Selamat Pagi Kak. semoga weekend-nya menyenangkan (◠‿・)—☆ seperti biasa satu lagi menyusul ya...
“Ini Tuan, sepertinya Nona merindukan Tuan Fabregas,” ucap Alonso sembari menaruh tab ke atas meja.“Ck, kenapa harus?! Terbuat dari apa hatinya sampai merindukan pria jahat itu?” geram El.Setelah mengakhiri sesi telepon bersama Livy, lelaki ini memerintah Alonso mencari tahu penyebab wanitanya menangis. El tidak percaya sang kekasih masih mengharap ayah angkatnya berbaik hati.“Bagaimanapun, sejak kecil sampai dewasa Nona hidup bersama Tuan Fabregas. Nona Livy tulus menyayangi mantan mertua Anda. Hanya saja, pria itu tidak bisa melupakan masalah yang telah terjadi,” pungkas Alonso merasa iba setelah melihat rekam CCTV.“Paman benar.” El menghela napas panjang, ia tidak tahan kembali ke Kota Madrid, memeluk Livy-nya dan memberi wanita itu berjuta kasih sayang.Namun, sayang, paska dua hari di Birmingham, El terpaksa menunda jadwal pulang. Sebab, urusan mendesak lain menuntut di selesaikan. Ia pun terbang menuju Zurich-Swiss, menemui Presdir Cwell Grup terkait pengembangan teknologi ke
“Selamat pagi Tuan Fabregas,” sapa wanita paruh baya, sedangkan Livy berdiri di balik punggung Nyonya Torres, menyembunyikan raga walau terlihat.“Apa kabar Nyonya Torres? Sepertinya hidupmu baik-baik saja?” Suara serak, menusuk serta tatapan sengit dari ekor mata menghujam wanita muda.“Ah, tentu. Aku merasa bersyukur dikelilingi orang-orang baik, termasuk Livy,” celetuk Nyonya Torres membuat pria kurus kering ini mengalihkan perhatian pada pembicara.Sebelah sudut bibir Tuan Fabregas berkedut, lalu geleng-geleng kepala melihat akrabnya dua perempuan itu. Pria ini memberikan kode pada perawat agar kembali ke kamar. Sebagai ayah, rasa sakit masih menutupi pintu hati karena putrinya di sakiti.“Nyonya Torres, aku permisi. Silakan menikmati udara dingin di taman, hati-hati pada orang terdekat, bisa mencelakai kapan pun, ” ucap Tuan Fabregas menekan pada kata ‘hati-hati’ sembari menatap jengah pada putri angkatnya.Ketika kursi roda mulai bergerak perlahan, pria itu memindai penampilan L
“Berani sekali Emilia menyakiti Livy-ku,” monolog El sesampainya di dapur.Telinga serta manik tajamnya mendapati kenyataan, bagaimana calon istri dihina oleh adik iparnya sendiri. El mengepalkan tangan, karena baginya, tindakan Emilia sama dengan mencoreng mukanya sebagai anak sulung di keluarga ini.Ia bertekad mempercepat penikahan, status hubungannya bersama Livy harus jelas. El merasa, jika wanitanya telah resmi terdaftar sebagai anggota keluarga, maka tidak ada yang berani mengganggu.Hari ini, sesuai pernyataannya kemarin, El dan Livy telah meresmikan hubungan di mata hukum. Tidak peduli, tanpa pesta atau iring-iringan pengantin layaknya negeri dongeng. Untuk saat ini, memiliki akta nikah tujuan utama.“Kamu itu memang tidak sabaran!” gerutu Nyonya Torres hendak melayangkan pukulan ke kepala putra sulungnya. “Apa susahnya menunggu sampai pertengahan musim semi tiba? Kasihan Livy, tidak ada pesta dan gaun pengantin,” lanjutnya diakhiri tatapan iba pada menantu baru.“Mom, musim s
“Uh … Sayang dingin.” El tersenyum, tangannya meraba sisi ranjang sebelahnya.Namun, hanya seprai kusut di sana, tanpa ada Livy-nya. Seketika mata lengketnya terbuka lebar, pria ini khawatir ditinggal lagi oleh pujaan hati. Gegas, El turun dari ranjang, saking terburu-buru lupa memakai sandal dan baju, hanya celana panjang saja yang menutupi bagian bawah. Ia masuk walk in closet, kamar mandi, kamar bayi, tidak ada Livy-nya.“Di mana dia?” gumam El gelisah.El melangkahkan kaki lantai satu, sebelum memasuki ruang makan, ia berhenti dan menyeringai. Tidak salah lagi, melihat bidadari cantik tengah menyeruput makanan berkuah nan hangat dan sudah pasti lezat. Ia memiliki niat jahil, mengendap-ngendap mendekat supaya istrinya kaget. Sayang, saat tiba di ruang makan, El melihat Mommy dan Daddy-ny turut menemani Livy.“El? Kamu sedang apa? Cepat sini makan dulu!” tegur Nyonya Torres menyadari kehadirannya.Seketika Livy menolehkan kepala, ia memelotot lantaran El dengan percaya diri bertel
“Kenapa makanannya diaduk terus Sayang? Kurang enak?” tanya El, karena sejak pria ini datang ke salon menjemput Livy, wanitanya tampak murung dan tentu kesakitan.Paska tersiram coklat panas, perut Livy memerah, berungtugnya ia menggunakan pakaian berlapis hingga coklat itu hanya sedikit mengenai kulit. Meskipun telah diobati, tetap saja seisi salon panik, sebab terbayang betapa seram kemarahan Presdir Torres Inc.Livy sengaja mengiba pada Estefania dan Rea, supaya kecelakaan di salon tidak terdengar oleh El. Ia tidak mau suaminya khawatir, apa lagi belakangan ini El kelelahan dan sakit.Wanita ini juga merahasiakan sosok perempuan itu. Pengunjung salon dan adik iparnya hanya tahu orang itu tidak sengaja, tentu saja salah. Sonia seolah menghapal sudut CCTV dan merekayasa peristiwa.“Ayo pulang, sepertinya kamu perlu istirahat.” El menghapus noda makanan pada bibir lantas berdiri dan mengulurkan tangan.Sesaat, Livy tersadar dari lamunan, ia terkesiap melihat wajah kecewa pada suaminya.
