“Aku akan meninggalkan Sonia, demi anak kita,” ujar El.‘Demi anak?’ Batin Livy berkecamuk.Mendengar jawaban dari El, leher Livy seolah tercekik, suaranya pun tercekat di tenggorokan. Bahkan ia sulit menelan saliva karena terlalu kental. Bukan senang tetapi hatinya sakit mengetahui jawaban sang kekasih.Kenapa?Entahlah, pikiran serta hatinya merasa jika semua pria sama. Kini, Livy membayangkan hal yang dilakukan Sergio, suaminya itu tega memilih selingkuhannya, begitu juga dengan El.“Kakak tega menceraikan Kak Sonia?” Tanya Livy dengan suara lirih.“Bukan tega sayang. Kamu tahu aku tidak akan melakukannya jika hubungan kami normal. Pernikahanku dan Sonia bertahan karena abuela dan ayahmu. Kami berusaha saling mencintai tetapi tidak bisa.” El memeluk Livy, menyangga dagu pada bahu.“Sonia akan lebih bahagia jika bersatu dengan kekasihnya,” tambah El.Seketika kening Livy mengerut, ia tidak pernah mendengar sang kakak memiliki kekasih. Sebab Sonia selalu sibuk dengan dunia model, dulu
“Sayang? Apa maksudmu?” Sonia membeliak mendengar pernyataan sang suami.“Iya benar aku tanggung jawab, memangnya salah?” Ekor mata El melirik tajam pada Sonia. Sedangkan Livy yang berdiri di sisi ayah angkatnya menggeleng lemah, wajahnya sudah pucat pasi. Ia menelan saliva serta memenuhi rongga dada dengan oksigen. Saking tegangnya, perut bagian bawah terasa kram. Tangannya mencari pegangan, ia berusaha menggapai lengan Tuan Fabregas.Sayang, pria paruh baya itu malah menjauh, memundurkan tubuh, enggan disentuh oleh anak angkatnya sendiri. Sehingga Livy, nyaris luruh di atas lantai, beruntung El bergerak cepat.“El jangan! Biarkan saja!” Cegah Sonia menahan pergelangan tangan sang suami.Akan tetapi Presdir Torres Inc tak menghiraukan ocehan Sonia, sigap meraih tubuh ibu dari anaknya sebelum menyentuh lantai. Pria ini tidak sungkan memeluk posesif tubuh Livy di depan mertua dan istri. El lebih mirip suami siaga darpada kakak ipar yang perhatian. Membuat rasa benci di hati Sonia sema
Tanpa terasa jam terus berlalu, Livy masih tetap merenung di depan jendela. Tiba-tiba ia terkesiap mendengar suara bel, seketika ibu hamil ini berdiri dan melongok kepala, terlihat kendaraan hitam mengkilap terparkir di depan rumah.“Siapa? Sepertinya bukan Kak El atau Kak Sonia, kenapa tidak langsung masuk?” gumamnya lantas turun ke bawah memeriksa tamu.Sesampainya di lantai satu, Livy segera mengintip dari lubang pintu. Ia mematung karena seseorang yang tak pernah diduga mengunjungi rumahnya.Akhirnya ia membuka pintu, dan mengukir senyum menyapa asisten pribadi kakak ipar. Sungguh saat ini Livy dilanda perasaan tegang, pasalnya tidak mungkin Alonso datang ke rumah tanpa memiliki maksud.“Nona tidak perlu berkemas, ambil saja barang yang paling penting setelah itu kita berangkat,” kata Alonso dengan nada datar dan dingin.“Memangnya mau ke mana Tuan? Ke rumah sakit?” Pria berambut hampir putih itu hanya menggelengkan kepala lantas duduk di kursi teras. Berbeda dengan ibu hamil yan
“Abuela … Mom!” teriak Sonia sembari menangis tersedu-sedu.Selesai melakukan syuting iklan, model cantik ini segera pulang ke mansion. Mengurungkan niat untuk bermalam bersama mantan kekasihnya. Sebab ada hal yang harus diselesaikan.“Ada apa ini Sonia?” abuela langsung memeluk cucu menantu. “Kamu sakit atau kalian bertengkar? Di mana anak itu?” Sonia menggeleng lemah, terisak sembari memasang wajah sendu. Berbeda dari hati yang tertawa puas, karena berhasil meraih simpati wanita paling berpengaruh di keluarga Torres. Ia yakin tidak lama lagi El akan meninggalkan Livy.“Mom, kenapa Sonia?” Nyonya Torres datang setelah diberitahu oleh para maid.Sonia dibawa masuk ke kamar dan diberi segelas air minum. Wanita itu menyandarkan kepala ke pundak abuela, tangannya terkepal dan kedua mata terpejam seolah merasakan sakit hati mendalam.“Sekarang cerita pada kami, ada apa?” abuela menepuk paha Sonia dan menggengam kedua tangan mulus.“Suamiku … El, dia selingkuh. Apa yang harus aku lakukan
