Dereck mengusap kasar wajahnya. Ini adalah hari kelima pencarian yang dilakukan untuk menemukan ketiga marinirnya masih belum memiliki titik terang. Pulau tersebut cukup luas dan dalam serta memiliki banyak sela goa juga pepohonan tinggi nan lebat yang menutupi hampir sebagian pulau. Menyulitkan helikopter dan tim pencarian untuk menemukan titik keberadaan mereka.
"Lapor, Sir. Hampir di keseluruhan pulau ini telah kami lakukan penyisiran penuh. Dan hasilnya sangat disayangkan. Tak ada tanda kehidupan di dalam. Begitu juga dengan tim pencari, sudah banyak yang kelelahan. Banyak dari kami yang mengalami hipotermia.
"Dan beberapa yang mencapai ke bagian terdalamnya sejak hari pertama pencarian, hari ini baru bisa kembali itupun karena ditemukan tim kedua yang masuk. Mereka menga
Berada di New York selama tiga hari ini bukan membuat seorang Raven bisa dengan mudah melupakan semua kenangan tentang saudara laki-lakinya. Kembali ke rumah dalam keadaan berkabung justru semakin menempatkannya dalam duka yang mendalam.Tak hanya dia, juga ibu dan Angeline saudarinya. Seketika suasana rumah tak lagi sama. Persis saat mereka kehilangan kepala keluarga beberapa tahun silam. Dingin dan sepi. Bahkan acap kali Raven mendengar suara tangisan dari kamar adik perempuannya maupun sang ibu.Lantas di sinilah Raven sekarang. Melarikan diri dari kehampaan yang ia rasa. Berada di tengah kota metropolitan yang ramai pada malam hari sambil melihat jalanan yang padat. Tak lupa sekaleng bir yang baru saja ia beli dari mesin minuman untuk menemani kegundahannya malam ini.Hanya orang gila yang duduk di luar saat cuaca mendadak ekstrim, dan Raven adalah satu di antaranya— merenung di kursi taman yang terletak di bahu jalan dengan tatapan datar m
Alexia masih memandang bayangan dirinya di cermin. Tatapannya lusuh dengan wajah pucat serta mata yang hitam mencekung. Walau tak ada lagi isakan, tetap saja cairan asin itu mengalir di sela-sela pipinya. Mengalir di antara buliran air keran yang membasahi wajah.Sekali lagi. Lexy membasahi wajahnya dari air yang tertampung di wastafel kamar mandinya untuk menghilangkan jejak kesedihan itu. Sebelum akhirnya kembali melihat pantulan dirinya di kaca.Tidak, Daxon. Tidak. Tak semudah itu kau dapat meninggalkanku. Ini terlalu cepat untuk kisah cinta kita. Bukan ini akhir yang kuinginkan bila suatu saat nanti kau juga akan meninggalkanku. Tanpa salam perpisahan …. kau tega pergi begitu saja?Tak dapat membendung lagi segala gejolak di dada, Lexy mencelupkan wajahnya ke wastafel berisi air tadi lalu menjerit sekuat tenaga hingga tubuhnya mengejang. Satu-satunya hal yang dapat ia lakukan untuk melampiaskan segala emosinya. Tak mungkin ia meraung d
Honolulu, HawaiiSeminggu Kemudian ...Rasa dingin juga hampa masih terasa di hati Lexy di kala kini dirinya sedang menyaksikan bagaimana bundaran jingga itu kembali pada peraduannya. Di antara batas langit dan laut semuanya tenggelam bergantikan dengan guratan indah senja yang memesona. Bahkan kicauan burung pantai dan demburan ombak, serta hembusan sepoi angin harusnya mampu membuatnya terpana.Namun, semua itu seolah tak cukup. Tak ada yang benar-benar memenangkan hatinya sejauh ini. Mengalihkan barang sebentar pikirannya saja tak ada yang mampu. Hanya berpura-pura normal untuk tak terlalu dikhawatirkan, yang sebenarnya masih sangat rentan dan rapuh.Merasakan rintikan air di wajahnya, Lexy menengadah ke arah langit. Ternyata hujan mulai turu, akan tetapi dirinya enggan untuk kembali. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk merasakan air tersebut di telapak tangan, yang kemudian semakin lama semakin melebat.Dax, k
Malam yang panjang di New York. Menjadi kesempatan bagi Raven untuk mengungkapkan lamaran yang sudah disiapkannya sejak malam tahun baru lalu. Sesungguhnya ia tak pernah berniat ingin merebut Lexy dari siapapun, karena memang sejak awal saat ia melihat Lexy memasuki ruangan sang laksamana, pria tegar itu begitu terpanah.Masih jelas teringat dalam benaknya yang kini terbayang pada masa itu; bayangan seorang putri laksamana melangkah dengan elegan sambil menyambut riang sang ayah. Untaian surai coklat dengan senyum ceria dan pancaran wajah cantik Lexy sempat membuat jantung Raven berhenti berdetak selama beberapa detik.Sayangnya memang tak sedikitpun tatapannya mendapat balasan dari wanita yang melintas di depannya itu, dan seorang Raven tak pernah percaya bahwa cinta bisa merasuki dirinya yang selama ini selalu fokus akan tugasnya sebagai marinir. Tak terbesit sedikitpun bahwa ternyata sang putri telah membuatnya jatuh hati, tanpa harus mengenal wanita seperti apa Lex
Daxon bersama kedua orang bawahannya, bergegas turun dari kapal dengan segera menggunakan kapal boat kecil memutari pulau sampai setengahnya. Mereka turun dengan segala perlengkapan senjata di seragam lapangannya. Granat, pistol, senapan dan beberapa amunisi sebagai cadangan untuk berjaga-jaga.Walter memimpin jalan, memeriksa keadaan sejenak, sementara Daxon dan Diego menjaga di belakang dan sekitaran mereka berdiri saat ini. Gerakan isyarat dari tangan Walter memberikan tanda untuk mereka maju secara perlahan, akan tetapi baru beberapa langkah mereka mendekat, terdapat dua orang berseragam lain sedang bergurau melintas ke arah mereka.Lantas ketiganya berhenti sejenak, dan berpencar di balik pohon— masing-masing berdiri di satu pohon. Saling melirik dan kembali memberikan isyarat melalui ekor mata, dengan gerakan tangan. Diego keluar dari persembunyian
Daxon menahan napas dengan mata terpejam, jantungnya seketika terasa berhenti dan yang terbayang dalam benaknya adalah Lexy sedang tersenyum sambil mengucap kata cinta. I'm sorry, Sexy Lips. Aku gagal, batin Daxon. Hingga beberapa detik kemudian sesuatu yang berat menindih bahunya, membuat manik almond itu seketika terbuka, dan menatap Walter yang tergesa menghampirinya. "Kap, kau baik-baik saja?" tanya Walter cukup panik. Disusul dengan Diego yang ikut tergesa dengan kotak berisi virus mematikan di tangannya. "Hampir mati dalam beberapa detik yang lalu," kekeh Daxon bernapas lega, "thank you, Dude!" timpalnya meninju pelan dada Walter setelah menyingkirkan tubuh lawannya yang tumbang karena tembakan dari Walter tepat b
19.3 •• "He's back" Langit sudah mulai terang saat Daxon dan kedua temannya kembali melanjutkan perjalanan mereka menyusuri sungai— satu -satunya petunjuk agar mereka sampai ke arah pantai. Sekaligus dalam tahap pencarian sang ilmuwan yang hilang karena terbawa arus. Lama mereka mencari hingga akhirnya mereka menemukan sesuatu mengambang di pinggir sungai. Sepertinya itu sang ilmuwan yang mereka cari, akan tetapi ternyata hanya ransel wanita itu saja. Membuat Daxon mengumpat kesal dan berteriak kembali. Gara-gara peristiwa ini dirinya dan satu anggotanya juga harus cedera. Ia merasa gagal dalam tugasnya kali ini. "Kap, kita harus segera sampai ke pantai dan meminta bantuan untuk Diego. Cederanya lumayan fatal." Walter menekan luka Diego sebisanya, juga menyadarkan Daxon yang terlalu larut dalam emosinya.
Daxon menatap botol kapsul bening berisi cairan berwarna magenta. Menemukannya saat membuka lilitan luka di lengannya, ketika ia berada di pulau seberang. Ia mengira Gizelle dengan sengaja menawarkan diri mengobati lukanya, demi menyelipkan penawar virus pada lilitan tersebut. Bahkan wanita itu juga menempelkan secarik kertas pada botol kapsul itu. Terdapat sebuah nomor seorang wanita lengkap dengan namanya -Gabriella- yang diduga Daxon adalah nomor kakak Gizelle.Kembali memasukan cairan kapsul itu ke dalam saku mantelnya sambil bersandar pada perapian dengan pemikiran yang kalut.Dirinya kini berada di New York. Tepatnya di tempat rahasianya. Dimana ia diberikan waktu untuk berpikir sebelum mengambil pilihan yang sangat sulit. Mengingat kembali ucapan Dereck saat pagi, ia pamit meminta waktu untuk pulang. Ia diberikan izin dengan syarat tak ada yang boleh mengetahui dirinya hidup, beralasan demi keselamatannya yang mungkin masih menjadi incaran mafia ilegal karena me