Selamat Pagi, Kak 。◕‿◕。 Gemana sesuai kah isi babnya dengan suasana? kalau di tempatku berkabut dan dingin. Bedanya engga ada salju •́ ‿ ,•̀
“Tuan, kenapa membeli banyak hadiah untuk anak-anak?” tanya Alonso yang penasaran dan melihat ke mobil boks. “Untuk anak-anak di desa, supaya mereka punya mainan baru. Nanti, Paman bantu aku membaginya di minimarket.” El hanya menatap lurus ke depan, ia merindukan Livy-nya.Ia tidak sabar bertemu Livy, seharusnya El menunggu hingga semua pekerjaan selesai. Akan tetapi, rasa rindu yang menumpuk membuatnya tidak tahan, memlih kabur dari penatnya rapat dan berkas.Menurut sumber informasi, Livy dan Penelope tiga hari sekali mengunjungi minimarket. Hari ini, El menjalankan misi, berharap hasil perhitungannya tidak meleset.Sesampainya di minimarket, El dan Alonso dibantu beberapa anak buah mengeluarkan hadiah dari mobil boks. Mengatur antre agar tidak berebut dan tetap sabar karena ia ingin menunggu Livy datang.El menyunggingkan senyum melihat Penelope memasuki minimarket. Manik biru safirnya menangkap sosok wanita yang dirindukan berada di luar.“Paman, tolong bantu bagikan semua ini, t
“Ya ampun Livy, kenapa kamu meninggalkan aku!” teriak Penelope dari luar rumah.Suara dokter cantik terdengar ke dalam karena tidak ada peredam suara. Penelope hendak membuka pintu, tetapi terkunci dan sial tidak memiliki kunci cadangan.“Livy! Buka pintunya. Aku kedinginan!” gerutu Penelope menatap bungkusan roti, khawatir berubah jadi es bukan roti lagi.Sedangkan di dalam kamar, sepasang kekasih tengah melepas rindu. El tidak mengizinkan wanitanya beranjak dari ranjang. Pria ini menahan dan memenjarakan ibu hamil.“Diam di sini, biarkan saja!” bisik El lalu menggigit pundak ibu hamil.“Tapi Kak … kasihan dokter, dia bisa kedinginan.”Bukannya luluh, El seperti seorang pria tak memiliki belas kasih. Lihat saja! Malah mendekatkan kepala pada ceruk leher, menghirup aroma manis yang menguar dari kulit mulus. El meletakkan sebelah telapak tangan lebar di atas perut, satunya lagi memainkan rambut panjang. Seketika ia tersentak karena gerakan dari dalam perut ibu hamil.“Dia …” tunjuk El
“Mirip Kakak?” Livy mengangkat sebelah alis lalu mengerjap berulang kali.“Iya. Orang bilang aku tegas dan dingin. Tapi kamu rasakan sendiri ‘kan kalau aku itu penyayang?” El malah menaik-turunkan alis diikuti seringai menggoda dan … kerlingan maut sebagai penutup.Livy hanya menyengir kuda, kebingungan menanggapi candaan pria di depannya. Sebenarnya yang diucapkan El tidak salah, tetapi mantan kakak ipar terlalu percaya diri.“Kalau begitu, ide roti ini dariku benar ‘kan?” El masih terus membahas sesuatu yang membuat Livy tidak nyaman.“Eh … umm, itu a-ku.” Livy menelan saliva, lalu menjawab, “Aku menyempurnakan resepnya saja, itu punya salah satu orang baik.”El mengerutkan kening, jawaban yang keluar dari bibir sang kekasih cukup masuk akal tapi … baginya tidak. Ia pun tidak memaksa, karena saat ini mengamati air muka Livy berubah mendung serta muram.Selesai menyantap roti dan secangkir coklat hangat, dua insan itu memasuki kamar. Perdebatan kembali terjadi, karena El mengekor tepa
“Ada apa lagi?” El mengangkat sebelah alis seraya menatap jengah pada wanita di hadapannya.“Ini … aku datang karena ini. Apa kamu sengaja menghindar? Setiap aku datang, kamu pura-pura sibuk.” Suara wanita itu bergetar, satu tangannya menyerahkan map dan satunya lagi terkepal.Sesampainya di ibu kota, El segera ke kantor, selain berkerja, ia juga menemui tamu yang selalu datang selama beberapa minggu ini. Siapa lagi kalau bukan Sonia, seolah tak kapok dan kembali datang ke hadapan mantan suami.“Sebaiknya kamu pulang dan jaga ayahmu! Sudah bagus aku tidak menyertemu ke jeruji besi. Ingat Sonia, kamu selalu ku awasi!” sentak El tak menerima uluran berkas dari tangan wanita itu.Menurut sang presdir hubungan mereka telah usai paska perceraian disetujui pengadilan. El hanya mengawasi Sonia dari jarak jauh, karena cemas mencelakai Livy. Beruntung keamanan yang diberikan Dad Leon sangat ketat, sehingga Sonia tak bisa menemukan keberadaan adik angkatnya.El menegakkan punggung, lantas menump
“Kak tidak perlu ke sini! Aku baik-baik saja,” ujar Livy melalui sambungan telepon.Tadi saat keluar dari cafe, tanpa sengaja seorang pengunjung menabraknya. Beruntung Livy tidak jatuh, hanya ponsel dan tasnya yang membentur lantai.Akan tetapi, setelah ia kembali ke rumah, sambungan video tiba-tiba terputus. Ternyata El sengaja mengakhiri panggilan, sebab pria itu telah siap berada di balik kemudi helikopter. Dengan cepat Livy menghubungi Alonso, mencegah El. Jika tidak, pasti pria itu nekat kembali ke desa, padahal pekerjaan di kota sangat banyak.[Sapa lelaki itu? Dia menyentuhmu, Sayang!] El mengetatkan rahang, suasana hati tidak baik-baik saja.“Orang itu tidak sengaja, aku baik-baik saja. Kakak tidak perlu cemas, umm … kalau ada waktu senggang kembalilah ke sini,” kata ibu hamil disusul semburat merah menghiasi pipi. Diberikan kata-kata manis, tentu El melunak dan sumringah. Wajah tampannya memenuhi layar ponsel, pria itu terdiam sembari memandang ke arahnya.Ibu hamil meletakk
“Bagaimana ini? Tuan El masih di dalam,” gumam Alonso menatap pintu ukiran megah di depannya.Lima menit yang lalu, asisten pribadi ini menerima telepon dari dokter Penelope, sebab ponsel presdir dipegang olehnya. Namun, situasi dan kondisi kurang memungkinkan, di dalam ruangan, El bersama Raja dan Ratu serta beberapa pengusaha pilihan lainnyaSepuluh menit kemudian, seorang pengawal kerajaan membuka pintu, Raja dan Ratu keluar lebih dulu, disusul para pengusaha. Sigap, Alonso menghampiri Tuannya yang berjabat tangan bersama Tuan Marquez dan Nona Manassero. El mengernyitkan kening, langkah tegap dan lebar Alonso menjadi pertanda telah terjadi sesuatu. Belum lagi, wajah itu tampak tegas dan menegang.“Ada apa, Paman?” El yakin masalah perusahaan, proyek atau mungkin Sonia. “Tuan El, sebaiknya segera ke pesawat. Saya telah menghubungi pilot, Anda harus ke Albarracin. Nona Livy melahirkan,” bisik Alonso, berhasil membuat El berlari secepat kilat. Presdir tampan itu tidak peduli rekan p
“Alasannya?” alis tebal El tertaut, matanya memicing karena tidak mengerti.Ia bingung mengapa Livy-nya bersikukuh enggan kembali ke ibu kota. Padahal di sana mereka bisa bertemu lebih sering, walaupun El selalu bolak balik luar kota atau luar negeri.Tidak seperti sekarang, ia harus menunggu jadwal kosong barulah mengunjungi Livy di desa. Melelahkan memang, tetapi rasa rindu tak bisa tertahan lagi.“Aku …” Livy mereguk saliva yang terasa kelat membakar kerongkongan. “Katakan!” tegas El, ia melipat tangan depan dada, menatap intens wajah pucat sang kekasih.“Aku …” Lagi, Livy mengatup rapat bibir, ia menggembungkan pipi dan menghela napas. “Di sana terlalu bahaya, Kak. Aku takut Alessandro terluka,” cicitnya.Sedangkan El tampak muram, mana bisa berjauhan dengan Livy dan anaknya. Saat ini, ia mencoba menenangkan ibu muda, memeluk, lalu membelai kepala serta sepanjang tulang punggung. Sebelum membawa Livy kembali ke kamar, keduanya berhenti sejenak di lorong sepi. Sama-sama menghadap
“Aku … apa bisa, Kak? Sudah lebih dari 20 tahun?” Livy mendongak, menatap lamat kekasihnya.“Hu’um itu mudah. Tunggu saja, tidak sampai satu minggu pasti ketemu, kecuali …” El merunduk kepala, menjepit rahang Livy, membuat ibu muda mengerutkan kening. “Kecuali disembunyikan Daddy, itu yang susah.”Seketika Livy mencebik, bibir merah mudanya sungguh terlihat manis di mata El. Alhasil, lelaki ini mendekatkan wajah dan menyesap lembut candunya. Tanpa sadar, El membaringkan tubuh Livy di atas ranjang, memenjarakan wanitanya. Ia menahan kedua pergelangan tangan sang kekasih di atas kepala, bergerak liar menuruni ceruk leher dan bermain di area sensitif, memberi gigitan kecil hingga suara protes keluar dari bibir ibu muda.“Kak El! Jangan! Belum boleh!” pekik Livy, mungkin saja suaranya terdengar ke luar kamar. “Kakak lupa kalau aku baru melahirkan, tunggu dua bulan lagi!” Mendengar larangan yang keluar dari bibir candunya, menyebabkan El menjauh dan menatap tidak suka. Ia telah menahan ha
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa