semoga proses melahirkan Livy lancar ya (◡ ω ◡)
“Bagaimana ini? Tuan El masih di dalam,” gumam Alonso menatap pintu ukiran megah di depannya.Lima menit yang lalu, asisten pribadi ini menerima telepon dari dokter Penelope, sebab ponsel presdir dipegang olehnya. Namun, situasi dan kondisi kurang memungkinkan, di dalam ruangan, El bersama Raja dan Ratu serta beberapa pengusaha pilihan lainnyaSepuluh menit kemudian, seorang pengawal kerajaan membuka pintu, Raja dan Ratu keluar lebih dulu, disusul para pengusaha. Sigap, Alonso menghampiri Tuannya yang berjabat tangan bersama Tuan Marquez dan Nona Manassero. El mengernyitkan kening, langkah tegap dan lebar Alonso menjadi pertanda telah terjadi sesuatu. Belum lagi, wajah itu tampak tegas dan menegang.“Ada apa, Paman?” El yakin masalah perusahaan, proyek atau mungkin Sonia. “Tuan El, sebaiknya segera ke pesawat. Saya telah menghubungi pilot, Anda harus ke Albarracin. Nona Livy melahirkan,” bisik Alonso, berhasil membuat El berlari secepat kilat. Presdir tampan itu tidak peduli rekan p
“Alasannya?” alis tebal El tertaut, matanya memicing karena tidak mengerti.Ia bingung mengapa Livy-nya bersikukuh enggan kembali ke ibu kota. Padahal di sana mereka bisa bertemu lebih sering, walaupun El selalu bolak balik luar kota atau luar negeri.Tidak seperti sekarang, ia harus menunggu jadwal kosong barulah mengunjungi Livy di desa. Melelahkan memang, tetapi rasa rindu tak bisa tertahan lagi.“Aku …” Livy mereguk saliva yang terasa kelat membakar kerongkongan. “Katakan!” tegas El, ia melipat tangan depan dada, menatap intens wajah pucat sang kekasih.“Aku …” Lagi, Livy mengatup rapat bibir, ia menggembungkan pipi dan menghela napas. “Di sana terlalu bahaya, Kak. Aku takut Alessandro terluka,” cicitnya.Sedangkan El tampak muram, mana bisa berjauhan dengan Livy dan anaknya. Saat ini, ia mencoba menenangkan ibu muda, memeluk, lalu membelai kepala serta sepanjang tulang punggung. Sebelum membawa Livy kembali ke kamar, keduanya berhenti sejenak di lorong sepi. Sama-sama menghadap
“Aku … apa bisa, Kak? Sudah lebih dari 20 tahun?” Livy mendongak, menatap lamat kekasihnya.“Hu’um itu mudah. Tunggu saja, tidak sampai satu minggu pasti ketemu, kecuali …” El merunduk kepala, menjepit rahang Livy, membuat ibu muda mengerutkan kening. “Kecuali disembunyikan Daddy, itu yang susah.”Seketika Livy mencebik, bibir merah mudanya sungguh terlihat manis di mata El. Alhasil, lelaki ini mendekatkan wajah dan menyesap lembut candunya. Tanpa sadar, El membaringkan tubuh Livy di atas ranjang, memenjarakan wanitanya. Ia menahan kedua pergelangan tangan sang kekasih di atas kepala, bergerak liar menuruni ceruk leher dan bermain di area sensitif, memberi gigitan kecil hingga suara protes keluar dari bibir ibu muda.“Kak El! Jangan! Belum boleh!” pekik Livy, mungkin saja suaranya terdengar ke luar kamar. “Kakak lupa kalau aku baru melahirkan, tunggu dua bulan lagi!” Mendengar larangan yang keluar dari bibir candunya, menyebabkan El menjauh dan menatap tidak suka. Ia telah menahan ha
“Uh … Kak, Ini geli, terlalu pelan,” protes Livy sembari menundukkan kepala.“Kalau begini, enak?” El berhenti sejenak dari kegiatannya membantu sang kekasih mengeluarkan ASI.“Pelan-pelan! Itu terlalu kuat. Hati-hati Kak, jangan sampai terbuang percuma!” bawel Livy.Sedangkan El kembali melakukan aktifitas menyenangkan menggunakan tangan. Kendati harus menahan diri supaya tidak terbawa arus, karena gairah yang menggebu.Pria ini tanpa malu konsultasi dengan Penelope dan mengikuti saran konselor laktasi pada salah satu siaran video. El mempraktikannya, mulai dari pijat oksitosin hingga Livy merasa rileks dilanjutkan dengan pijat di area sumber nutrisi.Tanpa ragu, El lakukan demi buah hati. Sebab Al sangat membutuhkan ASI segar ibunya, bayi itu masih terlalu lemah untuk dibawa pulang.Hasilnya, mencengangkan, entah keberuntungan atau El memang berbakat dalam urusan pijatan. ASI yang diperoleh Livy cukup banyak bagi bayi berusia beberapa hari. “Aku hebat ‘kan?” El mencolek bahu sang k
“Umm, cukup Kak. Ini jauh lebih baik dibanding tadi.” Livy mengangkat sedikit bahunya, ia menolehkan kepala ke belakang menatap penuh kerinduan, pada sosok rupawan berwajah tegas yang kini memiliki garis lelah.Tadi, setibanya di rumah, El langsung memijat punggung Livy. Selama seminggu ini absen dilakukannya, karena sibuk berkerja, pria ini ingin turut andil dalam proses meng-ASIhi. “Ada apa?” tanya El dengan suara parau dan mata sayu.“Berputar, Kak!” perintah Livy yang membuat El menautkan alis. “Ayo, Kak!”El patuh, ia memutar tubuh 180 derajat, hingga bagian punggung tepat di depan wajah Livy. Perlahan, tangan mulus mulai menyentuh area otot kekar bagian belakang yang terasa kaku. “Seharusnya Kakak langsung tidur, besokk ‘kan mau ke rumah sakit menjenguk Al. Tidak perlu memijit aku,” tandas Livy sembari memberi pijatan agar lelah minggat dari raga sang kekasih.“Tapi sekarang kamu yang memijit punggungku,” balas El terkekeh gemas karena wanitanya sangat bawel.Tak ingin tangan i
‘Musnahkan semua hasil pencariannya! Lebih baik Livy tidak tahu! Aku harap dia tidak pernah mencari tahu tentang ibunya’ “Ini makan yang banyak, Sayang,” tukas El sembari memotong kecil-kecil daging kalkun panggang dan menuang salad hijau di piring Livy.Sedangkan ibu muda ini terkesiap, sejak duduk di ruang makan ia melamun. Percakapn di ruang kerja El terngiang, hatinya perih karena El menutupi hasil penyelidikan tentang ibunya. Ia yakin pria itu mengetahui sesuatu hal yang penting, tapi kenapa harus dirahasiakan? “Tapi aku kenyang, Kak,” tanggapan Livy tanpa menolehkan kepala. Nafsu makannya menguap, padahal perut masih membutuhkan makanan sebagai sumber tenaga dan nutrisi untuk Al. Livy memilih meneguk segelas susu hangat dibanding menyantap daging yang telah dipotong oleh El.“Kamu kenapa?” bisik El sedikit mendekatkan kepala.“Aku? Mungkin ngantuk.” Livy mengigit bibir bawah tetap menatap lurus.“Aku suapi.” Paksa El, menjulurkan garpu dengan potongan daging kalkun gurih dan l
Setelah menikmati waktu berdua, jalan santai menyusuri trotoar dan membeli churros serta bicara dari hati ke hati. Livy tidak murung lagi, ia menerima kenyataan dan jalan takdir. Seandainya sang ibu tidak membuangnya, mungkin … saat ini ia tidak bertemu dengan El dan mendapat keluarga baru yang sangat baik melebihi keluarga kandung. Livy juga tidak menolak pergi ke makam ibu, hanya saja ditunda, sampai Al benar-benar bisa ditinggal.“Kamu yakin ini cukup?” tanya El memandangi botol kaca ASI berukuran 100 mili.“Iya Kak, tadi pagi sebelum bangun tidur ‘kan sudah. Lagi pula ini sisanya, terima kasih.” Livy menolehkan kepala, ia tersenyum manis pada calon suami yang selalu sigap membantu.“Sama-sama, apa pun untukmu , Sayang.” El memutar tubuh Livy-nya, menangkup pipi, membelai lembut dengan ibu jari dan menyatukan bibir. Ia tidak pernah bosan menghisap rasa manis dari candunya, ini sangat menyenangkan dan pasti membuat rindu. Pasalnya sore ini El berangkat ke luar negeri untuk menghad
“Ini Tuan, sepertinya Nona merindukan Tuan Fabregas,” ucap Alonso sembari menaruh tab ke atas meja.“Ck, kenapa harus?! Terbuat dari apa hatinya sampai merindukan pria jahat itu?” geram El.Setelah mengakhiri sesi telepon bersama Livy, lelaki ini memerintah Alonso mencari tahu penyebab wanitanya menangis. El tidak percaya sang kekasih masih mengharap ayah angkatnya berbaik hati.“Bagaimanapun, sejak kecil sampai dewasa Nona hidup bersama Tuan Fabregas. Nona Livy tulus menyayangi mantan mertua Anda. Hanya saja, pria itu tidak bisa melupakan masalah yang telah terjadi,” pungkas Alonso merasa iba setelah melihat rekam CCTV.“Paman benar.” El menghela napas panjang, ia tidak tahan kembali ke Kota Madrid, memeluk Livy-nya dan memberi wanita itu berjuta kasih sayang.Namun, sayang, paska dua hari di Birmingham, El terpaksa menunda jadwal pulang. Sebab, urusan mendesak lain menuntut di selesaikan. Ia pun terbang menuju Zurich-Swiss, menemui Presdir Cwell Grup terkait pengembangan teknologi ke
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa