Beranda / Romansa / Sketsa Hujan / 4: Sketsa Hujan

Share

4: Sketsa Hujan

Apa yang bisa dilakukan hati ketika rindu dan benci merisak secara bersamaan, selain menuntaskan keduanya? 

 ***

'Hari ini aku ada pameran buku di perpustakaan utama. Kalau ada waktu, tolong datang, ya. Ada buku yang kupersembahkan untukmu.' Sebuah pesan dari aplikasi hijau menghampiri layar ponsel Bhisma. Lelaki penyuka fotografi itu segera membukanya dan langsung mengetahui pengirimnya dari nama yang ia sematkan di nomor itu. Dolphin. 

Hatinya gamang. Benci dan rindu yang memenuhi hatinya sama besar. Ia tahu perempuan itu pandai menari dalam kata, persis seperti nama yang tersemat pada dirinya, Aksara, dan ia banyak  menaruh kagum pada perempuan yang diketahuinya sangat menyukai boneka dolphin itu. Hal itulah yang kiranya membuatnya lambat laun benar-benar jatuh hati. Sembilan tahun silam.

***

Kala itu lelaki kecil yang masih mengenakan seragam putih merah tengah merebah santai di kursi teras rumah neneknya. Angin sepoi-sepoin di tengah siang yang tidak begitu terik membuat bocah itu sangat menikmati istirahatnya. Sesekali tangan kecilnya mencomot camilan yang telah disediakan neneknya di toples yang sengaja ia letakkan di pangkuannya. Perhatiannya lantas teralihkan ketika mendengar sayup-sayup suara danton memimpin latihan baris dari kejauhan. Bulan itu Agustus. Selalu ada perlombaan yang wajib diikuti masing-masing sekolah, salah satunya lomba baris-berbaris.

Beberapa peleton dari sekolah tetangga nampak tengah mengadakan latihan mengelilingi jalanan desa. Sekolah itu adalah salah satu sekolah yang cukup terkenal dengan murid-muridnya yang pintar. Ia pernah mendengar itu dari Bram, teman bimbelnya, yang juga bersekolah di sana. Tapi menurutnya itu berlebihan. Sebab, beberapa teman yang ia kenal betul, nyatanya tidak sepintar yang ia kira, seperti halnya Bram, Jerry, ataupun Budi. 

Bocah kecil itu menikmati pemandangan yang sepintas lewat di hadapannya. Barisan siswi  berseragam identitas siswa Sekolah Dasar di Indonesia, putih-merah. Layaknya bocah lelaki kecil pada umumnya, ia menikmati pemandangan itu dengan seksama. Memang beberapa bocah perempuan yang berada di barisan depan cukup memiliki paras yang menawan, untuk ukuran bocah SD saat itu. Tapi, itu tidak membuatnya cukup terkesima. Justru, netranya tertuju pada sosok paling kecil di barisan belakang. 

Tampaknya, bocah perempuan itu wakil danton. Sebab, posisinya berbaris tidak masuk dalam barisan, tapi di sampingnya. Tidak ada yang menonjol dari gadis kecil berkulit sawo matang itu. Rok merah selutut, rambut pendek, dan topi merah yang hampir menutup setengah dahinya. Tapi, entah mengapa itulah yang lantas menyita perhatian bocah lelaki 12 tahun itu. 

Bocah kelas 6 SD itu adalah Bhisma Dewantara. Salah satu siswa yang cukup pintar di SD Sukacita 4, tapi juga sedikit badung. Sepertinya ia telah terkena sindrom cinta pada pandangan pertama sejak hari itu. Entahlah perasaan milik bocah SD itu sudah bisa dikategorikan cinta atau bukan, yang jelas sejak saat itu, Bhisma gencar mengumpulkan segala informasi tentang bocah perempuan yang telah menyita rasa ingin tahunya itu. 

"Oh, namanya Aksara. Dia sering jadi langganan juara di kelas sejak kelas 1. Anaknya emang pinter, sih," jelas Bram kala diinterogasi di tempat bimbel.

"Terus, terus.." dorong Bhisma tak sabar menuntaskan rasa penasarannya.

"Apa, ya? Ehmm, dia ikut seleksi siswa teladan di kabupaten. Terus, ini katanya mau persiapan lomba matematika ke provinsi, sih. Udah, itu aja kayaknya. Kenapa tanya dia terus, woy?" 

"Eng-enggak. Cuma penasaran aja sama bocah pinter," pungkas Bhisma menutup percakapan sekaligus perasaannya yang tetiba semakin diusik penasaran. Namun, sebagai bocah yang bahkan belum mengerti apa bedanya suka dan cinta, ia cukup pandai untuk tetap menyimpan ketertarikannya pada bocah perempuan misterius itu. Cukup baginya untuk menyimpan nama lengkapnya  di dalam hati. Ia gumamkan berkali-kali dengan hati-hati. Aksara Sendja Nirmala. Nama yang indah, gumamnya.

Kekaguman serta rasa suka yang disimpan rapi dalam sunyi itu berlanjut hingga ke Sekolah Lanjutan Pertama. Di SMP, sayangnya mereka tidak pernah sekelas. Meski demikian, Bhisma tetap rajin mencari tahu tentang Aksara. Sesekali ia mencuri pandang dan ketika yang dilihat tak sengaja balas melihat, ia buru-buru membuang pandang. Grogi. Senang. Bingung. Entahlah apa perasaan yang paling tepat menggambarkan perasaannya kala itu. Yang jelas, ia cukup menikmati memelihara perasaan itu seorang diri dan malu-malu. 

Sebenarnya, ia bisa saja minta bantuan pada Bram yang juga sekelas dengannya. Bram punya akses yang cukup dekat pada Aksara. Tapi Bhisma mengurungkan ide itu. Bram memang kenal Aksara, tapi anak badung itu pasti tidak bisa menjaga mulut combernya dengan baik. Ia tak ingin mengambil risiko itu. Lebih baik dia akan bergerilya sendiri dengan caranya. Selain juga karena dia malu dengan perasaannya sendiri.

Lambat laun, menjelang kelulusan SMP, Bhisma telah mengenal baik Aksara dalam ingatannya. Meski belum berani untuk mendekatinya secara langsung, paling tidak Bhisma sudah mengantongi segala hal tentang Aksara. Rumahnya, teman-teman dekatnya, kebiasaannya, yang didapat dari teman-teman dekatnya, dan bahkan Bhisma hapal jam-jam saat Aksara berangkat dan pulang sekolah. Pada jam-jam itulah, Bhisma juga akan mengupayakan agar ia bisa berangkat bersama. Maksudnya, bersama dengan rombongan teman-temannya yang lain. Kala itu masih musim ke sekolah menggunakan sepeda, bahkan yang menggunakan motor masih bisa dihitung dengan jari. 

Pada jam-jam pulang sekolah, Bhisma akan bergegas lebih dulu menuju parkiran. Ia hapal di mana Aksara menempatkan sepeda mini merahnya. Ia akan menuju sepeda BMX-nya yang sengaja ia tempatkan di tepi gerbang parkiran lebih dulu. Selanjutnya, ia akan duduk di atas sepedanya, sembari merelakan waktunya untuk menantikan momen perempuannya meniti sepeda melewatinya.

Entah mengapa momen sederhana itu mampu ia ulang berkali-kali setiap harinya dan ajaibnya, itu membuatnya bahagia. Meski tak dilihat oleh perempuannya, perempuan yang disukainya, namun ia bisa sangat bahagia meski hanya melihatnya dari sisi yang tak terlihat. Meski tanpa menyapa dan saling tahu.

***

Lamunan Bhisma segera terbuyarkan ketika Raka menghampirinya dan mengajak masuk kelas. 

"Pagi-pagi itu nggak boleh ngelamun, Ma. Entar kesambet, lho. Skuy, masuk," ajak Raka sambil menepuk bahu Bhisma. Mahasiswa Ekonomi, Studi, dan Pembangunan itu mengikuti langkah teman akrabnya memasuki ruang kuliah seraya mengukir senyum tipis dan menyimpan kembali ingatan masa kecilnya.

"Ma, Bhisma, ntar makan siang bareng, yuk," bisik Disa ketika Bhisma telah mengambil duduk di sebelah cewek modis itu. Sementara yang diajak bicara hanya menggeleng, "lain waktu aja." Mendapat penolakan dari lelaki yang dikejarnya, Disa hanya bisa mendengus kesal.

Sementara raga Bhisma mengikuti perkuliahan, pikirannya masih bimbang mengingat pesan yang ia terima di ponselnya tadi. Sebenarnya tak sulit untuk mengiyakan datang. Ia juga ingin sekali melihat perempuan itu setelah sekian lama kehilangan. Juga melihat apa yang ditulisnya tentang dirinya. Tapi, sesuatu yang lain menarik hatinya untuk mengurungkan niat itu. Entahlah, ia bimbang harus datang atau tidak.

Akhirnya, perkuliahan selesai. Bhisma segera meninggalkan kelas. Ketika hendak menuju parkiran motornya di samping gedung Fakultas Ekonomi, langkahnya terhenti. Gedungnya tak berjarak jauh dari lokasi perpustakaan utama. Kira-kira radius 300 meter berjalan kaki. Ia pun membalikkan langkahnya dari parkiran, berjalan perlahan menuju perpustakaan utama, sembari menata degup jantung yang semakin berloncatan ketika gedung perpus utama  semakin terlihat. 

Drrtt...drrt... drrt.. Getar ponsel memaksanya menghentikan langkah. Ada alasan untuknya mengulur waktu, syukurnya. Sebuah panggilan dari kekasih Raka tertera di layar. Apa gerangan, pikirnya, perempuan itu menghubunginya.

"Ya, Tik, ada apa?" sapanya pada nama Kartika yang muncul di layar ponselnya. Suara di seberang terdengar panik dan memaksa Bhisma untuk segera pulang ke kontrakan. Akhirnya punggungnya berbalik. Langkahnya bergerak menjauhi perpustakaan utama.

Jarak antara kampus dan kontrakannya yang tidak jauh, hanya 10 menit, membuat Bhisma segera tiba di kontrakannya. Dahinya berkerut ketika mendapat Kartika tengah berdiri gelisah di depan gerbang kontrakan yang terkunci. Melihat yang ditunggu datang, perempuan berkerah V neck itu bergegas menghampiri Bhisma.

"Bhisma, Bhisma, Raka di mana?" cerca perempuan bernama Kartika itu menghampiri Bhisma dengan nafas terengah-engah memburu.

"Masih di kampus tadi sepertinya, kamu kenapa? Tenangin diri kamu dulu," saran Bhisma dibarengi dengan gerakan tubuhnya hendak turun dari motornya membuka pintu gerbang kontrakan, namun segera dicegah Kartika.

"Anterin aku ke tempat Raka sekarang. Genting ini, Bhis. Cepetan!" Tanpa menunggu persetujuan Bhisma, Kartika langsung duduk di jok motor belakang. Tak lupa tangannya menepuk-nepuk kencang bahu Bhisma, tak sabar. Masih agak menggerutu dalam hati, Bhisma terpaksa mengantarkan kekasih teman karibnya itu ke tempat tongkrongan yang biasa ia kunjungi bersama Raka kala senggang aktivitas kuliah.

"Kamu kenapa nggak hubungi Raka dulu, sih, biar dia jemput kamu," teriak Bhisma berkejaran dengan laju angin yang bekerjaran dengan kecepatan motor sport miliknya.

"Nggak bisa, ponselnya mati. Kalau bisa ngapain aku ngrecokin kamu," teriak Kartika tak kalah kencang di telinga Bhisma. Tanpa membalas tanya lagi, Bhisma langsung tancap gas menuju ke sebuah kafe etnik yang masih berada di lokal kampus.

Tak meleset dugaan Bhisma, Raka memang di sana bersama teman-teman sejurusan yang juga ia kenal. Malas ikut campur dengan urusan sejoli yang suka putus nyambung itu, Bhisma meninggalkan Kartika untuk menyelesaikan urusannya dengan Raka sendiri.

"Tuh, motor suamimu. Itu anaknya di dalam. Kamu selesaikan masalahmu sendiri, jangan libatkan aku." Kata suamimu sengaja diucap Bhisma penuh tekanan, ledekan seperti itu sudah sering ia lontarkan untuk menyindir gaya pacaran mereka yang sudah mirip suami istri. 

"Ok, thanks, Bhis," sambil setengah berlari kecil, perempuan berkulit putih dengan rambut tergerai di bawah bahu itu menghampiri ke tempat Raka duduk. Setting kafe yang dibuat semi terbuka, membuat pemandangan di dalam kafe dapat dinikmati semua orang yang berada di luar kafe, sehingga dengan mudah Kartika menemukan Raka. Melihat kedatangan kekasih yang sudah dipacarinya selama 3 tahun itu, Raka tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan terhadap peringai kekasihnya yang grusa-grusu itu.

Merasa kurang nyaman dengan kehadiran Kartika yang mengusik kesenangannya bersama teman-temannya, Raka menarik kecil perempuan itu menjauh dari mejanya.

"Kamu ngapain ke sini, sih? Udah aku bilang, jangan pernah nyamperin aku ke kampus," ketus Raka dengan nada penuh penekanan namun masih dalam tataran intonasi rendah.

"Seharin kamu nggak bisa dihubungi, gimana aku bisa tenang nungguin kamu nyamperin aku," nada bicara Kartika terdengar penuh emosi.

"Nggak usah labil kayak ABG baru pacaran, deh."

"Aku hamil!" Buru-buru tangan kekar Raka membungkam mulut Kartika sambil melihat sekeliling dengan cemas. Raka kemudian membawa Kartika keluar dari kafe dan meninggalkan kampus dengan laju motor yang tinggi.

Bhisma masih sempat melihat adegan itu dari jauh, tapi ia tidak mendengar pasti apa yang pasangan itu bicarakan. Ia pun tak menghidupkan motornya meninggalkan kafe. Ketika melewati jalanan kampus yang menghubungkan ke area perpustakaan utama, batin Bhisma teringat sesuatu. Ia pun memelankan laju motor sport merahnya. Memarkirnya di dekat perpustakaan yang tidak pernah sepi oleh mahasiswa itu.

Langkah kakinya membawa ia menyusuri lorong kampus yang berkisar 30 meter panjangnya. Lengkap dengan berbagai tanaman hijau di sisi kanan dan kiri lorong. Pemandangan yang menyejukkan, tapi tak cukup mampu meredam dada Bhisma yang bergemuruh karena detak jantungnya semakin berlompatan.

Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 16.30 sore. Tampak dari kejauhan, deretan display buku-buku indie milik UKM Aksara menghiasi loby utama perpustakaan. Beberapa anak tampak menikmati buku-buku yang dipamerkan, beberapa di antaranya hanya duduk-duduk mengobrol dengan sesama kawannya.

Langkah Bhisma semakin dekat dengan loby. Namun, hatinya terpaksa menghentikan langkahnya seketika ketika perempuan yang memintanya datang hari itu menampakkan diri. Buru-buru ia menyelinap di balik gerombolan mahasiswa yang tengah duduk-duduk santai di bangku tepi lorong.

Sepertinya, penyamaran Bhisma sedikit berhasil, sebab dari tempat Aksara, posisi duduknya terhalang oleh 4 mahasiswa yang tengah sibuk bercengkerama. Tapi dari sisi Bhisma, ia bisa melihat dengan jelas Aksara, meski dari tempat yang tak begitu dekat. Jantungnya semakin tidak bisa dikondisikan.

Rasa deg-degan itu membuat tangannya sedikit gemetar. Ia tak mampu untuk mendekat bahkan mendatangi perempuan itu untuk sekedar mengucap terima kasih ataupun selamat. Ia benar-benar merasa payah sebab tak punya cukup keberanian untuk menaklukkan rasa takutnya sendiri.

Ya, ia takut dengan perasaannya sendiri. Ia takut tidak bisa mengendalikan perasaaannya ketika telah bertemu kembali dengan cinta pertamanya itu. Dan yang lebih ia takutkan adalah jika perempuannya kembali berharap pada dirinya.

***

"Rek, ayo nyicil diberesin, yuk, udah jam segini," seru Bima kepada teman-temannya yang segera diikuti jawaban sepakat mengiyakan. Sementara itu, di sudut loby, Aksa mematung memandangi sebuah buku yang terletak di sisi paling kiri teratas dari tempat display. Buku berlatar hijau itu bergambar dua orang tengah beradu dalam hujan. Satu gambar perempuan memegang payung hitam dan satu gambar lelaki melangkah maju menjauhi perempuan itu.

Kita pernah berada di satu payung yang sama, hujan yang sama, lantas kamu meninggalkanku untuk melewati hujan itu sendirian. Shhht, dasar jahat! Umpat Aksa kepada dirinya sendiri, lirih, di barengi dengan sebuah buku yang telah ia sambar dengan penuh emosi dan berakhir  naas mendarat di tong sampah.

Ini terakhir kalinya aku menulis tentangmu. Mungkin bagimu, aku hanya perempuan bodoh yang hidup dengan kehaluan dan kesia-siaan berharap kamu melihatku. Mulai detik ini, kamu sudah mati di sini. Aksa menahan matanya yang mulai panas dengan menikam kecil dada kirinya dengan kepalan tangannya berkali-kali.

Tak ingin benar-benar menangis di sana, penyuka senja itu bergegas mengalihkan perhatiannya dengan meleburkan dirinya bersama kawan-kawannya, membereskan buku-buku yang tersisa untuk dikemasi kembali ke sekretariat. Sambil menyembunyikan kekecewannya, ia berusaha untuk tetap tersenyum dan ikut bercanda kawan-kawannya meski ia tahu itu terasa sungguh hampa. Pukul 17.00 tepat, lobi perpustakaan utama telah bersih seperti sedia kala. Para punggawa penulis muda itu juga satu persatu telah kembali menuju sekretariat. Mengembalikan barang-barang, evaluasi, dan juga persiapan untuk pameran berikutnya di perpustakaan kota. 

Sementara lobi perpus utama telah sepi, langkah kaki itu mulai memberanikan diri untuk mendekati area yang sedari tadi ia perhatikan dengan seksama. Sudut perpustakaan itu tak lepas dari pengamatannya selama tiga puluh menit terakhir ia duduk di tepi lorong perpustakaan. Langkahnya langsung menuju ke sebuah tong sampah plastik yang terletak di sudut lobi sebelah kanan. Tanpa ragu, ia membuka penutup tempat sampah anorganik itu, mengambil sesuatu yang sangat ia sayangkan melayang ke dalam situ.

Ia pandangi dalam-dalam sebuah buku di genggamannya. Bibirnya mengukir senyum getir.

"Terima kasih telah meluangkan waktumu menulis tentangku. Itu tidak sia-sia. Aku akan membacanya dan menyimpannya. Ini akan menjadi buku favoritku, Ra," monolog Bhisma hampir tak terdengar. Ia lantas memasukkan buku itu ke dalam tas selempang hitam miliknya. Langkahnya berbalik meninggalkan perpustakaan utama dengan hati penuh lubang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status