“Apa yang Sonia katakan? Dia mengancammu?” El mendekat dan menatap lurus sang istri, ia ingat wanitanya ini masih memiliki trauma mendalam apa pun tentang Sonia.Sedangkan Livy, mendadak membeku, sekujur tubuhnya menggigil terasa dingin, padahal suhu kamar cukup hangat. Ia menelan saliva yang lengket, membuat tenggorokannya sakit.“Katakan Sayang, jangan takut.” El mengambil satu tangan Livy dari sisi tubuh, menggemgam erat di depan dada lantas berkata, “Ada aku, kamu tidak sendirian.”Livy menggigit bibir bawah dengan kuat, ia menghirup oksigen memenuhi rongga dadanya dengan udara. Mulutnya pun mulai terbuka dan menceritakan kejadian di salon.Jujur ia takut pada ancaman Sonia. Dulu saja wanita itu nekat menculik dan hampir menyebabkan keguguran, bagaimana dengan kali ini? “Aku … aku takut Kak, Al … Kak Sonia orangnya nekat—““Ada aku Sayang, di sini aman. Tidak ada yang berani menyentuh kamu dan Al. Sekarang tenangkan pikiran kamu, karena itu berpengaruh pada Al, Ok?”Ibu muda ini m
Livy menangis sesenggukan di pelukan ibu mertua. Hatinya kian tak tenang, selain Al belum ditemukan, meskipun telah mencari ke seluruh penjuru mansion.Saat ini Livy sedang menanti petugas memeriksa rekaman CCTV di mansion, ia berharap pelakunya segera ditemukan. Seandainya benar Sonia, ia tidak akan memaafkan kakak angkatnya itu, apa lagi sampai melukai Al.“Tenang Sayang, Al pasti baik baik-baik saja.” Nyonya Torres menepuk punggung Livy yang terkulai lemas.“Tapi Mom, bagaimana kalau … orang jahat itu …” Livy tak kuasa melanjutkan ucapannya, terlalu perih menyayat kerongkongan hingga lidah.Sungguh, sekarang Livy sangat membutuhkan El di sampingnya. Ia berharap lelaki itu segera kembali ke mansion, tidak pergi lama-lama. Ia juga mempertanyakan di mana keamanan yang dijanjikan oleh El? Buktinya Al menghilang.Di saat seluruh penghuni mansion gelisah, di waktu bersamaan seorang wanita cantik berwajah khas Asia bersenda gurau dengan seorang anak kecil. Sosok itu Emilia Anette Putri—is
[Lagi apa? Maaf aku belum bisa pulang.]Isi pesan singkat El malam hari yang selalu menemani Livy selama beberapa hari ini. Paska abuela ditemukan tidak sadarkan diri, Nyonya Torres, Dad Leon, dan anggota keluarga lainnya lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit, terkecuali Emilia dan Rea.Livy terbiasa, mulai dari sarapan hingga makan malam bersama istri adik iparnya itu. Lagi pula mereka tidak diizinkan ke rumah sakit karena memiliki anak kecil.“Menyusui Al seperti biasa. Al merindukan Daddy-nya, aku makan dulu ya Kak, lapar.”[Jadi hanya Al, kamu tidak? Heh, teganya.]“Kalau aku rindu berat Kak, makanya cepat pulang ya.”Seusai membalas pesan sang suami, Livy tersipu malu sembari menaruh telepon genggam di atas kasur, tubuhnya terasa pegal karena menggendong Al yang semakin berat. Ia membaringkan bayi bulatnya pada ranjang, lalu keluar kamar untuk mengisi perut.Baru saja menginjakkan kaki di lantai satu, ia mendengar tangis histeris dari dua perempuan lain yang saling berpel
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa