Home / Romansa / Sketsa Hujan / 2: Rindu Masa Lalu

Share

2: Rindu Masa Lalu

Perempuan itu bernama Aksa, Aksara Sendja Nirmala lengkapnya. Ia telah lama menjadi sahabat karib Bima, Bimasena Langit Permana. Persahabatan mereka telah terjalin sejak SMA dan berlanjut hingga mereka berada di kampus yang sama dan organisasi kemahasiswaan yang sama yang bergerak di bidang penulisan dan jurnalistik.

Telah lama menjalin sahabat dan saling mengetahui baik-buruknya masing-masing, membuat keduanya nyaman untuk saling berbagi, entah itu masalah ataupun kebahagiaan. Tak jarang, keduanya juga seperti tikus dan kucing yang selalu bertengkar namun selalu berbaikan meski tanpa ada kata maaf dan saling memaafkan.

Persahabatan mereka memang terlihat cukup manis di mata teman-teman yang menjadi saksi bagaimana mereka saling bergantung satu sama lain. Meski mereka berbeda jurusan, Aksa mengambil Sastra Indonesia dan Bima mengambil jurusan Hukum, namun dapat dipastikan di sela kosong jadwal kuliah ataupun istirahat siang, mereka akan saling menghampiri satu sama lain. Terlebih ketika di UKM, di mana ada Aksa, di situ pasti ada Bima. Begitu mereka saling melengkapi dan tak jarang membuat banyak mata iri juga mendukung mereka untuk jadian.

"Nggak, ah, sudah mati rasa sama dia," kilah Aksa diikuti tawa suatu saat ketika ada yang menggodanya untuk meresmikan persabahatannya ke jenjang yang lebih membahagiakan, jadian. Perasaannya untuk Bima memang hanya sebatas rasa kepada sahabat belaka, tidak lebih. Terlebih lagi, ada nama yang telah mengisi hatinya sejak lama, pun Bima juga telah memiliki kekasih yang juga dikenal oleh Aksa.

Tapi, sejak melewatkan hujan pertama bersama Bima beberapa waktu yang lalu, Aksa merasakan ada getaran lain yang menghuni dadanya kala mengingat Bima. Juga, ketika ia tak sengaja bertemu pandang dengan Bima. Mendadak ia jadi salting dan deg-degan. Ada perasaan aneh yang ia rasakan. Perasaan yang hampir sama ketika ia mengingat nama yang hampir sama pula dengan Bima.

"Kenapa mukamu begitu? Lapar?" Sapa Bima ketika mendapati Aksa dengan muka ditekut nan kusut di suatu siang di taman UKM. Di depan teras UKM ini, ada sebuah pohon dengan batang yang lumayan besar

Tampaknya usianya sudah puluhan tahun. Nah, di nawah pohon itulah anak-anak UKM menyulapnya menjadi 'Teras Galau', lengkap dengam gazebo kecil, taman ala kadarnya, dan pemandangan danau buatan di depannya yang membuatnya tampak sempurna menjadi pelabuhan orang-orang galau.

Aksara yang tengah duduk di gazebo Teras Galau terpaku memandang permukaan danau yang menghijau tertutupi lumut dan tetumbuhan air.

Ia sama sekali mengabaikan pertanyaan Bima sebelumnya. Kesal dicuekin, Bimapun balas diam dan memainkan ponselnya.

"Wah, mantab, nih. Bakso Semarang kayaknya enak, nih, siang-siang," pancing Bima dengan suara yang sengaja dikeraskan. Berharap muka tertekuk di depannya terpancing sebab bakso di Jalan Semarang merupakan salah satu kuliner favorit mereka yang tidak pernah seharipun terlewatkan. Dan, kailpun bersambut. Pemilik muka tertekuk itu sedikit berubah air mukanya.

"Sekarang?" tanyanya tampak ragu.

"Emang siapa yang mau ngajakin kamu? Orang aku ngomong sendiri" goda Bima dengan tampang jailnya yang khas.

Mendapati itu, punggung Bimapun menjadi sasaran tinju kecil yang beruntun. Akhirnya keduanya bisa tertawa. Bima lega, muka tertekuk itu telah sirna.

"Nggak pengen cerita?" Selidik Bima seraya memandang sahabatnya penuh perhatian. Tampang jail yang semula ia munculkan mendadak lenyap pula. Jika sudah begitu, maka Aksa tidak lagi bisa mengelak untuk mengabaikan perhatian kecil itu. Ia pun membeberkan penyebabnya bad mood siang itu.

"Aku ketemu dia," ucap Aksa singkat. Wajahnya kembali terlihat suntuk.

"Siapa?"

"Ya, dia. Nyebelin pokoknya, ah!" Sebuah batu kecil berhasil terlempar ke danau, bersamaan dengan umpatan dan sumpah serapah bentuk luapan kekesalan dari Aksara. Jika sudah begitu, barulah Bima paham siapa yang dimaksud.

"Oh, anak FE itu? Ketemu di mana, sih?"

"Di kantin FE, dia sama cewek. Padahal aku uda berbaik hati pasang tampang mau nyapa dia. Eh, dia melengos gitu pas mata kita bertemu. Ah, bete-bete-bete-bete!" Beberapa kerikil berukuran sedang terlempar dengan sempurna ke tengan danau kecil dan terdengar menciptakan bunyi kecipak air.

"Kamu kenapa, sih, masih aja mengingat-ingat dia? Move on-lah. Mau sampai berapa tahun lagi kamu setia dengan perasaanmu sendiri?"

"Nggak semudah itu melupakan cinta pertama. Kamu enak, cinta pertamamu jadi pacarmu sampai sekarang. Nah, aku? Hilang sebelum tergenggam. Dan, sialnya, ketika sudah hilang itu aku baru sadar kalau aku begitu mencintainya" ucapan Aksara dibarengi dengan matanya yang sempat berkaca-kaca untuk sesaat. Tak ingin membuat suasana siang itu menjadi sendu, Bima buru-buru mengalihkan perhatian Aksa.

"Bakso Semarang aja, yuk. Ntar, aku pesan baksonya, kamu pesan sambalnya saja biar emosimu terbalaskan" celetuk Bima diiringi sedikit tawa dan lirikan jahil. Kembali tinju kecil menghantam pundaknya. Plus, bonus timpukan diktat melayang di kepalanya hingga menimbulkan suara 'aaww' dari Bima karena tak sempat menghindar. Segera mereka beranjak meninggalkan Teras Galau untuk menuju ke tempat jualan bakso yang terletak di Jalan Semarang.

Sesampainya di sana dengan berjalan kaki, selalu seperti biasa, tempat itu telah dipenuhi calon pembeli yang telah berjejal mengantre. Tak hanya mahasiswa, tapi beberapa pengguna mobil mewah bertampang oriental juga rela ikut berjejal. Sebenarnya tempat bakso itu berada bisa dikatakan 'tidak layak'. Tempatnya jualan itu berada di pinggiran kali, tepatnya di emperan pos ronda.

Tidak ada tempat khusus untuk pembeli makan di tempat. Hanya ada beberapa kursi plastik yang disediakan secara sembarangan untuk bisa dijadikan sebagai meja untuk menaruh mangkok panas berisi bakso. Selanjutnya, pantat bisa lesehan di mana saja, yang jelas sama-sama di atas permukaan bumi tanpa alas. Ya, bahkan tikarpun tak ada!

Meski begitu, yang membuat semua kepala selalu dipenuhi rasa heran adalah tempat itu dengan konsep ala kadarnya yang jauh dari warung bakso seperti pada umumnya, setiap harinya justru tak pernah sepi pembeli.

"Bim, Bim, kenapa ya bakso ini selalu rame? Bahkan orang-orang tajir itu rela ngantri berpanas-panasan cuma buat beli bakso ini. Padahal kan ada juga bakso lain yang lebih terkenal enak dan tempatnya juga lumayan bagus," tanya Aksa di sela kesibukan mereka menikmati bakso dengan aroma kuah yang menyembul menggugah selera.

"Ya, kamu tanya aja ke kamu sendiri, kenapa kamu juga mau makan di sini. Sementara selagi kamu makan, kamu pun bisa menikmati pemandangan g****s di bawah sana" timpal Bima ditutup dengan tawa.

"Bimaaa! Kamu mau aku hajar dan berakhir bersama sampah-sampah itu juga? Hah?"

