Jack berlalu dari ruang rawat Ammy membawa kemarahan dalam hati. Menimang ponselnya, skeptis menelpon atau tidak. Namun akhirnya dia putuskan untuk menelpon.
"Hallo, Lyncoln. Pasien di ruang Merigold Tagetes 1125, beri aku laporan mengenai perkembangan kesehatannya, sedetail mungkin. Beri penanganan terbaik untuknya. Apa kau mengerti?"
"Baik, Tuan muda. Sesuai yang Anda inginkan."
"Bagus! Kupikir ayahku tidak salah mempercayakan Rumah sakit ini padamu." Jack menutup sambungan teleponnya. Seperti biasa tanpa basa-basi. Bukankah basa-basi itu tak penting?
Dr. Lyncoln mengerutkan dahi sambil membatin.
"Bagaimana cara Tuan Hans mendidik anak ini, Bahkan dia tidak pernah mengucapkan terima kasih selepas minta bantuan."Dr. Miguel Keiv D'lyncoln adalah kepala RS. Meghan Medica Hospital. Rumah sakit yang dulunya hanya memiliki sepuluh lantai itu kini berkembang menjadi dua puluh satu lantai di bawah kepemilikan Hans Ferdinand Graham. Rumah sakit itu dulunya milik seorang ahli bedah jantung.
Nama asalnya adalah Rumah Sakit Lindsey medica. dugaan Malapraktik mengharuskan Rumah Sakit itu membayar denda yang sangat besar hingga mengalami kebangkrutan dan akhirnya dijual. Tidak hanya itu, kepala rumah sakit terdahulu yang menjadi penanggung jawab operasi itu pun dicabut izin tugasnya. Ia diberhentikan dari pekerjaannya secara tidak hormat. Dr. Lyncoln tahu, kasus Malapraktik itu sudah disetting. Dan Ia juga tahu siapa yang ada dibalik semua itu. Seandainya kasus malapraktik itu tidak ada, tentu saja Ia tidak akan duduk di kursi pimpinan di rumah sakit ini sekarang.
***
Jack keluar dari Rumah Sakit dengan hati diselimuti emosi. Melajukan mobilnya secara ugal-ugalan. Ia tidak bisa lagi menahan amarahnya pada Davee. Ia sudah menyiapkan diri untuk menumpahkan semua kekesalan.
Davee! Aku sudah memperingatkanmu bahwa kau tak boleh mendekatinya. Kau membuatku mau meledak!
"Davee, aku di pinggir taman Bosque de Chapultepec. Kemarilah segera! aku tidak suka menunggu." Jack mematikan panggilan teleponnya.
Mengernyitkan kening, menggertakkan rahangnya kuat-kuat menahan amarah.Tak lama kemudian Davee menghampirinya, bagaimana tidak, jika terlambat sebentar saja pasti Jack yang agak gila itu akan semakin menggila saja.
"Ada apa?"
"Kulihat kau begitu akrab dengan Ammy." Jack to the point. Duduk di atas kap mobilnya, memandang Davee dengan tatapan menantang.
"Ya, begitulah," kata Davee seperti melempar balam dengan tanah, kena tak kena tak peduli. Ia tak ambil pusing sekalipun ia tahu tatapan Jack sangat tidak menyenangkan. Bukankah dia memang begitu.
"Aku tidak. suka!"
"Kupikir kau terlalu jauh mencampuri urusanku, Jack. Aku selalu ada di bawah kendalimu, dan aku muak dengan hal itu. Apa aku tidak cukup patuh padamu? Aku sudah seperti anjing peliharaanmu saja. Apa kau tidak bisa berlaku baik sedikit saja padaku?"
"Jadi kau merasa tak suka aku mencampuri urusanmu? Lalu kenapa kau mengusik rencana besarku? Kau tahu aku menyukai gadis itu, 'kan?"
"Rencana besar? Yang ada cuma rencana busuk! Kau pikir aku tak tahu bahwa otakmu tak bisa berpikir jauh-jauh dari selangkangan? Jika orang lain targetmu, aku tak peduli. Tapi, jika Ammy, aku akan menjadi perisainya."
"Wow! Kedengarannya sangat keren. Artinya kau menantangku!" Jack bekacak pinggang. Mengangkat kepalanya tinggi sarat keangkuhan.
"Apa kau sadar, Kau memperlakukanku layaknya memperlakukan seorang kacung. Aku tidak mengerti, kenapa kau tidak tahu terima kasih. Aku bekerja untuk perusahaanmu siang malam dan kau yang menikmati hasilnya, aku yang bekerja keras tapi kau yang berkuasa. Karena kau seorang pewaris? Dan sekarang ini balasanmu padaku?"
Jack tersenyum miring, sedikit terkejut dengan nyali Davee. Sejak kapan si gila kerja ini berani memberontak seperti ini. Semua orang jadi tertular aura pemberontak gadis menyebalkan itu.
"Kau mendapat nominal yang pantas, bukan? So what, Davee?"
"Kau cemburu?" Davee menyerang balik Jack dengan pertanyaan.
"Kau cemburu karena dia lebih tertarik padaku? Dan bagaimana jika aku pun mau dia seperti kau menginginkannya?" Ia meninggikan satu alisnya seraya mencebik.
Jack mendekat pada Davee, mencengkram rahangnya lalu menghempaskannya kasar.
"Akan kau tarik ucapanmu itu. Jika itu terjadi aku akan membunuhmu!""Coba saja! Tunggu sampai kau tahu siapa pewaris yang sesungguhnya. Kau menyulutku untuk memihak yang tidak ingin kupihak, Jack."
"Apa yang kau bicarakan?" Ia berbalik, memasukkan kedua tangannya ke saku celana yang ia kenakan. Rahangnya mengeras, ia memutar kepalanya. Menuntut sebuah jawaban.
"Sudahlah, lupakan saja. Kekesalanmu sungguh tidak penting. Aku tidak punya waktu meladenimu." Ia memutar tubuhnya, mulai melangkahkan kaki untuk menjauh. Percuma berbicara dengan Jack yang tidak waras itu.
"Jauhi Dia!" pinta Jack saat Davee baru berjalan beberapa langkah. Tak jelas itu permohonan ataukah perintah.
Davi menahan napas, mengembuskannya pelan.
"Aku tidak janji."
"Shit ... !! "
Jack mengepalkan tinjunya, mengarahkannya ke wajah Davee. Namun Ia tidak membalas, dan sekali lagi lelaki yang usianya terpaut beberapa tahun lebih muda itu menghadiahkan satu pukulan keras yang membuat wajah Davee memar kebiruan.
"Kau mau tunjukkan bahwa kau jagoan karate? Mungkin kau lupa saat sekolah menengah aku juara umum taekwondo di sekolah." Davee mencengkram kedua sisi jas Jack. Memukul wajahnya hingga terhuyung.
Jack membalas, tak terima dengan perlakuan sepupunya itu sekalipun ia tahu, dia bukan tandingannya. Mudah bagi Davee menangkis tangan Jack. Dengan cekatan ia menendang perut Jack mengunci posisinya di bawah lalu memukul Jack dengan gelap mata.
Penuh kemarahan, dia muak pada sikap sok hebat pecundang di hadapannya itu. Mencoba menenangkan pikirannya, Davee menghela napas panjang dan menyesal mengapa dia selalu terpancing. Mudah saja bagi Jack membangunkan kemarahannya.
Melihat Jack tak berdaya, Dia melepaskan tarikannya pada dasi Jack. Rasa tak tega menyelusup di hatinya. Terlihat jelas darah yang menetes di ujung pelipis Jack yang robek, juga sudut bibirnya yang pecah. Ia bangkit, mengulurkan tangan untuk membantunya bangun. Akan tetapi dengan kasar Jack menepisnya.
"Kalau saja kau bukan sepupuku. Mungkin aku sudah menghabisimu. kalau saja kau bisa bercermin, betapa kau sangat menjengkelkan. Wanita mana yang suka dengan tingkah arogan sampahmu kalau bukan pelacur?!" ucap Davee sarkastik.
"Apa kau tidak punya nyali bersaing denganku secara sehat?" Davi tersenyum kesal, Mengeluarkan ponselnya dari saku celananya lalu menghubungi Doughlas, sopir pribadi Jack.
"Dough, jemput Jack di pinggir taman Bosque de Chapultepec, sekarang!"
Sejenak kemudian, layar ponsel kembali hitam, dan Davee memasukkannya ke dalam saku celana.
"Aku tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan menyedihkan begini. Aku sudah menghubungi sopirmu," kata Davee masih bersikap baik. Dia kemudian meninggalkan Jack yang masih tampak sempoyongan.
Jack mengusap ujung bibirnya yang pecah dengan kasar, membuang ludah ke sembarang arah. Rasa anyir dan asin tersesap pada indra perasanya. Sialan. Berhadapan dengan Davee, Ia kalah telak. Namun bukan Jack namanya jika ia tidak memiliki ambisi untuk jadi sang pemenang. Bersaing secara sehat atau tidak untuk mendapatkan Ammy, dia harus tetap menjadi pemenang apa pun alasannya.
Tak lama kemudian lelaki berseragam hitam menghampirinya. Ia tetap berada di tempat itu bukan lantaran ingin menunggu sopirnya menjemput. Ia hanya merasa matanya sedikit berkunang-kunang dan butuh istirahat sebentar. Pria jangkung sialan itu menendangnya terlalu keras. Meninggalkan rasa nyeri di perutnya.
"Saya diperintahkan menjemput Anda, Tuan muda."
"Siapa yang memerintahmu?" Ia berkata dengan nada tinggi dan tatapan mengintimidasi. Membuat pria tua itu sedikit menunduk segan dan penuh rasa takut.
"Tuan muda Davee, Tuan," jawab Douglash lirih, berbicara dengan sangat hati-hati, Seolah Ia sedang bicara dengan monster.
Jack masih berusaha bangun dengan sempoyongan. menyeimbangkan tubuhnya yang terasa ringan seolah kehilangan gravitasi.
"Kau bekerja padanya sekarang?" Ia menatap si tua berseragam hitam itu penuh permusuhan. "JAWAB APA KAU BEKERJA PADANYA?" berteriak di depan supirnya yang terus menunduk dan tak henti meminta maaf. Tak perduli sopir itu adalah lelaki tua, dia menggajinya. Dan, itu membuat dia merasa pantas berlaku demikian.
"Katakan! Apa si berengsek itu yang menggajimu?" ulangnya.
Ia menarik kerah baju lelaki itu, menghempaskannya kasar. Kemudian berjalan menuju mobilnya dan meninggalkan sopirnya begitu saja, berlalu sambil mengacungkan jari tengah kepada sopir tua itu. Dia tak butuh sopir tua itu saat ini, dia bisa membawa mobilnya sendiri.
Melajukan mobil itu seperti biasa, ugal-ugalan dan tak tahu aturan. Tidak ada reputasi baik yang menempel padanya kecuali kekayaan dan ketampanan yang melekat padanya. Tanpa seorang pun tahu bahwa Jack yang arogan sebenarnya kosong dan tak memiliki apa-apa di hidupnya untuk membuatnya bahagia.
Hanya dirinya sendiri yang tahu seperti apa sakitnya rasa sunyi, seperti apa sulitnya mengatasi lubang di dalam hati. Hidupnya tak memiliki tujuan. Isinya hanya kesenangan. Namun kesenangan-kesenangan itu terkadang terasa membosankan. Dia juga ingin merasakan hal yang lain. Di cintai. Sama seperti dulu saat ia bersama dengan Evelyn Agraciana Forbes, sang mantan kekasih.
****
Jack mendengkus kesal. Menangkap bayangan wajahnya di cermin depan Wastafel, pelipisnya menyisakan luka robek yang darahnya mulai mengering, ujung bibirnya pecah dan terasa pedih saat ia menyeka air di sana. Kekesalan mempermainkan hatinya. Harusnya Ammy lebih memilihnya. Namun kenyataannya Davee lebih dulu menarik di matanya.Kali ini Ammy seakan menamparnya dengan sangat keras di dalam diam. Apa ini? Dia kalah hanya oleh seorang Davee yang bukan siapa- siapa? Bagaimana mungkin Ia bisa terima.Davee, tak pernah pantas menjadi pesaingnya. Matanya memejam untuk sejenak. Apa lagi yang harus ia lakukan untuk membuat Ammy jatuh cinta padanya? Ia mulai menyadari satu hal, bukan hanya tubuh gadis itu yang kini menjadi tujuan utamanya, tapi juga hatinya.-----"Tuan muda, Nona yang menempati kamar Marigold Tagetes 1125 sudah sehat, dia sudah pulang beberapa jam yang lalu."Dr. Lync
Siang ini cuaca terasa hangat. 27°C menjadi yang paling panas di kota Meksiko. Jam makan siang telah tiba. Jack mendatangi sebuah toko ponsel. Memikirkan bagaimana nasib file-file penting yang tersimpan di ponselnya jika benda itu rusak. Belum lagi banyak kontak rekan bisnisnya di sana.Bodoh, kenapa dia teledor dan tak mencadangkan semua berkas-berkas penting di dalam flashdisk? dan sekarang ia merasa makin bodoh sebab kecemburuannya kepada Davee atas Ammy membuatnya menghancurkan benda itu."Kau bisa memperbaiki ponsel ini? Kubayar berapa pun, lebih mahal dari harga asalnya tidak masalah. Aku butuh filenya," ucapnya bersungguh-sungguh.Pegawai di toko yang sepertinya juga seorang teknisi itu memperhatikan ponsel Jack. Mengamati kerusakan yang tampak sangat parah. Mengernyitkan dahi dan berkata, "kelihatannya kerusakan cukup parah, Tuan. Membetulkannya butuh waktu lama. Harus ada banyak komponen yang diganti. Kenapa t
Jack mulai bergerak menuju ruangannya. Ketika sampai di ambang pintu sebelum sempat menarik gagang, ponselnya berdering."Hai Jack, pesananmu sudah jadi, apakah kau akan mengambilnya, ataukah orangku saja yang mengantarkannya padamu.""Chloe, satu minggu. On time sekali. Aku suka! Biar orangmu saja yang mengantarkannya, kau punya gambarnya? Aku ingin melihatnya.""Of course, Anyway, kemana harus kuantar?""Kirim saja ke Avenida Presidente Masary real estate nomor sebelas. Jangan lupa sertakan namaku di kotaknya. Nanti kau bisa kabari aku, aku akan mentransfer biaya pengganti pembuatannya.""Ok, Jack. Aku melakukannya dengan baik. Kuharap kau menyukai hasilnya."Chloe mematikan sambungan teleponnya, kemudian mengirimk
Sepeninggal Jack, tak lama berselang, Ammy mendapatkan panggilan dari sambungan interkomnya."Ammy. Bisa kau antarkan surat kontrak dengan ELS Group? Aku akan mempelajarinya.""Masih belum selesai, Davee. Segera kuurus.""Lakukan dengan teliti, Ammy. Kalau sudah selesai antarkan ke ruanganku.""Apakah kau sudah mengcopy laporan terakhir meeting kemarin, filenya ada pada Mrs. Howard, tanyakan saja padanya apa saja yang kau tak tahu saat kau tak masuk kemarin? jika sudah aku akan mengambilnya, jadi aku berubah pikiran untuk mengambilnya ke ruanganmu saja.""Perlu aku yang antar?""Tidak, tidak ... biar aku saja ke ruanganmu. Sepertinya aku butuh udara yang sama seperti yang kau hirup." Davee sedikit berimprovisasi d
