‘Paman Alonso kenapa bisa memiliki ide seperti itu?!’ geram El menatap tajam ke depan, tepat ke arah punggung mulus Livy.Rupanya pesta musim panas tahunan memang dilaksanakan di Cadaques, tetapi tanpa undangan khusus, hanya pengumuman yang disebar. Kartu undangan dikirm ke villa Gonzalez adalah ide gila Alonso. Deretan villa di sana memiliki karakteristik bangunan serupa, sehingga sulit mengetahui posisi Livy. Alhasil, Alonso memiliki gagasan brilian, menyebar anak buah ke setiap villa. Sampai akhirnya menemukan lokasi kekasih tuannya.Saat ini, El dibuat terbakar, selain musim panas, karena Livy tetap memaksa menggunkan bikini. Ia tahu pantai memang tempatnya wanita menggunakan pakaian terbuka. Akan tetapi Livy hanya milik El, dan pria ini terlalu posesif terhadap miliknya.El berjalan cepat mensejajarkan diri. “Lihat saja kain pantai yang kamu gunakan menerawang, sengaja memikat para pria?! Lihat mata mereka hampir keluar!” sungut El sembari menunjuk para pria bertelanjang dada, te
“Kak, bagaimana kalau keluarga Kakak tahu aku tinggal di sini?” Livy melangkah ragu memasuki villa kediaman Torres.Entahlah memang takdir atau kebetulan, ia malah melarikan diri ke tempat di mana keluarga Torres masih berkuasa. Seandainya Livy tahu, di Cadaques terdapat villa pribadi Torres, pasti ia enggan kabur ke desa ini.“Memangnya kenapa kalau tahu? Justru bagus, mereka bisa mengenalmu lebih dekat.” El malah mengacak puncak kepala dan memainkan rambut Livy, menggulung lalu mengulur dan menghirup aroma sampo.“Tapi Kak Sonia bagaimana? Aku—“El menempelkan jari telunjuk tepat di bibir ranum candunya, ia menggeleng pelan agar Livy tidak membahas Sonia saat bersamanya. Ia paham apa yang dirasakan oleh ibu hamil, tetapi El juga merasa tidak salah karena ia bertanggung jawab atas bayi dalam kandungan.“Ssst, jangan bicarkan Sonia di sini. Anak kita memang belum lahir, tapi dia bisa merasakan apa yang ibunya pikirkan.” El menyatukan jemari dengan Livy. “Ikut aku, pasti kamu suka.”“M-
“Pasti Kak El sudah sampai di Madrid,” gumam Livy menyunggingkan senyum seraya meraih ponsel yang bergetar.Namun, ketika Livy mengusap jemari layar dan berhasil membuka pesan, matanya berubah perih, kristal bening menetes. Diikuti napas terasa sesak dan perut kram, ia menggelengkan kepala tidak percaya kalau El mengirim pesan setega ini.“Nona, Anda kenapa?!” pekik seorang maid melihat Livy terhuyung dan mencengkeram erat sandaran kursi.“Bisa bantu aku, tolong ambilkan obat di dalam tas kecil. Maaf,” desis Livy menahan sakit.Tak lama maid berlari membawa obat serta segelas air, dengan cepat Livy meminumnya dan menyandarkan tubuh agar lebih nyaman.**Setelah dua minggu berlalu, selama itu juga El jarang masuk kerja. Bukan karena malas tetapi ia sering mengalami mual, muntah serta pusing secara mendadak. Sesekali mengunjungi kantor dan toko roti untuk menghadiri rapat dan memeriksa laporan.Parahnya lagi, 14 hari ini tidak sekali pun Livy menghubunginya, telepon atau pesan darinya ta
Ketika pagi hari, netra Livy langsung menelisik setiap sudut. Sayang, tidak ada tanda bahwa pria itu memasuki kamarnya. Bahkan bagian ranjang terasa … dingin, dan tidak ada jejak apa pun, seperai saja masih rapi.“Huh … ternyata ini mimpi,” keluh ibu hamil tersenyum getir.Entahlah, kepalanya terus menerus memerintah agar Livy menjauh dari El, tetapi lubuk hati serta tubuhnya sangat kontra. Buktinya, semalam ia merasakan ketenangan dan kenyamanan disentuh dalam alam mimpi.Livy keluar dari kamar, masih tetap menggunakan gaun tidur. Ia sarapan bersama Penelope yang lebih dulu mengunyah roti panggang berselai alpukat.“Dokter sendirian? Di mana abuela?” Livy menggerakkan kepala ke kiri, kanan dan belakang, mencari keberadaan wanita sepuh.“Maid bilang Nyonya Torres sudah sarapan dan sekarang jalan-jalan di tepi pantai. Aku jadi tidak enak hati … malu karena tuan rumah bangun lebih awal, tapi tidak apa kamu juga baru sarapan sekarang,” tutur Penelope. “Makan yang banyak Livy! Kamu memerl
