Jack mendengkus kesal. Menangkap bayangan wajahnya di cermin depan Wastafel, pelipisnya menyisakan luka robek yang darahnya mulai mengering, ujung bibirnya pecah dan terasa pedih saat ia menyeka air di sana. Kekesalan mempermainkan hatinya. Harusnya Ammy lebih memilihnya. Namun kenyataannya Davee lebih dulu menarik di matanya.
Kali ini Ammy seakan menamparnya dengan sangat keras di dalam diam. Apa ini? Dia kalah hanya oleh seorang Davee yang bukan siapa- siapa? Bagaimana mungkin Ia bisa terima.
Davee, tak pernah pantas menjadi pesaingnya. Matanya memejam untuk sejenak. Apa lagi yang harus ia lakukan untuk membuat Ammy jatuh cinta padanya? Ia mulai menyadari satu hal, bukan hanya tubuh gadis itu yang kini menjadi tujuan utamanya, tapi juga hatinya.-----
"Tuan muda, Nona yang menempati kamar Marigold Tagetes 1125 sudah sehat, dia sudah pulang beberapa jam yang lalu."
Dr. Lyncoln berbicara dengan hati- hati dalam sambungan telepon. Ia sadar betul bahwa lawan bicaranya adalah pria muda temperamental yang siap melontarkan apa saja layaknya mulut kepedasan. Sayangnya pria muda itu punya kekuasaan yang tidak terbantahkan.
"Beberapa jam yang lalu dan kau baru memberitahuku? Sialan, apa saja yang kau kerjakan. Stupid!"
"Maaf Tuan muda, ponsel anda tidak bisa dihubungi beberapa waktu lalu."
"Fuck, aku tidak menyuruhmu bicara. Dan aku tidak menerima alasan!" Intonasinya terdengar sangat menyengat. Semenjak bertemu Ammy, dia hanya bisa marah-marah tanpa alasan yang jelas.
"Maaf, Tuan muda."
"Kau tahu alamat wanita itu?"
"Aku sudah mencari tahu, Tuan muda. Kalau-kalau Tuan muda membutuhkannya."
"Smart! Katakan!"
"Polanco, Avenida Presidente Masaryk real estate nomor sebelas," jelasnya.
"Bagus!" Jack menautkan alisnya. Alamat Ammy, dapat!
"Siapa yang menjemputnya dari Meghan Medica Hospital?"
"Ayahnya, Tuan muda. Bersama sepupu Tuan muda, Tuan Alejandro Graham."
Shit! ....
Jack melemparkan ponselnya hingga membentur dinding menjadikannya berserakan. Rusak? Apa pedulinya, Ia bahkan bisa membeli sekaligus pabriknya.
Entah apa yang terjadi dengannya, setiap mendengar Ammy bersama Davee, darahnya selalu mendidih.
Ammy adalah wanita pertama yang mampu membuatnya berantakan lagi setelah perpisahannya dengan Evelyn beberapa tahun silam. Dan beraninya Davee mencoba mendekati gadis itu saat ia tahu Jack berminat padanya. Harusnya penggila kerja itu tahu diri.
Ammy terus melayang di pikiran Jack, terasa bergerak perlahan tapi pasti menggerogotinya layaknya epidemi virus yang menyerangnya. Ia telah runtuh dengan segala pertahanan yang ia miliki. Merasa dirinya bukan Jack lagi, entah kemana perginya sisi arogansi yang dulunya menjadi dominasi atas dirinya.
Kini dia merasa sangat lemah saat menyadari dirinya benar- benar jatuh cinta pada Ammy Lawrence. Tak peduli apakah itu cinta atau obsesi, ia harus mendapatkan gadis itu apa pun caranya. Bahkan menyingkirkan Davee jika perlu.
Jack keluar dari kamarnya, tidak dapat tidur. Menuju ruang tengah dan mengambil beberapa botol persediaan Anggur di ruang penyimpanan. Menenggaknya rakus seperti tak waras. Hingga pengaruh alkohol bekerja seperti obat bius yang mengenyahkan sedikit rasa sakit di hatinya.
Ia menoleh pada jam dinding, tak jelas jarum jamnya ada di angka berapa, entah dua, entah tiga. Matanya terasa buram. Kemarahan, rasa tak senang, kecemburuan benar-benar mengakuisisi seluruh isi kepalanya.
"Jika aku mendapatkanmu, aku bersumpah akan membuatmu tidak bisa berjalan karena kelelahan," ceracaunya sambil tertawa bodoh.
Menyusupkan mobilnya ke jalanan yang lengang, tak peduli keadaannya tengah hangover. Kalau pun dia mati karena menabrak pembatas jalan, itu salah Ammy karena wanita itu membuatnya hampir gila.
Ia sampai pada alamat yang diberikan dr. Lyncoln, Ammy tinggal di sebuah perumahan mewah di Mexico city. Rumah berlantai dua dengan desain rumah tropis yang menakjubkan.
Ada taman yang berukuran besar dan mirip dengan hutan belantara. Bahkan Ammy bisa menikmati keindahan taman melalui balkon, jalan setapak, dan juga jendela kaca berukuran besar, tampak indah dan asri meskipun tak sebagus rumah Jack
Keberadaan balkon, jalan setapak, dan jendela mungkin bertujuan agar penghuni merasa berada di hutan meski sebenarnya rumah iti berada di tengah kota.
Ia menekan bel di ujung pagar tinggi halaman, tak ada yang membukanya meskipun ia berulangkali menekan benda itu. Tak lama berselang terlihat seorang wanita memperhatikannya dari balkon Mengernyit memandanginya dengan tatapan tak suka.
Gila, siapa yang berisik di rumah orang pukul tiga dini hari?
"Ammy, ini aku. Kau bisa mencintaiku, 'kan? Please! cintai aku. Aku tidak bisa kau abaikan. Kenapa diabaikan oleh wanita sepertimu saja terasa menyakitkan bagiku? Kenapa diabaikan wanita sepertimu terasa mengacaukan hidupku. Aku tak tenang. Katakan apa maumu, tapi tolong jangan terus berdekatan dengan si berengsek itu."
Ia mengguncang pagar hingga suara teralis besinya bergesekan dan berisik. "Di sini ... " Ia menepuk dadanya beberapa kali, "rasanya sakit saat kau bersama Davee, rasanya aku ingin membunuhnya!" ucapnya dengan suara terengah-engah akibat mabuk.
Ammy menuruni undakan tangga tergesa-gesa. Hendak menemui pria dengan otak kurang dari satu ons itu. Atau mungkin saja otaknya hanya sebesar biji kacang polong walaupun dia lulusan Harvard.
Secara logika, tak masuk akal jika orang waras tiba-tiba cari perkara sepagi ini dengannya. Ammy membuka pintu dan memperhatikan penampilan Jack dengan kemeja putihnya yang lusuh berantakan, simpul dasi merah marunnya tak karuan. Rambutnya acak-acakan dengan sisa luka di wajahnya yang mulai mengering. Apa yang terjadi pada idiot ini?
"Maafkan aku, aku minta maaf! Aku tidak bisa jika kau terus bersikap begini, katakan padaku apa yang harus kulakukan."
"Pergi dari rumahku, Sinting!" hardiknya.
"Kau berteriak di rumahku pagi buta begini! Apa kau sudah gila?!" Ia membuka pintu pagar menghampiri Jack. Kesal tapi juga tak tega. Sekilas tampak dengan jelas ini masih pakaian kantor lengkap dengan sepatu pantofelnya.
Jack mendengkus.
"Kau yang membuatku gila, Ammy.""Pergilah, kau butuh rumah sakit jiwa!" omel Ammy seraya memicing dan mengerucutkan bibir.
"Katakan apa maumu, Ammy! Akan kupenuhi. Aku punya segalanya. National Company, Meghan Medica Hospital, The Graham's Kingdom hotel. Jadilah istriku, kau akan memiliki semua itu. Aku menyukaimu, lebih dari apa yang aku miliki saat ini, lebih dari yang kupikirkan. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Tapi, kau mengalahkanku begitu hebat. Kau menjatuhkanku dengan cara begitu elegan. Apa yang bisa kulakukan sekarang? beri tahu aku!" Jack melangkahkan kakinya berusaha mendekat kepada Ammy hingga pengaruh alkohol membuat tubuhnya tersungkur.
"Aku mencintaimu, Ammy. Aku bersungguh-sungguh. Ini bukan hanya rasa penasaran. Bukan tentang tubuhmu. Aku menyukaimu dari saat pertama menjumpaimu. Tapi, aku tidak menyadarinya. Aku tidak ingin mengakuinya tapi itulah yang terjadi. Kau apakan aku sampai harus jadi segila ini? Aku tak baik-baik saja, Amm. Kembalilah, National Company sangat membutuhkanmu, terlebih aku." Jack masih meracau tak karuan, beberapa kali memuntahkan anggur dari mulutnya dan meninggalkan aroma khas alkohol berkadar tinggi.
Merepotkan sekali, ditinggalkan kasihan, tidak ditinggalkan berisik. Akhirnya gadis berkulit putih pucat itu memutuskan memapah Jack menuju mobilnya. Rasa iba akhirnya membuat hati Ammy tergerak untuk mengantar Jack ke rumahnya. Entahlah, meskipun menjengkelkan, Jack terlihat sangat manis di matanya.
Rumah Jack berjarak tak terlalu jauh dari kediamannya. Ia membaringkan tubuh pria bermanik cokelat itu lalu mengganti kemejanya yang lusuh di kamarnya beberapa saat setelah tiba di rumahnya. Menyelimuti tubuh pria jangkung itu kemudian meninggalkannya karena dia telah tertidur dengan pulas.
Ia tersenyum menatap Jack. Pria itu sangat tampan dengan wajah begitu polosnya saat tidur, melunturkan semua kesombongan yang biasa ia tunjukkan. Sayangnya lelaki sombong itu adalah pemenang hatinya. Satu hal yang tidak mudah ia ingkari. Pun dia tak ingin mengingkarinya. Ia mengusap pipi Jack sejenak, tersenyum geli.
Kau membuat hatiku berbunga-bunga hari ini, Jack.
Kesadaran mengambil alih pikiran Ammy. Menggeleng samar. Harusnya dia tak boleh membiarkan perasaan itu bertumbuh di hatinya. Jack tak pernah mencintainya. Pria itu hanya ingin mempermainkannya.
Ia menuruni undakan tangga, mendapati seorang pria di rumah Jack pagi itu.
"Terima kasih telah mengantar tuan muda, Nona."
"Siapa Anda?"
"Felicio del Acatraz, orang yang diperintahkan mengawasi dan menjaga tuan muda Jack oleh tuan Hans. Semacam bodyguard, tapi lebih ke orang kepercayaan Tuan Besar Hans," terangnya.
Ammy mengangguk hormat.
"Aku hanya mengantarkan Jack saja. Dia mabuk dan berteriak di depan rumahku, Mr. Acatraz. Karena sedikit merasa terganggu, jadi, aku mengantarnya pulang," tukasnya."Ya, sepertinya tuan muda sangat menyukai Anda. Dia memang pria yang agak berisik, tapi percayalah, sebenarnya dia laki-laki yang sangat baik. Kuharap Nona sudi memberinya kesempatan. Dia memiliki kehidupan yang tidak sebagus yang orang lain pikirkan. Dia membutuhkan orang yang tepat untuk sedikit mengurangi sikap kurang ajarnya. Bahkan Tuan Hans juga lelah dengan sikap putranya." Felicio menjelaskan panjang lebar, sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh tuan besarnya. Mendekatkan mereka supaya mereka saling menyukai dan tenggelam dalam sebuah permainan yang Hans ciptakan tanpa mereka sadari.
"Kurasa, aku tidak seistimewa itu di matanya, jadi jangan berlebihan, Mr. Acatraz."
"Oh, tentu saja sangat tidak berlebihan. Tuan Hans memintaku mengatakan hal ini kepada Anda, mengharapkan bantuan Anda agar bisa sedikit merubah kepribadian tuan muda yang mungkin sedikit mengesalkan. Karena beliau pikir hanya Anda yang sejauh ini menarik perhatian tuan muda, karena tuan muda belum pernah tertarik pada wanita mana pun seperti beliau tertarik pada Anda. Tak perlu formal padaku, Nona. Aku hanya seorang bawahan."
"Jangan merendah, Mr. Acatraz. Aku juga hanya seorang sekretaris. Aku akan mencoba membantu, semampuku. Apalagi jika Mr. Ferdinand Graham yang meminta. Sebuah kehormatan dapat membantunya dalam hal kecil semacam ini. Lagi pula Jack juga menarik perhatianku, Acatraz. Bukankah pucuk dicinta ulam pun tiba, dan ... aku merasa mendapatkan restu," imbuhnya dalam hati. Ia tersenyum saat mengakhiri kalimatnya.
***
Siang ini cuaca terasa hangat. 27°C menjadi yang paling panas di kota Meksiko. Jam makan siang telah tiba. Jack mendatangi sebuah toko ponsel. Memikirkan bagaimana nasib file-file penting yang tersimpan di ponselnya jika benda itu rusak. Belum lagi banyak kontak rekan bisnisnya di sana.Bodoh, kenapa dia teledor dan tak mencadangkan semua berkas-berkas penting di dalam flashdisk? dan sekarang ia merasa makin bodoh sebab kecemburuannya kepada Davee atas Ammy membuatnya menghancurkan benda itu."Kau bisa memperbaiki ponsel ini? Kubayar berapa pun, lebih mahal dari harga asalnya tidak masalah. Aku butuh filenya," ucapnya bersungguh-sungguh.Pegawai di toko yang sepertinya juga seorang teknisi itu memperhatikan ponsel Jack. Mengamati kerusakan yang tampak sangat parah. Mengernyitkan dahi dan berkata, "kelihatannya kerusakan cukup parah, Tuan. Membetulkannya butuh waktu lama. Harus ada banyak komponen yang diganti. Kenapa t
Jack mulai bergerak menuju ruangannya. Ketika sampai di ambang pintu sebelum sempat menarik gagang, ponselnya berdering."Hai Jack, pesananmu sudah jadi, apakah kau akan mengambilnya, ataukah orangku saja yang mengantarkannya padamu.""Chloe, satu minggu. On time sekali. Aku suka! Biar orangmu saja yang mengantarkannya, kau punya gambarnya? Aku ingin melihatnya.""Of course, Anyway, kemana harus kuantar?""Kirim saja ke Avenida Presidente Masary real estate nomor sebelas. Jangan lupa sertakan namaku di kotaknya. Nanti kau bisa kabari aku, aku akan mentransfer biaya pengganti pembuatannya.""Ok, Jack. Aku melakukannya dengan baik. Kuharap kau menyukai hasilnya."Chloe mematikan sambungan teleponnya, kemudian mengirimk
Sepeninggal Jack, tak lama berselang, Ammy mendapatkan panggilan dari sambungan interkomnya."Ammy. Bisa kau antarkan surat kontrak dengan ELS Group? Aku akan mempelajarinya.""Masih belum selesai, Davee. Segera kuurus.""Lakukan dengan teliti, Ammy. Kalau sudah selesai antarkan ke ruanganku.""Apakah kau sudah mengcopy laporan terakhir meeting kemarin, filenya ada pada Mrs. Howard, tanyakan saja padanya apa saja yang kau tak tahu saat kau tak masuk kemarin? jika sudah aku akan mengambilnya, jadi aku berubah pikiran untuk mengambilnya ke ruanganmu saja.""Perlu aku yang antar?""Tidak, tidak ... biar aku saja ke ruanganmu. Sepertinya aku butuh udara yang sama seperti yang kau hirup." Davee sedikit berimprovisasi d
Jack yang sudah berada di parking place kembali masuk ke gedung National Company. Menghampiri Ammy yang masih sibuk bergelut dengan komputernya.Ia menarik tangan Ammy. "Ayo ikut denganku!""Tapi, Jack. Pekerjaanku belum selesai."Ia tetap menarik lengan Ammy tapi kali ini dengan lembut." Aku bossnya, aku yang memberimu pekerjaan."Jack menekan tombol elevator menuju basement. Mereka terdiam sejenak bersamaan dengan elevator yang perlahan bergerak ke bawah. Jack bergeser, menggenggam jemari Ammy kemudian menariknya dan membuatnya tersudut pada kunkungan kedua lengannya."Kau cantik, dan saat dekat denganmu rasanya kau mengambil alih seluruh kewarasanku."Tatapan mereka saling mengunci, tangannya lincah menelusuri leher jenjang Ammy, menarik tengkuknya kemudian menghisap bibir mungilnya dalam-dalam. Ammy tak memberontak, membiark
Jack mengendurkan simpul dasinya. Percakapannya dengan Ammy sejenak membuat adrenalinnya terpacu. Ia tak ingin terlihat buruk di mata gadis itu."Aku mencintaimu Ammy, dan aku akan mempertanggung jawabkan perasaanku padamu, juga pada diriku sendiri. Aku janji akan berubah menjadi lebih baik, untukmu. mengenai perusahaan, aku akan mengurusnya dengan semestinya, tidak seharusnya aku bermalas-malasan dan membebankan semua pekerjaan pada Davee.""Kau bisa menangani perusahaan? Davee bilang kau payah dalam berbisnis, kau diktator yang cuma bisa main perintah-perintah.""Aku lulusan Harvard. Mendapat nilai cum laude dan lulus dalam dua tahun. Apakah kau tidak berpikir itu keren?""Cukup keren selama otak mesummu tidak sedang bereaksi.""Kau tahu, aku sebenarnya tidak pernah berminat pada perusahaan. Aku mengarang cerita jika aku memutuskan berhe
Ammy bergerak impulsif, hatinya tak tenang. Entahlah, dia pikir tak masalah membuat Jack marah. Namun ternyata ia tidak menyukai hal itu. Perasaan yang tumbuh, mengikis semua niat buruk Ammy untuk membalas sikap arogan Jack."Maafkan aku, Jack,"Wajar jika kau marah, aku memang keterlaluan." Ammy terpekur, siap menerima amukan Jack jika memang itu mampu membuatnya memaafkan kesalahan bodohnya.Pria jangkung itu melirik ke arah Ammy sekilas."Baiklah aku akan pulang, kau pantas marah padaku. maafkan aku, dankotak musik itu milikmu, Jack. Aku tidak berhak atasnya.simpan saja seperti aku menyimpan milik ibuku. Setidaknya saat kau melihatnya kau akan mengingatku.""Mengingat bahwa kau membohongiku?""Tidak, Jack. Kau tahu aku tidak bermaksud begitu." Ammy menjinjing tasnya. Melihat Jack seperti diselimuti rasa marah, tak ada alasan agar ia tetap bersiam di sana.
Akhir pekan begitu cepat datang, seperti kayu yang dimakan api, melalapnya hebat lalu meninggalkannya menjadi abu kemudian hilang tertiup angin. Tak ada yang spesial bagi Jack, meskipun ini adalah hari kelahirannya.Hari ulang tahun adalah momen paling menyakitkan baginya. Entahlah, dia tidak tahu kenapa tak satu pun manusia di dunia ini mengingat hari kelahirannya, dan Ia merasa benar-benar sendirian dan kesepian.Ia mendengkus. Membuang asap rokok yang mengalir ke udara bersama tiupan angin di balkon samping kamarnya menikmati udara pagi. Jack bukanlah seorang perokok, tetapi saat hatinya sedang diamuk rasa gelisah, hal itu sedikit membantu. Ia mengamati telepon pintar yang bertengger di tangan kanannya sementara tangan kirinya masih memainkan sebatang rokok lalu menyesapnya lagi dan lagi. berpikir sejenak lalu menemukan sesuatu di kepalanya, bukankah Ia memiliki Ammy sekarang? Ya, kenapa tidak terlintas tentang itu.
Matahari mulai merangkak naik, cuaca kota Meksiko tak pernah lebih panas dari dua puluh tujuh derajat celcius saja. Tetapi kemacetan, juga pulosi yang tinggi membuat Jack malas jika harus keluar rumah."Jack, ayo kita makan siang di luar," ajak Ammy ketika jarum jam dinding menunjuk angka satu."Aku sebenarnya lebih tertarik masakanmu. Kau bisa memasak?" tanyanya antusias."Tentu saja." Wajah Ammy berubah masam. Ia menunduk, "tidak." imbuhnya."Selama ini aku hanya selalu membeli makanan dari luar, atau sengaja makan di luar. Ayah jarang di rumah jadi asisten rumah tanggaku juga jarang memasak.""Tapi, aku suka membuat makanan saat emergency.""Emergency?""Ya, saat perutku menuntut haknya padahal sudah kuisi. Cacing nakal di dalamnya suka berunjuk rasa," katanya sambil tersenyum kecil.Ammy masuk ke dapur. Se
****Gadis itu menatap lurus ke depan dengan wajah datar tak berekspresi. Memilih untuk tidak membuka suara untuk bercakap-cakap dengan pria asing di sampingnya, sampai tibalah pada sebuah apotek di tepi jalan."Sebenarnya kau mau ke mana, Nona?" Pertanyaan itu yang mengiringi Lenka keluar dari taxi disusul pria itu dengan membawa koper si gadis."Berikan koperku, kau bukan sopirku!" Kata Lenka dingin."Bahkan kakimu sedang sakit. Aku hanya membantunya." Pria itu meletakkan koper itu di pinggir tempat duduk yang berjajar di tepi jalan."Tunggulah sebentar, aku akan membeli obat." Lenka mengangguk, sesaat kemudian pria itu menjauh menuju apotek.Kecamuk di hati Lenka tak juga surut. Ammy kritis, bukankah seharusnya sebagai seorang teman dia juga memiliki rasa peduli? jika hari ini hal buruk terjadi, tidakkah ia menyesal telah mem
Perasaan Jack campur aduk, ruang ICU? Ammy kritis? Semua ini terjadi pada hari ulang tahun Ammy? Demi apa?!Ia turut melangkahkan kaki saat brankar dorong itu membawa tubuh Ammy menuju ruangan lain. Ia tidak diperbolehkan masuk hingga beberapa saat, masuk pun dibatasi. Ia hanya boleh melihat Ammy di ruang tunggu yang tersekat kaca tebal di sana. Memandangi istrinya yang sedang tergeletak tidak berdaya. Hatinya terasa sangat sakit.Ammy, kenapa bukan aku saja yang di sana? Bolehkah aku mengantikanmu?Masih sibuk dengan kecamuk dalam hatinya, dering telepon membuyarkan pikirannya yang begitu jauh berkelana."Apa? Jatuh dari tangga? Kritis? Fuck! Apalagi ini!""Kemarilah, selamatkan Peter ... persediaan darah di sini sedang kosong sementara dia kehabisan banyak darah. Golongan darah Peter sama denganmu. Kumohon, Jack. Sekali ini saja, selamatkan putramu dan setelah ini aku j
Kebersamaan dengan suaminya membuat wanita itu begitu bahagia, begitu bersemangat untuk melanjutkan hidup meskipun matanya sering kali tak lagi mampu mengabur. Dokter bilang itu hanya karena Setidaknya tanpa mata ia masih bisa melihat orang yang ia cintai tersenyum dalam khayal.Menikmati sore hari di Dandelion park, meniup bulir seringan kapas bunga dandelion yang mekar dalam pangkuan Jack, membuatnya seperti tak lagi berpijak pada bumi. Dunianya terasa lebih indah dari yang ia bayangkan. Membuatnya semakin ingin tinggal lebih lama di samping belahan hatinya.Sesekali Jack mencium pundak wanitanya, memejamkan mata untuk menyimpannya dalam memory agar terus ia miliki sampai kapanpun."Ceritakan bagaimana indahnya sunset, Jack. Aku tidak bisa melihatnya, maka jadilah mataku."Jack menghela napas panjang. Mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk di hatinya."Indah sekali, sep
Jack melangkah menuju toilet, menyeka air matanya, ia cuci wajahnya sejenak di wastafel. Matanya masih meninggalkan warna merah. Menuju ruang rawat Ammy kaki jenjang itu nampak skeptis mengeja langkah.Derap sepatu kets nya terdengar samar - samar. Ia menatap dalam - dalam wajah istrinya saat tangannya membuka daun pintu. Merebahkan tubuhnya pada sisi Ammy. Bed pasien yang sempit itu membuat jarak nyaris tak ada di antara keduanya. Ia peluk tubuh istrinya, ia nikmati aroma tubuh yang terhidu jelas menyentuh inderanya. Setitik air mata kembali lolos menjatuhkan diri.Tetaplah seperti ini, Ammy. Kumohon! Hiduplah lebih lama di sisiku."Jack." Suara lirih Ammy terdengar lemah, ia meraba - raba wajah suaminya."Aku takut, Jack. Ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihatmu, bagaimana kalau aku lupa wajahmu? Bagaimana aku bisa mati dengan tenang saat aku tidak bisa melihatmu lebih lama untuk bekalku pergi
Mengembuskan napas putus asa, hanya rasa nyeri yang bisa ia rasakan di sekujur raganya, saat ia tahu Ammy kesulitan berjalan dan menabrak meja makan malam itu."Apa yang terjadi?""Tidak tahu, tiba-tiba gelap." Jawabnya."Kita ke rumah sakit." Tanpa banyak basa-basi, pria itu membopong istrinya menuju mobil, mendudukkannya di jok depan dan dia mengambil tempat di kursi kemudi. Wanita itu mengusap-usap matanya sejenak. Mengerjapkan mata lalu pandangannya kembali untuk sekejap kemudian memburam lagi."Apa yang terjadi, Noah?" Tanyanya setelah dr. Noah memeriksa keadaan Ammy. Jack sengaja berbicara empat mata dengan Noah agar Ammy tidak mendengar tentang apa yang ia alami. Apalagi jika mungkin yang akan disampaikan Noah adalah hal yang kurang mengenakkan."Pengobatan harus segera dilakukan. Bayi Ammy harus segera dilahirkan. Usianya sudah genap tujuh bulan artinya bayi itu akan bisa bertahan
Membaringkan tubuh Lenka, melepaskan pakaiannya satu per satu. Ia menyadari betapa gadis itu tampak semakin kurus saja.Menggantikan pakaiannya, ia seka tubuh polos itu dengan hati - hati seolah tubuh itu hiasan kaca yang mudah pecah. Ia menelpon dokter, setelah dokter memeriksanya memberikan obat, selesai. Dokter hanya bilang bahwa Lenka sedang stres berat dan butuh istirahat. Ia menungguinya dengan sabar. Berharap wanita itu akan bangun setelahnya. Lalu biarlah gadis itu memakinya, menamparnya atau meludahinya asal dia tidak pergi. Asal kata maaf tak lagi menjadi hal mustahil baginya.Stres berat? Seharusnya dia mengabaikan gadis itu, kenapa ia tidak pernah berpikir tentang seberapa rapuh gadis itu, ke mana saja dia selama ini?Yang ia tahu Lenka gadis kuat, yang tidak dengan mudah tumbang hanya dengan cinta seperti ini. Ia baru sadar seberapa berarti hadirnya untuk wanita itu.
Surai lurus sebahu itu tertiup angin sepoi senja. Bersamaan dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipinya, tak membawa apa pun kecuali baju yang menempel di tubuh dan boneka pinguin kecil di tangannya. Boneka pemberian kekasih yang katanya mengambarkan sebuah kesetian. Ia tersenyum miris, seperti inikah kesetiaan yang pria itu janjikan? Menuju sebuah rumah yang tak lagi asing baginya, ia tahu dulu tempat itu adalah rumahnya. Rumah yang saat ini hanya menjadi luka baginya.Memasukinya, derai air matanya semakin membajir tatkala menapakkan kakinya di lantai marmer meskipun baru sejengkal saja ia memijak.Rumah itu meninggalkan begitu banyak kenangan, di mana dulu sumber kehangatan dan kasih sayang berada di dalamnya. Dia tidak memiliki siapa - siapa sekarang.Ia menuju ruang tengah rumah itu, mendapati sebuah foto keluarga yang masih tersisa dan terpajang di dinding pucat. Menutup rapat mulutnya deng
Wanita itu menatap sengit kepada Jack. Menuntut sebuah pengakuan."Kau minta bukti bahwa dia putramu, kan? Aku sudah membuktikannya, apakah kau masih menyangkalnya?"Pria itu terduduk lemas, pandangannya nanar. Apa yang harus ia katakan pada istrinya? Menghirup napas dalam, tangannya meremas selembar kertas hasil tes DNA yang diberikan Evelyn beberapa menit lalu."Temui dia, Jack.""Kumohon, jangan sekarang, Eve."Ia memejamkan mata, menyugar rambut dan menjambaknya hingga terasa panas tarikan di kulit kepalanya."Ini bukan tentang kita, Jack. Ini tentang anak kita." Suara Evelyn terdengar tulus. Tapi pun sangat tak ingin ia dengar seandainya ia boleh memilih."Kenapa kau lakukan ini padaku, Eve? Saat kau memilih pergi, seharusnya kau tidak lagi kembali.""Kenyataan memaksaku kembali, Jack. Peter membutuhkanmu.""Lalu kau pikir
Rasa gusar bertahta paling tinggi melingkupi pikiran Jack. Evelyn benar-benar merusak segalanya. Ia menarik tangan Evelyn kuat-kuat, menyeretnya masuk ke mobil kemudian membawanya ke sebuah tempat. Tempat itu sangat sepi, tempat yang tak familiar bagi Evelyn karena pemandangan yang terlihat hanya tampak seperti hutan di sisi kiri kanan jalan.Iya menepikan mobilnya, menyeret tangan Evelyn kembali lalu mengentaknya kasar saat telah tiba di depan mobilnya sampai wanita itu telungkup di kap mobil tersebut, ia mendekat, manik mata mereka saling bertabrakan sarat permusuhan. Seandainya saja dia bukan wanita, pasti ia sudah menghajarnya. Tapi ini Evelyn Agraciana Forbes, wanita yang pernah mengukir sejarah indah bersamanya meski berujung pahit."Apa maumu, Eve?""Aku sudah bilang, ini semua demi Peter.""Buktikan siapa Peter, jika benar dia lahir dari benihku maka aku akan bertanggung jawab atas semu