Kesal dengan godaan Bima yang dianggapnya tidak lucu, Aksa diam dan lanjut menikmati baksonya. Tentunya, ia mengabaikan pemandangan sungai yang hampir surut airnya dan lebih dipenuhi aneka rupa sampah yang terletak tepat di bawah ia duduk. Sekitar 8-10 meteran dari atas ke dasar sungai.

"Udah kenyang, jadi nggak bete lagi, kan? Lanjutin proposal, yuk," ajak Bisma ketika mereka telah berada di perjalanan menuju ke UKM.

"Kenyang, sih. Tapi tetap bete," jawab Aksa cuek.

"Lahh, nggak guna dong aku nraktir kamu bakso tadi. Sial."

"Jadi kamu nggak ikhlas, nih aku muntahin lagi," tubuh Aksa membungkuk berpura-pura hendak muntah, tapi keburu kepalanya ditimpuk Bima. Merekapun kembali larut dalam tawa. Sementara dari jauh tempat mereka berjalan dan tertawa, ada sepasang mata yang tak lepas memerhatikan kebersamaan mereka. Mata itu tertuju pada sosok perempuan yang akhirnya bisa melepas tawa kembali. Ada gurat maaf yang tertahan di balik sorot mata yang tak lepas mengamati punggung Aksa dari kejauhan.

•••

Aksa sudah sampai di kostnya dengan diantar Bima. Sebenarnya Bima berniat mengajak Aksa untuk menyelesaikan proposal dan beberapa persiapan pameran buku. Tapi sepertinya mood sahabatnya belum bisa diajak untuk bekerja. Jadilah ia memulangkannya ke kost-an. Itu lebih baik, pikir Bima.

Tak lupa, Bima singgah sebentar dan memastikannya untuk tidak lagi memikirkan pemandangan tak mengenakkan yang baru saja dilihat Aksa.

"Awas kalau bete-bete lagi. Nggak ada aku, nggak bakalan ada yang ngasih makan kalau habis bete terus kelaparan terus mati," ultimatum Bima sebelum meninggalkan kost-an Aksa. Sementara yang diberi peringatan hanya mengangguk, tanpa berniat untuk menepati anggukannya ataupun menimpali candaan Bima.

Aksa melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Sementara pikirannya telah jauh berkelana memungut kembali ingatan siang tadi. Di dalam hati Aksa, momen pertemuanya dengan lelaki di kantin Fakultas Ekonomi itu masih begitu membekas.

Ada rasa getir di sana, juga kecewa, bahkan rindu yang beradu menjadi satu. Lelaki itu adalah lelaki yang telah merebut hatinya untuk pertama kalinya. Cinta pertamanya. Lelaki yang juga pernah menjadi sahabatnya dari kecil, semasa ia SMP. Lelaki yang selalu ada kapanpun di saat ia membutuhkan bantuan atau dalam kesulitan. Dialah lelaki yang juga menempati porsi yang sama istimewanya dengan sahabatnya kini dan bahkan juga memiliki nama yang hampir mirip. Lelaki itu bernama Bhisma. Bhisma Dewantara.

Drrrt..drrrt..drrt... Ponsel keluaran China milik Aksa bergetar seraya memunculkan nada dering klasik sejuta umat. Kontan membuyarkan lamunan Aksara seketika. Perempuan itu beranjak dari tempatnya rebahan, menuju meja belajarnya. Meraih ponselnya. Baru saja ia hendak mengucap hallo, panggilan tersebut telah ditutup lebih dulu. Aksa menggerutu dalam hati. Merasa waktunya telah direnggut sia-sia.

•••

Lelaki itu mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana. Pergulatan dilema di dalam hatinya akhirnya memutuskan untuknya mengakhiri sebuah panggilan ke masa lalu.

Aku cuma pengen minta maaf dan mendengar suaramu, Ra, ucap sanubari lelaki itu kepada dirinya sendiri. Lelaki itu mengingat betul perempuan yang dilihatnya di kantin fakultasnya siang tadi. Perempuan yang telah merebut perhatiannya sebagai lelaki kecil yang duduk di bangku Sekolah Dasar di masa silam. Hingga kini, perempuan itu masih menjadi boneka dolphin yang ia jaga dan simpan baik-baik di tempat yang berharga. Sebab ia tak ingin merusak boneka dolphin yang teramat begitu ia sayangi.

Dalam hatinya, ia teramat menahan rindu kepada perempuan itu. Namun, ia tahu, terkadang rindu memang hanya untuk disimpan saja, tidak untuk diungkapkan. Ditambah lagi, perasaan takut dan juga kecewanya kepada orang yang sama juga tak kalah besar. Hingga akhirnya ia hanya bisa mengabaikan perempuan yang pernah ia perjuangkan itu ketika mereka bertemu pandang. Pilihan untuk mengabaikan itu dianggapnya tepat agar perempuan itu tak menaruh harapan yang begitu tinggi kepadanya lagi. Sebab ia tahu, akan lebih banyak rasa sakit yang menghampirinya ketika ia menyemai harapan itu lagi. Dan ia tidak menginginkan itu. Maka biarlah saat ini ia terkesan jahat kepada perempuannya, asal itu menyelamatkan hatinya.

"Hei, ngelamun aja, Bhis? Mau aku pesenkan juga nggak? Kamu kan belum jadi makan tadi."

"Enggak usah, Dis. Eh, gimana, uda konfirmasi sama dosennya?"

"Udah. Aku udah bilang kalau tugas kelas kita aku letakkan di loker beliau. Oya, by the way, kamu tadi kenapa kok tiba-tiba cabut aja dari kantin? Udah gitu sepertinya kamu bete banget terus ngajak mbakso tapi nyatanya kamu juga nggak pesan apa-apa. Ada masalah?"

"Oh, nggak papa, kok. Tiba-tiba nggak jadi lapar. Udah selesai, kan? Balik, yuk."

"Oke, antar aku sampai parkiran fakultas aja, ya. Motorku di sana."

Lelaki itu beranjak meninggalkan bakso Jalan Semarang dengan perasaan campur aduk. Ia masih merekam tawa canda yang ia lihat tadi dengan dada berdenyut sakit. Tawa itu masih tawa yang sama yang begitu ia rindukan. Tawa itulah yang dulu berhasil merebut hatinya untuk pertama kali.

Aku merindukanmu, Ara, bisiknya lirih di dalam hati.

•••

Perempuan itu bernama Aksa, Aksara Sendja Nirmala lengkapnya. Ia telah lama menjadi sahabat karib Bima, Bimasena Langit Permana. Persahabatan mereka telah terjalin sejak SMA dan berlanjut hingga mereka berada di kampus yang sama dan organisasi kemahasiswaan yang sama yang bergerak di bidang penulisan dan jurnalistik.

Telah lama menjalin sahabat dan saling mengetahui baik-buruknya masing-masing, membuat keduanya nyaman untuk saling berbagi, entah itu masalah ataupun kebahagiaan. Tak jarang, keduanya juga seperti tikus dan kucing yang selalu bertengkar namun selalu berbaikan meski tanpa ada kata maaf dan saling memaafkan.

Persahabatan mereka memang terlihat cukup manis di mata teman-teman yang menjadi saksi bagaimana mereka saling bergantung satu sama lain. Meski mereka berbeda jurusan, Aksa mengambil Sastra Indonesia dan Bima mengambil jurusan Hukum, namun dapat dipastikan di sela kosong jadwal kuliah ataupun istirahat siang, mereka akan saling menghampiri satu sama lain. Terlebih ketika di UKM, di mana ada Aksa, di situ pasti ada Bima. Begitu mereka saling melengkapi dan tak jarang membuat banyak mata iri juga mendukung mereka untuk jadian.

"Nggak, ah, sudah mati rasa sama dia," kilah Aksa diikuti tawa suatu saat ketika ada yang menggodanya untuk meresmikan persabahatannya ke jenjang yang lebih membahagiakan, jadian. Perasaannya untuk Bima memang hanya sebatas rasa kepada sahabat belaka, tidak lebih. Terlebih lagi, ada nama yang telah mengisi hatinya sejak lama, pun Bima juga telah memiliki kekasih yang juga dikenal oleh Aksa.

Tapi, sejak melewatkan hujan pertama bersama Bima beberapa waktu yang lalu, Aksa merasakan ada getaran lain yang menghuni dadanya kala mengingat Bima. Juga, ketika ia tak sengaja bertemu pandang dengan Bima. Mendadak ia jadi salting dan deg-degan. Ada perasaan aneh yang ia rasakan. Perasaan yang hampir sama ketika ia mengingat nama yang hampir sama pula dengan Bima.

"Kenapa mukamu begitu? Lapar?" Sapa Bima ketika mendapati Aksa dengan muka ditekut nan kusut di suatu siang di taman UKM. Di depan teras UKM ini, ada sebuah pohon dengan batang yang lumayan besar

Tampaknya usianya sudah puluhan tahun. Nah, di nawah pohon itulah anak-anak UKM menyulapnya menjadi 'Teras Galau', lengkap dengam gazebo kecil, taman ala kadarnya, dan pemandangan danau buatan di depannya yang membuatnya tampak sempurna menjadi pelabuhan orang-orang galau.

Aksara yang tengah duduk di gazebo Teras Galau terpaku memandang permukaan danau yang menghijau tertutupi lumut dan tetumbuhan air.

Ia sama sekali mengabaikan pertanyaan Bima sebelumnya. Kesal dicuekin, Bimapun balas diam dan memainkan ponselnya.

"Wah, mantab, nih. Bakso Semarang kayaknya enak, nih, siang-siang," pancing Bima dengan suara yang sengaja dikeraskan. Berharap muka tertekuk di depannya terpancing sebab bakso di Jalan Semarang merupakan salah satu kuliner favorit mereka yang tidak pernah seharipun terlewatkan. Dan, kailpun bersambut. Pemilik muka tertekuk itu sedikit berubah air mukanya.

"Sekarang?" tanyanya tampak ragu.

"Emang siapa yang mau ngajakin kamu? Orang aku ngomong sendiri" goda Bima dengan tampang jailnya yang khas.

Mendapati itu, punggung Bimapun menjadi sasaran tinju kecil yang beruntun. Akhirnya keduanya bisa tertawa. Bima lega, muka tertekuk itu telah sirna.

"Nggak pengen cerita?" Selidik Bima seraya memandang sahabatnya penuh perhatian. Tampang jail yang semula ia munculkan mendadak lenyap pula. Jika sudah begitu, maka Aksa tidak lagi bisa mengelak untuk mengabaikan perhatian kecil itu. Ia pun membeberkan penyebabnya bad mood siang itu.

"Aku ketemu dia," ucap Aksa singkat. Wajahnya kembali terlihat suntuk. 

"Siapa?"

"Ya, dia. Nyebelin pokoknya, ah!" Sebuah batu kecil berhasil terlempar ke danau, bersamaan dengan umpatan dan sumpah serapah bentuk luapan kekesalan dari Aksara. Jika sudah begitu, barulah Bima paham siapa yang dimaksud.

"Oh, anak FE itu? Ketemu di mana, sih?"

"Di kantin FE, dia sama cewek. Padahal aku uda berbaik hati pasang tampang mau nyapa dia. Eh, dia melengos gitu pas mata kita bertemu. Ah, bete-bete-bete-bete!" Beberapa kerikil berukuran sedang terlempar dengan sempurna ke tengan danau kecil dan terdengar menciptakan bunyi kecipak air.

"Kamu kenapa, sih, masih aja mengingat-ingat dia? Move on-lah. Mau sampai berapa tahun lagi kamu setia dengan perasaanmu sendiri?"

"Nggak semudah itu melupakan cinta pertama. Kamu enak, cinta pertamamu jadi pacarmu sampai sekarang. Nah, aku? Hilang sebelum tergenggam. Dan, sialnya, ketika sudah hilang itu aku baru sadar kalau aku begitu mencintainya" ucapan Aksara dibarengi dengan matanya yang sempat berkaca-kaca untuk sesaat. Tak ingin membuat suasana siang itu menjadi sendu, Bima buru-buru mengalihkan perhatian Aksa.

"Bakso Semarang aja, yuk. Ntar, aku pesan baksonya, kamu pesan sambalnya saja biar emosimu terbalaskan" celetuk Bima diiringi sedikit tawa dan lirikan jahil. Kembali tinju kecil menghantam pundaknya. Plus, bonus timpukan diktat melayang di kepalanya hingga menimbulkan suara 'aaww' dari Bima karena tak sempat menghindar. Segera mereka beranjak meninggalkan Teras Galau untuk menuju ke tempat jualan bakso yang terletak di Jalan Semarang. 

Sesampainya di sana dengan berjalan kaki, selalu seperti biasa, tempat itu telah dipenuhi calon pembeli yang telah berjejal mengantre. Tak hanya mahasiswa, tapi beberapa pengguna mobil mewah bertampang oriental juga rela ikut berjejal. Sebenarnya tempat bakso itu berada bisa dikatakan 'tidak layak'. Tempatnya jualan itu berada di pinggiran kali, tepatnya di emperan pos ronda. 

Tidak ada tempat khusus untuk pembeli makan di tempat. Hanya ada beberapa kursi plastik yang disediakan secara sembarangan untuk bisa dijadikan sebagai meja untuk menaruh mangkok panas berisi bakso. Selanjutnya, pantat bisa lesehan di mana saja, yang jelas sama-sama di atas permukaan bumi tanpa alas. Ya, bahkan tikarpun tak ada! 

Meski begitu, yang membuat semua kepala selalu dipenuhi rasa heran adalah tempat itu dengan konsep ala kadarnya yang jauh dari warung bakso seperti pada umumnya, setiap harinya justru tak pernah sepi pembeli. 

"Bim, Bim, kenapa ya bakso ini selalu rame? Bahkan orang-orang tajir itu rela ngantri berpanas-panasan cuma buat beli bakso ini. Padahal kan ada juga bakso lain yang lebih terkenal enak dan tempatnya juga lumayan bagus," tanya Aksa di sela kesibukan mereka menikmati bakso dengan aroma kuah yang menyembul menggugah selera.

"Ya, kamu tanya aja ke kamu sendiri, kenapa kamu juga mau makan di sini. Sementara selagi kamu makan, kamu pun bisa menikmati pemandangan g****s di bawah sana" timpal Bima ditutup dengan tawa.

"Bimaaa! Kamu mau aku hajar dan berakhir bersama sampah-sampah itu juga? Hah?" 

Kesal dengan godaan Bima yang dianggapnya tidak lucu, Aksa diam dan lanjut menikmati baksonya. Tentunya, ia mengabaikan pemandangan sungai yang hampir surut airnya dan lebih dipenuhi aneka rupa sampah yang terletak tepat di bawah ia duduk. Sekitar 8-10 meteran dari atas ke dasar sungai.

"Udah kenyang, jadi nggak bete lagi, kan? Lanjutin proposal, yuk," ajak Bisma ketika mereka telah berada di perjalanan menuju ke UKM.

"Kenyang, sih. Tapi tetap bete," jawab Aksa cuek.

"Lahh, nggak guna dong aku nraktir kamu bakso tadi. Sial."

"Jadi kamu nggak ikhlas, nih aku muntahin lagi," tubuh Aksa membungkuk berpura-pura hendak muntah, tapi keburu kepalanya ditimpuk Bima. Merekapun kembali larut dalam tawa.

Sementara dari jauh tempat mereka berjalan dan tertawa, ada sepasang mata yang tak lepas memerhatikan kebersamaan mereka. Mata itu tertuju pada sosok perempuan yang akhirnya bisa melepas tawa kembali. Ada gurat maaf yang tertahan di balik sorot mata yang tak lepas mengamati punggung Aksa dari kejauhan.

•••

Aksa sudah sampai di kostnya dengan diantar Bima. Sebenarnya Bima berniat mengajak Aksa untuk menyelesaikan proposal dan beberapa persiapan pameran buku. Tapi sepertinya mood sahabatnya belum bisa diajak untuk bekerja. Jadilah ia memulangkannya ke kost-an. Itu lebih baik, pikir Bima. 

Tak lupa, Bima singgah sebentar dan memastikannya untuk tidak lagi memikirkan pemandangan tak mengenakkan yang baru saja dilihat Aksa.

"Awas kalau bete-bete lagi. Nggak ada aku, nggak bakalan ada yang ngasih makan kalau habis bete terus kelaparan terus mati," ultimatum Bima sebelum meninggalkan kost-an Aksa. Sementara yang diberi peringatan hanya mengangguk, tanpa berniat untuk menepati anggukannya ataupun menimpali candaan Bima. 

Aksa melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Sementara pikirannya telah jauh berkelana memungut kembali ingatan siang tadi. Di dalam hati Aksa, momen pertemuanya dengan lelaki di kantin Fakultas Ekonomi itu masih begitu membekas. 

Ada rasa getir di sana, juga kecewa, bahkan rindu yang beradu menjadi satu. Lelaki itu adalah lelaki yang telah merebut hatinya untuk pertama kalinya. Cinta pertamanya. Lelaki yang juga pernah menjadi sahabatnya dari kecil, semasa ia SMP. Lelaki yang selalu ada kapanpun di saat ia membutuhkan bantuan atau dalam kesulitan. Dialah lelaki yang juga menempati porsi yang sama istimewanya dengan sahabatnya kini dan bahkan juga memiliki nama yang hampir mirip. Lelaki itu bernama Bhisma. Bhisma Dewantara.

Drrrt..drrrt..drrt... Ponsel keluaran China milik Aksa bergetar seraya memunculkan nada dering klasik sejuta umat. Kontan membuyarkan lamunan Aksara seketika. Perempuan itu beranjak dari tempatnya rebahan, menuju meja belajarnya. Meraih ponselnya. Baru saja ia hendak mengucap hallo, panggilan tersebut telah ditutup lebih dulu. Aksa menggerutu dalam hati. Merasa waktunya telah direnggut sia-sia.

•••

Lelaki itu mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana. Pergulatan dilema di dalam hatinya akhirnya memutuskan untuknya mengakhiri sebuah panggilan ke masa lalu.

Aku cuma pengen minta maaf dan mendengar suaramu, Ra, ucap sanubari lelaki itu kepada dirinya sendiri. Lelaki itu mengingat betul perempuan yang dilihatnya di kantin fakultasnya siang tadi. Perempuan yang telah merebut perhatiannya sebagai lelaki kecil yang duduk di bangku Sekolah Dasar di masa silam. Hingga kini, perempuan itu masih menjadi boneka dolphin yang ia jaga dan simpan baik-baik di tempat yang berharga. Sebab ia tak ingin merusak boneka dolphin yang teramat begitu ia sayangi.

Dalam hatinya, ia teramat menahan rindu kepada perempuan itu. Namun, ia tahu, terkadang rindu memang hanya untuk disimpan saja, tidak untuk diungkapkan. Ditambah lagi, perasaan takut dan juga kecewanya kepada orang yang sama juga tak kalah besar. Hingga akhirnya ia hanya bisa mengabaikan perempuan yang pernah ia perjuangkan itu ketika mereka bertemu pandang.

Pilihan untuk mengabaikan itu dianggapnya tepat agar perempuan itu tak menaruh harapan yang begitu tinggi kepadanya lagi. Sebab ia tahu, akan lebih banyak rasa sakit yang menghampirinya ketika ia menyemai harapan itu lagi. Dan ia tidak menginginkan itu. Maka biarlah saat ini ia terkesan jahat kepada perempuannya, asal itu menyelamatkan hatinya.

"Hei, ngelamun aja, Bhis? Mau aku pesenkan juga nggak? Kamu kan belum jadi makan tadi."

"Enggak usah, Dis. Eh, gimana, uda konfirmasi sama dosennya?"

"Udah. Aku udah bilang kalau tugas kelas kita aku letakkan di loker beliau. Oya, by the way, kamu tadi kenapa kok tiba-tiba cabut aja dari kantin? Udah gitu sepertinya kamu bete banget terus ngajak mbakso tapi nyatanya kamu juga nggak pesan apa-apa. Ada masalah?"

"Oh, nggak papa, kok. Tiba-tiba nggak jadi lapar. Udah selesai, kan? Balik, yuk."

"Oke, antar aku sampai parkiran fakultas aja, ya. Motorku di sana."

Lelaki itu beranjak meninggalkan bakso Jalan Semarang dengan perasaan campur aduk. Ia masih merekam tawa canda yang ia lihat tadi dengan dada berdenyut sakit. Tawa itu masih tawa yang sama yang begitu ia rindukan. Tawa itulah yang dulu berhasil merebut hatinya untuk pertama kali.

Aku merindukanmu, Ara, bisiknya lirih di dalam hati.

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status