Jack yang sudah berada di parking place kembali masuk ke gedung National Company. Menghampiri Ammy yang masih sibuk bergelut dengan komputernya.Ia menarik tangan Ammy. "Ayo ikut denganku!""Tapi, Jack. Pekerjaanku belum selesai."Ia tetap menarik lengan Ammy tapi kali ini dengan lembut." Aku bossnya, aku yang memberimu pekerjaan."Jack menekan tombol elevator menuju basement. Mereka terdiam sejenak bersamaan dengan elevator yang perlahan bergerak ke bawah. Jack bergeser, menggenggam jemari Ammy kemudian menariknya dan membuatnya tersudut pada kunkungan kedua lengannya."Kau cantik, dan saat dekat denganmu rasanya kau mengambil alih seluruh kewarasanku."Tatapan mereka saling mengunci, tangannya lincah menelusuri leher jenjang Ammy, menarik tengkuknya kemudian menghisap bibir mungilnya dalam-dalam. Ammy tak memberontak, membiark
Jack mengendurkan simpul dasinya. Percakapannya dengan Ammy sejenak membuat adrenalinnya terpacu. Ia tak ingin terlihat buruk di mata gadis itu."Aku mencintaimu Ammy, dan aku akan mempertanggung jawabkan perasaanku padamu, juga pada diriku sendiri. Aku janji akan berubah menjadi lebih baik, untukmu. mengenai perusahaan, aku akan mengurusnya dengan semestinya, tidak seharusnya aku bermalas-malasan dan membebankan semua pekerjaan pada Davee.""Kau bisa menangani perusahaan? Davee bilang kau payah dalam berbisnis, kau diktator yang cuma bisa main perintah-perintah.""Aku lulusan Harvard. Mendapat nilai cum laude dan lulus dalam dua tahun. Apakah kau tidak berpikir itu keren?""Cukup keren selama otak mesummu tidak sedang bereaksi.""Kau tahu, aku sebenarnya tidak pernah berminat pada perusahaan. Aku mengarang cerita jika aku memutuskan berhe
Ammy bergerak impulsif, hatinya tak tenang. Entahlah, dia pikir tak masalah membuat Jack marah. Namun ternyata ia tidak menyukai hal itu. Perasaan yang tumbuh, mengikis semua niat buruk Ammy untuk membalas sikap arogan Jack."Maafkan aku, Jack,"Wajar jika kau marah, aku memang keterlaluan." Ammy terpekur, siap menerima amukan Jack jika memang itu mampu membuatnya memaafkan kesalahan bodohnya.Pria jangkung itu melirik ke arah Ammy sekilas."Baiklah aku akan pulang, kau pantas marah padaku. maafkan aku, dankotak musik itu milikmu, Jack. Aku tidak berhak atasnya.simpan saja seperti aku menyimpan milik ibuku. Setidaknya saat kau melihatnya kau akan mengingatku.""Mengingat bahwa kau membohongiku?""Tidak, Jack. Kau tahu aku tidak bermaksud begitu." Ammy menjinjing tasnya. Melihat Jack seperti diselimuti rasa marah, tak ada alasan agar ia tetap bersiam di sana.
Akhir pekan begitu cepat datang, seperti kayu yang dimakan api, melalapnya hebat lalu meninggalkannya menjadi abu kemudian hilang tertiup angin. Tak ada yang spesial bagi Jack, meskipun ini adalah hari kelahirannya.Hari ulang tahun adalah momen paling menyakitkan baginya. Entahlah, dia tidak tahu kenapa tak satu pun manusia di dunia ini mengingat hari kelahirannya, dan Ia merasa benar-benar sendirian dan kesepian.Ia mendengkus. Membuang asap rokok yang mengalir ke udara bersama tiupan angin di balkon samping kamarnya menikmati udara pagi. Jack bukanlah seorang perokok, tetapi saat hatinya sedang diamuk rasa gelisah, hal itu sedikit membantu. Ia mengamati telepon pintar yang bertengger di tangan kanannya sementara tangan kirinya masih memainkan sebatang rokok lalu menyesapnya lagi dan lagi. berpikir sejenak lalu menemukan sesuatu di kepalanya, bukankah Ia memiliki Ammy sekarang? Ya, kenapa tidak terlintas tentang itu.
****Gadis itu menatap lurus ke depan dengan wajah datar tak berekspresi. Memilih untuk tidak membuka suara untuk bercakap-cakap dengan pria asing di sampingnya, sampai tibalah pada sebuah apotek di tepi jalan."Sebenarnya kau mau ke mana, Nona?" Pertanyaan itu yang mengiringi Lenka keluar dari taxi disusul pria itu dengan membawa koper si gadis."Berikan koperku, kau bukan sopirku!" Kata Lenka dingin."Bahkan kakimu sedang sakit. Aku hanya membantunya." Pria itu meletakkan koper itu di pinggir tempat duduk yang berjajar di tepi jalan."Tunggulah sebentar, aku akan membeli obat." Lenka mengangguk, sesaat kemudian pria itu menjauh menuju apotek.Kecamuk di hati Lenka tak juga surut. Ammy kritis, bukankah seharusnya sebagai seorang teman dia juga memiliki rasa peduli? jika hari ini hal buruk terjadi, tidakkah ia menyesal telah mem
Perasaan Jack campur aduk, ruang ICU? Ammy kritis? Semua ini terjadi pada hari ulang tahun Ammy? Demi apa?!Ia turut melangkahkan kaki saat brankar dorong itu membawa tubuh Ammy menuju ruangan lain. Ia tidak diperbolehkan masuk hingga beberapa saat, masuk pun dibatasi. Ia hanya boleh melihat Ammy di ruang tunggu yang tersekat kaca tebal di sana. Memandangi istrinya yang sedang tergeletak tidak berdaya. Hatinya terasa sangat sakit.Ammy, kenapa bukan aku saja yang di sana? Bolehkah aku mengantikanmu?Masih sibuk dengan kecamuk dalam hatinya, dering telepon membuyarkan pikirannya yang begitu jauh berkelana."Apa? Jatuh dari tangga? Kritis? Fuck! Apalagi ini!""Kemarilah, selamatkan Peter ... persediaan darah di sini sedang kosong sementara dia kehabisan banyak darah. Golongan darah Peter sama denganmu. Kumohon, Jack. Sekali ini saja, selamatkan putramu dan setelah ini aku j
Kebersamaan dengan suaminya membuat wanita itu begitu bahagia, begitu bersemangat untuk melanjutkan hidup meskipun matanya sering kali tak lagi mampu mengabur. Dokter bilang itu hanya karena Setidaknya tanpa mata ia masih bisa melihat orang yang ia cintai tersenyum dalam khayal.Menikmati sore hari di Dandelion park, meniup bulir seringan kapas bunga dandelion yang mekar dalam pangkuan Jack, membuatnya seperti tak lagi berpijak pada bumi. Dunianya terasa lebih indah dari yang ia bayangkan. Membuatnya semakin ingin tinggal lebih lama di samping belahan hatinya.Sesekali Jack mencium pundak wanitanya, memejamkan mata untuk menyimpannya dalam memory agar terus ia miliki sampai kapanpun."Ceritakan bagaimana indahnya sunset, Jack. Aku tidak bisa melihatnya, maka jadilah mataku."Jack menghela napas panjang. Mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk di hatinya."Indah sekali, sep
Jack melangkah menuju toilet, menyeka air matanya, ia cuci wajahnya sejenak di wastafel. Matanya masih meninggalkan warna merah. Menuju ruang rawat Ammy kaki jenjang itu nampak skeptis mengeja langkah.Derap sepatu kets nya terdengar samar - samar. Ia menatap dalam - dalam wajah istrinya saat tangannya membuka daun pintu. Merebahkan tubuhnya pada sisi Ammy. Bed pasien yang sempit itu membuat jarak nyaris tak ada di antara keduanya. Ia peluk tubuh istrinya, ia nikmati aroma tubuh yang terhidu jelas menyentuh inderanya. Setitik air mata kembali lolos menjatuhkan diri.Tetaplah seperti ini, Ammy. Kumohon! Hiduplah lebih lama di sisiku."Jack." Suara lirih Ammy terdengar lemah, ia meraba - raba wajah suaminya."Aku takut, Jack. Ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihatmu, bagaimana kalau aku lupa wajahmu? Bagaimana aku bisa mati dengan tenang saat aku tidak bisa melihatmu lebih lama untuk bekalku pergi
Mengembuskan napas putus asa, hanya rasa nyeri yang bisa ia rasakan di sekujur raganya, saat ia tahu Ammy kesulitan berjalan dan menabrak meja makan malam itu."Apa yang terjadi?""Tidak tahu, tiba-tiba gelap." Jawabnya."Kita ke rumah sakit." Tanpa banyak basa-basi, pria itu membopong istrinya menuju mobil, mendudukkannya di jok depan dan dia mengambil tempat di kursi kemudi. Wanita itu mengusap-usap matanya sejenak. Mengerjapkan mata lalu pandangannya kembali untuk sekejap kemudian memburam lagi."Apa yang terjadi, Noah?" Tanyanya setelah dr. Noah memeriksa keadaan Ammy. Jack sengaja berbicara empat mata dengan Noah agar Ammy tidak mendengar tentang apa yang ia alami. Apalagi jika mungkin yang akan disampaikan Noah adalah hal yang kurang mengenakkan."Pengobatan harus segera dilakukan. Bayi Ammy harus segera dilahirkan. Usianya sudah genap tujuh bulan artinya bayi itu akan bisa bertahan
Membaringkan tubuh Lenka, melepaskan pakaiannya satu per satu. Ia menyadari betapa gadis itu tampak semakin kurus saja.Menggantikan pakaiannya, ia seka tubuh polos itu dengan hati - hati seolah tubuh itu hiasan kaca yang mudah pecah. Ia menelpon dokter, setelah dokter memeriksanya memberikan obat, selesai. Dokter hanya bilang bahwa Lenka sedang stres berat dan butuh istirahat. Ia menungguinya dengan sabar. Berharap wanita itu akan bangun setelahnya. Lalu biarlah gadis itu memakinya, menamparnya atau meludahinya asal dia tidak pergi. Asal kata maaf tak lagi menjadi hal mustahil baginya.Stres berat? Seharusnya dia mengabaikan gadis itu, kenapa ia tidak pernah berpikir tentang seberapa rapuh gadis itu, ke mana saja dia selama ini?Yang ia tahu Lenka gadis kuat, yang tidak dengan mudah tumbang hanya dengan cinta seperti ini. Ia baru sadar seberapa berarti hadirnya untuk wanita itu.
Surai lurus sebahu itu tertiup angin sepoi senja. Bersamaan dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipinya, tak membawa apa pun kecuali baju yang menempel di tubuh dan boneka pinguin kecil di tangannya. Boneka pemberian kekasih yang katanya mengambarkan sebuah kesetian. Ia tersenyum miris, seperti inikah kesetiaan yang pria itu janjikan? Menuju sebuah rumah yang tak lagi asing baginya, ia tahu dulu tempat itu adalah rumahnya. Rumah yang saat ini hanya menjadi luka baginya.Memasukinya, derai air matanya semakin membajir tatkala menapakkan kakinya di lantai marmer meskipun baru sejengkal saja ia memijak.Rumah itu meninggalkan begitu banyak kenangan, di mana dulu sumber kehangatan dan kasih sayang berada di dalamnya. Dia tidak memiliki siapa - siapa sekarang.Ia menuju ruang tengah rumah itu, mendapati sebuah foto keluarga yang masih tersisa dan terpajang di dinding pucat. Menutup rapat mulutnya deng
Wanita itu menatap sengit kepada Jack. Menuntut sebuah pengakuan."Kau minta bukti bahwa dia putramu, kan? Aku sudah membuktikannya, apakah kau masih menyangkalnya?"Pria itu terduduk lemas, pandangannya nanar. Apa yang harus ia katakan pada istrinya? Menghirup napas dalam, tangannya meremas selembar kertas hasil tes DNA yang diberikan Evelyn beberapa menit lalu."Temui dia, Jack.""Kumohon, jangan sekarang, Eve."Ia memejamkan mata, menyugar rambut dan menjambaknya hingga terasa panas tarikan di kulit kepalanya."Ini bukan tentang kita, Jack. Ini tentang anak kita." Suara Evelyn terdengar tulus. Tapi pun sangat tak ingin ia dengar seandainya ia boleh memilih."Kenapa kau lakukan ini padaku, Eve? Saat kau memilih pergi, seharusnya kau tidak lagi kembali.""Kenyataan memaksaku kembali, Jack. Peter membutuhkanmu.""Lalu kau pikir
Rasa gusar bertahta paling tinggi melingkupi pikiran Jack. Evelyn benar-benar merusak segalanya. Ia menarik tangan Evelyn kuat-kuat, menyeretnya masuk ke mobil kemudian membawanya ke sebuah tempat. Tempat itu sangat sepi, tempat yang tak familiar bagi Evelyn karena pemandangan yang terlihat hanya tampak seperti hutan di sisi kiri kanan jalan.Iya menepikan mobilnya, menyeret tangan Evelyn kembali lalu mengentaknya kasar saat telah tiba di depan mobilnya sampai wanita itu telungkup di kap mobil tersebut, ia mendekat, manik mata mereka saling bertabrakan sarat permusuhan. Seandainya saja dia bukan wanita, pasti ia sudah menghajarnya. Tapi ini Evelyn Agraciana Forbes, wanita yang pernah mengukir sejarah indah bersamanya meski berujung pahit."Apa maumu, Eve?""Aku sudah bilang, ini semua demi Peter.""Buktikan siapa Peter, jika benar dia lahir dari benihku maka aku akan bertanggung jawab atas semu