“Kamu masih berpikir tetap mempertahankan Livy dan anak kalian?” Tanya Sonia turut menyandarkan punggung pada dinding bercat putih rumah sakit.Kini, semua anggota keluarga Torres menanti dokter selesai memeriksa abuela. Wanita sepuh itu ditemukan pingsan dalam lift oleh seorang maid. Dengan cepat dilarikan ke rumah sakit, mengingat abuela memiliki riwayat diabetes dan pernah mengalami gangguan ginjal.“Kemarin ayah, sekarang abuela. Besok siapa lagi El? Tidakkah kamu berpikir sejauh itu?” sambung Sonia.“Maksudmu aku harus lari dari tanggung jawab?” El sedikit menolehkan kepala, manik biru safirnya menatap intens dan tajam sang istri.Terdengar suara berdecak sebal dari mulut Sonia. Sehingga pria ini mulai terpancing amarah, El yakin sang istri sengaja melakukannya. Padahal ia telah mempersiapkan diri berserta bukti agar kejadian seperti ini tidak terjadi.“Ya. Kamu bilang itu karena kesalahan ‘kan? Dia tidak masalah melahirkan dan membesarkan anaknya sendirian. Dia masih memiliki to
“Hemm … ini enak dan nyaman.” Suara manja nan merdu memuji keterampilan El.Ya, pria yang duduk menyandar pada sisi lain jacuzzi tersenyum merekah. Rasa lelah dan sedih seketika menguap, keberadaan Livy benar-benar memberikan energi positif.“Dulu, sewaktu Mom hamil adik-adikku sering merasa pegal. Dan … seperti inilah yang dilakukan Dad Leon,” ucap El sambil terus memijat telapak kaki wanitanya.Pada akhirnya, bukan pria ini yang menerima pelayanan terbaik atau sentuhan memabukkan. Melainkan ibu hamil, El sengaja memanjakan Livy setelah lebih dari 48 jam tidak bertemu. “Sekarang gantian aku yang memijat Kakak.” Livy menarik kakinya dan menggeser tubuh lebih dekat.“Tidak perlu, aku cukup berendam, tidur dan mengatur pola makan.” El bersikeras menolak, tidak mungkin tega membuat Livy kelelahan.Selama dua hari, Presdir Torres Inc tidak tidur nyenyak, jangankan berbaring, ia selalu berdiri atau duduk menanti abuela siuman. El tidak pulang ke mansion atau mengganti pakaian, nafsu makan
“Memangnya kamu mau ke mana?”El mengerutkan kening dan menolehkan kepala menatap intens kepada Livy. Pikirannya dipenuhi beragam pilihan, mungkin saja wanita ini ingin mengunjungi Tuan Fabregas di rumah sakit. Jika itu permintaan Livy, maka El akan melarang, karena abuela dirawat di rumah sakit yang sama.“Makan es krim … enak manis,” jawab Livy menyengir.“Es krim?” Tanya El tidak percaya karena permintaan Livy jauh dari isi kepalanya. Ibu hamil mengangguk cepat, bahkan Livy melingkarkan tangan pada lengan kekar berotot sempurna. Binar mata yang memancarkan cahaya menambah kesan manis pada wajah cantiknya. Sungguh membuat El tidak tahan menolak keinginan ibu dari anaknya. Mereka pun keluar dari gedung pengadilan, melupakan masalah persidangan, melangkah riang bak remaja yang dimabuk asmara. El membuka pintu mobil, meletakkan satu tangan pada bagian rangka, melindungi agar Livy tidak terbentur.“Hati-hati sayang.”“Terima kasih, Kak,” balas Livy memberikan senyum terbaik.Sebenarny
“Ok siapa takut.” Tantang Livy masih dengan mulut dipenuhi es krim rasa jeruk.Jawaban wanita ini membuat El geleng-geleng kepala, karena kekasihnya mulai berani nakal. Menurut presdir berjuta pesona, tingkah Livy semakin hari sangat lucu, menghibur pikirannya yang sedang dilanda masalah.“Kalau begitu kita pulang ke penthouse. Kamu harus istirahat, lalu menerima hukuman,” ujar El mengusak surai coklat panjang hingga kusut dan berantakan.Seketika Livy menoleh, merengut karena merasa terganggu. Bibir merah muda selalu menggoda El, ibu hamil ini berhasil menyenangkan hati.Namun, sorot mata Livy beralih jauh ke belakang. Ia menatap sesuatu dengan pandangan berbinar, tak lama mengembalikan pusat perhatian pada kakak iparnya.“Kak El, aku boleh minta sesuatu?” Tanyanya dengan tatapan memelas.“Hem apa lagi? Mau es krim? Memangnya semangkuk itu kurang?” balas El, tidak mengerti keinginan wanita terutama ibu hamil.Pria ini pikir kaum hawa hanya memerlukan uang, uang dan uang, serta kartu s
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa