Sepeninggal Jack, tak lama berselang, Ammy mendapatkan panggilan dari sambungan interkomnya.
"Ammy. Bisa kau antarkan surat kontrak dengan ELS Group? Aku akan mempelajarinya."
"Masih belum selesai, Davee. Segera kuurus."
"Lakukan dengan teliti, Ammy. Kalau sudah selesai antarkan ke ruanganku."
"Apakah kau sudah mengcopy laporan terakhir meeting kemarin, filenya ada pada Mrs. Howard, tanyakan saja padanya apa saja yang kau tak tahu saat kau tak masuk kemarin? jika sudah aku akan mengambilnya, jadi aku berubah pikiran untuk mengambilnya ke ruanganmu saja."
"Perlu aku yang antar?"
"Tidak, tidak ... biar aku saja ke ruanganmu. Sepertinya aku butuh udara yang sama seperti yang kau hirup." Davee sedikit berimprovisasi dengan sedikit candaan, lalu berjalan menuju ruangan Ammy. Penghidunya mencium semerbak aroma Tulip menyeruak memenuhi ruangan ketika membuka pintu. Rupanya buket bunga Tulip merah memang tergeletak di meja.
"Hai, Ammy. Senang bertemu denganmu kembali, di kantor ini tentunya." Davee tersenyum dan menjabat tangan Ammy. Ammy pun menyambutnya dengan senang hati.
"Ya, aku juga senang bekerja di sini kembali, Davee."
"Kupikir aku melewatkan hari penyambutan." Ia menggaruk sudut alis dengan telunjuknya.
"Hari penyambutan?" Ammy mengerutkan dahi. Davee menunjuk buket tulip yang tergeletak di meja dengan dagunya sementara Ammy hanya mengedikkan bahu.
"Dari Jack," ucapnya.
"Jack?" Ia terlihat tidak senang meskipun ia berusaha memasang wajah biasa saja.
"Hu uh, ada masalah?" Ammy beringsut setelah beberapa saat lamanya tertegun mengamati gelagat tak nyaman dari Davee. Pria itu mengendurkan simpul dasi, menghela napas panjang lalu berujar, "bagaimana aku harus memperingatkanmu, Amm. Supaya kau jangan terlalu dekat dengannya."
"Why, Davee? Kupikir Jack sudah mulai berubah."
"Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka. Ini bukan soal berubah. Keadaan tak akan berubah. Percayalah padaku."
"Hei, ada apa denganmu? Aku tidak akan terluka, aku percaya padanya. Bukankah semua ini baru dimulai."
"Semudah itu , Ammy? Kau baru mengenalnya sekitar sebulan lalu. Dan kau sudah jatuh ke tangannya?"
"Aku punya intuisi yang baik kurasa. Kupikir aku dan dia memiliki kecocokan yang khas. Jodoh tak ada yang tahu, kan?"
"Kau boleh mencintai laki-laki mana pun, Ammy. Tapi, tolong jangan dia."
Davee merasa buntu, tidak tahu bagaimana harus mencegah kedekatan mereka. Tidak tahu bagaimana harus memberitahu mereka, jika bersama mereka akan menghancurkan satu sama lain. Seperti skenario yang telah Hans perhitungkan. Dan itu tidak boleh terjadi. Bukan tidak ingin mereka bersama, ia hanya tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan bahwa mereka adalah sebuah ketidakmungkinan.
"Kau cemburu?" tuding Ammy.
"Tidak, kau sama salah pahamnya dengan Jack. Jack itu teman baikku. Kau tahu, bahkan dia sudah seperti adikku sendiri."
"Lalu apa alasannya kau bertingkah aneh? Aku dan Jack, itu bukan urusanmu, Davee."
"Aku hanya ingin melindungimu." Ia mengadah, memandang langit-langit ruangan. Pikirannya melayang. Hans seolah menempatkannya di posisi yang sulit.
"Melindungi dari apa? Dia sepupumu dan dia bukan orang jahat. Aku bisa merasakannya. Aku pikir aku dan dia memiliki ikatan batin yang kuat, mungkin itu cinta sejati. Dan aku percaya itu."
"Aku hanya tak ingin kau menyesal, Ammy. Tidak sesederhana yang kau pikirkan, percayalah! Aku lebih tahu darimu."
"Jika tak sesederhana itu, katakan serumit apa, Davee? Sejak kapan kau peduli pada percintaanku?"
"Desde que me enamoré de ti. (Sejak aku jatuh cinta padamu) Tidakkah itu cukup menjadi alasan? Serumit aku mengatakan hal itu padamu!" Jawabnya cepat penuh penekanan.
Ia tak ingin Jack dan Ammy terluka. Namun, jika ia mengatakan semuanya, ada dua konsekuensi yang harus dia terima, yang pertama adalah mereka tak percaya, yang kedua, janjinya kepada mendiang ibunya mengenai saham dan seluruh harta Hans yang akan pindah ke tangannya. Mana yang harus ia utamakan? Jack dan Ammy atau dirinya sendiri? Pada akhirnya ia tetap memilih dirinya sendiri. Demi sang ibu yang telah berpulang memeluk surga.
Ammy mengambil flashdisck di laci mejanya. Memberikannya pada Davee.
"Lain kali jangan memancingku membicarakan sesuatu yang bukan berkenaan dengan kantor. Jangan mempengaruhi integritasku dalam bekerja. Kuharap kau bisa profesional."Davee terpaku, memandangi Ammy yang entah sibuk dengan dokumen di atas meja atau mungkin hanya sok sibuk untuk mengabaikannya. Davee mendengkus kesal. Kekesalan tanpa tahu mau diapakan.
"Maaf mengganggu pekerjaanmu." Ia kemudian meninggalkan ruangan Ammy. Ammy mendengkus sembari meletakkan pulpen yang digenggamnya dan membiarkan tangannya bertelakan di meja. Ia tak habis pikir dengan sikap kekanakan Davee. Davee dan Jack, keduanya sulit di mengerti, kenapa Davee bersikeras memintanya menjaga jarak dengan Jack? Apa sebenarnya yang dia sembunyikan?
***
Pikiran Davee berkeliaran tak menentu, ia tak tenang. Banyak hal yang ia pikirkan. Terlebih mengenai Jack dan Ammy.
"Jack. Aku ingin bicara." Davee memulai percakapan dengan Jack di sela-sela kesibukannya. Mencari celah agar bisa berdiskusi mengenai dia dan Ammy.
"Kau terlihat serius. Ada apa? Apakah tentang ELS Group? Bukankah aku tinggal menandatangi kontrak kerjasamanya saja?"
"Ini tentang Ammy," ucap Davee sedikit ragu-ragu, ini kali pertama membicarakan hal lain di kantor, apalagi hanya mengenai urusan wanita. Terlebih ketika jam kerja masih berlangsung.
Jack menatapnya dengan penuh selidik. terlihat raut wajahnya yang tegang."Ada apa dengannya?"
"Kau mencintainya? Maksudku benar-benar mencintainya?" Davee mengarahkan manik kecokelatannya pada Jack.
Jack tersenyum tipis. Tak berniat menyangkal.
"Tentu saja, dia wanita yang sempurna di mataku.""Bukan hanya keinginan untuk mengencaninya lalu menidurinya, 'kan?"
"Buang otak kotormu, Amigo (Teman). Aku bersungguh-sungguh."
"Sungguh-sungguh atau tidak, yang kutahu kau akan menghancurkannya, Jack. Kau bisa mendapatkan wanita mana pun, bisa aku memohon agar jangan dia?" Kata-kata Davee sarat permohonan. Namun Jack malah tersenyum meremehkan.
"Apa kau tak terlalu yakin pada dirimu sendiri? Bukankah kau yang memintaku bersaing secara sehat? Dan sekarang kau memintaku mundur saat aku hampir menang?" Ia memainkan telepon genggam di tangannya. Rasa jengkel menggondok di kerongkongannya. Davee lama-lama semakin menyebalkan.
"Kau pasti salah paham. Jika kau meninggalkannya, aku juga tidak akan mengejarnya. bukankah kau pun tak ingin melihat dia hancur?"
"Aku yang mencintainya. jadi untuk apa aku menghancurkannya?" Jack menjawab pertanyaan Davee dengan serangan balik, pertanyaan. Ekspresinya datar dan tampak apatis.
"Perasaanmu, dan juga perasaannya yang akan membuat kalian hancur. Dan aku tidak mau itu terjadi, tolonglah percaya padaku."
"Aku tahu kau menyukainya juga. Tapi kau tidak perlu menakuti kami dengan kehancuran, jika memang harus hancur, kami rela hancur bersama." Jack memfokuskan pandangan dan meletakkan ponsel, menatap Davee dengan pandangan mengintimidasi.
"Aku akan mengajaknya jalan-jalan nanti selepas jam kantor, jadi kuharap kau tidak mati terbakar cemburu."
"Sungguh, ini bukan soal cemburu, Jack!" sangkalnya kesal.
"Terserah kau saja, Davee. Aku harap kau tidak menyulitkanku. Aku juga tidak terlalu suka caramu mencampuri urusanku." Jack menepuk bahu Davi, kemudian berjalan menuju mejanya, menyalakan sebuah laptop lalu menonton live streaming pertandingan bola.
"Kau menonton saat jam kantor?"
"Kenapa? Ada kau yang bisa mengerjakan semua tugasku. Aku Big bossnya. Aku punya wewenang. Jika kau bisa mengerjakannya kenapa harus aku? Aku mengajimu dengan pantas, jadi jangan mengeluh!"
Davee tersenyum miring.
"Baiklah, aku akan kembali keruanganku. Percuma berbicara dengan big boss diktator sepertimu." sarkasnya.Sialan, Davee merasa tidak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Dia harus mencegah rencana Hans menghancurkan Ammy dan Jack, tak peduli apa pun caranya. Tidak ada yang akan menyelamatkan mereka jika bukan dia. Bagaimana caranya mengutarakan semuanya, andai saja dia tahu bagaimana cara memulainya.
----
Ammy menata dokumen-dokumen dan menaruhnya sebagian di ruang arsip, dan sebagian dimasukkan ke laci kerjanya. Menyambar tasnya dan hendak meninggalkan ruangan, sebab jam kantor sudah usai.
Ia membuka pintu dengan tergesa-gesa. Hampir saja dia menabrak Davee yang sudah berdiri di ambang pintu sembari membawa setumpuk dokumen.
"Ada pekerjaan tambahan yang harus kau selesaikan hari ini juga, Ammy. Aku mau kau merevisi keseluruhan laporan ini."
"Kau tidak berusaha mencegahku pergi bersama Jack, kan?" tuduhnya.
Davee mengerutkan kening dan memperlihatkan ekspresi tenang. Wanita itu memang pintar dan memiliki pikiran yang begitu peka. Atau memang Davee saja yang terlalu mudah diterka.
"Tentu saja tidak, ini laporan mengenai ELS Group. Minggu depan pengiriman properti sudah harus berjalan. Mereka mau kita segera mengurus semuanya. Tentu kau pun tidak ingin kehilangan kepercayaan dari klien penting kita itu. Lagi pula, perusahaan ini milik Jack. Jika kau mencintainya tentu kau juga akan senang bila perusahaan ini berkembang." Davee beralibi. Memutar bola matanya sejenak, mencoba menyeimbangkan irama jantungnya yang berdegup tak beraturan.
Ammy kembali ke ruangannya. Mengambil gawainya dari dalam tas seraya menelepon Jack.
"Jack, sepertinya aku harus lembur, aku tidak bisa menemanimu hari ini. Maafkan aku."
"Lembur?"
"Hu um, Davee bilang ada beberapa laporan mengenai kontrak kerja dengan ELS Group yang harus direvisi."
Jack mengernyitkan dahi, Ia tahu semua persiapan tentang kontrak kerja dengan ELS Group sudah clear dan hanya tinggal menunggu pertemuan untuk tanda tangan kontrak. Mana ada laporan yang perlu direvisi lagi? Sepertinya ini hanya akal bulus Davee. Ia mengepalkan jemarinya erat-erat. Rasanya ia ingin menelan bulat-bulat si gila kerja itu.
****
Jack yang sudah berada di parking place kembali masuk ke gedung National Company. Menghampiri Ammy yang masih sibuk bergelut dengan komputernya.Ia menarik tangan Ammy. "Ayo ikut denganku!""Tapi, Jack. Pekerjaanku belum selesai."Ia tetap menarik lengan Ammy tapi kali ini dengan lembut." Aku bossnya, aku yang memberimu pekerjaan."Jack menekan tombol elevator menuju basement. Mereka terdiam sejenak bersamaan dengan elevator yang perlahan bergerak ke bawah. Jack bergeser, menggenggam jemari Ammy kemudian menariknya dan membuatnya tersudut pada kunkungan kedua lengannya."Kau cantik, dan saat dekat denganmu rasanya kau mengambil alih seluruh kewarasanku."Tatapan mereka saling mengunci, tangannya lincah menelusuri leher jenjang Ammy, menarik tengkuknya kemudian menghisap bibir mungilnya dalam-dalam. Ammy tak memberontak, membiark
Jack mengendurkan simpul dasinya. Percakapannya dengan Ammy sejenak membuat adrenalinnya terpacu. Ia tak ingin terlihat buruk di mata gadis itu."Aku mencintaimu Ammy, dan aku akan mempertanggung jawabkan perasaanku padamu, juga pada diriku sendiri. Aku janji akan berubah menjadi lebih baik, untukmu. mengenai perusahaan, aku akan mengurusnya dengan semestinya, tidak seharusnya aku bermalas-malasan dan membebankan semua pekerjaan pada Davee.""Kau bisa menangani perusahaan? Davee bilang kau payah dalam berbisnis, kau diktator yang cuma bisa main perintah-perintah.""Aku lulusan Harvard. Mendapat nilai cum laude dan lulus dalam dua tahun. Apakah kau tidak berpikir itu keren?""Cukup keren selama otak mesummu tidak sedang bereaksi.""Kau tahu, aku sebenarnya tidak pernah berminat pada perusahaan. Aku mengarang cerita jika aku memutuskan berhe
Ammy bergerak impulsif, hatinya tak tenang. Entahlah, dia pikir tak masalah membuat Jack marah. Namun ternyata ia tidak menyukai hal itu. Perasaan yang tumbuh, mengikis semua niat buruk Ammy untuk membalas sikap arogan Jack."Maafkan aku, Jack,"Wajar jika kau marah, aku memang keterlaluan." Ammy terpekur, siap menerima amukan Jack jika memang itu mampu membuatnya memaafkan kesalahan bodohnya.Pria jangkung itu melirik ke arah Ammy sekilas."Baiklah aku akan pulang, kau pantas marah padaku. maafkan aku, dankotak musik itu milikmu, Jack. Aku tidak berhak atasnya.simpan saja seperti aku menyimpan milik ibuku. Setidaknya saat kau melihatnya kau akan mengingatku.""Mengingat bahwa kau membohongiku?""Tidak, Jack. Kau tahu aku tidak bermaksud begitu." Ammy menjinjing tasnya. Melihat Jack seperti diselimuti rasa marah, tak ada alasan agar ia tetap bersiam di sana.
Akhir pekan begitu cepat datang, seperti kayu yang dimakan api, melalapnya hebat lalu meninggalkannya menjadi abu kemudian hilang tertiup angin. Tak ada yang spesial bagi Jack, meskipun ini adalah hari kelahirannya.Hari ulang tahun adalah momen paling menyakitkan baginya. Entahlah, dia tidak tahu kenapa tak satu pun manusia di dunia ini mengingat hari kelahirannya, dan Ia merasa benar-benar sendirian dan kesepian.Ia mendengkus. Membuang asap rokok yang mengalir ke udara bersama tiupan angin di balkon samping kamarnya menikmati udara pagi. Jack bukanlah seorang perokok, tetapi saat hatinya sedang diamuk rasa gelisah, hal itu sedikit membantu. Ia mengamati telepon pintar yang bertengger di tangan kanannya sementara tangan kirinya masih memainkan sebatang rokok lalu menyesapnya lagi dan lagi. berpikir sejenak lalu menemukan sesuatu di kepalanya, bukankah Ia memiliki Ammy sekarang? Ya, kenapa tidak terlintas tentang itu.
Matahari mulai merangkak naik, cuaca kota Meksiko tak pernah lebih panas dari dua puluh tujuh derajat celcius saja. Tetapi kemacetan, juga pulosi yang tinggi membuat Jack malas jika harus keluar rumah."Jack, ayo kita makan siang di luar," ajak Ammy ketika jarum jam dinding menunjuk angka satu."Aku sebenarnya lebih tertarik masakanmu. Kau bisa memasak?" tanyanya antusias."Tentu saja." Wajah Ammy berubah masam. Ia menunduk, "tidak." imbuhnya."Selama ini aku hanya selalu membeli makanan dari luar, atau sengaja makan di luar. Ayah jarang di rumah jadi asisten rumah tanggaku juga jarang memasak.""Tapi, aku suka membuat makanan saat emergency.""Emergency?""Ya, saat perutku menuntut haknya padahal sudah kuisi. Cacing nakal di dalamnya suka berunjuk rasa," katanya sambil tersenyum kecil.Ammy masuk ke dapur. Se
Davee bersandar dengan santai saat si tua Hans masuk kedalam mobilnya malam itu. Tanpa berkata apa-apa Hans duduk di sampingnya lalu Davee melajukan mobil. "Kau keterlaluan, Davee. Ini pukul satu dini hari dan kau memaksaku untuk ikut denganmu.""Aku tidak bisa menunggu, Hans.""Kau bisa menjemputku besok pagi, 'kan?""Cecurut peliharaanmu itu membahayakan, mana mungkin aku membawamu siang hari. Kau mau kita ketahuan?" Davee menelan paksa ludahnya. Tampak jelas ada perasaan tak tenang menyelimutinya."Pewaris palsu bodohmu itu berulah lagi. Aku khawatir dia mencium hubungan kita, jadi sebelum kita ketahuan, apa tidak sebaiknya kita buka saja?"Hans memperhatikan mobil di belakangnya yang terlihat dari pantulan kaca spion."Kita diikuti, Davee.""Shit ... kau tahu siapa mereka?"Hans menyipitkan mata"Anak itu, pasti itu orang-orang suruhannya."
Ammy seperti melihat kegelisahan yang terperangkap pada manik mata Jack yang indah di sela-sela aktivitas makan siangnya."Jack, kau ada masalah?"Jack tersenyum simpul."Tidak, aku baik-baik saja.""Tapi matamu bilang kau sedang tidak baik- baik saja.""Hu um, semalam aku tidak dapat tidur. Oleh karena itu aku sedikit mengantuk dan membuat mataku terasa sedikit pedih.""Apa yang kau pikirkan sampai kau tidak bisa tidur?""Entahlah, semuanya seperti tanda tanya besar bagiku, dan aku tidak menemukan jawaban apa-apa."Jack menatap Ammy tajam. Menggenggam tangan itu erat seolah tidak ingin melepaskannya."Ammy, lihatlah aku."Jack menatap iris Ammy lekat. Sejenak manik mereka saling bertemu."Jika aku bukan pewaris satu-satunya keluarga ini, apakah kau akan tetap mencintaiku dan tidak akan meninggalkanku? Hm, aku ta
Mattew dan Jalion Montenegro meletakkan sebuah amplop dengan logo D'Jesus hospital di meja Jack.Pria jangkung itu memperhatikannya sejenak."Hasilnya sudah keluar?""Ya, seharusnya akan keluar tiga hari ke depan, tapi Jalion memberitahukan pihak hospital bahwa laporan DNA itu sangat penting dan meminta untuk segera memberikan hasilnya.""Apa hasilnya?""Kau bisa membukanya sendiri. Persepsiku tidak berubah, Jack."Jack membuka amplop itu, memeriksa yang tercatat di dalamnya. Tangannya bergetar.Ia mengetatkan rahang kuat-kuat, mengepalkan tangan penuh amarah."Wanita dari daerah Chiapas itu bernama Lovering, ia seorang yatim yang mencari pekerjaan. Ayahmu waktu itu memerintahkan orang-orangnya supaya mencari wanita sehat untuk dijadikan ibu calon anaknya. Orang-orang itu kemudian membawa wanita it
****Gadis itu menatap lurus ke depan dengan wajah datar tak berekspresi. Memilih untuk tidak membuka suara untuk bercakap-cakap dengan pria asing di sampingnya, sampai tibalah pada sebuah apotek di tepi jalan."Sebenarnya kau mau ke mana, Nona?" Pertanyaan itu yang mengiringi Lenka keluar dari taxi disusul pria itu dengan membawa koper si gadis."Berikan koperku, kau bukan sopirku!" Kata Lenka dingin."Bahkan kakimu sedang sakit. Aku hanya membantunya." Pria itu meletakkan koper itu di pinggir tempat duduk yang berjajar di tepi jalan."Tunggulah sebentar, aku akan membeli obat." Lenka mengangguk, sesaat kemudian pria itu menjauh menuju apotek.Kecamuk di hati Lenka tak juga surut. Ammy kritis, bukankah seharusnya sebagai seorang teman dia juga memiliki rasa peduli? jika hari ini hal buruk terjadi, tidakkah ia menyesal telah mem
Perasaan Jack campur aduk, ruang ICU? Ammy kritis? Semua ini terjadi pada hari ulang tahun Ammy? Demi apa?!Ia turut melangkahkan kaki saat brankar dorong itu membawa tubuh Ammy menuju ruangan lain. Ia tidak diperbolehkan masuk hingga beberapa saat, masuk pun dibatasi. Ia hanya boleh melihat Ammy di ruang tunggu yang tersekat kaca tebal di sana. Memandangi istrinya yang sedang tergeletak tidak berdaya. Hatinya terasa sangat sakit.Ammy, kenapa bukan aku saja yang di sana? Bolehkah aku mengantikanmu?Masih sibuk dengan kecamuk dalam hatinya, dering telepon membuyarkan pikirannya yang begitu jauh berkelana."Apa? Jatuh dari tangga? Kritis? Fuck! Apalagi ini!""Kemarilah, selamatkan Peter ... persediaan darah di sini sedang kosong sementara dia kehabisan banyak darah. Golongan darah Peter sama denganmu. Kumohon, Jack. Sekali ini saja, selamatkan putramu dan setelah ini aku j
Kebersamaan dengan suaminya membuat wanita itu begitu bahagia, begitu bersemangat untuk melanjutkan hidup meskipun matanya sering kali tak lagi mampu mengabur. Dokter bilang itu hanya karena Setidaknya tanpa mata ia masih bisa melihat orang yang ia cintai tersenyum dalam khayal.Menikmati sore hari di Dandelion park, meniup bulir seringan kapas bunga dandelion yang mekar dalam pangkuan Jack, membuatnya seperti tak lagi berpijak pada bumi. Dunianya terasa lebih indah dari yang ia bayangkan. Membuatnya semakin ingin tinggal lebih lama di samping belahan hatinya.Sesekali Jack mencium pundak wanitanya, memejamkan mata untuk menyimpannya dalam memory agar terus ia miliki sampai kapanpun."Ceritakan bagaimana indahnya sunset, Jack. Aku tidak bisa melihatnya, maka jadilah mataku."Jack menghela napas panjang. Mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk di hatinya."Indah sekali, sep
Jack melangkah menuju toilet, menyeka air matanya, ia cuci wajahnya sejenak di wastafel. Matanya masih meninggalkan warna merah. Menuju ruang rawat Ammy kaki jenjang itu nampak skeptis mengeja langkah.Derap sepatu kets nya terdengar samar - samar. Ia menatap dalam - dalam wajah istrinya saat tangannya membuka daun pintu. Merebahkan tubuhnya pada sisi Ammy. Bed pasien yang sempit itu membuat jarak nyaris tak ada di antara keduanya. Ia peluk tubuh istrinya, ia nikmati aroma tubuh yang terhidu jelas menyentuh inderanya. Setitik air mata kembali lolos menjatuhkan diri.Tetaplah seperti ini, Ammy. Kumohon! Hiduplah lebih lama di sisiku."Jack." Suara lirih Ammy terdengar lemah, ia meraba - raba wajah suaminya."Aku takut, Jack. Ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihatmu, bagaimana kalau aku lupa wajahmu? Bagaimana aku bisa mati dengan tenang saat aku tidak bisa melihatmu lebih lama untuk bekalku pergi
Mengembuskan napas putus asa, hanya rasa nyeri yang bisa ia rasakan di sekujur raganya, saat ia tahu Ammy kesulitan berjalan dan menabrak meja makan malam itu."Apa yang terjadi?""Tidak tahu, tiba-tiba gelap." Jawabnya."Kita ke rumah sakit." Tanpa banyak basa-basi, pria itu membopong istrinya menuju mobil, mendudukkannya di jok depan dan dia mengambil tempat di kursi kemudi. Wanita itu mengusap-usap matanya sejenak. Mengerjapkan mata lalu pandangannya kembali untuk sekejap kemudian memburam lagi."Apa yang terjadi, Noah?" Tanyanya setelah dr. Noah memeriksa keadaan Ammy. Jack sengaja berbicara empat mata dengan Noah agar Ammy tidak mendengar tentang apa yang ia alami. Apalagi jika mungkin yang akan disampaikan Noah adalah hal yang kurang mengenakkan."Pengobatan harus segera dilakukan. Bayi Ammy harus segera dilahirkan. Usianya sudah genap tujuh bulan artinya bayi itu akan bisa bertahan
Membaringkan tubuh Lenka, melepaskan pakaiannya satu per satu. Ia menyadari betapa gadis itu tampak semakin kurus saja.Menggantikan pakaiannya, ia seka tubuh polos itu dengan hati - hati seolah tubuh itu hiasan kaca yang mudah pecah. Ia menelpon dokter, setelah dokter memeriksanya memberikan obat, selesai. Dokter hanya bilang bahwa Lenka sedang stres berat dan butuh istirahat. Ia menungguinya dengan sabar. Berharap wanita itu akan bangun setelahnya. Lalu biarlah gadis itu memakinya, menamparnya atau meludahinya asal dia tidak pergi. Asal kata maaf tak lagi menjadi hal mustahil baginya.Stres berat? Seharusnya dia mengabaikan gadis itu, kenapa ia tidak pernah berpikir tentang seberapa rapuh gadis itu, ke mana saja dia selama ini?Yang ia tahu Lenka gadis kuat, yang tidak dengan mudah tumbang hanya dengan cinta seperti ini. Ia baru sadar seberapa berarti hadirnya untuk wanita itu.