“Jadi … ini yang Kakak maksud dengan bertanggung jawab?” ucap Livy dengan perasaan diselimuti pilu. Bibirnya bergetar dan rongga dada terasa menyempit, diikuti kerongkongan mengering.El tidak langsung menjawab, melainkan mengikis jarak lalu mendekap erat ibu hamil. Mengusap berulang sepanjang tulang punggung, menepuk perlahan—memberi ketenangan.“Kakak jahat! Sudah aku katakan aku bisa membesarkannya sendirian, aku bisa dan ... mampu.” Tangis Livy pecah di pelukan El, tidak peduli tetesan kristal bening membasahi kaos putih pria ini. Ia hanya menumpahkan segala asa yang tertimbun.Lagi, raganya berkhianat, bukannya menolak atau mendorong pria ini jatuh ke laut. Malah menikmati pelukan hangat yang sangat nyaman, langsung melepas beban di hati.Apakah cinta segila ini sampai akal sehat hilang? Padahal jelas-jelas El mengirimkan pesan itu dua minggu yang lalu. “Aku tahu Kak, janin ini hadir karena kesalahan, tapi bukan berarti Kakak bisa memisahkan kami,” keluh Livy semakin menyusupkan
“Ayolah Livy, kamu belum mau pulang?! Ini sudah malam sayang.” El menghela napas lalu menunjukkan jam di pergelangan tangan.Sebenarnya bukan karena sudah malam tetapi ia memiliki maksud lain. Namun, Livy tampak mengulur waktu, lihat saja wanitanya asyik menendang pasir dan merentangkan tangan menikmati embusan angin.“Ini belum gelap Kak, masih terang. Sebentar lagi ya?!” Livy menolehkan kepala dan tersenyum lebar, mana mungkin El bisa menolak kalau sudah begini.Musim panas memang membuat matahari lebih lama menerangi langit. Bahkan pukul setengah tujuh malam suasana pantai lebih sejuk dan wisatawan kembali berkunjung.“Ok, kita lihat matahari terbenam di sini.” Akhirnya El mengalah, lagi pula ia senang melihat Livy bisa tersenyum bahkan tertawa puas, bukankah ini baik bagi perkembangan janin?El setia mengikuti kekasihnya berjalan menghampiri ombak kecil. Tiba-tiba Livy mencipratkan air ke arah El, meskipun musim panas, tetapi air laut tetap saja dingin.“Oops, pakaian Kakak jadi b
“Bagaimana keadaannya?” tanya El yang panik.Setelah mendaratkan helikopter pada helipad di atas gedung rumah sakit. Ia bergegas masuk ke dalam, dan memerintah orang kepercayaan untuk membawa kendaraan itu kembali ke mansion.“Nyonya kecelakaan Tuan. Menurut penyelidikan, akibat lepas kendali sehingga mobil terbalik,” jelas Alonso memperlihatkan tab kepada El.“Astaga Sonia, apa yang dia lakukan? Apa benar murni kecelakaan tunggal?” selidik El.Walau tidak mencintai Sonia, ia tetap mengkhawatirkan istrinya. Sebagai suami wajib bertanggung jawab, termasuk menutupi aib sang istri.“Murni kecelakaan tunggal Tuan. Satu hal yang harus Anda tahu.” Wajah Alonso tampak serius, El mengerti lalu mendekatkan diri. Rupanya asisten pribadi membisikan sesuatu agar tidak terdengar orang lain.Seketika El mengepalkan tangan, rahang tegasnya mengeras dan kilat memenuhi sorot manik biru safir. Napasnya memburu, giginya bergemelatuk, seakan singa jantan yang diusik ketenangannya.Tidak lama perawat kelua
‘Tahan air mata Livyata! Kak Sonia Istrinya, sedangkan aku hanya wanita yang mengandung darah dagingnya, sadar diri Livy!’ batinnya berkecamuk, Livy mematung di depan pintu.“Livy, kamu kenapa?” bisik Dokter Penelope, menyenggol bahu ibu hamil.“Dokter … aku mau ke toilet, sepertinya aku … tidak enak badan,” sahut Livy dengan intonasi pilu.Penelope mengerti bahwa ibu hamil sekaligus teman dan pasiennya ini sedang terluka, segera menutup pintu dengan perlahan. Dokter cantik juga sempat melihat aktifitas pertukaran saliva sepasang suami istri di dalam. “Ayo aku temani Livy,” ajak Penelope menggenggam tangan Livy, khawatir temannya terjatuh dan berakibat fatal bagi kandungan.“Aku banyak merepotkan dokter. Maaf, karena pekerjaan dokter jadi terbengkalai,” ucap ibu hamil bernada ironi.Nasib baik tampaknya tidak akan pernah hadir, Livy sadar, dirinya hanyalah duri dalam pernikahan kakak angkatnya. Ia tidak berhak mendapat perhatian apa lagi cinta dari seorang Donatello Xavier Torres. “A
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa