Benedic menopang dagunya, memperhatikan Naomi yang saat ini tidak dapat di ajak berbicara karea lahap makan. Sepanjang perjalanan menuju restaurant Naomi tidak banyak berbicara, gadis itu hanya membungkam sedih dan kebingungan. Benedic sudah mendengar kabar jika bisnis keluarga Naomi sedang mendapatkan guncangan, tapi Benedic tidak pernah tahu jika keadaan Naomi juga akan menjadi seperti ini. Naomi, dia adalah gadis yang manis penuh keceriaan, dia disukai banyak orang atas kebaikannya. Wajah Naomi terkenal cantik, namun sikapnya yang baik jauh lebih cantik dari wajahnya. Naomi memiliki kehidupan yang sangat baik, dikelilingi banyak teman dan hidup dalam kemakmuran, siapapun mungkin tidak akan percaya bahwa gadis yang dulu terlihat sempurna itu akan berada di posisi yang seperti ini. “Naomi, jika sudah makan, kita ke rumah sakit. Sepertinya kakimu membengkak,” Benedic angkat suara. Naomi menelan makanannya, gadis itu menatap Benedic dengan mata berbinar. “Apa kau tidak keberatan?”
Tubuh Naomi terayun dalam pelukan Benedic, kebaikan pria itu membuat Naomi merasa nyaman dan sangat percaya, apalagi mereka sudah saling mengenal dalam waktu yang lama. Naomi dan Benedic saling mengenal sejak sekolah menengah atas. Tidak jarang, dulu mereka juga sering menghabiskan waktu bersama sekadar bermain dan pergi liburan. Kepala Naomi mendongkak, gadis itu menatap Benedic tanpa henti. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu, rasanya seperti sebuah keajaiban karena bisa kembali bertemu dengan Benedic tepat ketika Naomi membutuhkan bantuan. Benedic sudah meneraktirnya makanan lezat hingga membuat Naomi kenyang, dan kini dia hendak mengantar Naomi pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kakinya. Naomi bersyukur, Tuhan selalu memberinya jalan keluar disetiap kesulitan yang dia hadapi melalui bantuan orang-orang yang datang tidak terduga. “Berhentilah menatapku Naomi, aku bisa salah sangka nantinya,” ucap Benedic yang menyadari jika sedari tadi Naomi terus menatapnya. “Kau sepert
Axel membukakan pintu untuk Naomi, masih tidak berkata apapun pria itu menarik tubuh Naomi dengan mudah menggendongnya.s Keterdiaman Axel yang cukup lama membuat Naomi merasa tidak nyaman, apalagi pria itu terbiasa berbicara meski terkadang banyak kata-kata menyebalkan yang keluar dari mulutnya. Kepala Naomi menengadah, gadis itu memperhatikan Axel yang memasang ekspresi dinginnya. “Kau marah padaku?” tanya Naomi memberanikan diri. Axel tidak menjawab, harga dirinya terinjak bila ketahuan marah hanya karena Naomi berada di sisi pria lain dan orang lain menjadi penyelamat pertamanya. Keterdiaman Axel yang tetap memilih membisu membuat Naomi sedih dan merasa bersalah. “Aku minta maaf sudah merepotkamu Axel. Kau jangan marah ya, aku mohon,” bisik Naomi terdengar merengek. “Katakan padaku denga jujur, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kau pergi kabur,” tuntut Axel ingin tahu. “Tadi, saat aku menunggu Roan. Ibuku tiba-tiba ada di kota ini, ibuku membujukku dan ingin membawaku p
Gips di kaki Naomi terlepas, kakinya terlihat membengkak ketika di buka. Dokter yang sudah memeriksa keadaan Naomi menyarankan gadis itu untuk duduk di ranjang seharian penuh agar bisa mengistirahatkan kakinya yang terluka. Bahkan doker tidak menganjurkan Naomi menggunakan tongkat kruk dalam beberapa hari, dokter menyarankan Naomi menggunakan kursi roda selama beberapa hari. Apa yang sudah dikatakan oleh dokter kali ini mulai menjadi perhatian Axel. Pria itu sempat menemui sang dokter dan berbicara secara khusus dengannya. Di sisi lain, kini Naomi tengah tebaring istirahat usai mendapatkan obat penenang dan penghilang rasa sakit dari dokter yang sudah menanganinya. Ketegangan dan perasaan tidak menentu yang sempat Naomi rasakan perlahan hilang, gadis itu terlihat mendapatkan ketenangannya kembali karena kini dia berada di rumah Axel lagi. Tidak akan ada lagi orang yang bisa memaksanya pergi. Naomi terbaring dengan lemah, gadis itu mengambil sesuatu dari bawah bantalnya dan mengelu
David membawa koran pagi dan setumpuk surat yang dia dapat dari kotak pos. Pria paruh baya itu berjalan, berkeliling rumah untuk memeriksa pekerjaan orang-orang sebelum pergi ke ruangan kerja Axel. Tidak adanya Axel di ruangan kerja sedikit mengejutkan David, padahal biasanya Axel sudah duduk di kursi kerjanya setiap pagi setelah selesai aktivitas olaharaga. Axel selalu terbangun secara teratur di jam empat pagi, dia memilih berolahraga hingga fajar muncul, setelah mandi dia akan langsung bekerja sambil menunggu sarapan paginya. Axel adalah seseorang yang sangat pekerja keras, suatu keanehan bila di pagi seperti ini dia tidak ada di ruangan kerjanya. David sempat bekeliling lagi untuk mencari Axel di ruangan gym, kolam renang dan ruang makan. Anehnya Axel masih tidak ada. Langkah kaki David bergerak cepat begitu tersadar sepanjang pagi ini juga dia belum menemui Naomi. David harus memeriksanya dan menanyakan keadaannya, bisa-bisa Teresia mengomelinya karena tidak memperhatikan Na
Setelah melewati pejalanan yang cukup jauh, tidak berapa lama akhirnya Teresia sampai di depan rumah Magnus. Teresia melangkah keluar setelah pintu di sisinya dibukakan oleh sang sopir. Kedatangan Teresia disambut oleh Harvey, assistant pribadi Magnus yang kini berdiri di depan pintu. “Selamat pagi Nyonya, selamat datang,” Harvey sedikit membungkuk memberi hormat dan mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. “Selamat pagi, Harvey.” “Mari, saya antar Anda bertemu dengan tuan Magnus,” kata Harvey sambil menggerakan tangannya menggunakan bahasa isyarat. Teresia mengangguk samar, wanita itu tidak lagi berbicara, namun matanya meneliti keadaan sekitar rumah Magnus. Ini untuk pertama kalinya Teresia datang ke rumah Magnus, biasanya mereka selalu bertemu di luar. Ada sesuatu yang aneh Teresia rasakan, Teresia menyadari ada sesuatu yang terjadi hanya dengan melihat senyuman lebar dan mata getir Harvey. Harvey mempersilahkan Teresia masuk ke dalam rumah dan menuntunya pergi ke ruangan
“Apa yang harus kita lakukan?” Axel mengusap dagunya mulai berpikir apa yang harus mereka lakukan terlebih dahulu. “Mungkin sentuhan fisik, seperti bergandengan tangan dan berpelukan, banyak tersenyum satu sama lainnya, dan bersikap lebih lembut.” “Aku sih tidak masalah,” jawab Naomi menggantung. “Tapi kau yang menjadi masalah, apa bisa bersikap sedikit lebih baik dan lembut padaku?” Rahang Axel mengeras, dagu Axel terangkat dengan angkuh dan matanya sedikit menyipit menatap tajam Naomi. “Kau jangan meremehkan kemampuanku.” “Aku tidak meremehkanmu, tapi kan kau terbiasa bicara menyebalkan,” debat Naomi. “Aku tidak akan bicara menyebalkan jika kau bisa mengimbangiku.” Sejenak Naomi terdiam, mencerna ucapan Axel. “Maksudmu apa? Apa aku juga boleh bicara kasar menyebalkan padamu?” Axel menyeringai dan satu alisnya langsung terangkat. “Yang benar saja Naomi, kau mau bersikap kurang ajar pada bosmu sendiri?” Naomi menggeleng tanpa suara, gadis itu segera melanjutkan makan lagi di b
Melihat keterdiaman Magnus, Teresia segera mengeluarkan beberapa document dari dalam tasnya dengan stempel dan pensil. “Ini adalah surat peranjian, jika kau menandatangani document ini, aku akan sepenuhnya membantu masalah perusahaanmu hari ini juga.” Magnus menelan salivanya dengan kesulitan, perlahan Magnus menuliskan sesuatu lagi di tabletnya dan menunjukannya kepada Teresia. “Tapi saya belum menyetujui sepenuhnya pernikahan bisnis antara Naomi dan Axel.” Teresia tersenyum lembut. “Itu memang benar.” “Lalu, mengapa Anda memberikan document itu?” Tubuh Teresia menegak, wanita itu menatap Magnus dengan serius, lalu berkata, “Aku mengajukan surat ini agar kita sama-sama bisa tenang satu sama lainnya. Ada baiknya rencana perjodohan ini kita lakukan saja di belakang Axel dan Naomi. Kita tidak perlu lagi memaksa mereka untuk bersama karena keduanya sudah bersama dengan sendirinya. Tugas hanya mendukung hubungan mereka berdua.” Kening Magnus mengerut samar masih tidak mengerti jalan