Surai lurus sebahu itu tertiup angin sepoi senja. Bersamaan dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipinya, tak membawa apa pun kecuali baju yang menempel di tubuh dan boneka pinguin kecil di tangannya. Boneka pemberian kekasih yang katanya mengambarkan sebuah kesetian. Ia tersenyum miris, seperti inikah kesetiaan yang pria itu janjikan? Menuju sebuah rumah yang tak lagi asing baginya, ia tahu dulu tempat itu adalah rumahnya. Rumah yang saat ini hanya menjadi luka baginya.Memasukinya, derai air matanya semakin membajir tatkala menapakkan kakinya di lantai marmer meskipun baru sejengkal saja ia memijak.Rumah itu meninggalkan begitu banyak kenangan, di mana dulu sumber kehangatan dan kasih sayang berada di dalamnya. Dia tidak memiliki siapa - siapa sekarang.Ia menuju ruang tengah rumah itu, mendapati sebuah foto keluarga yang masih tersisa dan terpajang di dinding pucat. Menutup rapat mulutnya deng
Wanita itu menatap sengit kepada Jack. Menuntut sebuah pengakuan."Kau minta bukti bahwa dia putramu, kan? Aku sudah membuktikannya, apakah kau masih menyangkalnya?"Pria itu terduduk lemas, pandangannya nanar. Apa yang harus ia katakan pada istrinya? Menghirup napas dalam, tangannya meremas selembar kertas hasil tes DNA yang diberikan Evelyn beberapa menit lalu."Temui dia, Jack.""Kumohon, jangan sekarang, Eve."Ia memejamkan mata, menyugar rambut dan menjambaknya hingga terasa panas tarikan di kulit kepalanya."Ini bukan tentang kita, Jack. Ini tentang anak kita." Suara Evelyn terdengar tulus. Tapi pun sangat tak ingin ia dengar seandainya ia boleh memilih."Kenapa kau lakukan ini padaku, Eve? Saat kau memilih pergi, seharusnya kau tidak lagi kembali.""Kenyataan memaksaku kembali, Jack. Peter membutuhkanmu.""Lalu kau pikir
Rasa gusar bertahta paling tinggi melingkupi pikiran Jack. Evelyn benar-benar merusak segalanya. Ia menarik tangan Evelyn kuat-kuat, menyeretnya masuk ke mobil kemudian membawanya ke sebuah tempat. Tempat itu sangat sepi, tempat yang tak familiar bagi Evelyn karena pemandangan yang terlihat hanya tampak seperti hutan di sisi kiri kanan jalan.Iya menepikan mobilnya, menyeret tangan Evelyn kembali lalu mengentaknya kasar saat telah tiba di depan mobilnya sampai wanita itu telungkup di kap mobil tersebut, ia mendekat, manik mata mereka saling bertabrakan sarat permusuhan. Seandainya saja dia bukan wanita, pasti ia sudah menghajarnya. Tapi ini Evelyn Agraciana Forbes, wanita yang pernah mengukir sejarah indah bersamanya meski berujung pahit."Apa maumu, Eve?""Aku sudah bilang, ini semua demi Peter.""Buktikan siapa Peter, jika benar dia lahir dari benihku maka aku akan bertanggung jawab atas semu