"Turunkan jangkar!"
Keadaan kapal induk yang baru saja tiba di titik perhentian seketika dilanda sibuk dan sedikit panik lantaran cuaca agak tidak mendukung.
Intensitas hujan tidak terlalu, akan tetapi angin dan pasang gelombang patut harus diwaspadai.
Daxon yang berdiri di ujung kapal dengan mantel dan teropongnya melihat ke arah pulau tak jauh di depan. Memerhatikan bahwa di tempat itu— lebih tepatnya di tepi pantai terdapat bangkai kapal yang di atasnya sudah berkumpul beberapa orang pria bersenjata. Bersama seorang wanita yang diikat di tiang besar dengan mulut dibekap kain. Sudah pasti sosok itu adalah Gizelle Quentin.
"Lapor, Kap. Kapal kecil kita sudah diturunkan. Kapten Penfolds sudah bersiap di atasnya bersama dua orang timnya. Siap menerima arahan," lapor salah seorang marinir pada Daxon.
"Perintah semua pasukan agar bersiap pada posisi masing-masing. Terutama operator di bagian senjata tempur dan penembak jitu."
Setibanya di kapal induk Daxon langsung menuju pusat kendali, dimana seluruh serangan dilakukan oleh awak kapalnya. Dia memaki seluruh tim kapalnya yang tak menyerang pasukan jepang sampai tuntas."Apa yang kalian lakukan hingga tak melihat lawan masih bisa melakukan serangan balik?!" tukas Daxon membuat seluruh timnya tertunduk dalam diam."Anyone can answer my simple question?! Siapa yang meminta kalian menghentikan serangan?!" sergah Daxon menatap tajam satu persatu seluruh awak kapalnya. "Walter! Apa yang kau lakukan di balik layar monitormu?!" tanyanya kembali menukas."Siap, Sir. Aku melakukan semuanya sesuai intruksimu untuk melepaskan amunisi serangan di saat kapten Penfolds berhasil menjauh," jawab Walter."Lalu apa kau tak melihat lawan yang masih bisa menyiapkan amunisi untuk melakukan perlawanan?""Maafkan aku, Sir. Aku tak melihat.""Diego apa yang kau lakukan saat keadaan asap tebal menutupi penglihat
Pangkalan Angkatan Laut - Navy Seal team 1Dalam pekatnya kabut malam— dengan jarak pandang yang terbatas, Lexy menunggu dengan penuh harap seraya dirinya mengawasi lautan yang terbentang luas di hadapan.Hanya satu inginnya, yaitu dapat melihat Daxon kembali, dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat dan terjadi kemarin bukanlah semata delusi serta halusinasi. Daxonnya benar ada dan nyata. Walau sang ibu tak memercayainya, tetapi tekad Lexy lebih kuat. Lantas akhirnya dia memaksa ibunya untuk menemaninya segera ke Hawaii dan memastikan jelas, jika berita itu benar.Begitu siluet sebuah kapal raksasa terlihat dari kejauhan, tak dipungkiri Lexy jika dirinya kini semakin resah. Firasatnya tak baik, akan tetapi sebanding dengan harapannya yang tinggi. Yakin bila Daxonnya pasti selamat.Hingga akhirnya kapal induk itu merapat, dengan tak sabar Lexy mendekat untuk mencari sosok yang ia cari— rupanya sedang berjalan ke arahnya.
Harusnya ini jadi momentum kesuksesan mereka karena telah berhasil melaksanakan misi. Tetapi nyatanya tak sebesar ekspetasi ketika kembali pulang.Dereck tahu segala resiko yang akan dihadapi bagi seorang angkatan militer bila sudah masuk dalam arena perang. Nyawa pasti menjadi taruhan, tapi membayangkan jika itu adalah Raven—rasanya sekali lagi ia seperti kehilangan sosok yang berharga dalam hidupnya. Ditinggal untuk kedua kali, sementara yang lalu saja sepertinya belum ia terima.Wajah tanpa ekspresi dan pikiran yang entah melayang kemana, menatap dengan sorot mata kosong pada sebingkai figura kecil yang tergeletak di atas meja kebesarannya. Sosok dirinya dan pemuda yang baru beberapa jam lalu masih dilihatnya. Tersenyum bangga ke arah kamera dengan seragam putih kebanggaan mereka. Rasanya momen tersebut baru saja terjadi kemarin, dan pria muda disampingnya itu sehari sebelumnya masih menghabiskan waktu dengannya.Namun, sekarang ... apakah a
Begitu badai berlalu semua pasukan pangkalan Pearl Harbour sengaja dikumpulkan dan diunjuk dari masing-masing divisi untuk mewakilkan dalam squad pencarian khusus. Tak tanggung-tanggung, bagian pasukan elit pun diterjunkan untuk menangani kasus sabotase di wilayah perairan tersebut.Selain dalam misi pencarian seorang Letnan yang hilang, fokus lainnya juga pada orang asing yang mereka anggap teroris karena sudah berani melanggar batas teritorial dan mengadakan perbuatan ilegal. Sindikat semacam itu harus segera mereka basmi karena sudah mengancam keselamatan dan keamanan negara.Maka dari itu, Dereck selaku pemimpin tertinggi di angkatan laut tersebut menitahkan perintahnya agar segera mengusut tuntas kasus tersebut sampai ke akar-akarnya. Dia sendiri juga ikut serta dalam misi kali ini. Terutama mengawasi setiap perkembangan yang di dapat dalam pencarian putra mendiang sahabatnya.Lantas di hari ketiga ini dia kembali menunggu hasil laporan, sam
Daxon merebahkan tubuhnya sambil mendongakan kepalanya ke sandaran di sofa. Selagi menunggu Lexy membawakannya air minum, ia menatap langit-langit kediaman D'Ryan di Hawaii.Dirinya sangat lelah selama seminggu ini ia dan Dereck berusaha mencari Raven dengan segala cara yang hanya kegagalan didapatkan mereka. Putus asa bukanlah jiwa seorang Daxon. Ia masih belum puas melakukan pencarian Raven selagi bukti fisik sang kakak belum ditemukan. Daxon juga sangat yakin kakaknya yang tangguh, tak akan semudah itu dikalahkan lautan. Mengingat hidup mereka sejak kecil sudah mengenal lautan dengan sangat baik."Minumlah, Dalmore. Aku sudah membuatkan dua cangkir teh hangat untukmu dan dad. Makanan juga sebentar lagi selesai," ujar Lexy membawa secangkir teh karena satu cangkir lagi sudah diberikan kepada sang ayah yang menyusul ibunya di dapur."Thank you, Nana." Daxon menerima dan menyeruputnya pelan."Bagaimana penyelamatan kalian kali ini. Sudah
Daxon bergerak dalam tidurnya saat cahaya di luar samar-samar menyelinap ke dalam kamar melalui tirai putih yang menutupi jendela. Ia menatap wajah lelap Lexy yang sungguh seperti malaikat baginya. Cukup lama ia menatap cantik alami wanitanya. Hingga dalam beberapa detik Daxon menatap Lexy. Wanita itu mulai melakukan pergerakan kecil, dan perlahan membuka kedua lentik kelopak matanya."Morning, Princess," sapa Daxon tersenyum hangatWajah Nana-nya saat baru bangun tidur begitu ia rindukan sejak terakhir mereka bermalam di tempat ski saat kencan pertama. Setelahnya mereka hanya melakukan perjalanan kencan biasa, bahkan beberapa pertengkaran kecil yang menghiasi kisah cinta mereka."Morning, My Prince Dalmore." Lexy membalas diiringi senyuman tipis di bibirnya. Membuat Daxon tak tahan dan segera mendaratkan bibirnya pada bibir Lexy."Morning kiss," ujarnya setelah melepas pagutan tersebut.Setelahnya mereka ters
"Holy shit!" Daxon mengumpat begitu keras mendapati ban mobilnya kempis di tengah perjalanan menuju pangkalan. Hal itu tentu mengejutkan seorang Dereck yang masih berada di jok penumpang— melihat heran kepada Daxon yang tampak frustrasi sambil menendang ban mobil kiri depannya berulang kali seperti orang gila. "Apa yang terjadi?" teriak Dereck seraya mengeluarkan sebagian kepalanya dari jendela. Daxon tidak menjawab, tetapi pria muda itu justru bergerak nekat ke tengah jalan raya. Memberhentikan salah satu pengendara mobil yang lewat dengan paksa dan bernada penuh ancaman. "What the hell, Daxon!" Dereck lantas keluar terburu-buru menghampiri calon menantunya itu yang tampak bertindak arogan dengan penduduk sipil. "Go out!" todong Daxon seraya menunjukkan Dereck yang berseragam agar penumpang mobil itu takut dan dengan mudah menyerahkan kendaraannya. Hampir seluruh penduduk Hawaii pasti tahu siapa sosok Dereck.
Bandar Udara Militer, New York. Tepat tengah malam ketika akhirnya pesawat khusus militer yang ditumpangi Daxon dan rombongannya itu mendarat di New York. Masih dalam cuaca yang dingin, mereka satu per satu keluar dan segera bergegas transit ke sebuah helikopter yang sudah siap sedia untuk mengudara mengantarkan ke tujuan selanjutnya. Terkecuali Lexy dan ibunya. Daxon mengantar kekasih dan calon ibu mertuanya itu ke sebuah mini van yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Lebih tepatnya ke rumah keluarga Rainer, karena lebih baik mereka semua berkumpul bersama sekarang. Sembari menunggu kabar dari Daxon dan Dereck juga timnya yang akan segera kembali beroperasi dalam pencarian Raven. Setidaknya mereka bisa saling menguatkan dan menjaga satu sama lain. "Dax, berjanjilah kau akan baik-baik saja. Aku akan mendoakan kalian agar berhasil menemukan Raven. Kabari aku secepatnya, okay?" Lexy memeluk erat Daxon di depan pintu mobil yang akan m
Extra part Kehebohan di kediaman D'Ryan di Hawaii membuat suasana tengah malam sangat berisik. Suara gaduh langkah kaki Daxon terdengar seolah sedang terjadi perang dunia kedua. Bagaimana tidak? Daxon seketika terkena serangan panik saat dikabari mertuanya -Elizabeth- untuk segera pulang dari pangkalan agar membawa istrinya ke rumah sakit. Kehamilan Lexy yang sudah genap akan usia kandungan untuknya melahirkan, membuat si ibu mengalami kontraksi cukup kuat saat ini. Tentunya Dereck juga mengalami serangan panik yang sama dengan Daxon. Memaksa untuk ikut dalam perjalanan menuju rumah sakit membuat Daxon menyetir seperti orang gila di tengah gelapnya jalan yang sepi. "Dalmore cepat sedikit! Aku tak mau melahirkan di dalam mobil!" erang Lexy di tengah rintihan rasa mulas di perutnya sambil memegangi perut itu
Setelah mendapat pujian dari Dereck di depan seluruh timnya. Daxon juga mendapatkan sebuah peringatan mengerikan dari si penguasa lautan Hawaii tersebut. Masih terbayang dalam benaknya saat ini. Dereck yang secara tiba-tiba memberikan pelukan dan tepukan kuat di punggungnya itu, membisikkan sebuah peringatan keras. Bukan sebuah nada perintah. Melainkan ancaman dari seorang ayah yang memintanya untuk melakukan tanggung jawab serius pada putri kecilnya yang ternoda, akibat kelancangan Daxon yang berani menghamili sang putri. “Kuakui kau telah sukses dalam karir marinir, tetapi restuku ... masih belum kau dapatkan!” Seiring dengan pelukan Dereck yang terlepas, seketika itu juga Daxon membeku di tempatnya. Sementara Dereck kembali memasang wajah biasa, terlebih saat seorang bawahan mereka memint
_The end_Setelah kepergian Hakuri, Raven kembali mengulang kegiatan melepas borgolnya. Beruntung dirinya sempat menyembunyikan kuncinya tepat sebelum komplotan Hakuri tiba di ruangan tersebut. Kini dengan tergesa Raven mengintai dari celah yang ada di pintu, ia memicingkan matanya untuk melihat dengan jelas keadaan di luar. Keadaan langit kembali menggelap dan tak terlihat ada penjaga di manapun.“Great! Ini kesempatanku, ” ujar Raven.Raven menatap ke sekeliling ruangan yang minim penerangan. Ia mencari benda yang bisa mendongkrak pintu yang terkunci dari luar. Beberapa perkakas ditemukan dalam tumpukan benda tak berguna lainnya. Ia menemukan linggis panjang lalu tersenyum dengan wajah penuh harap.
Part 30.2 - Raven is savedMiami, Florida.Raven menggeram kesal untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa lama dirinya di sekap dan selalu disuntikkan obat tidur saat ia memberontak ingin melepaskan diri dari sana.Bangunan gudang yang dikelilingi tumpukan badan truk pengiriman barang itu, tampak asing bagi Raven yang sudah lama berada di perairan Hawaii. Dia tak bisa mendeskripsikan di mana dirinya saat ini, karena hanya itu yang sempat dilihat Raven saat sekali percobaannya melarikan diri berujung kesia-siaan. Kini bukan hanya tangannya yang diborgol dengan rantai, kakinya juga mengalami nasib sama.Namun, para mafia itu tak tahu jika Raven adalah kapten yang begitu akrab dengan rantai kapal. Walau menggunakan benda tersebut, dirinya memiliki banyak cara untuk lepas dari jeratan rantai, a
"Daxon, tolong aku …" Raven merangkak tak berdaya sambil memegang kaki adiknya. Pria gagah itu berlumur darah hingga pada bagian wajahnya. "Aku tertembak." DORRR! __ Daxon terbangun dari tidurnya ia memegangi dadanya dan meraba seluruh tubuh sambil mengecek kondisinya saat ini. Dengan napas terengah dan butiran bening yang mengucur di pelipisnya, Daxon menatap sekitar. Seluruh pasukan tengah bersiap untuk ke luar dari pesawat. Dengan nyawa yang masih setengah sadar, ia memutar memorinya pada bayangan yang baru saja terjadi dan terasa sangat panjang itu. Apa aku hanya bermimpi? “Hei, Kap. sudah bangun dari mimpimu?” sapa Diego. Menepuk punggung kaptennya yang masih terlihat bingung. “Kau terlihat gusar dan tersenyum di dalam tidurmu, apa kau bermimpi buruk lalu berakhir bahagia?” Kali ini Walter menyahut dengan sedikit ejekan, sambil menurunkan peralatannya. Daxon yang masih merasa aneh, tak
Tibalah waktu yang ditunggu. Waktu dimana dua hati akan saling menyatu di hadapan Tuhan. Tepat disaat senja, ketika matahari menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Bersamaan dengan bayang bulan sebagai saksi, dan lautan luas ikut melingkupi— sebagai pertanda jika cinta keduanya tak terselam sedalam samudera, serta langit jingga adalah simbol dari kasih tiada tara karena mencakup semesta.Sungguh suatu momen yang akan selalu dikenang keduanya di hari tua kelak. Dimana mereka berharap sampai akhir hayat nanti keduanya akan terus berdampingan, karena mereka percaya; apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, maka tak boleh dirusak oleh manusia, kecuali maut yang memisahkan dan campur tangan Yang Maha Esa tentunya.Apalagi pernikahan dua insan ini diadakan di sebuah kapal khusus angkatan militer laut. Di dekorasi sedemikian rupa hingga tampak ada perayaan suka cita di atasnya. Terutama di bagian dek paling atas kapal. Sebuah altar di ujung menghadap lautan luas sudah dib
Daxon menatap pantulan dirinya di depan cermin kamarnya. Merapikan penampilannya sejak setengah jam yang lalu. Mengalami kepanikan berlebih saat dirinya sudah siap dengan setelan jasnya. Ia justru menggantinya dengan yang lain, lalu menggantinya lagi dengan yang sebelumnya.Wajahnya memucat dengan butiran bening sebesar biji jagung bermunculan di sisi pelipis. Daxon sungguh gugup dan tak bisa tenang sebelum acara hari ini terlewati dengan lancar.Di ambang pintu telah berdiri Raven yang menyandarkan tubuhnya santai. Sang kakak bukannya segera membantunya bersiap, tetapi malah mengejeknya hanya dengan tatapan dan senyum menyebalkan yang sialnya malah membuat wajah tampan keturunan Rainer menguar."Berhenti menunjukan seringaian itu, Rav! Kau mirip dengan si kotak kuning di Bikini Bottom. Lebih baik kau bantu aku memilih jas," ujar Daxon menatap sang kakak dari pantulan cermin.Raven terkekeh dan beranjak dari posisinya mendekati Daxon yang sibuk membongkar
Daxon menyusuri koridor rumah sakit demi mempercepat langkahnya menuju ruangan dimana Raven dirawat. Kabar Raven telah tersadar dari koma, membuatnya bergegas melakukan penerbangan dari Hawaii menuju New York. Dirinya bahkan masih mengenakan seragam kemiliterannya, karena saat kabar tersebut diberitahukan, Letnan muda itu tengah melakukan bimbingan rutin pada para timnya. Segera ia pergi setelah mendapat izin dari sang laksamana, dan kini ia berhasil tiba di sana begitu cepat.Daxon yang baru saja tiba di ruangan tersebut, bergegas berhambur masuk dan berdiri di hadapan Raven. Samar-samar suara Raven terdengar sedang bicara dengan seseorang. Rupanya sudah terdapat Gizelle yang berada di sisi satunya dengan setia menjaga dan menemani Raven selama beberapa hari setelah insiden kedatangan Daxon yang membuat kegaduhan dengan membawa serta pasukannya.Setelah membicarakan segala penjelasan dengan cara baik-baik. Daxon dan Dereck akhirnya memahami Gabriella dan Gizelle, lalu
Bandar Udara Militer, New York. Tepat tengah malam ketika akhirnya pesawat khusus militer yang ditumpangi Daxon dan rombongannya itu mendarat di New York. Masih dalam cuaca yang dingin, mereka satu per satu keluar dan segera bergegas transit ke sebuah helikopter yang sudah siap sedia untuk mengudara mengantarkan ke tujuan selanjutnya. Terkecuali Lexy dan ibunya. Daxon mengantar kekasih dan calon ibu mertuanya itu ke sebuah mini van yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Lebih tepatnya ke rumah keluarga Rainer, karena lebih baik mereka semua berkumpul bersama sekarang. Sembari menunggu kabar dari Daxon dan Dereck juga timnya yang akan segera kembali beroperasi dalam pencarian Raven. Setidaknya mereka bisa saling menguatkan dan menjaga satu sama lain. "Dax, berjanjilah kau akan baik-baik saja. Aku akan mendoakan kalian agar berhasil menemukan Raven. Kabari aku secepatnya, okay?" Lexy memeluk erat Daxon di depan pintu mobil yang akan m