Aksara, seorang perempuan 23 tahun dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat rapi, sedang berjalan menuju kelas Desain Grafis. Aksara adalah mahasiswa yang cerdas dan berdedikasi. Dia memiliki bakat luar biasa dalam mendesain, sering kali membuat kawan-kawannya terkagum-kagum dengan karya-karyanya yang penuh warna dan imajinasi. Dengan sepasang mata yang tajam, Aksara mampu melihat detail kecil yang sering kali luput dari perhatian orang lain.
Hari itu, Bima, teman kecil Aksara, sedang duduk di bangku taman sambil memainkan gitar kesayangannya. Bima adalah mahasiswa Sastra Perancis yang terkenal dengan ketampanannya dan reputasinya sebagai seorang playboy. Senyumnya yang menawan sering kali membuat hati para gadis berdebar-debar. Namun, tidak bagi Aksara. Dia sudah bersumpah sejak kecil untuk tidak pernah jatuh cinta pada Bima, karena tahu betul sifat buruknya yang suka menggoda wanita. "Bonjour, Aksa," sapa Bima dengan senyumnya yang khas. "Pagi, Bim," balas Aksara dengan nada biasa. "Kau tidak ada kelas hari ini?" "Ah, kau tahu aku. Lebih suka main gitar di taman daripada duduk di kelas. Apalagi kalau ada kamunya," jawab Bima sambil mengedipkan mata. Aksara hanya tersenyum kecil. Dia tahu bahwa Bima suka menggoda, tapi dia selalu bisa menangkis gombalannya. Bima selain jenaka dan usil, ia juga piawai bermain gitar dan mencipta lagu. Itulah magnet yang membuatnya menjadi pusat perhatian di kampus, khususnya para hawa. Tapi, Aksara adalah satu-satunya perempuan yang tak tertarik dengan pesona Bima. Paling tidak sampai saat ini. Justru, Aksara sering dibuat kesal oleh tingkah usil Bima yang sering kali mengolok-olok desain grafis yang sedang Aksara kerjakan, atau memprotes kuncir rambutnya yang dikata mirip ekor kuda. Namun, di balik itu, Bima menyimpan sisi lain yang sangat sensitif dan romantis. Dia adalah anak dari keluarga yang berantakan, hidup dalam bayang-bayang perpisahan orang tuanya yang pahit. Pengalaman masa kecilnya yang penuh kesedihan membentuknya menjadi pribadi yang terpecah: di satu sisi, dia mencari penghiburan melalui hubungan-hubungan singkat yang dangkal; di sisi lain, dia memiliki hati yang rapuh dan haus akan cinta sejati. Diam-diam, ia telah memendam rasa suka pada Aksara sejak lama, jauh sebelum Aksara sendiri menyadarinya. Setiap kali dia melihat Aksara, hatinya bergetar. Namun, Bima tahu bahwa Aksara selalu melihat sisi buruknya—sifat playboynya yang suka menggoda banyak wanita. Ia memahami bahwa masa lalu dan reputasinya menjadi tembok besar yang menghalangi perasaannya sampai ke hati Aksara. Di malam-malam yang sunyi, saat Bima duduk sendirian dengan gitarnya, dia sering kali menulis lagu-lagu untuk Aksara. Dia berharap Aksara bisa melihat sisi dirinya yang sebenarnya—bukan sebagai seorang playboy, tetapi sebagai seorang pria yang tulus mencintainya. Namun, masa lalu Bima yang kelam dan keluarga yang berantakan selalu menjadi bayang-bayang yang menghantui kehidupannya. Dia takut bahwa ketakutan dan rasa sakit masa lalu akan membuatnya tidak layak untuk dicintai oleh Aksara. "Begadang lagi?" tanya Bima melihat mata sayu Aksara seperti kurang tidur. "Ya, begitulah. Proyek desain poster vintage-ku harus kurampungkan segera. Aku ke kelas dulu. Kamu jugalah. Nggak sayang apa bayar UKT tapi bolos mulu," nasihat Aksara pada sahabatnya. "Lebih sayang sama kamu, sih," balas Bima terus terang. "Ish, gombalanmu terlalu pagi, Bung. Dah, aku masuk dulu. Bye." Aksara menuju kelasnya. "Padahal aku ngomong jujur, Sa," gumam Bima lirih yang jelas tak terdengar Aksara. Sore hari, usai kelas, hujan turun dengan derasnya. Itu adalah hujan pertama setelah sepanjang musim kemarau melanda. Sayangnya, Aksara yang tanpa persiapan, terjebak di teras kelas. Ia tidak ada pilihan selain berdiri menunggu reda. Tiba-tiba saja, Bima muncul di sebelahnya. Mengagetkan Aksara. "Kau sudah mirip hantu saja. Datang pergi sesukamu," kata Aksara sambil menoleh ke arah Bima. Yang dikatain hantu hanya nyengir kuda saja. "Kemanapun kamu ada, di situ akan selalu ada aku," kelakar Bima. "Kamu ngapain senyum-senyum gitu? Terpesona sama kata-kataku barusan?" penasaran Bima ketika melihat Aksara tersenyum menatap langit penuh harap. "Aku sedang berdoa. Katanya, saat hujan adalah salah satu waktu terbaik untuk berdoa. Karena ada malaikat yang turut jatuh di setiap tetesnya." "Ah, benarkah? Baiklah, akan kucoba juga." Bima memejamkan mata sesaat. Lantas membukanya kembali. "Cepet banget. Kamu doa apa?" tanya Aksara. "Ra-ha-sia-a. Kepo aja," tukas Bima mengejek, yang langsung dibalas Aksara dengan memukul kecil bahunya. Setelah sekian lama menunggu, hujanpun mulai reda. Aroma tanah basah yang sangat khas menyeruak. Aksara dan Bika sama-sama menikmati momen itu. "Yuk, pulang," ajak Bima. "Apa yang kau lakukan?" tanya Aksara dengan bingung ketika melihat Bima melepas jaket baseballnya dan mengangkatnya di atas kepala. Memayunginya. "Menjaga sahabat kecilku dari tetes hujan. Kasian kalau dia sampai sakit, ntar siapa yang nyakitin aku," jawab Bima kembali menggoda. "Kau selalu terlalu perhatian," kata Aksara dengan nada datar. "Bukan perhatian, hanya sedikit rasa kasih sayang," balas Bima memancing. "Jangan sok romantis, Bim," sahut Aksara, "Kau memang raja menggombal, tapi aku sudah hafal 1001 gombalanmu. Jadi tak akan mempan." "Hati-hati, Aksara," Bima berbisik pelan di telinga Aksara. "Suatu hari kau bisa jatuh cinta padaku." "Tidak akan pernah!" jawab Aksara dengan tegas, meskipun dalam hatinya, dia tidak begitu yakin. Meski diwarnai perdebatan, Aksara tetap menurut untuk melangkahkan kaki di bawah jaket Bima yang memayungi. Mereka berjalan beriringan, hampir tak berjarak. Aksara bahkan bisa membau aroma parfum dari pakaian Bima. Mendadak jantungnya bergetar. *** Hari-hari berikutnya, perhatian kecil dari Bima terus datang. Kadang dia membantu Aksara dengan proyek desainnya, memberikan ide-ide kreatif, dan kadang-kadang mereka makan siang bersama di kantin kampus. "Aksara, kau tahu tidak, ada istilah dalam desain grafis yang baru kupelajari. Kerning. Kau tahu apa itu?" tanya Bima suatu hari. "Tentu saja," jawab Aksara. "Kerning adalah proses menyesuaikan jarak antar huruf dalam teks untuk membuatnya lebih estetis." "Ah, pantesan poster-postermu selalu terlihat rapi dan indah," puji Bima lagi. "Merci," jawab Aksara dalam bahasa Perancis. Ia sedikit-sedikit jadi tahu kosakata Perancis karena Bima mengajarinya. "Btw, mau denger laguku, Nggak?Aku menulis lagu ini untukmu," kata Bima dengan suara lembut. "Judulnya 'Hujan Pertama'." Aksara memgangguk dan mendengarkan petikan gitar Bima dengan seksama. Suara Bima yang merdu dan lirik lagu yang romantis membuat hatinya bergetar. "Saat hujan pertama turun, Aku tahu hatiku telah luluh. Di bawah jaket ini, kita berteduh Di hatimu, hatiku telah berlabuh." Aksara menahan napas. Lagu itu sangat jelas menggambarkan isi hati Bima kepadanya. Tapi, ia sudah berjanji untuk tidak jatuh cinta padanya. Ia tak siap hati suatu hari nanti. Ia juga tak siap kehilangan Bima sebagai sahabatnya yang selalu ada. "Sa, kamu tidak ingin mengubah caramu melihatku? Mungkin, jika kamu geser sedikit saja sudut pandangmu, kamu akan bisa melihat sisi lain aku. Sisi yang selalu menyayangi, dan memperhatikanmu. Maukah?" Aksara bergeming. Ia masih berkutat dengan pergelutan batin dan otaknya. Apakah ia siap untuk menjalin cinta dengan sahabatnya? Apakah ia akan siap sakit hati dan ditinggalkan olehnya, seperti yang selama ini dirasakan para perempuan yang telah dicampakkannya?Perempuan itu bernama Aksa, Aksara Sendja Nirmala lengkapnya. Ia telah lama menjadi sahabat karib Bima, Bimasena Langit Permana. Persahabatan mereka telah terjalin sejak SMA dan berlanjut hingga mereka berada di kampus yang sama dan organisasi kemahasiswaan yang sama yang bergerak di bidang penulisan dan jurnalistik.Telah lama menjalin sahabat dan saling mengetahui baik-buruknya masing-masing, membuat keduanya nyaman untuk saling berbagi, entah itu masalah ataupun kebahagiaan. Tak jarang, keduanya juga seperti tikus dan kucing yang selalu bertengkar namun selalu berbaikan meski tanpa ada kata maaf dan saling memaafkan.Persahabatan mereka memang terlihat cukup manis di mata teman-teman yang menjadi saksi bagaimana mereka saling bergantung satu sama lain. Meski mereka berbeda jurusan, Aksa mengambil Sastra Indonesia dan Bima mengambil jurusan Hukum, namun dapat dipastikan di sela kosong jadwal kuliah ataupun istirahat siang, mereka akan sali
Beberapa rindu ditakdirkan untuk tetap menjadi rahasia semesta. Namun, terkadang beberapa orang bertindak melampaui batasnya untuk bersikukuh mengungkapkannya dan yang mereka dapati tak jarang adalah kecewa.Maka, Aksa lebih memilih untuk mengikuti kehendak semesta. Ia pungut potongan rindu dan kenangan yang berjatuhan kala nama Bhisma kembali menjamah ingatannya. Lantas ia menyimpannya dalam tumpukan kata di balik jemarinya. Itulah yang ia sebut dengan membukukan kenangan.Persiapan pameran buku sudah 85%, semua proposal yang dibuat Bima dan anggotanya telah tersebar dan mendapat respons balik. Beberapa diantaranya meminang tawaran untuk kerja sama itu, beberapa senyap tanpa kabar. Aksa dan Bima semakin disibukkan dengan persiapan pameran. Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktunya di UKM, bahkan hingga menginap, seperti sore ini."Kamu bikin buku apa tahun ini?" tanya Bima di sela aktivitasnya berhadapan dengan beberap
Apa yang bisa dilakukan hati ketika rindu dan benci merisak secara bersamaan, selain menuntaskan keduanya?***'Hari ini aku ada pameran buku di perpustakaan utama. Kalau ada waktu, tolong datang, ya. Ada buku yang kupersembahkan untukmu.' Sebuah pesan dari aplikasi hijau menghampiri layar ponsel Bhisma. Lelaki penyuka fotografi itu segera membukanya dan langsung mengetahui pengirimnya dari nama yang ia sematkan di nomor itu. Dolphin.Hatinya gamang. Benci dan rindu yang memenuhi hatinya sama besar. Ia tahu perempuan itu pandai menari dalam kata, persis seperti nama yang tersemat pada dirinya, Aksara, dan ia banyak menaruh kagum pada perempuan yang diketahuinya sangat menyukai boneka dolphin itu. Hal itulah yang kiranya membuatnya lambat laun benar-benar jatuh hati. Sembilan tahun silam.***Kala itu lelaki kecil yang masih mengenakan
Waktu itu, tahun 2008, aku masih sangat amatir hingga tak tau apa bedanya kabel data dan USB. Dan, kamu mengataiku bodoh. Aku marah. Lebih ke malu, sih. Akhirnya aku mendiamkanmu dan beralih mendengarkan radio, kesukaanku waktu itu. Ada yang aneh ketika penyiar radio tersebut membacakan sebuah SMS (ya, waktu itu masih booming SMS 10x gratis 25x). Aku sampai mendekatkan kupingku ke radio butut yang setia menemani masa mudaku itu.“Hai, SMS berikutnya datang dari nomor akhir 666 nih, request lagunya Filosofi yang judulnya Sadarilah. Salamnya buat seorang amatir yang barusan aku katai bodoh, aku minta maaf.” Deg. Jantungku serasa terhenti. Seorang yang merasa dirinya amatir, yang dikatakan bodoh hari itu, cuma aku aja, kan?? Aku bingung, senang, kesel, campur aduk jadi satu. Caramu minta maaf yang menurutku terlampau manis, membuatku melompat kegirangan. Aku nggak peduli lagi dengan kata bodoh yang baru saja kau sematkan kepadaku. Yang aku ingat, aku