Daxon menahan napas dengan mata terpejam, jantungnya seketika terasa berhenti dan yang terbayang dalam benaknya adalah Lexy sedang tersenyum sambil mengucap kata cinta.
I'm sorry, Sexy Lips. Aku gagal, batin Daxon.
Hingga beberapa detik kemudian sesuatu yang berat menindih bahunya, membuat manik almond itu seketika terbuka, dan menatap Walter yang tergesa menghampirinya.
"Kap, kau baik-baik saja?" tanya Walter cukup panik. Disusul dengan Diego yang ikut tergesa dengan kotak berisi virus mematikan di tangannya.
"Hampir mati dalam beberapa detik yang lalu," kekeh Daxon bernapas lega, "thank you, Dude!" timpalnya meninju pelan dada Walter setelah menyingkirkan tubuh lawannya yang tumbang karena tembakan dari Walter tepat b
19.3 •• "He's back" Langit sudah mulai terang saat Daxon dan kedua temannya kembali melanjutkan perjalanan mereka menyusuri sungai— satu -satunya petunjuk agar mereka sampai ke arah pantai. Sekaligus dalam tahap pencarian sang ilmuwan yang hilang karena terbawa arus. Lama mereka mencari hingga akhirnya mereka menemukan sesuatu mengambang di pinggir sungai. Sepertinya itu sang ilmuwan yang mereka cari, akan tetapi ternyata hanya ransel wanita itu saja. Membuat Daxon mengumpat kesal dan berteriak kembali. Gara-gara peristiwa ini dirinya dan satu anggotanya juga harus cedera. Ia merasa gagal dalam tugasnya kali ini. "Kap, kita harus segera sampai ke pantai dan meminta bantuan untuk Diego. Cederanya lumayan fatal." Walter menekan luka Diego sebisanya, juga menyadarkan Daxon yang terlalu larut dalam emosinya.
Daxon menatap botol kapsul bening berisi cairan berwarna magenta. Menemukannya saat membuka lilitan luka di lengannya, ketika ia berada di pulau seberang. Ia mengira Gizelle dengan sengaja menawarkan diri mengobati lukanya, demi menyelipkan penawar virus pada lilitan tersebut. Bahkan wanita itu juga menempelkan secarik kertas pada botol kapsul itu. Terdapat sebuah nomor seorang wanita lengkap dengan namanya -Gabriella- yang diduga Daxon adalah nomor kakak Gizelle.Kembali memasukan cairan kapsul itu ke dalam saku mantelnya sambil bersandar pada perapian dengan pemikiran yang kalut.Dirinya kini berada di New York. Tepatnya di tempat rahasianya. Dimana ia diberikan waktu untuk berpikir sebelum mengambil pilihan yang sangat sulit. Mengingat kembali ucapan Dereck saat pagi, ia pamit meminta waktu untuk pulang. Ia diberikan izin dengan syarat tak ada yang boleh mengetahui dirinya hidup, beralasan demi keselamatannya yang mungkin masih menjadi incaran mafia ilegal karena me
Daxon mengendarai mobilnya menuju kediaman D'Ryan. Setelah memutar kembali ingatannya. Ia dengan tergesa hendak menemui Lexy. Berharap wanita itu mengatakan semua hal yang ditutupi Dereck dan Raven. Dia tak mau menerka, apalagi berburuk sangka pada semuanya. Lebih baik ia memastikan semuanya walau pahit kenyataan yang akan diterimanya kelak.Berbekal rasa penasaran dengan tekad yang kuat. Kali ini Daxon berniat akan langsung memanjat balkon kamar Lexy. Mengingat waktu yang memungkinkan orang di dalam rumah itu sudah tertidur, ia berpikir akan sangat mengganggu maka dari itu Daxon berusaha tidak menimbulkan kegaduhan.Hingga dirinya kini sudah berhasil masuk ke pelataran rumah Lexy, tepatnya sudah berada di bawah balkon kamar wanitanya. Ia membuka tudung kepala dari hoddie yang digunakannya.Memerhatikan sekilas ke kiri dan kanan serta memikirkan cara memanjat balkon kamar di lantai dua tersebut, hingga akhirnya Daxon menemukan caranya. Ia bergegas menaiki pijaka
Sepeninggal Raven, Lexy kembali menghidupkan lampu nakasnya. Bersandar pada kepala ranjang dan mengeluarkan sebuah figura yang tadi ia sembunyikan. Sekali lagi Lexy memandang potret dirinya dan Daxon yang tampak tengah bahagia. Tak menyangka dalam waktu kurun sebentar semuanya sirna, dan yang tertinggal kini hanya sebatas kenangan. Bersama calon buah hati mereka yang merupakan bukti cinta keduanya. Tak ingin kembali bersedih, Lexy segera mendekap bingkai foto itu erat sambil merapalkan doa nya dalam hati. Berharap jika Daxon nya akan baik-baik saja di sana.Kemudian setelahnya ia meletakkan figura tersebut tepat di samping lampu tidur. Bersisian dengan dirinya agar selalu dapat melihat senyum hangat itu setiap waktu. "Hey Capt, Good night. I love you," ucapnya dengan bibir terkembang sebelum akhirnya merebahkan diri dan mematikan saklar lampu. Namun, saat menyamankan dirinya di kasur dan akan hendak menutup mata, suara gemuru
Setelah insiden dirinya hampir ketahuan oleh Lexy. Daxon mengalami sakit pada salah satu kakinya yang membuatnya harus berdiam selama tiga hari di secret escape-nya. Mengumpati kebodohannya yang lengah hingga selama tiga hari ini, ia terpaksa hanya memantau dari mobil saat wanitanya makan di ruang makan. Lantaran tak bisa memanjat balkon kamar Lexy, membuatnya hanya menatap bayangan yang terlihat sebelum wanita itu terlelap. Dalam sambungan teleponnya kini, ia mengatakan hal yang mungkin akan membuatnya harus segera bertindak, karena persiapannya telah selesai. "Baiklah, aku akan berangkat pagi - pagi sekali. Agar kita bisa bergerak dengan segera." "Thank you, Letnan." "Aku yang berterima kasih padamu. Inilah misi yang harus kulakukan untuk mendapatkan izin. Terima kasih kau mau bekerja sama denganku," ujar Daxon pada seseorang di sambungan teleponnya. "Baiklah, aku menunggu hasilnya." "Kuharap sesuai dengan
Bergelut di balik selimut dalam dekapan hangat membuat keduanya tak ingin tertidur malam ini. Mereka bahkan tak henti saling menyentuh dan mencumbu. Tersenyum dan terkekeh lagi, lalu mengenang kembali masa kebersamaan mereka serta menceritakan kegiatan yang dilakukan selagi mereka tak bertemu.Hingga waktu sudah menunjukkan pukul empat. Daxon tak ingin meninggalkan Lexy lagi, akan tetapi misinya harus ia selesaikan. Dirinya harus memiliki kekuatan untuk melawan ayah Lexy.Lantas Daxon bergerak dalam baringnya. Menyamping menghadap Lexy yang enggan melepaskan diri dari dekapannya— justru malah tetap bersandar pada dada liat miliknya, mendengarkan suara detak jantung yang berdebar sangat cepat.Lexy menyukai itu. Tempat ternyaman yang membuat ia merasa tenang hanya dengan mendengarkan suara detak jantung Daxon. Merasa itu sangat berharga lantaran pria itu sempat menghilang seakan mati dari hidupnya."Nana, aku ingin mengatakan hal penting
Setibanya di pangkalan Pearl Harbour. Daxon yang harusnya masih dalam pengasingan, mengabaikan perintah itu demi membalas misinya kemarin yang gagal.Kini semua persiapan telah matang. Kunci misi kali ini berada di tangannya. Tak ada satupun yang mungkin akan menentangnya. Perihal meyakini Dereck mungkin akan sulit, untuk itu ia sudah punya solusinya. Tentang Raven, ada hal lainnya juga yang akan ia bicarakan bersama sang kakak. Segera setelah tindakannya yang satu ini.Begitu memasuki markas besarnya. Daxon dengan percaya diri yang tinggi melewati lorong demi lorong menuju suatu ruangan yang akan ia datangi. Sepanjang dirinya melangkah, ia tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang terkejut akan hadirnya.Tak perlu menjelaskan tentang situasi dan kondisinya sekarang. Satu hal yang pasti; Daxon akan tetap berada di sini dan mengabdi pada negaranya. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi semata.Beberapa meter menuju satu ruangan berpintu ganda di d
"Turunkan jangkar!"Keadaan kapal induk yang baru saja tiba di titik perhentian seketika dilanda sibuk dan sedikit panik lantaran cuaca agak tidak mendukung.Intensitas hujan tidak terlalu, akan tetapi angin dan pasang gelombang patut harus diwaspadai.Daxon yang berdiri di ujung kapal dengan mantel dan teropongnya melihat ke arah pulau tak jauh di depan. Memerhatikan bahwa di tempat itu— lebih tepatnya di tepi pantai terdapat bangkai kapal yang di atasnya sudah berkumpul beberapa orang pria bersenjata. Bersama seorang wanita yang diikat di tiang besar dengan mulut dibekap kain. Sudah pasti sosok itu adalah Gizelle Quentin."Lapor, Kap. Kapal kecil kita sudah diturunkan. Kapten Penfolds sudah bersiap di atasnya bersama dua orang timnya. Siap menerima arahan," lapor salah seorang marinir pada Daxon."Perintah semua pasukan agar bersiap pada posisi masing-masing. Terutama operator di bagian senjata tempur dan penembak jitu."
Extra part Kehebohan di kediaman D'Ryan di Hawaii membuat suasana tengah malam sangat berisik. Suara gaduh langkah kaki Daxon terdengar seolah sedang terjadi perang dunia kedua. Bagaimana tidak? Daxon seketika terkena serangan panik saat dikabari mertuanya -Elizabeth- untuk segera pulang dari pangkalan agar membawa istrinya ke rumah sakit. Kehamilan Lexy yang sudah genap akan usia kandungan untuknya melahirkan, membuat si ibu mengalami kontraksi cukup kuat saat ini. Tentunya Dereck juga mengalami serangan panik yang sama dengan Daxon. Memaksa untuk ikut dalam perjalanan menuju rumah sakit membuat Daxon menyetir seperti orang gila di tengah gelapnya jalan yang sepi. "Dalmore cepat sedikit! Aku tak mau melahirkan di dalam mobil!" erang Lexy di tengah rintihan rasa mulas di perutnya sambil memegangi perut itu
Setelah mendapat pujian dari Dereck di depan seluruh timnya. Daxon juga mendapatkan sebuah peringatan mengerikan dari si penguasa lautan Hawaii tersebut. Masih terbayang dalam benaknya saat ini. Dereck yang secara tiba-tiba memberikan pelukan dan tepukan kuat di punggungnya itu, membisikkan sebuah peringatan keras. Bukan sebuah nada perintah. Melainkan ancaman dari seorang ayah yang memintanya untuk melakukan tanggung jawab serius pada putri kecilnya yang ternoda, akibat kelancangan Daxon yang berani menghamili sang putri. “Kuakui kau telah sukses dalam karir marinir, tetapi restuku ... masih belum kau dapatkan!” Seiring dengan pelukan Dereck yang terlepas, seketika itu juga Daxon membeku di tempatnya. Sementara Dereck kembali memasang wajah biasa, terlebih saat seorang bawahan mereka memint
_The end_Setelah kepergian Hakuri, Raven kembali mengulang kegiatan melepas borgolnya. Beruntung dirinya sempat menyembunyikan kuncinya tepat sebelum komplotan Hakuri tiba di ruangan tersebut. Kini dengan tergesa Raven mengintai dari celah yang ada di pintu, ia memicingkan matanya untuk melihat dengan jelas keadaan di luar. Keadaan langit kembali menggelap dan tak terlihat ada penjaga di manapun.“Great! Ini kesempatanku, ” ujar Raven.Raven menatap ke sekeliling ruangan yang minim penerangan. Ia mencari benda yang bisa mendongkrak pintu yang terkunci dari luar. Beberapa perkakas ditemukan dalam tumpukan benda tak berguna lainnya. Ia menemukan linggis panjang lalu tersenyum dengan wajah penuh harap.
Part 30.2 - Raven is savedMiami, Florida.Raven menggeram kesal untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa lama dirinya di sekap dan selalu disuntikkan obat tidur saat ia memberontak ingin melepaskan diri dari sana.Bangunan gudang yang dikelilingi tumpukan badan truk pengiriman barang itu, tampak asing bagi Raven yang sudah lama berada di perairan Hawaii. Dia tak bisa mendeskripsikan di mana dirinya saat ini, karena hanya itu yang sempat dilihat Raven saat sekali percobaannya melarikan diri berujung kesia-siaan. Kini bukan hanya tangannya yang diborgol dengan rantai, kakinya juga mengalami nasib sama.Namun, para mafia itu tak tahu jika Raven adalah kapten yang begitu akrab dengan rantai kapal. Walau menggunakan benda tersebut, dirinya memiliki banyak cara untuk lepas dari jeratan rantai, a
"Daxon, tolong aku …" Raven merangkak tak berdaya sambil memegang kaki adiknya. Pria gagah itu berlumur darah hingga pada bagian wajahnya. "Aku tertembak." DORRR! __ Daxon terbangun dari tidurnya ia memegangi dadanya dan meraba seluruh tubuh sambil mengecek kondisinya saat ini. Dengan napas terengah dan butiran bening yang mengucur di pelipisnya, Daxon menatap sekitar. Seluruh pasukan tengah bersiap untuk ke luar dari pesawat. Dengan nyawa yang masih setengah sadar, ia memutar memorinya pada bayangan yang baru saja terjadi dan terasa sangat panjang itu. Apa aku hanya bermimpi? “Hei, Kap. sudah bangun dari mimpimu?” sapa Diego. Menepuk punggung kaptennya yang masih terlihat bingung. “Kau terlihat gusar dan tersenyum di dalam tidurmu, apa kau bermimpi buruk lalu berakhir bahagia?” Kali ini Walter menyahut dengan sedikit ejekan, sambil menurunkan peralatannya. Daxon yang masih merasa aneh, tak
Tibalah waktu yang ditunggu. Waktu dimana dua hati akan saling menyatu di hadapan Tuhan. Tepat disaat senja, ketika matahari menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Bersamaan dengan bayang bulan sebagai saksi, dan lautan luas ikut melingkupi— sebagai pertanda jika cinta keduanya tak terselam sedalam samudera, serta langit jingga adalah simbol dari kasih tiada tara karena mencakup semesta.Sungguh suatu momen yang akan selalu dikenang keduanya di hari tua kelak. Dimana mereka berharap sampai akhir hayat nanti keduanya akan terus berdampingan, karena mereka percaya; apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, maka tak boleh dirusak oleh manusia, kecuali maut yang memisahkan dan campur tangan Yang Maha Esa tentunya.Apalagi pernikahan dua insan ini diadakan di sebuah kapal khusus angkatan militer laut. Di dekorasi sedemikian rupa hingga tampak ada perayaan suka cita di atasnya. Terutama di bagian dek paling atas kapal. Sebuah altar di ujung menghadap lautan luas sudah dib
Daxon menatap pantulan dirinya di depan cermin kamarnya. Merapikan penampilannya sejak setengah jam yang lalu. Mengalami kepanikan berlebih saat dirinya sudah siap dengan setelan jasnya. Ia justru menggantinya dengan yang lain, lalu menggantinya lagi dengan yang sebelumnya.Wajahnya memucat dengan butiran bening sebesar biji jagung bermunculan di sisi pelipis. Daxon sungguh gugup dan tak bisa tenang sebelum acara hari ini terlewati dengan lancar.Di ambang pintu telah berdiri Raven yang menyandarkan tubuhnya santai. Sang kakak bukannya segera membantunya bersiap, tetapi malah mengejeknya hanya dengan tatapan dan senyum menyebalkan yang sialnya malah membuat wajah tampan keturunan Rainer menguar."Berhenti menunjukan seringaian itu, Rav! Kau mirip dengan si kotak kuning di Bikini Bottom. Lebih baik kau bantu aku memilih jas," ujar Daxon menatap sang kakak dari pantulan cermin.Raven terkekeh dan beranjak dari posisinya mendekati Daxon yang sibuk membongkar
Daxon menyusuri koridor rumah sakit demi mempercepat langkahnya menuju ruangan dimana Raven dirawat. Kabar Raven telah tersadar dari koma, membuatnya bergegas melakukan penerbangan dari Hawaii menuju New York. Dirinya bahkan masih mengenakan seragam kemiliterannya, karena saat kabar tersebut diberitahukan, Letnan muda itu tengah melakukan bimbingan rutin pada para timnya. Segera ia pergi setelah mendapat izin dari sang laksamana, dan kini ia berhasil tiba di sana begitu cepat.Daxon yang baru saja tiba di ruangan tersebut, bergegas berhambur masuk dan berdiri di hadapan Raven. Samar-samar suara Raven terdengar sedang bicara dengan seseorang. Rupanya sudah terdapat Gizelle yang berada di sisi satunya dengan setia menjaga dan menemani Raven selama beberapa hari setelah insiden kedatangan Daxon yang membuat kegaduhan dengan membawa serta pasukannya.Setelah membicarakan segala penjelasan dengan cara baik-baik. Daxon dan Dereck akhirnya memahami Gabriella dan Gizelle, lalu
Bandar Udara Militer, New York. Tepat tengah malam ketika akhirnya pesawat khusus militer yang ditumpangi Daxon dan rombongannya itu mendarat di New York. Masih dalam cuaca yang dingin, mereka satu per satu keluar dan segera bergegas transit ke sebuah helikopter yang sudah siap sedia untuk mengudara mengantarkan ke tujuan selanjutnya. Terkecuali Lexy dan ibunya. Daxon mengantar kekasih dan calon ibu mertuanya itu ke sebuah mini van yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Lebih tepatnya ke rumah keluarga Rainer, karena lebih baik mereka semua berkumpul bersama sekarang. Sembari menunggu kabar dari Daxon dan Dereck juga timnya yang akan segera kembali beroperasi dalam pencarian Raven. Setidaknya mereka bisa saling menguatkan dan menjaga satu sama lain. "Dax, berjanjilah kau akan baik-baik saja. Aku akan mendoakan kalian agar berhasil menemukan Raven. Kabari aku secepatnya, okay?" Lexy memeluk erat Daxon di depan pintu mobil yang akan m