan sabar. Berharap wanita itu akan bangun setelahnya. Lalu biarlah gadis itu memakinya, menamparnya atau meludahinya asal dia tidak pergi. Asal kata maaf tak lagi menjadi hal mustahil baginya.Stres berat? Seharusnya dia mengabaikan gadis itu, kenapa ia tidak pernah berpikir tentang seberapa rapuh gadis itu, ke mana saja dia selama ini?Yang ia tahu Lenka gadis kuat, yang tidak dengan mudah tumbang hanya dengan cinta seperti ini. Ia baru sadar seberapa berarti hadirnya untuk wanita itu.
Surai lurus sebahu itu tertiup angin sepoi senja. Bersamaan dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipinya, tak membawa apa pun kecuali baju yang menempel di tubuh dan boneka pinguin kecil di tangannya. Boneka pemberian kekasih yang katanya mengambarkan sebuah kesetian. Ia tersenyum miris, seperti inikah kesetiaan yang pria itu janjikan? Menuju sebuah rumah yang tak lagi asing baginya, ia tahu dulu tempat itu adalah rumahnya. Rumah yang saat ini hanya menjadi luka baginya.Memasukinya, derai air matanya semakin membajir tatkala menapakkan kakinya di lantai marmer meskipun baru sejengkal saja ia memijak.Rumah itu meninggalkan begitu banyak kenangan, di mana dulu sumber kehangatan dan kasih sayang berada di dalamnya. Dia tidak memiliki siapa - siapa sekarang.Ia menuju ruang tengah rumah itu, mendapati sebuah foto keluarga yang masih tersisa dan terpajang di dinding pucat. Menutup rapat mulutnya deng
Wanita itu menatap sengit kepada Jack. Menuntut sebuah pengakuan."Kau minta bukti bahwa dia putramu, kan? Aku sudah membuktikannya, apakah kau masih menyangkalnya?"Pria itu terduduk lemas, pandangannya nanar. Apa yang harus ia katakan pada istrinya? Menghirup napas dalam, tangannya meremas selembar kertas hasil tes DNA yang diberikan Evelyn beberapa menit lalu."Temui dia, Jack.""Kumohon, jangan sekarang, Eve."Ia memejamkan mata, menyugar rambut dan menjambaknya hingga terasa panas tarikan di kulit kepalanya."Ini bukan tentang kita, Jack. Ini tentang anak kita." Suara Evelyn terdengar tulus. Tapi pun sangat tak ingin ia dengar seandainya ia boleh memilih."Kenapa kau lakukan ini padaku, Eve? Saat kau memilih pergi, seharusnya kau tidak lagi kembali.""Kenyataan memaksaku kembali, Jack. Peter membutuhkanmu.""Lalu kau pikir
Rasa gusar bertahta paling tinggi melingkupi pikiran Jack. Evelyn benar-benar merusak segalanya. Ia menarik tangan Evelyn kuat-kuat, menyeretnya masuk ke mobil kemudian membawanya ke sebuah tempat. Tempat itu sangat sepi, tempat yang tak familiar bagi Evelyn karena pemandangan yang terlihat hanya tampak seperti hutan di sisi kiri kanan jalan.Iya menepikan mobilnya, menyeret tangan Evelyn kembali lalu mengentaknya kasar saat telah tiba di depan mobilnya sampai wanita itu telungkup di kap mobil tersebut, ia mendekat, manik mata mereka saling bertabrakan sarat permusuhan. Seandainya saja dia bukan wanita, pasti ia sudah menghajarnya. Tapi ini Evelyn Agraciana Forbes, wanita yang pernah mengukir sejarah indah bersamanya meski berujung pahit."Apa maumu, Eve?""Aku sudah bilang, ini semua demi Peter.""Buktikan siapa Peter, jika benar dia lahir dari benihku maka aku akan bertanggung jawab atas semu